Sebelumnya
* * *
Mimpinya menyenangkan. Bermain sepuasnya di bawah sekeranjang besar hujan yang diguyurkan dari langit. Apalagi ada Maxi di sebelahnya. Tapi tiba-tiba saja halilintar menggelegar, dan Maxi menghilang. Membuat Pingkan terjaga seketika.
Cuma mimpi..., desahnya lega.
Ia kemudian mengerjapkan mata dan menggeliat. Badannya terasa lebih nyaman sekarang. Tak lagi kedinginan. Dan, rasa pusing juga sudah menguap habis dari kepalanya. Pelan-pelan ia mengangkat tubuh, melepaskan diri dari ranjang. Saat itulah matanya menangkap pemandangan tak lazim di atas meja tulisnya.
Sebuah buket besar berisi rangkaian mawar merah segar tergeletak di sana. Buru-buru ia bangkit dan meraih buket mawar merah itu. Langkahnya masih sedikit limbung.
Pasti dari Maxi!
Sekilas ia melirik jam dinding di atas pintu kamar mandi. Sudah lewat sejam dari waktu perjanjiannya bertemu Maxi. Ia duduk di depan meja. Menghirup dalam-dalam aroma wangi mawar sambil memejamkan mata. Sejenak kemudian ia meraih ponsel. Pada nada tunggu ke sekian, barulah terdengar sahutan dari seberang sana.
“Ya, Ke? Kamu sudah bangun?”
“Iya, sudah. Kamu di mana sekarang?”
“Ada di teras samping sama... mm... Papa dan Mama.”
“Aku ke situ, tapi mandi dulu, ya?”
“Sudah nggak pusing?”
“Enggak. Sudah nggak apa-apa.”
“Mandi pakai air hangat dulu.”
“Hehehe... Iya... Oh, ya, makasih mawarnya, ya. Baguuus banget!”
“Iya, sama-sama.”
Pingkan pun mengakhiri teleponnya, dan segera meloncat ke kamar mandi.
* * *
“Max?”
Maxi menoleh mendengar panggilan itu. Ia berdiri dan menyalami laki-laki yang menyapanya.
“Selamat pagi, Om,” sapanya, sangat sopan.
“Ya, selamat pagi,” senyum Harvey. “Sudah ketemu Keke?”
“Lagi tidur, Om. Biar istirahat dululah dia.”
“Ya, ya...,” angguk Harvey. “Ayo, kita ngobrol di teras samping saja.”
Maxi pun mengikuti ajakan Harvey. Keduanya kemudian duduk berhadapan di sofa. Dipisahkan oleh sebuah meja pendek. Salah seorang ART keluarga Harvey muncul dan kembali menyuguhkan minuman untuk Maxi. Juga sepiring aneka kue basah dan beberapa stoples makanan ringan. Sonia menyusul di belakangnya. Duduk di sebelah Harvey, yang menempati sofa panjang.
“Kamu mau bahas soal yang kemarin?” Harvey tersenyum lebar. Langsung membidik dengan tepat maksud Maxi.
“Iya, Om,” angguk Maxi.
Sekilas, Harvey dan Sonia bertukar tatapan.
“Saya... mengucapkan terima kasih banyak atas apa yang sudah saya terima selama bergabung di Royin,” Maxi mengawali curahan hatinya. “Tempat untuk meniti karier, kepercayaan, segala macam kompensasi, dan juga... apa yang saya peroleh kemarin. Mungkin benar bahwa saya layak menerimanya, tapi... saya rasa... semua itu agak terlalu banyak buat saya.” Maxi sedikit tertunduk.
“Tidak ada yang terlalu banyak, Max,” Harvey menanggapinya dengan sabar. “Yang sudah kamu lakukan jauh melebihi apa yang bisa kami berikan untukmu. Soal fasilitas, kompensasi, dan sebagainya, itu memang berhak kamu terima sebagai seorang pekerja keras, sekaligus salah satu anak kami. Sejak kamu pelan-pelan berhasil mengembalikan Keke seperti Keke yang kami kenal dulu, kamu sudah kami anggap anak sendiri. Jadi, tolong, jangan kamu kembalikan. Pakailah sesukamu. Itu hakmu sepenuhnya.”
Maxi tercenung. Tak tahu harus mengucapkan apa.
“Papa tidak hanya mengetahui kerja kerasmu di Royin dari laporan Nicholas ataupun Andries,” Harvey melanjutkan ucapannya. “Papa sering melihatmu sendiri, tanpa kamu tahu. Di mata Papa, kamu tak ada bedanya dengan Nicholas dan Andries. Kalian sama-sama pekerja keras yang layak dihargai. Sama-sama anak Papa.
“Saat ini kamu sudah menyelesaikan pendidikanmu dengan hasil yang sangat baik. Tadinya, Papa berpikir untuk menunggu setahun lagi sebelum menyerahkan Royin Cikarang ke tanganmu. Tapi beberapa waktu belakangan ini Papa terpaksa mengubah pikiran. Kamu tahu, kan, Andries beberapa bulan ini makin sering drop?”
Maxi mengangguk. Terakhir sekitar dua bulan lalu. Andries mimisan dan pingsan saat tengah memimpin rapat di Cikarang. Maxi langsung melarikannya ke rumah sakit langganan Andries di dekat apartemen laki-laki itu. Hampir dua minggu Andries dirawat di rumah sakit, dan Maxi-lah yang pontang-panting bersama jajaran petinggi pabrik mengendalikan Royal Interinusa Cikarang dan Karawang sekaligus. Berkat kerja sama yang baik, kedua pabrik Royal Interinusa itu tak mengenal kata oleng.
“Setelah berunding dengan Nicholas,” lanjut Harvey. “Papa memutuskan untuk menarik Andries ke sini dan menyerahkan Royin Cikarang dan Karawang ke tanganmu untuk kamu nakhodai. Andries akan mendampingi Papa di kantor pusat. Nicholas tetap di Tangsel. Secara fisik, pekerjaan Andries di pusat tidak terlalu berat. Selain itu, lebih mudah mengawasi kondisinya. Papa harap kamu siap secepatnya untuk memegang tanggung jawab itu.”
Maxi ternganga. Secepat ini? Ia menggeleng samar. Apa aku mampu?
“Kamu mampu, Max.”
Suara berat Harvey menyentakkan kesadaran Maxi. Ia mengangkat wajah. Menatap Harvey.
“Sangat mampu.” Harvey menegaskan sekali lagi. “Bukan karena kamu punya hubungan istimewa dengan Keke. Tapi secara pribadi, kamu sangat mampu. Kamu sudah berkali-kali membuktikan itu.”
Maxi masih terhenyak.
“Dan, mulai sekarang, jangan ada ‘tante’ dan ‘om’ lagi di antara kita.” Senyum Harvey melebar. “Panggil Mama dan Papa.” Suara Harvey terdengar tegas. “Kami orang tuamu juga.”
Sebelum Maxi sempat menanggapi lebih lanjut, ponsel di saku kemejanya berbunyi. Dering khusus dari nomor Pingkan. Maxi terlihat ragu sejenak. Tapi sedetik kemudian ia menatap Harvey dan Sonia.
“Maaf, ini dari Keke,” ujarnya, terlihat sedikit rikuh.
“Terima saja dulu,” senyum Sonia. “Sudah bangun dia.”
Maka, Maxi pun menarik keluar ponselnya dari saku kemeja.
* * *
“Asyik! Aku diajak nyobain mobil baru!” seru Pingkan dengan kepolosan seorang kanak-kanak.
Maxi tertawa mendengarnya. Sebelum meluncurkan mobil, tangan kirinya terulur ke kiri. Meraba kening Pingkan.
“Sudah nggak panas lagi nih anak,” gumamnya.
Seketika Pingkan mengerucutkan bibir. Maxi tergelak.
“Kamu kenapa semalam nekad banget hujan-hujanan?” tanya Maxi setelah tawanya reda, sambil mulai meluncurkan mobil keluar dari carport rumah Pingkan.
“Nggak tahu,” Pingkan menggeleng. “Ingin saja. Dulu aku suka sekali hujan. Dan, nggak pernah tepar.”
“Sudah mulai mencintai hujan lagi?”
Pingkan tak menjawab. Ia menatap ke luar jendela. Pada jalanan basah, naungan mendung, dan juga hujan yang mulai menumpahkan rintiknya.
“Mungkin...,” desahnya kemudian. Ia kemudian menoleh ke kanan. Menatap Maxi. “Semalam aku menikmati hujan dan tak mengkhawatirkan apa pun. Begitu saja.”
Maxi menoleh sekilas. Tersenyum.
“Dan, aku sadar bahwa aku mulai menikmati lagi hidupku sejak dekat denganmu,” bisik Pingkan. “Berproses pelan-pelan, hingga aku menemukan diriku merindukan hujan. Seperti aku merindukanmu saat kamu sibuk dan terasa begitu jauh.”
Maxi terdiam. Ada perasaan hangat yang menjalari dan menyelimuti hatinya. Tapi pembicaraan dengan Harvey beberapa saat lalu terngiang kembali di telinganya. Membuatnya menyetir sambil setengah melamun. Untung bisa sampai dengan selamat hingga ke area parkir kafe kecil langganan mereka.
Sudut untuk berdua di dekat jendela seolah sudah tersedia untuk mereka. Sambil menatap hujan yang berderai di balik kaca, menikmati minuman hangat, dan menyantap menu makan siang favorit, keduanya bercakap. Menyerempet hingga ke hal masa depan.
“Memangnya kamu sudah mantap mau menikahiku?” Pingkan menatap Maxi.
“Mantap.” Maxi mengangguk tegas. “Kata Mas Luken, ketika kamu sudah merasa nyaman, tak ragu, dan tak mengkhawatirkan apa-apa lagi ketika bersama seseorang yang kamu cintai, bisa jadi memang dialah belahan jiwamu. Itu semua aku rasakan sejak bersamamu.”
Pingkan mengerjapkan mata. Entah kenapa, ungkapan itu terasa pas sekali dengan apa yang ia rasakan.
“Mm... tadi Papa Harvey bilang, selanjutnya aku bakal stay di Cikarang. Kapan kamu ada waktu? Aku pikir kita harus mulai hunting rumah di sana.”
“Waktuku bisa menyesuaikan waktu yang kamu punya, Max,” Pingkan menanggapi.
“Akhir minggu depan ini?”
Pingkan mengangguk.
“Eh, rumah pojok di seberang indekosmu itu, kayaknya tempo hari kulihat ada plang ‘dijual’. Gimana kalau kita beli rumah itu? Maksudku, aku ada uang lumayanlah buat DP kalau kita ajukan kredit. Nanti cicilan bulanannya kita tanggung bareng.”
Maxi menggeleng. “Sudah laku.”
“Yah....” Wajah Pingkan seketika menguncup.
“Ada beberapa bagian yang rusak karena sudah lama nggak ditempati. Jadi sekarang lagi direnovasi besar-besaran,” lanjut Maxi.
“Oh....”
“Nanti kita cari rumah yang lain, ya?” bujuk Maxi dengan nada sabar. “Aku ada dana. Nanti kita cari yang sesuai anggaran. Kalau kurang-kurang dikit, aku masih punya tabungan lain, kok.”
Pingkan mengangguk. Tapi sedetik kemudian ia tersentak.
“Eh, duit kamu banyak juga, ya?” Pingkan tergelak ringan.
Maxi tersenyum.
“Kemarin waktu pulang dari wisuda, aku baru tahu kalau dapat transferan dari Papa Harvey,” jelasnya kemudian. “Sebagian penghematan pengadaan rangkaian mesin yang tempo hari aku desain dan rakit itu beliau bagi denganku. Terserah padaku mau buat apa. Kupikir... kenapa tidak kukembalikan saja melalui putri kesayangannya dengan membeli rumah yang layak dan nyaman untuk ditinggali sang putri? Tapi kalau harus di Cikarang, gimana? Mau?”
“Oh, Max....” Mata Pingkan tampak mengaca. “Di mana saja, asal sama kamu.”
Seketika Maxi meraih tangan Pingkan. Menggenggamnya hangat.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)