* * *
Sebelas
Sudah terlalu lambat untuk menyadari bahwa ucapannya
tempo hari, sekitar tiga bulan lalu, adalah salah. Salah besar! Saat itu
Bismaka menyatakan takut kehilangan dirinya. Sekarang, justru dirinyalah yang
kehilangan Bismaka. Setelah dengan cepat, begitu saja, tanpa berpikir lebih
dulu, menjawab, “Maaf, Bim. Aku belum bisa.”
Rika menyandarkan punggungnya. Menatap langit
kelabu menjelang sore yang sarat titik-titik hujan di luar jendela kantor.
Sudah terlalu lambat pula untuk menyadari
bahwa ia sedemikian bodoh. Teman sebaik Bismaka sangat susah didapatkan.
Apalagi teman yang kemudian menginginkan hal ‘tak lagi sekadar teman’. Keinginan
yang sebetulnya sama dengan yang tersimpan di sudut hatinya sendiri. Keinginan
yang terpaksa ia ingkari karena faktor waktu. Faktor yang ia ciptakan sendiri
batasannya.
Dihelanya napas panjang.
Sejak kejadian itu, ia memang sengaja
menghindari Bismaka lagi. Pemuda itu masih mengirimkan pesan sesekali. Menanyakan
posisinya pada saat yang sama. Terkadang ia membalas, terkadang juga tidak. Hingga
ia sampai pada satu titik. Titik di mana ia menemukan bahwa ia merindukan
pertemuan dengan pemuda itu.
Beberapa kali dilihatnya hanya ada Pringgo di
truk-truk Erbim. Terkadang sendiri, terkadang bersama istri tercintanya.
Sesekali ia menyapa, tapi lebih sering menghindar dan berusaha tak menampakkan
diri. Hingga ia kepergok tiga hari
lalu. Ketika sedang mengecek mesin kasir, dan Pringgo datang untuk memesan
cwimie.
“Wah,
Rik, jarang banget lihat kamu sekarang,” ucap Pringgo. “Sibuk banget, ya?”
Ia
mengulas senyum. Terpaksa keluar dari truk dan menghampiri Pringgo. Dia
mengucap salam dan menjabat tangan laki-laki itu.
“Ya,
begitulah, Om,” jawabnya ketika Pringgo menanyakan kembali kesibukannya. “Berhubung
sekarang saya sudah full di
usaha kuliner ini, jadi saya banyak melakukan pembenahan. Otomatis waktu saya
cukup tersita untuk itu. Apalagi sekarang lagi nego lokasi dan harga slot untuk
tambah armada di tempat baru.”
“Yang
di Cikarang itu?”
“Betul,
Om.”
Pringgo
menghela napas panjang. Tatapannya terlihat sedikit menerawang.
“Bimbim
dan aku belum deal soal
itu,” ujarnya kemudian, sedikit menggumam. “Aku, sih, ingin. Kesempatan emas,
kan? Dananya juga ada. Tapi Bimbim keburu fokus sama program magisternya. Jadi,
ya, terbengkalai.” Pringgo mengedikkan bahunya.
“Oh,
Bimbim daftar program S-2?” Rika melebarkan matanya.
“Lho,
dia nggak cerita sama kamu?” Pringgo menaikkan alisnya.
Rika
hanya bisa menggeleng. Sejauh itu sudah jarak yang terbentang di antara dirinya
dan Bismaka.
“Belakangan
ini kami nggak pernah bertemu, Om. Sudah beberapa minggu.”
Ucapan Sonia dua hari lalulah yang membuatnya
didera penyesalan.
“Sudah
lebih dari cukup, Rika.” Ujaran Sonia terdengar begitu halus di telinga Rika. “Yang
kamu lakukan untuk Andries dan kami sudah lebih dari cukup. Andries bahagia bersamamu
pada saat-saat terakhir hidupnya, kita semua tahu itu. Mama sangat bisa
merasakannya. Sekarang tinggal kamu. Sudah hampir setengah tahun Andries pergi.
Seharusnya masa berkabungmu sudah lama usai. Bahkan seharusnya sudah usai sejak
berbulan-bulan lalu. Sejak Andries dimakamkan. Pemuda yang tempo hari Mama
lihat itu? Siapa namanya? Yang punya food truck sama sepertimu itu?”
“Bimbim?”
“Ah,
ya! Bimbim!” suara Sonia terdengar begitu antusias. “Gimana kabarnya?”
Dan,
ia hanya bisa menggeleng. Membuat Sonia menatapnya dengan sorot mata menyesal.
“Rik,”
ucapnya kemudian, “bagi Andries, gadis sebaik kamu itu sangat susah dicari.
Begitu pula Bimbim. Mama bisa rasakan bahwa dia juga pemuda yang sangat baik. Cocok
sekali untukmu.”
“Dia....”
Rika mendegut ludah. “Dia... beberapa minggu lalu... ingin meningkatkan status
hubungan... dengan saya. Tapi... saya....” Rika menggeleng. “Rasanya masih
terlalu cepat.”
“Rika....”
Seketika Sonia menggeser duduknya. Mengulurkan kedua tangannya dan menggenggam
erat jemari Rika. “Dengar Mama, sekali lagi, masa berkabungmu sudah habis.
Andries harus pergi, memang itu yang terbaik buat dia. Yang tertinggal adalah
kita, kamu, dengan kehidupan yang terus berlanjut. Tidak ikut berhenti dengan
berhentinya napas Andries. Jangan pernah merasa bahwa rentang waktumu masih
terlalu pendek untuk menengok ke arah yang lain. Kamu berhak melanjutkan hidup,
berhak untuk bergaul, berhak untuk menikmati kehidupan sosialmu, dan berhak
untuk memperoleh kebahagiaan baru.”
Seketika
itu juga ia menyesali keputusannya untuk menunda pertemuan dengan Sonia.
Karena....
Rika menggeleng samar. Seandainya waktu bisa diputar kembali.... Dengan nelangsa, ditatapnya
tetes-tetes hujan yang mulai turun.
* * *
Sedikit banyak kesibukannya berkerja,
mengurus usaha kuliner, dan mempersiapkan diri untuk kembali duduk di bangku
kuliah bisa mengurangi bayangan wajah Rika dari benak Bismaka. Tapi tak sepenuhnya.
Karena bayangan sosok gadis itu sudah telanjur menancap begitu kuat pada setiap
ujung syaraf rasanya.
Pada setiap kunjungannya ke truk, ia berharap
bisa menemukan wajah Rika terselip di bawah bayang-bayang puluhan tenda. Tapi
nihil. Gadis itu kembali hilang bak ditelan bumi. Beberapa belas kali dicobanya
untuk mengirimkan pesan pendek. Sekadar bertanya kabar dan posisi. Sayangnya,
terkadang dijawab, terkadang tidak. Kalaupun ada jawaban, selalu saja gadis itu
sedang berada di luar jangkauan. Pun setiap kali ia memarkir mobilnya di area
parkir khusus pengelola truk, kedai, dan tenda. Dicobanya untuk menatap
berkeliling. Tapi kendaraan yang biasa dipakai Rika tak juga terlihat.
Pada satu sisi, hatinya berseru-seru agar ia
pasrah dan mencoba berpaling ke arah lain. Mengirimkan isyarat bahwa mungkin
gadis itu bukanlah belahan jiwanya. Tapi, sisi lainnya tak kalah garang melarang.
Mengingatkan bahwa ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
Menyuruhnya tetap memelihara api harapan yang kian hari kian redup nyalanya.
Suara tetes-tetes air yang beradu dengan
tenda menarik Bismaka keluar dari lamunannya. Gelapnya langit datang lebih
cepat karena hiasan mendung yang terlihat rata. Ia menoleh ketika melihat
ayahnya berlari-lari kecil menghampirinya.
“Papa pesankan cwimie,” ucap Pringgo, mengulum
senyum. “Kayaknya enak banget hujan-hujan begini makan cwimie.”
“Kebetulan, aku lagi lapar.” Bismaka
tersenyum lebar.
“Papa mau tanya sesuatu, boleh?” Pringgo
menatap putra tunggalnya itu. Dalam-dalam.
“Boleh saja.” Bismaka mengangguk, walaupun
dengan sorot mata tampak kurang yakin.
“Kamu nggak pernah kasih tahu Rika kalau kamu
mau lanjut S-2?”
Seketika Bismaka kembali mengembangkan
senyumnya. Ia menggeleng.
“Aku kira soal apa.” Ia menanggapi dengan
nada menggerutu. “Enggak. Kan, belakangan ini memang nggak pernah ketemu.”
“Sebetulnya, hubunganmu dengan dia itu
seperti apa, sih?” Pringgo mengerutkan kening. “Mamamu ngotot ada apa-apa di
antara kalian. Tapi, Papa lihat....” Pringgo mengedikkan bahu.
Bismaka mengulum senyum. Selintas pikiran
hadir di benaknya. Aturan pertama, Mama
selalu benar. Aturan kedua, lihat aturan pertama. Ia kembali menggeleng
samar.
“Mama benar,” jawabnya kemudian, dengan suara
nyaris tak terdengar. “Setidaknya, aku ingin seperti itu. Nggak sekadar teman.
Susah dijelaskan. Karena menyangkut rasa.”
“Tapi?” Pringgo makin menyelidik.
Bismaka mengangkat bahu. “Ya, Papa kira-kira tahu
sendirilah arah anginnya tiba-tiba saja berbelok ke mana.”
“Perempuan itu memang susah dimengerti,”
gumam Pringgo. “Bahkan, bertahun-tahun Papa jadi suami Mama, masih juga
kadang-kadang meleset dalam hal memahami Mama.”
Bismaka tersenyum samar. Sepanjang hidupnya,
ia memang pernah beberapa kali menjumpai ayah-ibunya berselisih paham. Tapi,
selalu ada cara untuk akur kembali.
Pada saat itu, salah seorang pramusaji truk cwimie Han’s datang mengantarkan pesanan Pringgo. Nafsu makan Bismaka segera tergugah
ketika melihat mangkuk-mangkuk cwimie yang masih mengepulkan asap tipis di atas
nampan. Lengkap dengan aroma sedapnya.
Setelah menghidangkan dua mangkuk cwimie,
pramusaji itu menyerahkan struk, disertai sejumlah uang, kepada Pringgo.
Ucapannya membuat waktu di sekeliling Bismaka seolah membeku.
“Pak, ini pembayaran pesanan Bapak. Sama Mbak
Bos disuruh mengembalikan.”
Bersamaan dengan itu, ada kilat yang
menyambar di kejauhan. Cahayanya cukup mencairkan kembali waktu di sekitar
Bismaka. Ia melengak.
“Rika ada?” tanyanya.
“Ada, Mas. Baru saja datang.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bismaka segera bangkit
dan meninggalkan kursi, makanan, dan ayahnya. Berlari menembus rintik hujan
yang makin rapat. Menuju ke truk Rika.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar