Bias Rindu
Seluruh kerja kerasnya selama beberapa bulan belakangan ini seolah sudah terbayar sebagian. Hampir lunas. Dari area parkir kompleks ruko, James Sudianto menatap bakal kedai kopi yang diidamkannya.
Ruko berlantai tiga itu sudah dicat ulang dari putih polos menjadi coklat susu, dikombinasi dengan berbagai aksen warna coklat kayu. Tampak mencerminkan sesuatu yang akan dijualnya sebagai komoditas utama. Kopi. Perabot bagian dalamnya pun sudah mulai ditata.
Lantai pertama seluas 250 meter persegi disekat menjadi dua. Bagian belakang yang mengambil dua pertiga luas lantai difungsikan sebagai dapur. Sisanya di bagian depan didesain sebagai ruang saji smooking area dengan konsep warung kopi sederhana. Sebagian besar perabotnya terbuat dari bambu. Bahkan ada angkringan di sudut kanan, dekat dengan kasir. Itulah area bar. Di sebelah kasir ada tangga untuk menuju ke lantai dua.
Lantai dua yang merupakan non-smooking area didesain berkonsep ruang kafe yang lebih moderen dan nyaman untuk keluarga. Lantainya dilapisi parket kayu. Suasananya hangat dengan dua macam tempat duduk. Ada beberapa sofa set di sepanjang dua sisi dinding, dan jajaran meja-kursi berangka stainless steel yang terkesan ringan di bagian tengah.
Lantai tiga difungsikan sebagai ruang makan dan istirahat karyawan. Ada deretan loker di sana untuk menyimpan barang pribadi karyawan. Disediakan juga ruang khusus untuk beribadah. Selain itu ada satu lagi ruang lainnya untuk kantor manajer.
Senyum puas tersungging di bibir laki-laki berusia 56 tahun yang masih tampak gagah itu. Semuanya sudah siap, tinggal neon box saja yang belum terpasang. Menurut perjanjian, hari ini neon box akan dikirim oleh pembuatnya.
Ia menoleh ketika seseorang menepuk bahu kirinya. Luken Aldrin, keponakannya sendiri. Terlihat baru saja merapat ke lokasi dari arah kantornya, tepat di seberang jalan.
“Wah, sudah siap launching, nih, Om?” Luken tersenyum lebar
“Tepat sesuai rencana,” angguk James Sudianto, laki-laki itu. “Dua minggu lagi.”
“Sudah kusiapkan lengkap seluruh koleksi kopi yang kita punya,” ujar Luken.
James mengacungkan jempol.
“Ayo, makan siang dulu, Om,” ajak Luken.
“Di kantormu saja,” James menanggapi.
“Lho, cuma ada nasi kotak katering. Mau kupesankan menu dari resto sebelah?”
James menggeleng. “Sudah, itu saja cukup.”
Luken mengalah. Keduanya menyeberang setelah James berpamitan kepada mandor proyek.
* * *
Mereka makan bertiga di meja Olivia, salah seorang sekretaris sekaligus calon istri Luken. Sekilas, James menatap meja kosong di sebelah meja Olivia. Meja Sandra Hakim, sekretaris Luken yang sudah sangat senior. Saat ini, sudah masuk hari keempat mengajukan cuti karena suami tercintanya sakit. Kemudian, ditatapnya Luken.
“Pak Riza masih di rumah sakit?” tanyanya.
“Semalam Bu Sandra mengabariku, Pak Riza malah masuk ICCU,” Luken menjawab dengan ekspresi wajah prihatin.
James menghela napas panjang. Ia menggeleng samar.
Beberapa hari lalu, Riza Hakim, suami Sandra dilarikan ke rumah sakit oleh staf dan kolega di fakultas tempat laki-laki itu mengabdikan diri sebagai seorang dosen. Riza pingsan saat mengajar. Dokter kemudian mendiagnosis, Riza terkena serangan jantung.
Dan, tampaknya makin parah, pikir James sedih.
“Ini nanti habis makan aku mau menengok ke sana,” celetuk Luken. “Om mau ikut? Aku sendirian. Livi lagi banyak banget kerjaan.”
James terlihat bimbang sejenak. Tapi akhirnya ia mengangguk.
Sambil makan, pikiran James sesekali melompat ke masa lalu. Saat ia masih aktif mengendalikan kantor ini, Coffee Storage. Eksportir kopi besar dengan nama baik yang cukup disegani.
Saat ia memutuskan untuk pensiun beberapa tahun lalu, diserahkannya ‘anak kesayangannya’ ini pada Luken, satu-satunya keponakan yang ia miliki. Ia melihat dari jauh, Luken berhasil mengendalikan – bahkan membesarkan – Coffee Storage dengan tangan dinginnya. Membuatnya puas dan tak pernah menyesali keputusannya.
Ia memutuskan untuk pensiun karena kalah dengan hatinya sendiri. Setegar apa pun ia sebagai seorang lelaki, seprofesional apa pun ia sebagai seorang pimpinan, ketika nyaris setiap hari harus berhadapan dan berada begitu dekat dengan perempuan yang ia cintai sepenuh hati, tapi tak pernah bisa menjadi miliknya, lama-lama ia merapuh juga.
Sandra Amelia..., James menggumamkan nama itu dalam hati.
Perempuan itu sekretarisnya sejak Coffee Storage pertama kali berdiri. Perempuan itu pula yang menjadi saksi sekaligus temannya berjuang agar perusahaan itu tetap beroperasi dan tegak berdiri. Perempuan yang lebih memilih untuk menyematkan nama ‘Hakim’ di belakang namanya, alih-alih memilih nama ‘Sudianto’. Keputusan yang membuat James patah hati.
Hingga detik ini Sandra masih menjadi sekretaris di Coffee Storage. Pekerjaan yang dilakoninya dengan gembira tiap hari. Apalagi saat Coffee Storage berganti nakhoda. Menjadi bertambah besar hingga harus menambah seorang lagi sekretaris. Sandra jadi punya rekan untuk berbagi tanggung jawab, tak lagi sendirian.
James mendengar dari Luken, bahwa Sandra sendiri yang menyeleksi calon teman seprofesinya itu. Dan, Olivia Paloma, sarjana administrasi niaga yang terpilih menjadi sekretaris tandem Sandra itu tampaknya adalah sosok yang benar-benar tepat untuk menangani pekerjaan, sekaligus memenangkan hati Luken. Santun, cerdas, cekatan, sangat menguasai bidangnya, dengan bonus kecantikan yang begitu memikat, adalah paket yang lengkap untuk meluluhkan hati seorang duda seperti Luken. Duda yang sudah bertahun-tahun ditinggal istri tercintanya pergi menghadap Tuhan.
Sejarah berulang. Seorang pimpinan lajang jatuh cinta kepada sekretarisnya sendiri. Hanya saja kali ini nasib Luken jauh lebih baik daripadanya. Bila dulu Sandra lebih memilih seorang laki-laki bernama Riza Hakim, sebaliknya dengan Olivia dan Luken. Luken sudah melamar Olivia secara tidak resmi beberapa waktu lalu. Olivia pun sudah menerima lamaran itu sepenuh hati.
Awal bulan depan, rencananya acara lamaran resmi akan dilangsungkan. Jauh-jauh hari kakak tunggalnya sudah mengingatkan agar James mengosongkan waktunya saat acara lamaran itu. Tentu saja James menyanggupi tanpa syarat. Bagaimanapun, ia juga menyayangi Luken seperti anak sendiri.
Setengah jam kemudian, James dan Luken beranjak. Rumah sakit tempat Riza dirawat tak begitu jauh dari kantor mereka dan juga dari rumah Sandra. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai, kalau tidak lebih dulu terjebak kemacetan di sepanjang jalur ramai itu.
* * *
Satu hal yang tak pernah ada dalam pikiran James adalah kejadian yang tepat berlayar di depan matanya. Begitu melihat kehadirannya dan Luken di lorong depan ICCU, Sandra yang sejak awal sudah tampak berurai air mata langsung berlari dan menubruk Luken. Meninggalkan putri tunggalnya duduk sendiri di kursi lorong. Tanpa banyak komentar Luken pun memeluk perempuan berusia menjelang akhir empat puluhan itu.
“Kami semua turut mendoakan kesembuhan Pak Riza, Bu,” bisik Luken.
Tangis Sandra makin jadi. Dan, di tengah sedu-sedan itu, pada akhirnya Luken dan James memahami bahwa Riza sudah ‘sembuh’. Riza tak akan sakit lagi, karena sudah dipanggil pulang oleh Tuhan beberapa menit sebelumnya. Luken makin erat memeluk Sandra.
Di tengah suasana sedih itu, James memutuskan untuk mengambil inisiatif. Ia menarik keluar ponselnya dari saku kemeja. Dihubunginya sebuah nama. Dihelanya napas panjang ketika didengarnya sahutan dari seberang sana.
“Liv, ini James,” ucapnya lirih, dengan suara serak. “Kamu tutup kantor, ya. Bilang ke teman-teman, Pak Riza baru saja berpulang. Kami masih di rumah sakit. Terserah kalian mau ke sini atau langsung ke rumah Bu Sandra.”
Setelah itu, ia menghubungi sebuah nama lain. Kakaknya, ibu Luken. Dikabarkannya hal yang sama.
“Oke, James. Kami segera berangkat ke sana,” jawab kakaknya tanpa berpanjang kata.
Setelah itu, James melangkah diam-diam mendekati putri Sandra dan Riza. Gadis bernama Angie itu segera tenggelam dalam pelukan James. Ia sudah mengenal James sejak kecil. Sudah menganggap James seperti ayah keduanya.
James hanya memeluk hangat gadis itu tanpa berkata apa pun. Sesekali tangannya membelai kepala Angie. Membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesedihannya dalam bentuk tangis tersedu. Tak urung mata James mengaca.
Kalau saja aku dulu jadi menikah dengan Sandra, mungkin aku sudah punya anak sebesar ini...
Tapi James segera mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Rasanya benar-benar tak pantas punya pikiran seperti itu dalam suasana duka seperti ini.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.
Catatan :
Untuk sementara, cerbung ini dijadwalkan akan mengudara setiap hari Senin dan Kamis.
Silakan intip juga cerpen terbaru yang terbit kemarin, "Majalah Dinding".