Kisah sebelumnya : CUBICLE #4
* * *
Lima
Kuakui
atau tidak, aku jadi agak menarik diri untuk maksi bersama geng sarap dan Mita,
si aspri Driya. Cewek itu jadi sering bergabung, dengan atau tanpa Driya. Tapi
tidak pernah ada keakraban dengan para cewek geng sarap. Benar-benar bertolak
belakang dengan sikap boss-nya
terhadap geng sarap.
Tak
jarang aku beralasan sibuk ketika Driya mengajakku maksi. Kadang-kadang aku
sengaja keluar kantor. Ngeluyur, cari ide. Kadang-kadang memang aku harus
bertemu klien.
Bukannya
tidak ada yang menyadari perubahan perilakuku. Yang pertama Nina, tapi dia
paham betul alasanku. Dia sendiri tak pernah merasa nyaman dengan kehadiran
Mita.
Yang
kedua Yussi. Sudah tentu dia pun sama dan sebangun dengan Nina.
Yang
ketiga Bara. Dan dia mengungkapkannya dengan keluhan, “Perasaan susah banget
sih, pegang buntut lu akhir-akhir ini, Sas?”
Aku
yang sedang asyik membenahi grafis konsep job-ku
di depan laptop cuma menjawab acuh tak acuh, “Emang gue ayam?”
Bara
menghela napas panjang. “Lu tau yang gue maksud…”
“Terus,
masalahnya apa buat elu? Kerjaan lu jadi keteter gara-gara gue sibuk? Nggak
kan?”
“Lu
kok jadi sinis gini sih, Sas? Lu masih jengkel sama gue gara-gara lu musti traktir
kapan hari di Cherie itu ya? Kan gue udah minta maaf, Sas, gue juga mau bayarin
tapi…..”
“Kok
jadi merembet ke mana-mana sih, Bar?” kutatap Bara dengan gemas. “Sumpah, gue
ikhlas nraktir elu-elu pada! Sekarang ini gue cuma sibuk, Bar! Sibuk! Gue punya
banyak job yang musti gue kelarin.
Paham?!”
“Ada
apa sih?” mendadak kepala Boss Lenny
nongol dari balik pintu kantornya.
Bara
jadi salah tingkah. Ups! Nada suaraku meninggi banget ternyata. Baru kusadari
bahwa seisi kantor jadi hening.
“Nggak
ada apa-apa, Cik, maaf,” ucapku. “Cik, saya mau ke Mangga Dua nyari properti.
Sekalian ke Slipi ketemu klien.”
“Oh
ya…ya… Ati-ati di jalan ya, Sas?”
Setelah
pamitan aku langsung mengemasi laptop. Bara masih duduk diam di kursinya, di
sebelah kanan area cubicle-ku. Aku
tahu semua pasang mata menatap kepergianku. Tapi aku pura-pura cuek seperti
tidak pernah terjadi apa-apa.
* * *
Aku
membawa Brio-ku memutar lewat jalan di belakang Menara Daha. Tujuanku cuma
satu. Cafe Cherie. Rasanya lebih baik aku sementara ‘ngantor’ di situ. Daripada
di kantor MemoLineAd. Berisik.
Sepagi
ini aku masih bisa dapat tempat nyaman di pojok dekat taman belakang Cherie. Perfecto! Kukeluarkan laptop dan aku
mulai bekerja.
Sambil
mengunyah croisant dan sesekali
menyeruput French Chocolate, aku
asyik dengan draft iklanku. Produk
jamu dari grup Andalan Herba Nusantara itu cukup menantang untuk kupromosikan
melalui iklan yang kubuat.
Ketika
aku klik ’save’, ponselku berbunyi. Whatsapp message dari Bara.
‘Sas, makan siang bareng ya? Entar gue tunggu
di Prima. Sorry soal yang tadi.’
Aku
tak langsung membalas pesan itu. Yang ada malah pesan masuk dari Nina.
‘Lu beneran ke Mangga Dua,
Sas?’
‘Kagak, gue ada di sebelah.
Tapi lu diem-diem aja yak?’
‘Iya, gue ngerti. Eh, sebelah
mana?’
‘Cherie. Kerjaan gue malah
cepet kelar di sini.’ (icon meringis)
‘Ya udah lu baik-baik di
situ. Trus lu jadi ke Slipi?’
‘Iya, tapi entar abis waktu
maksi. Ini gue udah mau ronde kedua, tancap ke job gue berikutnya.’
(icon mata bergambar hati)
‘Gila lu ya?! Kerja kagak
ada matinya!’
Tanpa
sadar aku nyengir.
“Sas?”
Aku
kaget mendengar suara itu. Batal sudah niatku untuk membalas pesan Nina. Aku
menoleh.
“Eh,
Jar?”
Duh!
Kenapa dia harus nongol di sini sih?
“Lu
ngapain ngumpet di sini? Katanya mau ke Mangga Dua?” Fajar menarik kursi di
seberangku.
“Enak
aja ngumpet!” gerutuku. ”Lha, elu? Ngapain juga ke sini?”
“Kan
ngikutin elu,” Fajar nyengir marmut.
“Hm…,”
mataku kembali ke layar laptop.
“Lu
lagi ada masalah ya?”
Aku
mengangkat wajah dan mendapati dia tengah menatapku... Penuh selidik? Tanpa
sadar aku menggeleng. Tak percaya dengan penglihatanku sendiri.
“Lu
jujurlah, Sas….”
Aku
menghela napas kesal. Sudah dua kali sepagi ini ada orang yang begitu reseh
menanyakan tentang ‘kesibukan’-ku.
“Eh,
Jar, lu dengerin gue ya,” kutatap Fajar super serius. “Gue belakangan ini sibuk
banget. Ada lima job iklan yang
mampir ke desk gue. Lima, Jar, itu
bukan main-main. Klien sendiri yang minta gue untuk menangani. Harus gue,
nggak mau yang lain. Semuanya musti kelar draft-nya
dalam waktu tiga minggu. Gue nggak ada waktu buat ngurusin pembicaraan gak
jelas kayak gini sebetulnya, tapi karena lu sohib gue, ya udahlah gue jawab
pertanyaan lu. Jelas?”
Fajar
garuk-garuk kepala. Jujur, aku sebal melihatnya berekspresi seperti itu.
Wajahnya jadi terkesan ganteng tapi tolol. Sungguh-sungguh perpaduan yang tidak
pas.
“Hei!
Kerja, meeting, apa pacaran?”
Fajar
dan aku menoleh kaget. Asem! Driya! Weiks, sama asisten seremnya itu lagi.
Aduh... Kenapa harus ketemu di sini sih?
Driya
menoleh ke Mita. “Cari tempat, Mit, kamu stand
by di situ. Entar kalau Pak Jaya datang, kamu hubungi aku. By phone aja.”
“Baik,
Pak,” jawabnya manis, tapi betapa judes tatapannya menyapu sekilas ke arahku.
Aku
mengernyit. Lha, dosaku apa sih sama dia? Cewek aneh…
“Gue
nggak ganggu kalian kan?” Driya menunjuk aku, Fajar, dan laptopku.
“Enggak
sih, gue tinggal nge-check draft
presentasi gue. Tapi elu nggak papa kan, kalau gue sambi kerja?” jawabku
sekaligus bertanya.
“Enggaaak,
nggak papa. Sori gue jadi ganggu kalian.”
Aku
menggeleng ringan. Fajar tersenyum-senyum tengil sambil mengamati Mita yang
melenggang menjauh.
“Perasaan
kerja kalian enak bener ya, bisa kerja di luaran sambil ngafe gini?” celetuk
Driya jahil.
“Yang
penting kerjaan beres, klien puas, Boss
dapat duit,” ucapku acuh tak acuh.
Fajar
tertawa. “Apalagi kalau ada yang lagi suntuk gara-gara berantem sama temen
kantor. Waaaah... Kayak surga deh, di sini.”
Aku
memelototi Fajar. Ember juga ini cowok! Driya menatapku lama. Ketika hendak
membuka mulut, ponselnya berbunyi.
“Ya,
Mit?”
…
… … …
“Oke, aku ke sana.” Driya berdiri. “Sori, Yik, Jar, gue cabut dulu. Klien gue udah di
depan. Lu baik-baik ya, Yik, jaga kesehatan.”
“Gue
juga cabut ah! Mau ke Pasar Gembrong,” Fajar ikut-ikutan berdiri.
Aku
mengangguk. Segera mereka menghilang dari pandanganku. Kutekuni lagi
pekerjaanku. Pikiranku agak terbelah, tapi aku berusaha untuk tetap
konsentrasi.
Alarm
ponselku berbunyi pukul 12.30. Saatnya meluncur ke Slipi. Kusudahi acaraku di
Cafe Cherie. Sebuah Whatsapp message
masuk. Bara lagi. Oh ya, kan aku tadi kan belum balas pesannya.
‘Sas, lu di mana? Gue tunggu
makan siang ya?’
‘Sori gue lagi jalan ke Slipi.
Udah ditunggu Pak Robert. Gue juga udah makan siang tadi.’
‘O ya udah, titi dije ya…’ (icon
bibir monyong gambar hati)
Aku
ingin tertawa sebenarnya. Tapi tak lucu kalau harus ketawa sendirian di cafe.
Setelah kubereskan laptop dan lain-lain aku pun beranjak. Mampir ke kasir
sebelum cabut. Kulihat Driya masih asyik meeting
di pojok kanan depan, cukup jauh dari pintu keluar. Jadi kuputuskan untuk
mengabaikannya. Tak berapa lama, aku pun sudah meluncur ke Slipi.
* * *
nice post mbak
BalasHapusPenasaran dengan Mita :)
BalasHapus