Prolog
“Yik…”
Aku menoleh. Driya tengah
melepaskan cincin kawin di jari manis kanannya. Dia mengambil tanganku dan
meletakkan cincin kawin itu di telapak tanganku.
“Tolong lu simpan ya, Yik…,”
bisiknya.
Aku menatapnya tak percaya.
“Jadi…?”
Driya cuma mengangguk sambil
tersenyum. Aku tak dapat lagi menahan diri. Kupeluk laki-laki tinggi besar itu.
Tapi...
Tapi...
* * *
Satu
Mendung
yang menggantung di luar gedung Menara Daha tampaknya punya andil besar
mempercepat beat musik disko yang
kian menggelegar di dalam perutku. Dingin adalah kekasih hati lapar. Jadi? Klop
sudah!
Seolah
seabad lamanya harus menunggu hingga sepiring gado-gado itu diletakkan pramusaji
tepat di depanku. Gado-gado yang tampak begitu menggoda. Cacing-cacing di
perutku pun langsung ikut berontak karenanya. Aduuuh lapaaarrr… Tak kupedulikan
lagi Gerdy, Fajar, Bara, Nina, dan Yussi yang sibuk ngerumpi sambil menunggu
pesanan mereka datang.
Hm...
Hajarrr!!!
Suapan
pertama aman. Suapan kedua masih lampu hijau. Suapan ketiga mulai lampu kuning.
Suapan keempat mulai panas. Suapan kelima lampu merah. Setelah suapan keenam
aku tak tahan lagi. Huaaah pedasnyaaaa... Kuteguk es teh manisku sampai tandas.
“Kurang?”
Bara menatapku geli sambil menyodorkan gelas ice mint tea-nya.
Aku
cuma nyengir malu. Ketika seorang pramusaji counter
minuman lewat, aku segera memesan lagi minuman padanya. Tak tanggung-tanggung,
dua gelas es teh tawar sekaligus. Membuat kelima temanku melongo sesaat.
“Lu
haus, doyan, apa kalap?” Yussi membelalakkan matanya yang indah.
“Sekarang
baru nenggak teh, ati-ati tar malem berubah dia! Hahaha...,” Gerdy ngakak
tiba-tiba. “Satenya seratus tusuk, Baaang...,” lanjutnya menirukan adegan di
salah satu film horor jadul.
“Hahaha...,”
semua anggota geng sarap ini ikutan ngakak.
“Hehehe...
Abisnya, nih gado-gado pedes banget,” aku meringis.
“Maag-mu...,” Bara menatapku khawatir.
Aku
menggeleng, pasang muka polos. Dan tatapan khawatir Bara berubah menjadi
tatapan gemas. Aku tertawa karenanya.
Kami
pun kemudian menikmati makanan masing-masing sambil mengobrol ini-itu. Dari
masalah kerjaan sampai gossip terkini. Dari masalah cuaca sampai ekonomi. Semua
dikupas tanpa tuntas di tengah lengkapnya jumlah anggota geng sarap ini.
“Kamu
jadi lelet makannya,” celetuk Fajar, menatapku.
“Kepedesan,
Jar,” ujarku sambil sesekali mendesis. Gado-gado porsi jumbo di piringku masih
tersisa nyaris separuh.
“Lain
kali jangan pesen yang pedes,” ucap Yussi. “Kayak nggak tau kebiasaan yang
ngulek aja. Dia kan suka-suka ngasih cabenya. Nggak standar.”
“Hehehe...,”
aku terkekeh ringan.
Tepat
saat itu ponselku berbunyi. Kulirik sekilas. Ah, nomor asing. Akhirnya ponselku
diam sendiri.
“Kok
dicuekin?” tanya Nina sambil meniup sesendok nasi sotonya.
“Halah,
palingan cuma nawarin kartu kredit,” jawabku ringan.
Terdengar
bunyi notifikasi Whatsapp. Masih dari
ponselku. Masih dari nomor asing yang sama. Terpaksa kubuka dan kubaca isinya,
karena aku penasaran.
PIYIK! JAWAB CALL GUE DUNK!
INI BENERAN NOMOR LU KAN, YIK?
Piyik...
Aku
tersentak.
PIYIK???
Cuma satu manusia yang memanggilku Piyik! Dan dia….
Astagaaaa...!
Ponselku
berbunyi lagi. Dan tanpa ba-bi-bu aku menanggapinya.
“Halo…”
“Piyik!
Beneran elu kan?!” potong suara di seberang sana.
“Astaga,
Betmen! Ini elu?!”
Tawa
di seberang sana terdengar masih bernada sama, tapi sekarang lebih menggelegar.
Tak salah lagi, dia benar-benar Betmen!
“Dari
mana lu tau nomor gue, Men?”
“Dari
temen lu, Meirina. Temen SMP lu kan? Gue kemaren satu kantor sama dia, dia
orang baru. Cuma sempat ketemuan seminggu, abis itu gue dicabut, ditaruh sini.
Lu gimana kabarnya, Yik? Gila, gilaaa! Kangen berat gue…”
Aku
tersenyum lebar. Kuaduk gado-gadoku. Hei! Ke mana hilangnya nafsu makanku?
“Gue
baik-baik aja, Men. Lu di mana sekarang?”
“Lu
masih di Jakarta, kan? Gue di Jakarta sekarang. Sama Boss disuruh pegang kantor baru. Kantor lu di mana?”
“Menara
Daha.”
“Jangan
becanda lu, Yik!” suara Betmen seperti tersedak.
“Becanda
gimana sih, Men? Dari dulu kantor gue di Menara Daha. Lha, emang lu tahu Menara
Daha itu di mana?”
“Lantai
berapa?” seperti ada ‘nafsu’ dalam suara Betmen.
“Sembilan.”
“Gile
lu, Yik! Gue ngantor di lantai 17!”
“Haaah?
Uhuk!” ganti aku yang tersedak.
“Lu
lagi di mana sekarang?”
“Di
kantin Prima, lantai 2.”
“Yik!
Gue juga di Prima! Lu di manaaa?”
“Pas
di depan counter Mie Ayam Kasohor. Lu
di ma…. Halo? Halo?!”
Sambungan
dari seberang sudah diputus. Saat kuletakkan ponsel di atas meja, baru kusadari
5 pasang mata menatapku aneh. Hah! Aku jadi malu sendiri.
“Lu
temenan sama… Betmen?” wajah Fajar kentara sedang menahan tawa.
“Hehehe…
Temen kecil gue,” aku meringis.
“Gado-gado
lu….,” tunjuk Bara, “Abisin dulu.”
Aku
menggeleng. Tiba-tiba saja aku merasa kenyang.
“Buat
gue ya?” Gerdy langsung menyambar piringku tanpa ijin
“Dasar
perut karet lu, Ger!” aku ngakak. “Awas ketularan ebola gue!”
Saat
itu kulihat ada sosok tinggi besar berjalan agak tergesa ke arah meja kami yang
tepat berada di depan counter Mie
Ayam Kasohor. Kemeja biru tua yang lengan panjangnya digulung sampai di bawah
siku terlihat ‘indah’ menempel di tubuhnya. Dipadu dengan celana jeans berwarna pudar. Sempurna!
“Waaaw…
Macho, gila!” bisik Yussi.
Tapi
aku tertegun. Mata itu…. Dan dia tersenyum ke arahku. Betmen? Betmen?! Mendadak
aku gelagapan.
“Men?
Lu…?”
Tawanya
pecah. Dia sudah sampai di depanku.
“Yik…,”
tanpa rikuh dia langsung memelukku erat di depan teman-temanku. “Ini
bener-bener elu, Yik?” ucapnya dengan suara rendah. “Lu masih kecil mungil aja
kayak piyik!”
Terdengar
deheman riuh. Serta-merta Betmen melepaskan pelukannya. Baru aku tersadar. Di
kantin Prima kan lagi ramai!
“Eh,
guys,” mendadak aku kikuk. “Kenalin
ini Bet… eh, Driya, temen kecil gue.”
“Driya
apa Batman…? Gue mo jadi Catwoman-nya loooh…,” mendadak Nina jadi
centil (inget bayi lu di rumah, Buuu…).
Betmen,
eh… Driya tertawa lebar sambil menjabat tangan teman-temanku satu persatu. Dan
satu persatu pula mereka mengundurkan diri. Pertama Nina.
“Gue
cabut dulu ya, guys, mau peras ASI
nih!” Nina nyengir, ketahuan belangnya sebagai emak-emak.
Dan
terakhir Yussi, berbisik sekilas di telingaku, “Ada yang cemburu lho….”
Aku
hanya tertawa.
Entah
kenapa aku jadi melirik sekilas ke arah Bara. Hanya bisa kulihat punggungnya
yang kan menjauh. Tapi aku belum melupakan ekspresi wajahnya ketika berpamitan
tadi.
Datar.
Hm...
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #2
Hihi......koyokane bakalan lebih asoy ki.....
BalasHapusLanjooooot mbakyuuu!
good post mbak
BalasHapusaku permainan rasa Mbak Lis....bikin ketagihan aja....suka....lanjutnya mbak..ditunggu..
BalasHapusAsikk...
BalasHapusPiyik, Betmen, hehe..
Jadi penasaran
Saya suka...
BalasHapusWahhh, bakalan seru nih. Baru baca dari awal Mba Lis :)
BalasHapusWkkkk..penasaran....lanjutttttt
BalasHapusCerbung ke 3 yg kubaca karyamu jeng Lizzz....mengaduk rasa...lanjutttt
BalasHapus