Kalau teman-temannya banyak yang menjatuhkan
hatinya pada berbagai varian mie instan sebagai menu kepepet, maka Tara lebih
memilih mengangkat ponsel dan memesan pecel lele Mbokdhe Sarini yang buka di
ujung blok. Paling lama setengah jam, pesanan akan diantar oleh salah seorang
anak buah Mbokdhe Sarini.
Seporsi nasi pulen yang masih panas mengepul,
seekor lele goreng atau bakar yang baunya merangsang selera, sepotong tahu atau
tempe goreng, setumpuk lalapan mentimun-selada-kol-kemangi, dan sebungkus
sambal yang selalu bisa menggoyang lidah. Hm... Lewat sudah mie instan yang
diklaim paling enak sekalipun!
Warung pecel lele Mbokdhe Sarini sudah ada
sejak Tara pindah ke kompleks ini hampir setahun yang lalu. Entah sejak kapan
warung itu ada. Yang jelas, warung sederhana itu tak pernah sepi pembeli. Dari
jam lima sore sampai tutup, selalu saja pembeli mengalir datang dan pergi.
Paling apes jam sembilan malam sudah tutup dengan catatan semua dagangannya
sudah bersih tak bersisa. Tak heran memang, sebab rasa pecel lele Mbokdhe
Sarini memang tiada duanya.
* * *
Hujan yang merintik sejak siang hari dan
makin deras menjelang sore membuat Tara cepat lapar kembali. Belum jam enam
sore ia sudah mengangkat ponsel dan menghubungi warung Mbokdhe Sarini. Tapi ia
terpaksa mendesah kecewa mendengar jawaban halus Mbokdhe Sarini.
“Maaf, Mbak... Hari ini Mbokdhe tutup
warung.”
Terpaksa kali ini Tara harus mengikuti selera
cinta teman-temannya. Mie instan. Tapi sebelum sempat memasaknya, bel pintu
berbunyi. Tara yang baru saja keluar dari kamar mandi buru-buru membuka pintu.
“Mbak...,” seulas senyum Budi, salah seorang anak
buah Mbokdhe Sarini, terpampang di depan matanya.
‘”Eh, Mas Bud,” Tara membuka pintu lebih
lebar lagi.
“Ini Mbak, disuruh Mbokdhe anterin ini,” Budi
menyodorkan sebuah tas kresek.
“Lho, apa ini, Mas?” Tara menerimanya sambil
mengerutkan kening.
“Mbokdhe selamatan, Mbak. Ini buat Mbak Tara.
Kata Mbokdhe, kasihan kalau Mbak Tara nggak punya makanan.”
“Lho... kok malah repot-repot? Memang Mbokdhe
selamatan apa, Mas?”
“Itu, Mbak, anaknya baru pulang dari Jepang.”
“Oh ya? Hebat bener Mbokdhe ya? Makasih, Mas
Budi.”
“Sama-sama, Mbak. Saya permisi dulu ya?”
“Monggo,
Mas Bud... Sekali lagi makasih. Salam buat Mbokdhe ya?”
Budi mengangguk dan berbalik pergi. Setelah
menutup pintu, Tara segera membuka kresek itu. Aroma sedap berbaur jadi satu
menguar dari dalamnya. Nasi kuning lengkap. Tak hentinya Tara bersyukur dalam
hati.
* * *
Lima hari yang sangat melelahkan. Membuat
Tara nyaris kehabisan napas. Boss
barunya pindahan dari kantor pusat betul-betul workaholic yang sudah melakukan lari sprint sejak hari pertamanya berkerja. Selama lima hari ini pula ia belum akan sampai di rumah kalau belum
jam tujuh menjelang malam.
Dan kelelahannya semakin terasa karena warung
pecel lele Mbokdhe Sarini tutup sejak ada selamatan dua minggu yang
lalu itu. Lima hari ini ia merasa kurang gizi karena harus merelakan diri
menyantap mie instan dengan berbagai varian rasa untuk makan malamnya.
Belum lagi meletakkan tas, ponselnya berbunyi
nyaring. Dengan malas ia menatap layar. Dan semangatnya makin menguap ketika
melihat siapa yang menelepon. Tapi harus dijawabnya juga panggilan telepon itu.
“Selamat malam, Pak Satrio,” ucapnya halus.
“Malam, Tara. Maaf aku tadi lupa bilang.
Tolong besok kamu masuk lembur ya? Masih banyak yang harus dibereskan sebelum auditor datang minggu depan. Terima
kasih ya?”
Maaf, tolong, dan terima kasih. Tiga kata
kunci yang membuat Tara tak berkutik dan juga tak bisa berkelit dari perintah
untuk lembur di hari Sabtu. Maka ia pun menyanggupi permintaan itu tanpa bisa
protes.
“Baik, Pak...,” ucapnya lirih.
“Oke, selamat istirahat. Maaf sudah
menganggu.”
Boss
yang
sangat sopan dan menghargai anak buahnya. Apa lagi yang kurang? Terlalu gila kerja, jawab Tara dalam
hati.
* * *
Tara meluruskan punggungnya ketika
pekerjaannya selesai. Akhirnya..., ia
tersenyum dalam hati. Diam-diam ia mengakui, memang banyak hal yang harus
dibereskan sebelum auditor datang.
Seharusnya tak perlu ada lemburan gerak cepat mendekati deadline seperti itu kalau saja boss
sebelumnya sedikit lebih perhatian saja pada masalah pekerjaan.
Dihembuskannya napas panjang.
“Capek ya?”
Tara terjingkat kaget. Entah sejak kapan
manusia bernama Satrio itu sudah ada di dekatnya. Dicobanya untuk tersenyum.
“Lumayan, Pak.”
Laki-laki itu menatap arlojinya sejenak.
“Sudah hampir jam tiga, Ta. Kamu pulang saja.”
“Bapak?”
“Aku masih tunggu email dari pusat. Mungkin
sebentar lagi. Have a nice weekend
ya?”
“Sama-sama, Pak...”
Beberapa menit kemudian Tara sudah ada di
dalam mobil mungilnya yang parkir di basement.
Sebelum ia menyalakan mesin, notifikasi SMS ponselnya berbunyi. Disempatkannya
untuk membuka SMS itu.
Mbak
Tara, warungnya Mbokdhe sudah buka lagi sore ini. Mau pesan ndak?
Serta-merta Tara tersenyum membacanya. Segera
ia mengetikkan kalimat balasan.
Asyiiik!
Kangen sama lelenya Mbokdhe. Aku pesen lele bakar 2, nasi putih 1, sambel
ekstra. Tolong diantar ke rumah jam setengah 7 sore ya, Mbokdhe. Makasiiih...
Dan Tara pun segera melajukan mobilnya pulang
dengan hati senang.
* * *
Hujan dan udara dingin yang menyusup membuat
Tara terlelap di sofa dengan tablet terjepit di antara tubuhnya dan sandaran
sofa. Baru terasa hari ini ujung lelahnya selama hampir seminggu penuh itu.
Tapi kenyamanan itu harus berakhir ketika
sama-samar ia mendengar bel pintu berbunyi berkali-kali, dan terdengar makin
lama makin keras ketika kesadarannya mulai pulih. Dikerjapkannya mata beberapa
kali sebelum bangun dengan malas. Ia kemudian menyeret langkah ke ruang tamu.
“Siapa?” ia setengah berteriak sebelum
membuka pintu.
“Delivery
service pecel lele, Mbaaak...”
Tara melirik jam dinding dan ia terbengong
sejenak. Hari sudah gelap. Hampir setengah tujuh sore. Lama juga aku ketiduran... Buru-buru dibukanya pintu. Sekejap
kemudian ia ternganga.
“Lho?”
“Kamu...?”
* * *
“Jadi langganan Ibu itu kamu?”
Tara menutupi mulut dengan kedua tangannya.
Matanya masih terbelalak. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Astagaaa... Didit? Kamu Didit kan?”
“Iya, aku Didit,” pengantar pesanan pecel
lele itu tertawa lebar. “Ya ampun... Apa kabar, Ta?”
“Baik, Dit. Ayo, masuk!” Tara membuka pintu
ruang tamunya lebar-lebar.
Didit kemudian mengikuti Tara masuk ke ruang
tamu rumah itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk manis di ruang tamu. Tara
menghilang ke dalam membawa pesanannya, lalu muncul kembali dalam hitungan
menit dengan membawa nampan berisi dua cangkir coklat hangat dan toples berisi
keripik singkong.
“Kamu ke mana aja sih, Dit? Tahu-tahu
menghilang? Loli beneran patah hati kamu tinggal gitu aja!” Tara langsung
memberondong Didit dengan kalimatnya yang seolah tanpa jeda.
Didit menghela napas panjang sebelum menjawab
dengan sabar. “Jadi Loli nggak cerita apa-apa tentang aku? Nggak cerita kalau
mamanya anti sama aku yang cuma anak penjual pecel lele?”
“Segitunya?” Tara membelalakkan matanya.
“Loli nggak cerita apa-apa. Terus kamu ke mana?”
“Bertualang dari satu beasiswa ke beasiswa
lain,” Didit tersenyum sambil menyeruput coklat hangatnya.
Didit adalah teman kuliahnya di Surabaya
dulu. Seorang mahasiswa yang cerdas dan humoris. Pacar Loli, sahabatnya. Suatu
ketika setelah wisuda duluan dengan status cum
laude, Didit menghilang begitu saja tanpa pernah ada kabar lagi,
meninggalkan banyak teman seangkatan yang masih bertahan di bangku kuliah.
Terutama meninggalkan Loli yang ternyata...
“Jadi begitu ceritanya...,” gumam Tara.
“Terus, Loli gimana kabarnya?”
“Loli...,” wajah Tara seketika tersaput
mendung. “Dia nikah tiga tahun lalu. Punya anak satu umur dua tahun.
Perceraiannya baru diputuskan bulan lalu. Suaminya selingkuh.”
Didit terhenyak di tempat duduknya.
Ditatapnya Tara dengan sorot mata sukar diartikan.
“Dia sekarang di mana?” ucapan Didit lebih
menyerupai bisikan.
“Masih ada di Surabaya. Kamu mau ketemu? Aku
ada alamatnya.”
“Nantilah, Ta. Aku masih harus balik ke
Kanada bulan depan. Tahun depan kayaknya aku bakal kembali ke sini. Sama kantor
pusat aku mau ditempatkan di sini.”
“Lho, bukannya kamu di Jepang? Kapan itu Mas
Budi anterin nasi kuning ke sini. Katanya anaknya Mbokdhe Sarini ada yang baru
pulang dari Jepang.”
“Oh... Itu masku. Dia juga baru pulang tugas
belajar dari Jepang. Dibiayai kantornya juga.”
“Whoaaa... Anak Mbokdhe hebat-hebat ya?” Tara
menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub. “Mbokdhe sudah lama jualan pecel lele?”
“Udah lama, Ta,” Didit meneguk lagi coklatnya yang mulai mendingin.
“Ada dua puluh tahunan, sejak Bapak meninggal. Dulu sih warungnya di dekat pom
bensin depan kompleks sana. Tapi setelah masku bisa beli rumah di sini, Ibu dia
minta pindah. Maksudnya ya sudahlah, istirahat saja jualannya. Tapi Ibu nggak
mau. Kasihan langganannya, katanya. Jadinya tetap jualan sampai sekarang.
Pindah ke ujung blokmu ini. Padahal masku sama aku juga sudah mentas. Bisalah kalau menghidupi Ibu.
Ngomong-ngomong, kamu sudah lama tinggal di sini?”
“Baru setahunan, Dit. Cicilan rumah masih
lama,” Tara menyambung kalimatnya dengan tawa.
Didit turut tertawa. “Tinggal sama siapa?”
“Sendirian.”
“Oh... Pantesan jadi langganan pecel lelenya
Ibu ya?” Didit kembali tertawa.
“Iya, hehehe... Udah nggak sempat masak lagi
kalau sore. Apalagi kalau lembur seperti kemarin-kemarin ini. Apesnya, pas
Mbokdhe nggak jualan. Terlantarlah aku.”
“Waduh... Ya maaf banget, Ta. Ibu lagi seneng
anaknya pada kumpul di sini. Lha terus, Bapakmu?”
Wajah Tara kembali berselimut mendung. “Nggak
lama setelah aku wisuda dan dapat kerjaan, Bapak menyusul Ibu.”
Didit terhenyak ketika melihat mata Tara
mengaca.
“Maaf, Ta... Nggak bermaksud membuatmu sedih,”
ucapnya lirih.
Tara menegakkan punggung sambil berusaha
tersenyum. “I’m fine, Dit.”
Saat itu ponsel Didit berbunyi. Ia tersenyum
setelah membaca pesan yang baru saja masuk.
“Ta, aku pulang dulu ya? Dicari Ibu,” Didit
berdiri.
“Yah... belum puas ngobrolnya,” Tara ikut
berdiri. “Eh, ini tagihanku berapa nih?”
“Udaaah...,” Didit tertawa. “Aku aja yang
bayarin. Itung-itung traktir temen lama.”
“Hehehe... Iya deh, makasih!”
Ketika Didit dengan payungnya sudah
menghilang ditelan rintik hujan, Tara segera menutup pintu rapat-rapat. Sebelum
menikmati pesanannya, ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang. Ketika
didengarnya sapaan dari seberang sana, ia segera berbisik, “Loli, tebak siapa
yang baru aja dateng ke rumahku?”
* * *
Tara terpaksa merapatkan cardigan-nya. Hujan yang turun sejak dini hari membuat suhu dalam
ruangan yang ber-AC itu menjadi jauh lebih dingin. Suasana kantor terlihat adem
ayem walaupun sedang harap-harap cemas menunggu kedatangan auditor dua hari lagi. Semua persiapan sudah beres. Sepertinya tak
ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Ketika telepon di mejanya berbunyi, Tara
segera mengangkatnya dengan sigap. “Ya, Pak?”
“Tolong bawakan berkas yang tadi kamu print ke mejaku sekarang ya, Ta.
Makasih.”
“Baik, Pak.”
Segera Tara meraih map bersampul biru muda
itu, kemudian membawanya masuk ke dalam kantor Satrio. Ia mengerutkan kening
ketika memperhatikan wajah Satrio. Tampak sedikit pucat dan berkeringat di
tengah dinginnya hawa ruangan.
“Bapak sakit?” Tara perlahan menyodorkan map yang
dibawanya ke atas meja.
“Kayaknya masuk angin, Ta,” Satrio mengangkat
wajahnya sedetik. “Dari kemarin sore sudah nggak enak badan.”
“Mm... Pulang aja, Pak. Istirahat di rumah.”
“Kan ada meeting
setengah jam lagi.”
“Suruh Pak Adi aja yang pimpin, Pak.”
“Gitu ya?” gumam Satrio. “ Ya sudah, tolong
panggil Pak Adi ya, Ta? Makasih.”
Setelah memenuhi permintaan sang boss, Tara pun iseng merapikan file-file di dalam laptopnya.
Dibersihkannya beberapa file sampah, dan diberinya nama baru pada file-file yang rancu. Ketika menekan
tombol enter yang terakhir, pintu
kantor sang boss terbuka.
“Ta, bisa minta tolong antar Pak Sat ke RS
Husada? Nanti aku saja yang hubungi keluarganya.”
Tara tertegun sejenak sebelum menganggukan
kepala.
* * *
Tara menatap keluar kaca depan mobil
mungilnya dengan putus asa. Tak ada celah sedikit pun, bahkan untuk sebuah
motor menyelinap. Macet total di tengah hujan deras jam sepuluh pagi.
“Sabar ya, Pak. Macet begini...,” Tara
berucap halus.
“Iya, Ta, nggak apa-apa.”
Sementara mobilnya sama sekali belum bisa
bergerak, Tara mengambil ponselnya di kotak koin. Dengan cepat ia berusaha
mencari jalur alternatif melalui GPS. Gotcha!
Ketika lalu lintas bisa bergerak sedikit, Tara
segera bersiap untuk mendesak ke kanan, siap untuk berbelok di perempatan 100
meter lagi. Sedikit demi sedikit Tara berusaha membebaskan mobilnya dari
kemacetan.
Saat itu ponsel Satrio berbunyi. Satrio
segera menjawabnya.
“Ya?”
... ... ...
“Iya, lagi jalan. Sebentar lagi. Macet parah
ini.”
... ... ...
“Nggak tahu. Sakit banget ini... Tapi bilang
Ibu, nggak usah khawatir.”
... ... ...
“Iya, aku ada yang antar kok. Sudah dulu ya?”
Satrio melirik sekilas. “Adik sama Ibuku
sudah tunggu di RS.”
“Maaf ya, Pak...,” suara Tara terdengar penuh
penyesalan. “Jadi kejebak macet begini...”
“Ya bukan salahmulah, Ta. Masih untung ada
yang bisa antar aku ke RS.”
Setengah jam kemudian Tara bisa menghembuskan
napas lega ketika mobilnya berhasil masuk ke halaman RS Husada. Ia kemudian
memutuskan untuk langsung meluncurkan mobilnya ke depan UGD. Sebelum ditangani,
Satrio menyerahkan ponselnya pada Tara.
“Tolong telepon adikku ya, Ta. Bilang aku di
UGD. Nomornya yang terakhir calling
aku. Makasih.”
Setelah memarkir mobilnya di dekat pintu UGD,
Tara segera menelepon adik Satrio. Ketika ada jawaban seorang laki-laki dari
seberang sana. Ia segera berucap ringkas, “Selamat siang, Pak, saya staf Pak
Satrio. Pak Sat sudah saya bawa ke UGD.”
“Oh iya, Makasih, Mbak. Maaf dengan Mbak
siapa ya?”
“Saya Tara, Pak.”
“Tara? Tara Shelomita?”
“Iya, betul.”
“Ya, ampun... Ini aku, Ta, Didit!”
“Lho, Dit? Didit? Kamu adiknya Pak Sat?”
“Ya udah, kita ketemu di UGD.”
Tara masih terbengong-bengong. Dunia ini kok sempit banget sih? Tapi ia
tak lagi sempat memikirkannya ketika melihat dua orang yang sangat dikenalnya
berjalan tergopoh datang ke lobby UGD. Mbokdhe Sarini dan Didit.
“Anakku kenapa ya, Mbak?” wajah Mbokdhe
Sarini tampak gelap diliputi kekhawatiran.
“Belum tahu, Mbokdhe... Kita tunggu ya? Lagi
ditangani dokter,” Tara menggenggam telapak tangan Mbokdhe Sarini.
“Oalah... Jadi Mbak Tara ini sekantor sama
Sat to?”
“Iya, Mbok. Pak Sat atasan saya.”
Didit menjatuhkan badannya di atas bangku di
sebelah Tara.
“Dari semalam dia memang udah mengeluh nggak
enak badan,” gumam Didit. “Tadi pagi juga minta aku antar dia ngantor, nggak berani
nyetir sendiri. Aku suruh bolos aja dia nggak mau. Mau ada meeting katanya.”
“Iya sih... Tapi meeting kan juga bisa dialihkan ke Pak Adi.”
“Mas Satrio memang gitu,” keluh Didit. “Suka
nggak mikir diri sendiri. Barangkali lain ceritanya kalau udah punya istri.”
“Wooo... lha masmu kalau disuruh cari istri
ngeles melulu kok, Dit,” Mbokdhe Sarini menyahut, setengah menggerutu. “Ya
sebenarmya kalian itu sama saja, wong
kamu juga begitu...”
Didit terpaksa nyengir mendengar ucapan
ibunya. Tara sendiri agak bingung. Setengah geli, setengah prihatin.
“Susah, Bu, cari istri yang bisa ngerti, bisa
sayang sama mertua yang cuma jualan pecel lele.”
“Hus!” Tara menghardik seketika. “Nggak ada
itu cuma jualan ini, cuma jualan itu, Dit! Aku nggak suka ya,
kamu ngomong gitu! Syukur-syukur kamu masih punya ibu. Kamu jadi kayak sekarang
juga karena jasa ibumu.”
“Aduh... Nggak maksudku sih, Ta, ngomong
gitu...”
Sebelum kedua orang itu berdebat lagi, sebuah
suara membuat mereka menoleh serempak.
“Keluarga Bapak Satrio?”
Didit segera berdiri. “Ya?”
“Bapak siapanya Pak Satrio?”
“Saya adiknya, itu Ibu, itu calon istrinya.”
Tara seketika mendelik. Tapi Didit tidak mengacuhkan
reaksi Tara.
“Oke... Jadi begini, Pak...”
“Didit.”
“Ya, Pak Didit. Pak Satrio harus operasi ya?
Usus buntunya meradang, takutnya keburu pecah. Sementara ini lagi diturunkan
dulu demamnya.”
Mbokdhe Sarini dan Tara saling menatap.
Setengah terhenyak.
* * *
Jelas warung Mbokdhe Sarini tutup selama anak
sulungnya dirawat di rumah sakit. Tara merasakan ada yang sedikit kosong dalam
hidupnya. Cuma karena pecel lele itu? Tara tidak berani mencari jawabannya.
Sesungguhnya ada yang terasa lebih dalam dari itu.
Ketika seisi kantor berebutan untuk menjenguk
sang boss selama tiga hari ini, Tara lebih memilih untuk menepikan
diri. Untuk apa? Ia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Apakah karena mulai ada
rasa yang lain? Ia mengedikkan bahu.
Tapi ia tak punya ruang lagi ketika menjelang sore itu Adi memanggilnya.
“Tara, tadi Pak Satrio hubungi aku, minta
kamu bawakan laporan yang tadi siang kamu selesaikan itu untuk ditandatangani.
Bisa?”
“Sore ini, Pak?”
“Iya, sekalian kamu pulang. Bisa kan?”
“Mm... Bisa, Pak.”
“Oke, makasih ya?”
“Sama-sama, Pak.”
Dan sore harinya sepulang kerja Tara
melajukan mobil mungilnya menembus kemacetan menuju ke RS Husada. Menjelang jam
setengah enam sore, baru ia sampai di tempat tujuan. Dengan langkah cepat ia
segera menuju ke kamar perawatan Satrio.
“Kamu ini calon istri model apa nggak pernah
nongol?” goda Didit begitu Tara muncul.
Apa-apaan
sih? Tara langsung mendelik jengkel dan menggerutu dengan
rahang terkatup, “Didiiit...”
Didit sendiri buru-buru keluar dari ruangan
sambil tertawa. Tapi senyum teduh Mbokdhe Sarini menguapkan kejengkelan Tara.
Buru-buru dihampirinya perempuan sepuh itu,
kemudian menyalami dan mencium tangannya.
“Mbokdhe...”
“Kok jam segini baru pulang, Mbak?”
“Macet, Mbokdhe...” Tara kemudian mengalihkan
tatapannya ke arah Satrio yang duduk bersandar pada bed-nya. “Pak, selamat sore.”
“Sore, Ta. Ada pesanan dari Pak Adi ya?”
“Mbok
ya disuruh duduk dulu to, Mas...,” tegur Mbokdhe Sarini.
“Hehehe... Nggak apa-apa, Mbokdhe.”
Tara segera menyerahkan berkas yang dibawanya
pada Satrio. Laki-laki itu kemudian menelitinya, dan membubuhkan tanda tangan.
“Mbak, Mbokdhe titip Mas Satrio sebentar ya?
Bisa?”
“Oh iya, Mbokdhe. Nggak apa-apa.”
Keheningan sempat melingkupi ruangan itu
sesaat setelah Mbokdhe Sarini menghilang di balik pintu. Tara menyibukkan diri
dengan merapikan berkas dalam map yang sebetulnya sudah rapi itu. Semua tak
luput dari pengamatan Satrio. Laki-laki itu tersenyum.
“Kamu memang orangnya pendiam ya?”
Tara mengangkat wajahnya. Ia benar-benar tak
tahu harus menjawab apa. Seolah semua perbendaharaan katanya hilang bila harus
berhadapan dengan Satrio. Maka ia cuma bisa mengembangkan seulas senyum manis.
“Selama warung Ibu tutup, kamu makan apa?”
“Bapak sudah mendingan?”
Mereka berbarengan mengucapkan kalimat
masing-masing. Sesaat kemudian tawa pecah dan berhenti seketika ketika Satrio
meringis kesakitan.
“Bapak...,” Tara buru-buru berdiri.
“Nggak apa-apa, Ta. Kekencengan ketawanya.
Tadi ngomong apa?”
“Oh... Saya tanya, Bapak sudah mendingan?”
Tara duduk kembali.
“Ya, seperti yang kamu lihat. Besok juga
sudah boleh pulang. Tapi masih harus istirahat dulu di rumah. Terus, selama Ibu
warungnya tutup, makanmu gimana?”
“Hehehe... Menu andalan, Pak. Mie instan.
Kadang tambah kornet, kadang tambah telur, tambah sayur.”
“Lama-lama kurang gizi kamu...”
Tara tersenyum geli.
“Nggak bosan sama pecel lelenya Ibu?”
“Nggak sih, Pak. Kadang-kadang saya sempat
masak juga pagi-pagi. Sore saya pulang tinggal menghangatkan.”
“Kamu teman kuliahnya Didit ya?”
Tara mengangguk.
“Berarti tahu soal Loli?”
“Yang bagian mana, Pak?”
“Soal mamanya Loli.”
“Saya baru tahu dari Didit beberapa hari yang
lalu, Pak. Selama saya kenal Loli, Loli nggak pernah cerita soal itu.”
Satrio mengangguk-angguk. “Lalu pandanganmu
sendiri?”
“Soal Loli dan Didit?”
Satrio menggeleng. “Soal profesi ibuku.”
“Oh... Memangnya kenapa, Pak? Saya kira nggak
ada yang salah dengan profesi Mbokdhe. Saya justru salut sama Mbokdhe. Dengan
segala keterbatasan finansial bisa mendidik Bapak dan Didit jadi
manusia-manusia berhasil. Saya pikir Mbokdhe benar-benar ibu yang luar biasa.
Setidaknya saya memandang seperti itu. Saya sendiri nggak pernah merasakan
punya seorang ibu.”
Satrio mengerutkan keningnya. “Ibumu ke
mana?”
“Sudah di Surga, Pak. Bersama adik saya yang
dilahirkan Ibu. Sejak saat itu saya cuma berdua dengan Bapak. Bapak sendiri
sudah bergabung dengan Ibu dan adik saya. Sekitar empat tahun yang lalu, saya
masih baru beberapa bulan kerja.”
“Oh...”
“Selamat sore...,” seorang petugas rumah
sakit membawa masuk sebuah nampan berisi makanan, kemudian meletakkan nampan
itu di meja dekat kaki Satrio. “Selamat makan ya, Pak...”
“Makasih...”
Tara segera menggeser meja itu hingga
posisinya tepat berada di depan Satrio.
“Bapak bisa makan sendiri?”
“Bisalah...,” Satrio tersenyum. “Memangnya
kalau belum bisa, kamu mau suapin?”
Tara hanya terkekeh tanpa bisa menjawab. Tak
urung pipinya menghangat.
“Ibu sedang berpikir untuk berhenti buka
warung kalau Didit atau aku sudah nikah,” ucap Satrio sambil menyuap makanannya
ke dalam mulut. “Tapi kan nggak gampang juga karena harus memikirkan nasib
pegawai. Sama nggak gampangnya dengan urusan cari pasangan hidup jaman
sekarang. Sepertinya aku egois kalau cari istri yang nggak matre. Uang memang
bukan segalanya, tapi kan segalanya jaman sekarang butuh uang. Kamu sendiri? Gimana?”
Tara menyandarkan punggungnya ke sandaran
kursi, menghela napas panjang. Tanggap dengan arah bicara Satrio.
“Setelah Bapak meninggal rasanya saya nggak
lagi punya target apa-apa,” Tara setengah menggumam. “Saya lakukan apa yang
bisa saya lakukan. Bekerja sebaik-baiknya, menikmati hidup, membiarkan semuanya
mengalir. Terkadang lupa bahwa waktu cepat berlalu dan umur saya bertambah.
Tapi jujur saya nggak tahu harus memulai dari mana.”
“Nggak ada teman laki-laki?”
“Banyak, Pak. Tapi semuanya saya anggap
teman. Entahlah,” Tara mengangkat bahu.
Satrio menghela napas panjang. “Kok masalah
kita sama ya?”
Keduanya saling bertukar tatapan. Bertukar
senyuman. Bertukar keheningan.
“Enak banget ngobrol sama kamu,” Satrio
mengerjapkan mata.
Tara tak menjawab. Hanya saja ia merasakan
hal yang sama.
* * *
Hari Senin yang selalu diawali dengan meeting perencanaan biasanya membuat
Tara sedikit mengumandangkan I hate
Monday! dalam hatinya. Tapi entah kenapa sejak boss-nya berganti, perasaan berat itu pelan-pelan menghilang.
Dan suasana cerah hatinya pagi ini seolah
didukung oleh senyum sinar mentari yang mengintip malu-malu dari balik awan.
Maka Tara pun meluncurkan mobil mungilnya keluar dari carport. Baru beberapa meter berjalan, ponselnya yang tergeletak di
dalam kotak koin berteriak-teriak meminta perhatian. Segera Tara menepikan
mobilnya dan menjawab panggilan itu.
Pak
Satrio? Entah kenapa mendadak ada lonjakan-lonjakan liar dalam
dadanya. Ia pun berusaha keras menjawab panggilan itu dengan nada biasa.
“Halo, selamat pagi, Pak.”
“Pagi, Tara. Kamu biasanya berangkat jam
berapa?” suara itu terdengar begitu empuk di telinga.
“Ini saya sudah di jalan, Pak.”
“Sudah jauh dari kompleks?”
“Belum sih, baru beberapa meter dari rumah.”
“Oh... Aku bisa minta tolong?”
“Ya, Pak? Gimana?”
“Aku bisa numpang mobilmu nggak? Aku belum berani
nyetir sendiri. Didit mau ke Surabaya pagi ini, jadi nggak bisa antar aku.”
“Lho, Bapak sudah mau masuk kerja?” Tara
mengerutkan kening.
“Iya.”
“Bapak sudah sehat?”
“Anggap saja begitu. Jadi, bisa numpang
mobilmu?”
“Bisa, Pak. Bapak tunggu saja di rumah, saya
jemput.”
“Aku sudah di depan warungnya Ibu.”
“Oh... Baik, Pak. Saya segera meluncur.”
“Makasih banyak ya, Ta...”
“Sama-sama, Pak.”
* * *
Benar saja, laki-laki itu sudah duduk-duduk
di depan warung Mbokdhe Sarini ketika Tara sampai di ujung jalan. Setelah
memastikan Satrio duduk nyaman di dalam mobil, Tara kembali meluncurkan
mobilnya.
“Bapak beneran sudah sehat?”
Satrio menoleh ketika mendengar ada nada
khawatir dalam suara Tara. Ia tersenyum.
“Belum terlalu sih,” jawabnya jujur. “Buat
jalan juga masih agak sakit. Tapi nggak enak kelamaan di rumah.”
“Kok maksain diri banget sih, Pak?”
Satrio tak menjawab. Hanya mengulum senyum.
Mobil kecil itu terus melaju membelah jalan yang mulai diwarnai
kemacetan-kemacetan kecil.
“Didit kembali ke Kanada Jumat besok,” Satrio
menoleh sekilas ke arah Tara. “Makanya hari ini dia ingin ketemu Loli. Aku cuma
takut dia kecewa lagi.”
“Semoga tidak, Pak. Loli memang sudah berubah
statusnya, tapi cintanya tetap buat Didit. Apalagi kan mamanya sudah nggak ada
lagi. Mungkin agak lebih mudah buat Didit dan Loli.”
Satrio menghembuskan napas panjang. “Sekarang
tinggal aku yang dikejar Ibu.”
“Hehehe...”
Kemudian hening hingga Tara membelokkan
mobilnya ke jalan menuju ke gedung kantor.
“Punya saran nggak, gimana caranya memulai hubungan
dengan perempuan baik-baik?”
Tara hampir saja refleks menginjak pedal rem
karenanya. Tapi ia segera menyadari keadaan sekitarnya. Segera ia berusaha
menenangkan diri setelah mendengar pertanyaan yang cukup mengejutkan itu.
Diusahakannya untuk mengulas senyum.
“Ya kenalanlah, Pak.”
“Kalau sudah kenal? Sudah tahu nomor ponsel?
Sudah tahu status single perempuan
itu?”
“Hm...,” Tara meluncurkan mobilnya
pelan-pelan memasuki basement. “Ajak dinner, mungkin. Atau lunch. Ngobrol. Banyak, Pak... Tanya
hobinya. Kalau dia suka bunga ya kasih bunga. Banyak hal romantis bisa
dilakukan kok, Pak.”
“Hm... Harus romantis ya?” Satrio menggumam.
“Ya nggak selalu sih...,” Tara menghentikan
mobilnya, kemudian mematikan mesin. “Banyak juga perempuan yang lebih suka
praktis.”
“Kamu sendiri? Lebih suka yang mana?”
Tara menoleh sekarang. Menatap Satrio.
“Saya?” ia tersenyum. “Males ribet aja sih,
Pak...”
“Hm...,” Satrio membalas senyum itu sambil
membuka pintu.
Tara menekan tombol alarm mobil beberapa saat
kemudian. Dan mereka mulai melangkah bersama. Tara terpaksa mengurangi
kecepatan langkahnya karena kelihatannya Satrio kesulitan mengimbanginya.
“Tasnya mau saya bawakan, Pak?”
Satrio menggeleng. Dan butuh bermenit-menit
lamanya hingga mereka sampai ke lift. Dengan sabar Tara mengimbangi langkah
Satrio yang masih agak tertatih.
“Hobimu apa, Ta?” Satrio berdiri tegak di
sebelah Tara di dalam lift.
“Membaca, sama pelihara kaktus, Pak.”
“Sama makan pecel lele ya?” Satrio tersenyum
lebar.
Tara tertawa. “Bapak bisa aja... Itu sih
kebutuhan...”
“Siang ini bisa kita lunch bareng?”
Tara berpikir sejenak. “Gimana ya, Pak? Nggak
enak sama teman-teman.”
“Kalau
dinner? Nanti pulang kerja?”
Tara menatap bayangan Satrio yang terpantul
di dinding lift. Entah kenapa debar hatinya muncul lagi. Maksudnya?
“Aku ingin ngobrol banyak sama kamu.”
Tara tertegun sejenak ketika jawaban itu
muncul begitu saja. Maksudnya?
“Boleh?”
Tara berdehem. Mengurangi rasa tercekik di
tenggorokannya. “Boleh, Pak.”
“Makasih ya?”
“Sama-sama, Pak.”
Pintu lift terbuka dan mereka kemudian
keluar. Satrio langsung masuk ke ruang kerjanya, dan Tara sendiri segera
menyibukkan diri di depan mejanya. Baru saja ia menyalakan laptop, ponselnya
berbunyi. Sebuah pesan yang baru saja masuk membuatnya tertegun-tegun ketika
membacanya.
Tara,
maaf kalau awalan yang kaku tadi membingungkanmu. Aku ingin mengenalmu lebih
dekat. Ada perasaan nyaman ada di dekatmu. Ada perasaan tenang menatap mata
teduhmu. Ada perasaan hangat ketika bicara denganmu. Ada yang aneh dengan
perasaanku. Terutama ketika Ibu bercerita sebanyak yang Ibu tahu tentangmu.
Jadi, masih bolehkah aku berharap? Oh ya, satu hal lagi. Mulai hari ini kamu
boleh pesan apa saja dari warung pecel lele ibuku. Aku akan membayarinya dengan
senang hati sampai kapan pun kamu mau.
Mau tak mau Tara tersenyum membaca dua
kalimat terakhir itu. Dan sesuatu yang terasa megusiknya membuat ia mengangkat
wajah.
Satrio berdiri di sana. Di ambang pintu ruangan
kantornya. Menatapnya dengan senyum terulas di bibir.
Pipi Tara terasa hangat seketika. Ia kemudian
membalas senyum itu sambil mengangguk sedikit. Membuat Satrio seketika paham
dan mengacungkan jempolnya dengan wajah cerah. Kemudian laki-laki itu menghilang
lagi ke dalam kantornya.
Semoga...
Tara
mengucap dalam hati. Semoga pecel lele
Mbokdhe Sarini bisa kunikmati gratis selamanya, ia pun meneruskan
pikirannya dengan jahil.
* * * * *
Sekuelnya silakan klik di SINI
Ilustrasi diambil dari SINI
Gratisssssssssssssssssss..... saya suka yang gratis.... *kabur sebelum dikepruk.
BalasHapusIki onok perkoro opo maneh kok isuk-isuk keprak-kepruk ae?
HapusCerita yang tidak membosankan walau dibaca berkali-kali, nice post
BalasHapusMakasih banyak kunjungannya, Pak Subur... Selamat beraktivitas...
HapusAda gak ya yang mau kirimin aku pecel lele???? Mbak, bagus n keren selalu tulisan mbak'e. Addicted to you kata Utada Hikaru......
BalasHapusWakakak... kirim ke Jepun plus busuk yak? Makasih mampirnya, LeeAnn....
HapusKebetulan dr kemarin lagi pengin lele, trus disuguhi (bacaan tentang) lele sama tante lis, hasilnya? ngeces! *yang dipikirin makanan mulu* wkwkwk..
BalasHapusSodorin kain pel dulu buat ngepel ngecesnya, hahaha...
HapusMakasih mampirnya, Mbak Putri...
Jd laperrrrrrrrr Tan.......... *pasang muka melas
BalasHapusPuuut... Puisimu kok melas banget???
HapusMakasih mampirnya ya, Ndhuk...
pernah tayang di forum Kompasiana ya mba???
BalasHapusDari dulu suka baca fiksi mba lizz di forum itu, tp gak punya akun jadi gak bisa komen..
Betul, Mbak... Fiksi yang di sana udah bersih saya boyong ke sini semua. Salam kenal ya, Mbak... Makasih kunjungannya....
HapusFiksinya bikin lapeeer... :D
BalasHapusSip mbak, semoga makin produktif :)
Makasih kunjungannya ya, Mbak Indri...
Hapus