Sudah lama Rimo menginginkan Kiji untuk
menjadi santapannya. Rimo adalah seekor harimau besar yang sangat galak.
Sedangkan Kiji adalah kijang yang paling lincah dan gesit yang hidup di sekitar
telaga di dalam hutan.
Selama ini belum pernah ada seekor pemangsa pun yang berhasil
menangkap Kiji. Rimo jadi penasaran. Ah,
masak cuma seekor kijang saja tak bisa kukalahkan? pikirnya.
“Ah, sudahlah,” kata Tigo, harimau yang
lain. “Daripada susah-susah menangkap Kiji, lebih baik menangkap yang lain. Kan
masih banyak hewan yang larinya tidak secepat Kiji.”
“Iya,” timpal Maco, adik Tigo. “Yang
penting kan kita bisa mendapat makanan.”
Tapi Rimo tetap pada pendiriannya. Aku harus bisa menangkap Kiji, tekad
Rimo.
* * *
Berkali-kali Rimo memburu Kiji, tapi
berkali-kali pula ia gagal. Kiji memang benar-benar kijang yang gesit. Larinya
kencang sekali. Rimo dibuatnya hampir kehabisan napas tiap kali mengejarnya dan
gagal menangkapnya.
Sebenarnya Rimo lapar sekali. Saat
beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, dilihatnya di balik gerumbul
semak Maco dan Tigo sedang asyik menikmati santapan mereka. Sejenak terbit air
liur Rimo.
Rupanya Tigo menyadari kehadiran Rimo.
Ia melambaikan cakarnya.
“Sini, Rimo,” ajak Tigo. “Maco dan aku
baru saja mendapat kerbau liar yang besar. Cukup untuk kita makan bertiga.”
“Iya, Rimo,” ucap Maco. “Makanlah!”
Tapi Rimo menolak. Ia tetap pada
keinginannya menangkap Kiji. Walaupun ia merasa lapar, tapi ditahannya rasa
lapar itu sekuat tenaga. Dan keinginannya untuk memburu Kiji makin kuat saja.
“Aku akan mengejar Kiji sampai dapat,”
geram Rimo.
Tigo dan Maco bertatapan sejenak.
Kemudian mereka sama-sama mengangkat bahu.
* * *
Kiji tahu bahwa Rimo mengincarnya terus.
Keadaan itu membuatnya makin berhati-hati. Ia selalu waspada akan keadaan di
sekelilingnya. Bahkan bau Rimo pun sudah dihafalnya betul.
Seperti juga siang ini. Kiji sedang
menghirup segarnya air telaga. Angin berhembus. Kepala dan telinga Kiji
langsung tegak. Ia mengendus aroma bahaya. Samar-samar ia bisa mencium bau
Rimo.
Huh,
belum menyerah juga rupanya harimau nekad yang satu ini, gerutu
Kiji dalam hati. Ketika aroma bahaya itu kian kuat tercium, Kiji langsung
berlari sekencang-kencangnya.
Benar saja! Rimo kemudian pontang-panting
mengejar Kiji. Tubuhnya yang besar tak mampu menandingi gesitnya tubuh Kiji
yang ramping. Kiji seenaknya saja menyelip ke sana-sini, meloncat kian kemari.
Di antara pepohonan, di antara rimbunnya semak belukar.
Makin lama Rimo makin jauh tertinggal.
Dengan napas yang hampir habis pula. Akhirnya Rimo cuma bisa tergolek lemas di
sela-sela rerimbunan semak. Ia lelah sekali. Dan juga sangat lapar. Sudah
berhari-hari ia tidak makan.
Sebenarnya banyak juga hewan lain yang
bisa dimangsanya. Mereka sebetulnya berada dalam jangkauan Rimo. Kemarin ada
segerombolan rusa yang melenggang santai di depan hidungnya. Tiga hari yang
lalu malah ada serombongan kerbau hutan yang gemuk-gemuk melintas di dekatnya.
Tapi semua itu sama sekali tidak menarik
perhatian Rimo. Yang ada dalam pikirannya cuma Kiji, Kiji, Kiji, dan Kiji. Pokoknya kalau tidak Kiji, aku tidak mau
makan, pikir Rimo keras kepala.
Tigo dan Maco sampai geleng-geleng
kepala melihat begitu besarnya keinginan Rimo untuk menangkap Kiji. Diam-diam
mereka juga prihatin melihat keadaan Rimo yang kian kurus kering.
“Sudahlah, Rimo,” kata Maco. “Makanlah
apa saja yang bisa kamu jangkau. Sulit sekali untuk menangkap Kiji.”
“Sadari itu, Rimo,” sambung Tigo.
Tapi Rimo tetap menggeleng dengan teguh.
Pokoknya Kiji! Kiji! Kiji! Titik!” seru
Rimo jengkel.
Rimo segera pergi meninggalkan kedua
temannya. Langkahnya gontai.
“Dia bisa mati kalau tetap memelihara
keinginannya itu,” bisik Tigo.
Maco menyetujuinya. “Ya, tapi mau
bagaimana lagi? Kamu kan tahu sendiri Rimo itu keras kepalanya minta ampun.”
* * *
Apa yang dikhawatirkan Maco dan Tigo
akhirnya menjadi kenyataan. Ketika mereka sedang berjalan ke telaga, mereka
menemukan Rimo tergeletak begitu saja di bawah sebuah pohon besar. Napas Rimo
tinggal satu-satu. Tapi ia masih bisa mengenali kedua temannya itu.
“Maco, Tigo, kaliankah itu?” bisik Rimo
hampir tak terdengar.
Maco dan Tigo mendekat. Mereka iba
sekali pada Rimo.
“Rimo, apa kamu benar-benar tidak mau
makan makanan selain Kiji?” tanya Tigo.
Rimo mengangguk lemah. “Sebenarnya aku
mau. Tapi sudah terlambat, kawan. Aku sudah tidak sanggup lagi.”
“Kami akan berburu untukmu,” ucap Maco.
“Kamu tunggu saja di sini.”
Maco dan Tigo langsung menghilang ke
balik rimbunnya perdu. Tak berapa lama mereka sudah kembali ke tempat Rimo
terbaring. Susah-payah mereka menyeret seekor rusa besar yang sangat gemuk.
Tapi rupanya sudah terlambat!
Rimo sudah tidak bernapas. Tubuh
kurusnya terbaring tak bergerak. Ia sudah mati.
“Rimo... Rimo...,” sesal Tigo. “Kamu ini
punya keinginan aneh-aneh saja.”
“Sudahlah, Tigo,” Maco berusaha
menghibur dengan suara sedih. “Seharusnya ia tetap makan makanan yang lain
sambil menunggu waktu yang tepat untuk menangkap Kiji.”
“Padahal hutan ini kan penuh dengan
makanan. Kan hutan ini isinya tidak Kiji saja,” Tigo masih juga menyesali nasib
Rimo.
Diam-diam Maco membenarkan ucapan Tigo. Ya, untuk apa melepaskan sesuatu yang sudah
pasti? pikir Maco. Hidup kan penuh
dengan pilihan, bukan hanya untuk bermimpi! Masih banyak hal lain yang bisa
dikerjakan untuk mewujudkan mimpi itu.
Tak ada hal lain yang bisa mereka
lakukan lagi untuk Rimo, kecuali menyantap hasil buruan mereka. Dan setelah
santapan itu habis, mereka kemudian meninggalkan Rimo dalam keheningannya.
* * * * *
Niat dan semangat ngga sesuai keadaan,... hehehehe... kasihan juga sih.
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak MM...
HapusBetul banget Mbak Lis, hidup bukan sekedar bermimpi. Met hari kartini ya bu
BalasHapusMaaf balesnya telat, Bu... Met hari Kartini juga... (plus 2 hari, hehehe...)
HapusMakasih singgahnya ya...
nice post mbak
BalasHapusMakasih kunjungan dan atensinya, Pak Subur...
Hapusuntuk apa melepaskan sesuatu yang sudah pasti?
BalasHapus---------
siyap tan! hhohoho.. :D
Ada yang sudah pasti kan?
HapusMakasih mampirnya, Mbak Putri...
Ta'bookmark meneh mba!
BalasHapusMonggo... Suwun yo, Nit...
Hapus