Belum lagi gema suara Papa hilang, aku sudah
tak sanggup lagi menahan debar-debar tak teratur yang mendadak muncul dalam
dadaku. Eyang Kakung akan tinggal di sini? Di rumah ini? Aku hanya sanggup
terhenyak. Ketika tanpa sengaja kutatap Mama, wajah Mama tak menampakkan
perubahan apa-apa. Tetap tenang dan teduh seperti biasanya.
“Mungkin kenyamananmu akan berkurang, Vi...”
Aku tersentak mendengar suara Papa. Kutatap
laki-laki itu.
“Tapi untuk sementara kita tak punya pilihan
lain.”
Dan yang bisa kulakukan kemudian hanyalah
mengangguk sambil mencoba untuk tersenyum. Wajah Papa kulihat jadi lebih lega
karenanya. Aku tak bisa melakukan hal lain kecuali berusaha menerima semua yang
akan terjadi. Sekaligus menebak-nebak bagaimana nasibku bila ada Eyang di rumah
ini.
* * *
Eyang Putri, ibu dari Papa, meninggal hampir
lima bulan yang lalu. Sepeninggal Eyang Putri, Eyang Kakung tinggal sendirian
di rumahnya bersama seorang asisten rumah tangga. Papa punya satu abang dan
satu adik. Abang Papa tinggal di Sulawesi Utara, sedangkan adik Papa ikut
suaminya bertugas di Korea Selatan. Satu-satunya anak yang paling dekat cuma
Papa.
Eyang Kakung tak lagi punya pilihan lain
ketika dihadapkan pada keadaan harus tinggal dengan siapa. Kondisi kesehatan
Eyang banyak menurun setelah kepergian Eyang Putri. Beliau membutuhkan lebih banyak
perhatian. Dan juga kehangatan sebuah keluarga.
Tapi aku benar-benar tak berani membayangkan
apa jadinya aku bila Eyang ada di rumah ini. Aku sudah cukup besar ketika Mama
menikah dengan Papa. Waktu itu terjadi, usiaku sudah sepuluh tahun. Walaupun
aku belum bisa memahami sepenuhnya, tapi aku tahu kalau kedua orangtua Papa,
terutama ayahnya, sangat menentang pernikahan Mama dengan Papa.
Tentu saja! Ketika Mama dan Papa menikah,
Papa masih berusia 28 tahun dengan status single
se-single-single-nya. Sedangkan Mama
sudah berusia 36 tahun dengan status janda satu anak. Ketika Febry, adikku,
lahir setahun kemudian, kedua Eyang itu mulai berubah sikap terhadap Mama.
Eyang Putri juga kurasakan sudah mulai bisa menerima keberadaanku. Tapi tidak
Eyang Kakung. Beliau terlihat sangat menyayangi Febry, tapi sama sekali tak
pernah mengacuhkanku.
Papa baik padaku. Sangat baik. Juga
menyayangiku. Sama seperti Papa menyayangi Febry. Aku jadi merasa tak apa-apa
walaupun aku tahu aku tak pernah berarti apa-apa bagi Eyang Kakung. Toh tinggalnya
jauh. Eyang ada di Surabaya, sedangkan kami ada di Bandung.
Tapi minggu depan? Ketika Eyang sudah berada
di sini? Aku tak sanggup memikirkannya.
* * *
Mama menatapku dengan sorot mata penuh
permintaan maaf. Aku hanya tersenyum sambil merangkul Febry.
“Mama titip Febry ya, Vi...”
“Iyaaa...”
“Febry jadi anak manis ya?” Mama menatap
Febry. “Harus nurut sama Kakak.”
Febry mengangguk mantap.
Harus mengurus Febry yang baru berumur 5
tahun selama Mama pergi beberapa hari bukan lagi hal yang aneh buatku.
Pekerjaan Mama sebagai seorang dosen terkadang menuntutnya harus pergi beberapa
hari ke luar kota. Begitu juga Papa. Malah kadang-kadang keduanya harus
bersamaan pergi ke tempat berbeda pada waktu yang sama. Tak pernah jadi masalah
buatku. Febry adalah adik paling manis yang pernah kupunya. Tak pernah
merepotkan.
Papa mencium keningku dan Febry sebelum
pergi. Hari ini Papa dan Mama akan bertolak ke Surabaya untuk menjemput Eyang
dan ART-nya. Rumah di Surabaya akan dikontrak orang lain sehingga ART Eyang pun
harus pergi juga dari sana. Untungnya, dia mau ikut tinggal bersama kami.
“Kak...”
Kutatap Febry yang menarik tanganku.
“Beli es krim yuk!”
“Hah?” aku tertawa menatap binar di mata
Febry. “Es krim? Memangnya kamu punya uang?”
Febry sambil tersenyum lebar. Ia mengeluarkan
sesuatu dari kantong celana pendeknya. Selembar uang seratus ribuan. Aku sempat
melongo ketika melihatnya. Ia melambaikan uang itu padaku.
“Kamu dapat uang dari mana?” aku mengerutkan
kening.
“Dikasih Papa tadi... Buat beliin Kakak es
krim. Boleh beli berapa aja katanya. Tapi harus Kakak yang bawa uangnya, nggak
boleh aku...”
Aku terperangah. Ah, Papa...
“Yuk!”
Febry sudah menarikku keluar. Panas terik matahari
Minggu siang segera menyapa begitu kami keluar rumah. Dari dalam rumah, Teh
Yayah berteriak memanggil kami.
“Neng Via sama A’a teh mau ke mana?”
“Keluar sebentar, Teh!” jawabku agak keras.
“Panas-panas begini?”
Aku hanya sempat mengacungkan jempol.
“Kita jalan aja ke minimarket ya, Feb? Atau
mau naik ojek?”
“Jalan aja deh, Kak! Eh, Kak, ke KoyiKoyi aja
yuk!”
“Yeee...,” aku tergelak. “Ngomong aja kalau
kamu mau jajan yang enak-enak. Pakai bilang mau beliin Kakak es krim segala.”
Febry nyengir lucu. Dan ke sanalah kami
menuju. KoyiKoyi, sebuah kafe mungil di ujung jalan blok kompleks tempat kami
tinggal, dengan aneka jajanan dan es krim yummy yang menunggu untuk dipilih ada
di dalamnya.
* * *
Aku baru saja membuka pintu rumah ketika
suara keras itu menyambar telingaku begitu saja. Tas kertas berisi kotak
bekalku hampir saja terjatuh saking kagetnya aku. Aku hanya bisa terperangah
menatapnya. Wajah Eyang sama sekali tak sedap dilihat. Garang. Membuatku
bergidik seketika.
“Dari mana saja kamu jam segini baru
pulang?!”
Aku melongo sejenak. Tanpa melihat pun aku
sudah tahu jam dinding menunjukkan hampir jam setengah enam sore sekarang. Tiap
hari Kamis juga aku pulang jam segini, rapat penerbitan buletin dua mingguan
seusai sekolah.
“Mentang-mentang bapak-ibumu ndak ada di
rumah, kamu pulang sekolah ngeluyur dulu?!”
Belum sempat aku menjawab, Teh Yayah sudah
berlari dari belakang.
“Eneng teh
tiap Kamis ada kegiatan di sekolah atuh,
Juragan,” ucap Teh Yayah dengan gagah berani. “Sudah biasa pulang jam
segini...”
“Kamu ndak punya mulut buat menjawab?! Sampai
harus pinjam mulut pembantu?!” Eyang masih melotot padaku dan menggemakan suara
menggelegarnya.
Astaga...
Hampir saja airmataku runtuh karenanya.
Sebandel-bandelnya aku, tak pernah Mama atau Papa membentak-bentakku seperti
itu. Aku cukup diajak bicara baik-baik, maka aku akan segera mengerti. Mamaku
mungkin pernah gagal membina hubungan baik dengan papa kandungku, tapi Mama tak
pernah gagal mendidikku.
Ketika aku sudah tak tahu lagi apa yang bisa
kulakukan, muncul Febry sambil membawa papan scrabble-nya. Ia segera menggandeng tangan Eyang dan menariknya
lembut.
“Eyang, sambil tunggu Maghrib, kita main scrabble yuk!”
Dan Eyang segera berlaku seperti kerbau
dicocok hidungnya. Beliau menurut saja ketika Febry menariknya ke teras depan.
Kuhela napas panjang.
“Sudah atuh,
Neng...,” Teh Yayah merangkul bahuku. “Juragan mah belum mengerti kegiatan Eneng. Eneng teh baiknya sekarang mandi. Atau mau minum dulu?”
Aku menggeleng dan segera menghilang ke dalam
kamarku.
* * *
Kemarin-kemarin, sebelum Eyang datang ke
rumah ini, saat makan malam adalah saat paling menyenangkan mendekati
penghujung hariku. Sesibuk apapun Mama dan Papa, mereka selalu menyediakan
waktu untuk menikmati makan malam bersamaku dan Febry. Selalu ada canda-tawa
dan begitu banyak cerita mengalir di sana. Sesederhana apapun makanan yang
sudah disiapkan Teh Yayah, selalu terasa enak karena kami menikmatinya
bersama-sama dengan hati gembira.
Tapi akhir-akhir ini semuanya berubah.
Terutama untukku. Saat makan malam bukan lagi jadi momen yang menyenangkan. Aku
lebih banyak diam karena tak tahu harus mengatakan apa. Febry masih berceloteh
seperti biasanya dan ditanggapi Eyang dengan sangat baik. Dan aku? Aku tak
berani mencoba buka mulut daripada aku sakit hati sendiri. Toh aku sudah tahu
seperti apa sikap Eyang padaku.
Kutangkap tatapan sedih Papa, tapi aku
berusaha mengabaikannya. Aku hanya berusaha menikmati makan malamku dengan
manis. Dan sesudahnya, aku akan menghilang ke dalam kamarku dengan alasan
banyak PR atau harus belajar untuk ulangan esok hari. Dua kegiatanku yang
jarang diganggu Mama atau Papa.
Hanya saja malam ini dengan sengaja Papa
meminta agendaku. Sialnya, tak ada PR yang harus kukerjakan ataupun bahan
ulangan yang harus kupelajari. Sambil mengembalikan agenda itu, Papa menatapku.
“Pasti kamu capek belajar terus, Vi,” ucapnya
halus. “Kita ke KoyiKoyi yuk! Kamu sama Papa aja.”
Dan aku tak punya alasan untuk menolaknya.
Jadilah kami keluar hanya berdua saja. Berjalan kaki. Menikmati malam menjelang
di bawah naungan bintang-bintang di langit hitam yang tampak bersih dari awan.
“Sejak ada Eyang, kamu jadi lebih pendiam,”
gumam Papa.
Aku hanya mengangkat bahu.
“Maafkan Papa, Vi. Papa nggak ada di rumah
ketika kamu butuh perlindungan.”
Seutuhnya aku menangkap nada kesedihan dalam
suara Papa. Kuhela napas panjang.
“Aku nggak apa-apa kok, Pa...”
“Semua salah Papa, Vi. Belum berhasil memberi
pengertian pada Eyang soal Mama dan kamu. Terutama soal kamu.”
“Eyang baik sama Mama,” gumamku. “Itu sudah
lebih dari cukup buatku, Pa.”
Papa merengkuh bahuku. Kami terus melangkah
dalam diam. Sialnya, KoyiKoyi sudah mau tutup. Akhirnya kami melanjutkan
langkah ke arah warung jagung bakar tak jauh dari KoyiKoyi.
Sambil menikmati jagung bakar aneka rasa dan
susu coklat hangat, kami mengobrol tentang banyak hal. Sejujurnya, aku merasa
banyak kehilangan momen untuk bercerita sejak Eyang ada di sini. Dan menjelang
malam ini, semuanya mengalir begitu saja. Aku sungguh menikmatinya.
“Eh! Novia sama Om ternyata nge-date di sini! Karena KoyiKoyi tutup
yaaa?”
Aku menoleh mendengar suara jahil itu. Tawa
Papa segera pecah melihat siapa yang muncul. Ada si jahil Aisha, Arfen, Dina,
Yoga, dan Defry. Semuanya teman satu gank-ku
sejak SMA kelas 1. Sekelas terus hingga sekarang kami ada di kelas 3. Segera
saja kelimanya merecoki acara kencanku dengan Papa.
“Kita tadi nyamperin ke rumahmu,” ucap Defry
sambil mengunyah tahu isi yang dicomotnya dari piring gorengan di atas meja.
“Mumpung kita kosong malem ini. Nggak ada PR, nggak ada ulangan. Lumayan kan
nongkrong bentar biar kita nggak stress menjelang UN.”
“Tapi astaga, Vi!” timpal Dina sambil
membelalakkan matanya. “Kakekmu sangar bener! Langsung deh kita kabur.”
Aku segera memelototinya sambil memberi kode,
melirik sekilas ke arah Papa. Dina segera menyadari kesalahannya. Ditatapnya
Papa dengan takut-takut.
“Maaf, Om,” Dina meringis. “Nggak sengaja.”
“Hehehe... Nggak apa-apa...,” jawab Papa
dengan santai.
Jadilah kami sibuk mengobrol bertujuh. Papa
memang cukup akrab dengan teman-temanku ini. Kalau kebetulan mereka main ke
rumah dan Papa-Mama ada, Papa-Mama selalu menyempatkan diri nimbrung ngobrol
dengan kami.
Derai tawa yang berkali-kali pecah terasa
menghangatkan hatiku. Tapi entahlah. Aku merasa belum bisa lepas dari jerat
kegalakan Eyang. Aku tak tahu kesalahan apa lagi yang akan kuperbuat besok.
* * *
Dan semuanya terasa sudah lebih dari cukup buatku.
Baru saja aku hendak mengganti seragam
sekolahku, terdengar Febry menangis keras dari luar kamarku. Buru-buru aku
keluar dan mendapati Febry tengah berurai airmata dengan lutut kiri berdarah.
“Febry... Kamu kenapa?”
Aku berlutut dan memeluknya.
“Jatuh di lapangan, didorong Brian. Kena
batu. Sakit, Kak...”
Aku segera meminta Teh Yayah mengambil kotak
P3K. Sambil berjongkok membersihkan dan mengobati lutut Febry, aku bertanya
padanya, dengan halus.
“Kamu ini, bukannya biasanya bobok siang?
Kenapa sekarang jadi sering main di luar sih?”
“Sama Eyang boleh kok.”
Aku menghela napas panjang.
“Febry kenapa?”
Hampir saja aku terjengkang mendengar suara
itu.
“Jatuh, Eyang...,” Febry setengah mengadu.
“Sudah... Laki-laki ndak boleh cengeng.”
Aku merapikan kembali kotak P3K setelah
selesai dengan Febry. Ketika aku hendak beranjak, sebuah suara keras mendarat
di telingaku.
“Kamu itu sudah besar! Jaga adiknya sendiri
saja ndak bisa! Bisamu apa?! Cuma ngeluyur?! Hahahihi sama teman-temanmu?!
Makan?! Tidur?! Mendekam di kamar pura-pura belajar?!”
Kali ini aku sudah tak tahan lagi. Kutatap
matanya dengan keberanian entah datang dari mana.
“Jaga adik? Sebelum Eyang datang ke sini,
Febry sudah tahu kalau pulang sekolah dan selesai makan dia harus tidur siang.
Ada saya atau tidak, dia sudah paham. Kenapa bisa dia berkeliaran di lapangan
siang-siang begini? Bukan saya yang kasih ijin. Dan semuanya tentang saya
memang selalu tak pernah benar di mata Eyang. Salahkan saja saya terus! Lakukan
sampai puas!”
Dan beberapa detik kemudian pintu kamarku
sudah terbanting dengan keras sekaligus kukunci dari dalam. Aku tak ingat lagi
untuk mengamati reaksi Eyang. Aku juga berusaha abai pada Febry yang sekarang
menangis lagi. Entah kenapa.
Pelan, kubuka laci paling bawah di rak
bukuku. Ada sebuah kotak sepatu di situ. Aku kemudian mengambil dan membukanya.
Ada banyak sekali lembar-lembar uang sepuluh ribu dan lima ribuan di dalamnya.
Semuanya sisa uang sakuku yang kukumpulkan tanpa aku tahu suatu saat akan
berguna untuk apa. Dan kini, kurasa aku memerlukannya. Jumlah totalnya hampir
Rp 600.000,00. Tepatnya, Rp 585.000,00.
Beberapa detik kemudian laptopku sudah
terbuka. Kuketikkan sesuatu di laman Google. Dan setelah aku mendapatkan apa
yang kuinginkan, aku pun mulai bebenah.
* * *
Langit sudah gelap ketika sedan yang
kutumpangi memasuki kota Bogor. Aku sesungguhnya asing dengan kota ini. Tapi
aku sudah tak mampu lagi memikirkan tempat lain.
Seharusnya sepulang sekolah tadi aku harus
mengikuti rapat penerbitan buletin. Hanya saja sudah kuniatkan untuk mangkir.
Aku segera cabut begitu bel pulang sekolah berbunyi tepat jam dua siang. Tempat
yang kutuju cuma satu, kantor Dolphin Transport, yang jaraknya tak sampai 100
meter dari sekolahku. Entah memang sudah nasib ataukah keberuntungan sedang ada
di pihakku, masih tersisa satu tempat duduk kosong pada waktu pemberangkatan
terdekat, yang harus kutukar dengan 18 lembar uang sepuluh ribuan milikku. Dan
aku sudah duduk manis di dalam sedan travel
door to door itu kurang dari sejam kemudian. Ikut meluncur menjemput dua
orang penumpang lagi sebelum meluncur ke Bogor.
Dan aku menarik napas lega ketika sedan
travel itu memasuki gerbang perumahan Puri Flamboyan. Sampai di blok dan nomor
rumah yang kuhafalkan betul sebelumnya, aku pun turun.
Rumah apik di sudut itu tampak sepi, tapi
perasaanku mengatakan bahwa ada kehidupan di dalamnya. Kalaupun pintu tak
terbuka untukku, aku masih punya satu tempat lagi yang bisa kutuju, walau aku
tak tahu harus dengan cara apa mencapainya.
Maka aku pun memberanikan diri memencet bel.
Dua kali, sebelum sesosok tinggi besar yang kukenal betul itu keluar dan
menatapku dengan mulut ternganga.
“Om...,” gumamku. “Met sore...”
“Astaga... Novia!”
Laki-laki setengah baya itu buru-buru membuka
pintu pagar untukku.
“Sama siapa kamu, Nak?”
Aku hanya sanggup tersenyum tanpa bentuk.
“Kamu sendirian?” ia menatapku tak percaya.
Aku mengangguk.
“Ayo, masuk!” ia meraih bahuku. “Tantemu
pasti kaget lihat kamu.”
“Siapa, Pa?”
Melihat si pemilik suara itu melongok dari balik
pintu depan, aku pun segera menghambur mendekatinya.
“Tante...”
“Ya, Allah... Noviaaa...”
Dan aku pun tenggelam dalam pelukan
hangatnya. Menuntaskan tangisku yang sudah tertahan sekian lama.
* * *
“Iya, aku tahu kalau orangtua papamu nggak
menyetujui pernikahan papamu dengan mamamu, tapi aku nggak menyangka kalau
kejadiannya bisa seperti ini...,” Tante Daisy merangkum pipiku dalam telapak
tangannya. “Oalah, Vi... Vi... Kasihan banget kamu...”
“Jadi ceritanya kamu ini minggat?”
Aku hanya bisa menatap Om Hima sekilas.
Setengah mati menahan malu.
“Ya ndak apa-apa sih, kalau minggatnya ke
sini,” lanjut Om Hima sambil mengelus kepalaku, tersenyum.
“Boleh ya, Om, Tante, aku menginap di sini?”
ucapku, sememelas mungkin.
“Tentu saja boleh,” jawab Tante Daisy. “Tapi
sekolahmu gimana?”
“Ya aku bolos...”
Tante Daisy menatapku. Terlihat serba salah.
Ya, aku tahu. Tak lama lagi aku akan
menjalani UN. Semua pelajaran di sekolah sudah selesai sejak lama. Hanya
tinggal mengerjakan latihan soal saja kegiatanku belakangan ini di sekolah. Aku
juga bukan murid yang bego-bego banget sampai berpotensi terpeleset di UN.
“Gimana kalau kita bikin kesepakatan?”
Aku menatap Om Hima, tak mengerti.
“Jadi, kamu boleh menginap di sini, sampai
kamu tenang, tapi papa-mamamu harus tahu. Setidaknya, biarkan mereka tahu kamu
baik-baik saja di sini. OK?”
Sejujurnya aku tak setuju. Ini sih bukan
minggat tak terlacak namanya! Minggat kok posisiku diketahui secepat itu?
“Tante sama Om ndak mau lho, dituduh menculik
anak gadis orang lain...,” lanjut Om Hima.
Astaga... Tampaknya aku memang tak punya
pilihan lain.
* * *
(Widanto)
Sesungguhnya aku mulai pusing memikirkan pola
hubungan Bapak dengan Novia. Di satu sisi, aku mengerti betul apa harapan yang
selama ini sudah dipelihara dan dipupuk Bapak atas aku. Di sisi lain, aku
menyayangi Novia seperti aku menyayangi Febry, utamanya aku mencintai mama dari
anak-anak itu.
Membawa Bapak untuk tinggal di rumah kami
betul-betul terlihat seperti aku mengorbankan Novia. Mungkin memang betul
seperti itu. Sikap anti Bapak terhadap Novia sungguh luar biasa. Bahkan
cenderung kekanakan di mataku. Tapi aku benar-benar tak punya pilihan lain.
Apalagi Bapak pun pada akhirnya bersedia untuk tinggal bersamaku di sini.
Dan Novia, dengan kekuatannya yang luar
biasa, selama ini hanya diam menerima semua perlakuan dan ucapan Bapak padanya.
Ia tak pernah mengadu padaku ataupun pada mamanya. Sekali pun! Tapi aku toh
masih punya mata dan telinga yang tertinggal di rumah ini. Mata dan telinga
Yayah. Juga mata dan telinga Mbok Gayem.
Mbok Gayem adalah abdi yang setia dari Bapak
dan almarhum Ibu. Tapi toh kesetiaan itu tak pernah menutup nuraninya untuk
mengadu padaku tentang apa saja yang sudah diucapkan Bapak pada Novia. Semua
ucapan tak enak yang terlontar saat aku atau Windy tak ada di rumah.
Kalau pun aku ‘menyidang’ Bapak atas semua
yang sudah dilakukannya pada Novia, aku justru takut efeknya akan lebih berat
buat Novia. Aku tak begitu takut dicap durhaka bila harus menegur bapakku
sendiri. Bukankah semua muaranya ada pada sikap Bapak sendiri? Hanya saja, aku
harus memikirkannya jutaan kali sebelum melakukan itu.
Entahlah. Tapi rasanya apapun yang harus
kulakukan, seakan memang harus mengorbankan salah satunya. Dan aku sungguh tak
tahu, harus memilih yang mana. Harus memilih siapa.
* * *
Hal yang paling kuharapkan setiap pulang dari
kampus adalah senyum ceria anak-anakku. Juga senyum manis Windy. Seluruh
keletihan dan penat yang menderaku pasti akan hilang lenyap ketika aku
mendapatkan apa yang kuinginkan itu.
Semuanya terasa tak lengkap lagi akhir-akhir
ini. Masih ada senyum manis Windy. Masih ada tawa Febry. Tapi aku kehilangan
keceriaan Novia. Dan itu sungguh-sungguh menyiksaku.
Ia ada, hadir, tapi seolah tak terjangkau
lagi olehku. Tatapan matanya terlihat kelam dan wajah datarnya sungguh
membuatku sakit. Apa yang sudah kuperbuat terhadapnya? Dan semua jawabannya
atas tanyaku terdengar begitu semu. Pasti seperti itu juga didengarnya
pertanyaanku. Serba semu. Sebetulnya sudah tahu sama tahu. Tapi seolah kami
sudah tak memiliki bahan lagi untuk dibicarakan.
Dan langkah Febry yang terpincang-pincang ketika
menyambutku pulang kerja hari ini, karena sebelah lututnya terluka, membuat
hatiku seolah hilang. Makin terasa hilang ketika dengan berbisik ia mengadukan
pertengkaran ‘Kakak’ dengan ‘Eyang’. Hal yang kukhawatirkan terjadi juga. Novia
tampaknya sudah benar-benar kehilangan kesabaran.
“Papa jangan marah sama Kakak ya?” mata Febry
tampak mengaca ketika menatapku. “Kakak kan masih sekolah waktu Febry kabur
nggak tidur siang. Tapi Eyang kasih ijin sama Febry. Tadi juga Kakak tegur
Febry sambil ngobatin ini,” Febry menunjuk lututnya. “Udah gitu malah Eyangnya
salah-salahin Kakak. Kakaknya jadi marah.”
“Sekarang Kakak mana?” tanyaku sambil mencium
kening Febry.
“Ada di kamar.”
Dan pintu kamar Novia tak juga terbuka walau
aku mengetuknya berkali-kali sambil memanggil namanya. Juga ketika mamanya
pulang dan melakukan hal yang sama.
Ketika aku menatap Windy, aku menangkap
kesedihan luar biasa melompat keluar dari dalam matanya. Aku tergugu. Seutuhnya
Novia adalah fotokopi Windy. Kesabarannya, kecerdasannya, kesantunannya. Semua
yang bisa membuat seorang ayah sepertiku jatuh cinta.
Kurasa, saat inilah aku harus bicara pada
Bapak. Aku sudah tiba di ujung jalan buntu. Dan aku tak punya pilihan lain.
* * *
“Pak, boleh aku minta tolong?”
Bapak menatapku.
“Berhentilah menyalahkan Novia.”
Bapak masih menatapku.
“Kalau Bapak mau menumpahkan semua kemarahan
Bapak, lakukan padaku, jangan pada Novia.”
Bapak mengalihkan tatapannya.
“Aku tahu sudah menghancurkan beberapa
harapan Bapak. Tapi apa bedanya sekarang, Pak? Aku punya karir yang lebih dari
cukup kokoh menunjang seluruh kehidupanku, aku punya keluarga yang harmonis,
aku punya istri yang baik dan setia, aku punya anak-anak yang cerdas dan manis,
aku punya kehidupan yang menyenangkan, aku punya rumah yang hangat, aku bahagia
di dalamnya. Menurut Bapak, apa lagi yang kurang?”
Bapak menghela napas panjang. Diatatapnya
aku. Tajam.
“Awalanmu yang salah!” ucapnya dingin. “Kamu
bisa memperoleh yang jauh lebih baik kalau saja kamu mau membuka mata!”
Tanpa sadar aku menggelengkan kepala.
“Masih tentang status janda Windy? Umurnya
yang lebih tua daripada aku? Pak... Pak...,” aku menggelengkan lagi kepalaku. “Kalau
memang jodohku itu Windy, mau bilang apa? Apa ada jaminan bahwa aku bakal lebih
bahagia kalau dulu menikah dengan gadis yang umurnya di bawahku?”
Bapak mendengus. Terlihat tak puas. Tapi
sudah kepalang basah. Aku enggan mengalah lagi kali ini.
“Pak, Bapak punya anak perempuan. Seandainya
Mimi berada di posisi Windy. Harus mengalami kegagalan walaupun itu amit-amit.
Lantas suatu saat ada laki-laki lebih muda yang mau menerima dia seutuhnya
bersama Kirana. Tapi kemudian mertuanya berlaku buruk pada Mimi dan Kirana,
apakah kira-kira Bapak sebagai ayahnya Mimi dan eyangnya Kirana akan terima?”
Bapak tercenung. Lama. Aku membiarkannya
tenggelam sejenak dalam alam pikirannya sendiri. Ketika kulihat wajah Bapak
mulai mengendur, aku kembali melancarkan ‘seranganku’.
“Pak, seandainya Bapak memang tak pernah bisa
menerima Novia sebagai cucu Bapak sendiri, setidaknya jangan sentuh dia dengan
ucapan-ucapan Bapak yang menyakitkan. Untuk anak sepantaran Novia, dia jauh lebih
dewasa pola pikirnya daripada teman-teman seumurnya. Aku kenal
sahabat-sahabatnya. Mereka anak-anak yang baik. Aku lebih senang mereka
menjadikan rumah ini sebagai markas daripada mereka keluyuran ke mana-mana.
Mereka sering belajar bersama di sini. Semuanya itu positif buat Novia.”
Setelah terdiam cukup lama, kali ini Bapak
menatapku. Dengan mata mengaca.
“Aku kacau setelah ibumu tiada,” ucap Bapak.
Patah. “Aku kecewa kenapa dia yang diambil duluan oleh Tuhan. Kenapa bukan aku?
Aku kecewa ketika kamu justru lebih memilih janda daripada gadis. Aku kecewa
ketika Rangga lebih memilih untuk mengikuti istrinya ke Manado daripada
meneruskan karir menanjaknya di Jakarta. Aku kecewa ketika Mimi menjatuhkan
pilihannya pada Reza yang harus sering berdinas bertahun-tahun di luar negeri
sehingga satu-satunya anak perempuanku berada begitu jauh dari aku. Aku kecewa
ketika...,” suara Bapak melemah, ”...ketika mendapati kenapa aku masih saja
memelihara kekecewaan itu walaupun aku bisa melihat seutuhnya kalau kalian
sudah bahagia dengan kehidupan kalian masing-masing. Walaupun aku bisa melihat
betapa damainya wajah ibumu ketika pergi dengan tenang dalam pelukan cintaku.”
Dan laki-laki sepuh itu tersedu dalam pelukanku. Aku pun tak bisa menahan lagi
airmataku yang terus mengalir.
Ke mana saja aku selama ini ketika Bapak
tenggelam dalam lautan kecewanya? Apa yang kulihat sehingga aku seolah menutup
mata atas ketidakberdayaan Bapak mengatasi semua rasa kecewanya?
“Pak,” bisikku, “maafkan aku yang gagal
memahami Bapak. Maafkan semua jalan hidupku yang sudah kuambil yang bagi Bapak
salah. Aku...”
“Aku yang salah, Dan... Aku yang salah,”
Bapak menciumi kepalaku. “Ndak pernah mengakui bahwa kalian sudah memilih jalan
yang benar dan kalian bahagia karenanya. Aku bodoh, Dan, ndak mau ikut larut
dalam kebahagiaan yang kalian ciptakan dan nikmati.”
Kupeluk lagi Bapak.
“Dan aku berdosa sudah menyakiti Novia,”
bisik Bapak lagi. “Mengingkari hatiku sendiri, yang sebenarnya mengatakan bahwa
dia adalah cucu yang sempurna.”
Dan aku pun luluh dalam ‘pengakuan dosa’
Bapak. Pun ketika dengan suara bergetar Bapak mengucapkan permintaannya.
“Aku ingin minta maaf pada Novia, Dan.
Kira-kira dia mau ndak memaafkanku?”
“Pasti mau, Pak... Tapi ini sudah malam. Via
juga masih ngambek. Bapak istirahat saja dulu. Besok pagi masih ada waktu.”
Bapak mengangguk dengan wajah terlihat lebih
cerah.
* * *
Sayangnya Novia sudah berangkat ke sekolah
ketika Bapak masih mandi. Bahkan jatah sarapannya pun tak disentuhnya. Biasanya
ia berangkat bersamaku atau mamanya. Mana saja yang harus berangkat paling
pagi. Dari Yayah, Windy dan aku baru tahu kalau Novia dijemput Defry yang
rumahnya hanya selang tiga rumah dari sini.
Bapak berusaha menyembunyikan rasa kecewanya
di balik senyum. Tampaknya Bapak sudah sumarah
dengan apa yang akan terjadi. Entah Novia memaafkannya atau tidak nanti,
kelihatannya Bapak memang benar-benar ingin minta maaf.
“Via pulang agak sore hari ini, Pak,” ucap
Windy. Ia memang sudah kuberi tahu isi pembicaraanku semalam dengan Bapak.
“Ndak apa-apa,” senyum Bapak. “Aku tunggu.”
“Eyang,” suara Febry menyeruak begitu saja di
antara kami. “Eyang jadi anterin Febry ke sekolah?”
“Jadi dong...,” Bapak mengacungkan jempolnya.
“Tapi habisin sarapan dulu ya?”
Kulihat Windy menghembuskan napas lega.
Hampir tak kentara. Wajahnya pun terlihat jauh lebih cerah daripada beberapa
hari belakangan ini. Beberapa saat kemudian Bapak pergi menggandeng Febry,
berangkat ke sekolah TK yang letaknya hanya di balik punggung rumah kami.
* * *
Beberapa panggilan telepon terpaksa kuabaikan
karena aku masih harus konsentrasi dengan setir mobilku. Maghrib sudah terlewat
beberapa belas menit yang lalu. Sepertinya Windy juga masih di jalan. Hari
Kamis begini kedatangan kami biasanya cuma terpaut bilangan menit.
Begitu Yayah membuka pintu pagar dan aku
meluncurkan mobil masuk ke garasi, Bapak menyongsongku dengan wajah diliputi
kekhawatiran. Aku kemudian keluar dari mobil dengan sedikit mengerutkan kening.
“Ada apa, Pak?” tanyaku langsung, menanggapi
gelagat Bapak yang terasa tidak seperti biasanya.
“Novia kok belum pulang ya, Dan?” ucap Bapak,
setengah menggumam.
Kulihat arlojiku. Hampir setengah tujuh.
Kutekan alarm mobilku. Pada saat yang bersamaan mobil Windy meluncur masuk juga
ke garasi. Kutunggu sampai ia keluar dari mobilnya.
“Papa baru masuk?” tanyanya, melemparkan
senyum manisnya.
Aku mengangguk. Bapak menatap kami
bergantian.
“Gimana ini lho, Novia kok belum pulang?”
tegas Bapak sekali lagi.
“Lho, sudah jam segini?” Windy mengerutkan
kening.
Sebersit pikiran tak enak langsung masuk ke benakku.
Apakah karena kejadian kemarin siang? Sesungguhnya, aku sudah seharian ini
mengkhawatirkan Novia yang wajahnya belum kulihat lagi sejak kemarin pagi
ketika aku mengantarnya ke sekolah. Kemarin seharian dia betul-betul ngambek
dan tidak mau keluar kamar setelah marah pada Bapak. Pagi tadi pun ia berangkat
ke sekolah tanpa berpamitan.
“Sudah, masuk dulu,” putusku kemudian.
Selesai mandi dan menunaikan kewajiban sholat
Maghrib yang masih terkejar, barulah kekhawatiran kami benar-benar mengerucut.
Novia belum juga pulang. Semua teman se-gank-nya
betul-betul tidak ada yang tahu ia ada di mana. Hanya saja dari Aisha, Windy
mendapat informasi bahwa Novia mangkir rapat buletin seusai jam sekolah.
Bapak menatapku dengan penyesalan penuh
berlumur dalam matanya. Belasan misscall
dari Bapak ke ponselku betul-betul menggambarkan kekhawatiran Bapak.
“Aku yang salah... Aku yang salah...,” gumam
Bapak berkali-kali.
Sia-sia aku maupun Windy menghubungi ponsel
Novia. Kelihatannya ponselnya mati atau sengaja dimatikan. Kepanikan mulai
muncul di wajah Windy. Dan aku sendiri benar-benar tak tahu bagaimana harus
menenangkannya karena aku pun tengah dilanda kepanikan yang sama.
Pada saat itu ponselku berbunyi. Dan aku
hanya bisa mengerutkan kening ketika melihat dari siapa panggilan itu berasal.
Kujawab saja panggilan itu.
“Halo, met malem, Mas Hima...”
“Halo, Dan!” terdengar sahutan dari seberang
sana. “Gimana kabarnya?”
“Mm...,” aku kesulitan menjawabnya.
“Ada apa, Dan? Kalian kehilangan sesuatu?”
“Maksud Mas Hima?” kerut di keningku makin
dalam.
“Ada sesuatu atau seseorang yang hilang dari
rumah kalian?” ia bertanya lagi dengan nada sabar.
“Euh...,” aku menghembuskan napas panjang. “Novia
minggat, Mas. Tapi gimana Mas Hima...”
“Dia ada di sini.”
“Hah?!” aku terjingkat seketika. “Di situ? Di
Bogor? Gimana bisa?”
“Caranya nggak penting. Yang penting dia aman
di sini.”
Seketika aku menyandarkan punggungku ke sofa
dengan sejuta perasaan lega. Windy meremas bahuku. Aku menggoyangkan sedikit
telapak tanganku.
“Sebentar, Mas, aku pindah ke mode speaker ya?”
Sedetik kemudian aku meletakkan ponselku di
atas meja dengan kondisi speaker on.
“Mas, betul Novia di situ?” Windy
mencondongkan tubuhnya ke arah meja.
“Iya...”
“Dia baik-baik aja kan?”
“Baik...
Sementara biar tenang dulu di sini.”
Windy menoleh ke arahku.
“Mas,” ucapku, “aku titip Novia malam ini ya?
Besok pagi-pagi kami jemput dia.”
“Bisa
speaker-nya kamu off dulu, Dan? Aku mau ngomong sedikit sama kamu.”
“Oh... Oke...”
Aku segera mematikan fitur speaker dan menyingkir sejenak ke ruang
kerjaku. Tampaknya Windy mengerti. Masih bisa kudengar ia berbisik pada Bapak
ketika aku melangkah, “Via ada di Bogor, di rumah temen saya, Pak.”
“Alhamdulillah...”
Kututup pintu ruang kerjaku.
“Halo, Mas?”
“Hm... Ya, Dan...”
“Gimana, Mas?”
“Novia cerita banyak padaku dan mamanya Erin,
soal ayahmu. Ya aku sih bisa paham. Memahami Novia, sekaligus ayahmu. Apa nggak
sebaiknya Novia biar di sini dulu sampai hari Sabtu? Nanti biar kami antar ke
Bandung.”
“Wah, merepotkan, Mas... Aku nggak enak
banget kayak gini ini.”
“Lho... Ya ndak apa-apa, Dan. Sekalian main
ke tempatmu.”
“Masalahnya, bapakku sudah menyadari
kesalahannya kok, Mas. Dan sebetulnya tadi pagi itu Bapak sudah mau minta maaf
ke Novia. Cuma Novia-nya sudah keburu berangkat duluan waktu Bapak masih mandi.
Keburu minggat juga siangnya.”
“Oh... Gitu... Ya sudah gimana enaknya saja.
Nanti aku bilang sama Novia soal eyangnya. Tapi beneran eyangnya sudah oke?”
“Bener, Mas. Ngomong-ngomong, bisa aku bicara
sebentar sama Via?”
“Anaknya lagi diajak ke tempat Elsa sama
mamanya Erin, Dan. Katanya dia kangen sama Nitnit. Aku ini juga lagi jalan ke
RS, ada panggilan.”
“Oh... Ya sudah kalau gitu, Mas. Makasih
banyak. Maaf banget sudah merepotkan.”
“Ndak apa-apa, Dan. Masih untung dia
kepikiran lari ke sini, bukan ke tempat lain. Oke, ya? Pikirkan dulu gimana
baiknya dan kapan Novia kembali ke rumah.”
“Baik, Mas. Sekali lagi, terima kasih dan
mohon maaf.”
“Iya, Dan, iya...”
Aku belum pernah mengalami menang lotere
seumur hidupku. Sekarang aku baru bisa membayangkan rasanya. Mungkin seperti
ini. Seperti rasa yang memenuhi hatiku setelah mengetahui bahwa Novia-ku ada di
tempat yang tepat dan aman.
* * *
Menunggu hari Sabtu datang benar-benar
menguras emosiku. Pada saat aku ‘kehilangan’ Novia seperti inilah, barulah aku menyadari bahwa aku benar-benar menyayangi gadis remajaku itu.
Hal yang sama sepertinya dirasakan pula oleh
Bapak. Dua hari yang penuh kegelisahan harus dilalui Bapak. Sesuai kesepakatan
yang kubuat kemudian dengan Mas Hima, pada akhirnya kami tak jadi menjemput
Novia ke Bogor. Mas Hima dan Mbak Daisy-lah yang akan mengantarkan gadis remaja
kesayanganku itu kembali ke rumah.
“Sekalian ada surprise dari mamanya Erin,” begitu ucap Mas Hima semalam.
Dan surprise
itu adalah ikutnya Mbak Elsa sekeluarga dalam rombongan itu. Aku bisa menangkap
binar kegembiraan yang begitu utuh dalam mata Windy ketika bertemu dengan kedua
sahabatnya itu, walaupun ada banyak pertemuan terjadi sejak Mbak Daisy menikah
dengan Mas Hima tahun lalu. Sama utuhnya dengan ketika ia bertemu lagi dengan
Novia, anak gadis kesayangannya.
Aku terpaksa menahan airmata haruku begitu
melihat Bapak memeluk Novia. Awalnya gesture
Novia menunjukkan bahwa ia masih ragu-ragu dengan sikap Bapak. Tapi sejenak
kemudian kedua lengannya segera terkembang dan balas memeluk Bapak dengan
begitu hangatnya.
“Maafkan Eyang ya, Ndhuk... Maafkan Eyang...”
Kudengar Bapak berkali-kali menggumamkan
kalimat itu. Dan pelukan erat Novia sudah menjelaskan semua penerimaannya
terhadap Bapak. Terakhir, barulah aku yang dapat giliran untuk menerima
pelukannya.
“Maafin Via ya, Pa... Bikin repot Papa,”
ucapnya terbata.
Aku tak menjawabnya, hanya memeluknya lebih
erat lagi.
“Besok-besok kalau mau minggat lagi giliran
ke rumah Tante aja ya, Vi?” ledek Mbak Elsa kemudian. “Biar nggak susah-susah
nyarinya.”
“Besok-besok kalo aku minggat lagi langsung
aja terbang ke tempat Tante Laura,” Novia meleletkan lidahnya.
* * *
Epilog
(Suharjo)
“Skak
mat!”
Aku
langsung berdiri dan mencoba bergoyang ngebor. Novia tergelak menatapku.
Sesungguhnya, aku tahu bahwa ia membiarkanku menang kali ini, setelah aku harus
menelan enam kali kekalahan murni.
“Weee...
Eyang menang! Eyang menang!”
Tiba-tiba
saja terdengar seruan dan tepuk tangan riuh yang menyerbu masuk ke telingaku.
Ketika aku menoleh, terlihat lima orang remaja seusia Novia sudah berdiri di
sekeliling anak itu.
Sebetulnya
aku malu juga terpergok joget-joget tak keruan hanya karena Novia membiarkan
aku merasakan sekali kemenangan main catur melawannya. Tapi sudah kepalang
tanggung, terlanjur basah. Aku hanya bisa tertawa. Malu.
Novia
mengemasi papan catur dan semua bidaknya. Aku menatapnya dengan sedikit kecewa.
Pasti dia mau pergi dengan teman-temannya itu. Tapi UN memang sudah selesai.
Sudah waktunya Novia menikmati waktu santai bersama teman-temannya. Ya
sudahlah...
“Ayo,
Yang!” Novia berdiri.
Aku
menatapnya. Tak mengerti. Tapi Aisha dan Dina sudah menggandeng tangan kanan
dan kiriku bersamaan dengan senyum manis mereka.
“Eyang
kan menang. Traktirin kita es krim di KoyiKoyi ya?” Novia nyengir jahil.
Aku
terkekeh karenanya. Digandeng dua gadis remaja di kanan dan kiri membuatku
bersemangat kembali. Sekarang cucuku di tempat ini bukan lagi cuma dua, Novia
dan Febry, tapi sudah membengkak menjadi tujuh orang.
Aku
cukup menyesal sebetulnya. Karena sudah pernah membuang waktuku yang sangat
berharga ketika beberapa minggu lalu aku salah mengawali kehidupanku di rumah
Danto ini. Tapi semuanya terasa cukup terbayar karena aku masih boleh menikmati
lagi langit senja yang indah yang memayungiku bersama enam orang muda-mudi
harapan bangsa.
Dan
ketika Novia menutup pintu pagar, mendadak terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Eyaaang!
Kakaaak! Aku ikuuut!”
Novia
menghentikan langkahnya. Sambil tertawa ia membuka lagi pintu pagar dan
menunggu Febry dengan lari kencangnya sampai pada kami.
“Kamu
ini, tahuuu aja ada orang mau seneng-seneng!” gerutu Novia sambil menahan
senyum.
Dan
ketika aku melihatnya menggandeng tangan mungil Febry dan melangkah ringan di
depanku, aku tahu kehidupan indahku memang harus kusyukuri dan kunikmati.
* * * * *
Nice post mbak, salam dari grand mercure
BalasHapusMakasih kunjungannya, Pak Subur... Wah, dines luar terus nih! Hehehe...
Hapussiapa pula yang menentukan jodohselain yang punya hidup ..
BalasHapusgokiilll kereenn ini tant !....salam rumpies...
Oohhh lagi ngomongin jodoh ya? *menyimak nggak pake kedip* :D
Hapus@Mbak Septi : makasiiih... tapi kok fokusnya terus ke masalah jodoh nih gimana? Hahaha...
Hapus@Mbak Putri : salah fokus, hehehe...
Makasih mampirnya ya...
Side story dari memburu mr. Right??? Apik tenan mbak, lanjoottt..... Iki Gek lagi mbeber kloso, Sekalian nyemil onigiri buat maem siang..... Mbak Liz, emang oke... TOPBGT. Suwun cerpen'e ya... Kapan cerbungnya????
BalasHapusCerbungnya udah mulai... Wuih! Enake rek cemilane onigiri... Ojok lali klosone diringkesi maneh.
HapusSuwun mampire yo...
yang ini emang benar-bener air mata meleleh loh mbak Lis.....suwun nggih ..sudah membuatku bisa melelehkan air mata...
BalasHapusMakasih banget atas kunjungan dan atensinya, Mbak Bekti...
HapusKeren pake buanget ceritanya.
BalasHapusMakasiiih, Bu Fabina...
Hapusuhuhuhuhuhuhu... hiks hiks hiks...
BalasHapusuntung si eyang cepet sadar yaaa...
Cup cup cup... *pukpuk*
HapusNuwus mampire yo, Jeng...
Uwooooo mbaaaaa! Aq mingsek2 pean kudu tanggungjawab hayo! Apik banget mba!
BalasHapusHalaaah... padune pingin dipukpuk Pak Dok ae lhooo... Hihihi...
HapusSuwun mampire yo, Nit...
Wooh.. dowo men? Bookmark sik ah!
BalasHapusHehehe... Suwun mampire...
Hapus...rasanya pernah baca... di mana yaa? Ooh di draft-nya hehehe... Kirain mo dijadiin miniseri, Mbak...
BalasHapusKalo dijadiin miniseri bingung motongnya, Mas. Makasih mampirnya ya...
Hapusmbak, minggat itu kebiasaanku jaman masih seumuran Novia,... hiks.
BalasHapusWakakak... Ada-ada aja...
HapusMakasih atensinya, Mbak MM...
Salut buat Novia.... Salut buat eyang juga.
BalasHapusMakasih atensinya, Mas Pical...
HapusVia pasti cantik anaknya... :D
BalasHapusEh, di awal katanya mau ke KOyiKoyi beli es krim tapi kok banyak "teh"-nya? Hehehehe....