Sebelumnya
* * *
Empat
Lea diam-diam mengerutkan kening. Mata hatinya bisa menangkap adanya ketidakberesan. Sudah hampir satu minggu ini Renata jauh lebih pendiam daripada biasanya. Terhadapnya dan anak-anak, sikapnya tak berubah. Masih hangat dan penuh perhatian seperti biasanya. Tapi terhadap Rafael? Renata tak sedikit pun bersuara. Bahkan sudah beberapa hari ini berangkat kerja dengan membawa mobil sendiri. Dengan alasan mobilitasnya sedang tinggi karena harus banyak bertemu klien. Ia sama sekali tak tahu apakah memang benar seperti itu, atau cuma sekadar alasan saja.
Setengah mati ia menahan diri untuk tidak bertanya. Sudah jadi komitmennya untuk tidak turut campur terhadap urusan rumah tangga anak-anaknya walaupun mereka tinggal dalam satu atap. Dulu dengan Steve dan Anna, kini dengan Rafael dan Renata.
Sesungguhnya, ia khawatir akan terjadi hal tak diinginkan dalam pernikahan putranya yang hanya tinggal seorang saja itu. Seperti dulu telah terjadi pada pernikahan Steve dan Anna. Walaupun Steve dan Rafael memang jauh berbeda, tapi rasa khawatir itu tetap ada. Hanya saja masih ada keyakinan dalam dirinya, bahwa Rafael dan Renata akan lebih mampu menghadapi dan melalui apa pun masalah dalam pernikahan mereka.
Ia tersentak ketika suara lembut Rafael menyapa telinganya. Ditatapnya anak lelakinya itu, yang masih memangku Steve kecil yang tengah asyik makan sepotong wortel rebus.
* * *
Sepanjang acara sarapan yang tadi hanya dihadiri Renata secara singkat itu, Rafael sibuk menimbang-nimbang. Renata marah, ia tahu. Tapi untuk mulai membicarakan ‘masalah itu’ dengan Renata, ia sungguh-sungguh tak tahu harus mulai dari mana.
Seharusnya soal ia dan Adita di masa lalu sudah tak penting lagi untuk masa kini dan ke depannya. Tapi benarkah demikian? Kalau sudah tak penting lagi, kenapa tidak sejak awal dulu ia menceritakannya pada Renata? Itu yang hingga kini ia benar-benar tak tahu mengapa.
Apakah karena....
Rafael tercenung. Ia pernah mengharapkan Adita. Sangat mengharapkan. Tapi ‘kekacauan’ itu terjadi begitu saja. Tentu saja Adita tahu seperti apa perasaannya terhadap Anna. Meninggalnya Steve seolah membuka kembali celah itu. Selebar-lebarnya. Apalagi ada bayi belum lahir yang ditinggalkan Steve dalam perut Anna.
“Anna membutuhkan Mas,” begitu ucap Adita saat itu. “Aku mundur dulu. Mas perlu waktu dan ruang untuk Anna dan Mama.”
“Tapi, Dit...,” ia bahkan tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk menyambung kalimatnya itu.
“Aku akan baik-baik saja,” angguk Adita, disertai senyuman.
Lalu ia membiarkan Adita perlahan menghilang dari kehidupannya. Dan, itu adalah kesalahannya yang terbesar. Tapi ia terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri yang tiap kali harus kembali runtuh dan perlu waktu untuk menatanya kembali.
“Kak Dita sudah menikah bulan lalu,” ucap Velma ketika ia mencoba untuk mencari Adita di kedainya yang ada di seberang pet shop almarhum Anna, menjelang ulang tahun ketiga Sarah.
Kalimat pendek yang membuatnya patah hati, sekaligus dihinggapi ribuan frasa ‘kalau saja....’. Membuatnya berpesan pada Velma agar merahasiakan pada Adita tentang kedatangannya itu. Sampai kapan pun. Dengan alasan apa pun.
Benar bahwa kehidupannya terus berlanjut. Benar bahwa pada ujungnya ia bertemu dengan seorang perempuan mungil yang penuh semangat bernama Renata. Seorang perempuan lembut hati yang bersedia menjadi ibu bagi Sarah. Seorang perempuan lembut hati yang saat ini tengah dilanda api cemburu yang tampaknya terus berkobar.
Dihelanya napas panjang. Dipanggilnya Lea dengan suara halus.
“Ma....”
Perempuan itu menatapnya.
“Ma, aku mau bicara sama Mama,” Rafael balas menatapnya, dengan sorot mata kelam. “Mama ada waktu?”
“Kapan?” Lea mengangkat alisnya.
“Sekarang.”
Lea sekilas menatap jam dinding. Sudah pukul tujuh lewat. Sarah sudah berangkat sejak pukul enam tadi dengan mobil jemputan, sedangkan Renata menyusul berangkat lima belas menit kemudian. Kembali ditatapnya Rafael.
“Kamu nggak ngantor?” ia mengerutkan kening. “Nanti kamu kesiangan.”
“Nggak apa-apa,” geleng Rafael. “Aku nggak terlalu sibuk hari ini.”
Lea menyipitkan mata. “Kalau yang kamu ingin bicarakan ini adalah masalahmu dan Renata, lebih baik Mama mengerjakan hal lainnya yang lebih berguna. Mengajak Steve main ke taman, misalnya.”
Rafael menghela napas panjang mendengar ada nada tak terbantah dalam suara ibunya.
“Kalian selesaikan sendiri,” lanjut Lea, dengan ketegasan yang sama. “Kalian sudah dewasa. Sangat dewasa. Apalagi kalau Mama lihat, kamu sendiri yang sudah bikin masalah sampai Renata sedemikian marahnya padamu.”
“Memangnya Renata cerita apa sama Mama?” mata Rafael mengerjap. Resah.
Lea kembali mengerutkan kening. “Renata? Cerita sama Mama? Memangnya kamu pikir istrimu itu pengadu? Dia nggak pernah cerita masalah kalian sama Mama. Apa pun itu. Tapi setidaknya Mama punya mata hati.”
Rafael mengembuskan napasnya keras-keras. Melihat keteguhan ibunya, rasanya ia tak punya pilihan lagi selain mundur teratur dan mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri. Dikecupnya puncak kepala Steve.
“Steve, Papa kerja dulu, ya, sayang...,” gumamnya lembut.
Tidak seperti biasanya, kali ini Steve kecil justru menempelkan kepalanya ke dada sang ayah.
“Itut...,” rengeknya.
“Lho, kok, ikut?” Rafael kembali mengecup puncak kepala Steve. “Steve di rumah sama Oma, ya?”
“Itut...,” rengek Steve lagi.
Rafael menatap Lea. “Ya, sudah, Ma, aku bawa Steve.”
Lea mengangkat bahu sambil tersenyum. Ia kemudian meraih Steve.
“Ayo, kalau mau ikut Papa, Steve ganti baju dulu yang cakep, ya?” bujuk Lea.
Bayi sebelas bulan yang sudah mulai belajar bercakap dan berjalan itu menurut. Dengan sabar Rafael menunggu ibunya mendandani Steve sambil menghabiskan tehnya yang sudah lama dingin. Beberapa menit kemudian yang ditunggunya muncul. Ia segera meraih Steve dari dekapan Lea, dan menggendongnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya meraih tas berisi berbagai perlengkapan bayi yang disodorkan Lea, dan menyandangnya di bahu. Berikutnya ia meraih tasnya sendiri yang sedari tadi tergeletak di kursi sebelahnya. Setelah itu, sambil mengajak bercakap Steve, ia melangkah ke garasi.
Dengan teliti, ia memeriksa lagi letak dan segala pengikat baby car seat sebelum masuk ke belakang setir. Sebelum mulai meluncurkan mobil itu, disetelnya musik ceria untuk anak-anak. Steve segera bertepuk tangan dengan riang. Sesekali perjaka kecil itu berceloteh lucu dengan kata-katanya yang belum jelas. Rafael tersenyum lebar melihatnya.
Membawa anak ke kantor bukanlah hal baru baginya. Ia sudah sering melakukannya sejak jaman Sarah masih bayi dulu. Pun setelah ia pindah dari kantor lama ke kantor baru yang lebih representatif di Menara Daha, saat Sarah berusia tiga tahun. Steve kecil pun sudah beberapa kali ia bawa ke kantor saat pekerjaannya sedang senggang. Memberi kesempatan pada si kecil untuk bertemu ibunya pula saat jam makan siang. Terkadang Renata menculik Steve seusai makan siang. Membiarkan si kecil tidur sejenak di dalam ruang kerjanya sebelum diambil kembali oleh Rafael.
Entah hari ini....
Rafael menggeleng samar.
* * *
Renata tercenung di depan laptop. Ia mulai mengerjakan order dari Nugra. Tanpa bisa dicegah, mau tak mau, pikirannya melayang pada masalahnya sendiri.
Apakah pantas aku secemburu itu?
Renata mengerjapkan mata. Pelan-pelan menyandarkan punggungnya.
Kenyataannya, Mas Rafael sudah memilihku, dan Adita juga sudah berkeluarga. Apa lagi?
Tapi nalurinya terus-menerus mengembuskan bisikan tentang kekurangwajaran sikap Rafael. Apalagi Rafael memang benar-benar tak pernah menyebut nama Adita sebelumnya.
Ada apa?
Renata menggeleng resah.
Kenapa?
Ia menghela napas panjang.
Apakah harus bertanya pada Mama?
Ia menggeleng lagi. Ia percaya bahwa Lea lebih dari tahu tentang pernah ada apa antara Rafael dan Adita. Hanya saja tak patut rasanya melibatkan Lea dalam hal ini, sementara Rafael sudah beberapa hari memilih untuk diam dan tidak juga mulai membahas soal itu.
Diembuskannya napas panjang. Berusaha mengusir masalah itu dari benaknya. Saat ini pekerjaan yang ditanganinya tak cuma satu. Ia perlu konsentrasi penuh untuk menyelesaikannya. Kalau memang ada pekerjaan yang belum selesai dikerjakan dalam satu hari, ia memilih untuk membawanya pulang dan mengerjakannya di rumah, atau menundanya untuk esok hari. Sudah lebih dari cukup anak-anak ditinggalkannya bekerja sepanjang hari. Rafael sudah begitu sibuk. Anak-anak masih memerlukannya, terutama Steve yang masih bayi.
Ia menegakkan kembali punggungnya. Mencoba berkonsentrasi penuh untuk mulai mengerjakan konsep dasar yang sudah dirancangnya bersama Nugra. Dari awal ia merasa bahwa pekerjaan itu tak terlalu sulit, karena permintaan Nugra tidak aneh-aneh. Sejenak kemudian, ia pun sudah tenggelam dalam keasyikannya bermain dengan bentuk dan warna. Hingga tanpa sadar hari pun merambat mendekati puncaknya.
Ia sedikit tersentak ketika ponselnya yang disetel hening mendadak bergetar. Diraihnya benda itu. Sebuah pesan melalui aplikasi WhatsApp dari Rafael. Dengan sedikit malas, ia membukanya.
Raut serius di wajahnya mendadak sirna melihat foto yang terkirim melalui pesan itu. Wajah riang Steve terpampang di layar ponsel. Memperlihatkan senyum dan ekspresi yang sungguh menggemaskan.
‘Mama, Steve ikut Papa, nih! Nanti makan siang bareng ya? ‘
Pesan itu membuatnya sejenak berpikir. Seandainya hubungannya sedang sehangat biasanya dengan Rafael, tentu saja ‘ajakan’ Steve itu akan ditanggapinya dengan gembira. Tapi....
Dihelanya napas panjang. Dibalasnya juga pesan itu. Pendek saja.
‘Oke.’
Demi Steve, lanjutnya dalam hati.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)