Kamis, 17 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #4-1








Sebelumnya



* * *


Empat
Bawono Kinayung


Pinasti melongok ke luar jendela. Dalam kegelapan yang masih remang, dilihatnya Paitun, Wilujeng, dan Kresna duduk di bangku. Suasana begitu hening. Hanya ada nyanyian serangga yang bersahutan membentuk simfoni. Seketika ia paham. Pembicaraan dalam sunyi itu dilakukan secara tertutup karena ia tak perlu mendengar apa-apa.

Gadis muda itu pun beranjak. Saat hendak mengundurkan diri ke arah belakang pondok, terdengar beberapa kali suara dengking pendek. Pinasti pun mempercepat langkahnya keluar ke beranda belakang. Ketika ia sampai di sana, dilihatnya  Bondet sudah duduk menunggu.

Pinasti mengerutkan keningnya. Ajak putih itu lebih sering berkeliaran di ‘atas’ bersama kawanannya. Jarang sekali turun kalau tidak sedang ada ‘acara’ berkumpul di tepi danau. Tapi sekarang? Seolah memerlukan diri untuk datang menemuinya secara khusus.

“Ndet? Tumben?” Pinasti duduk di bangku kecil di sudut beranda belakang.

Bondet pun menghampirinya, kemudian mengulurkan cakar kirinya pada Pinasti. Gadis muda itu pun menyambutnya dengan mengulurkan tangan kiri. Kedua telapak mereka bertemu, dan keduanya pun siap melakukan percakapan dalam hening secara tertutup. Dengan sikap santai, Bondet duduk di hadapan Pinasti.

‘Nah, sekarang katakan padaku, ada apa, Ndet?’

Bondet terdiam sejenak sebelum menjawab, ‘Abangmu itu... kapan hendak kembali ke atas?’

‘Aku tak tahu,’ Pinasti menggeleng. ‘Sekarang ini Nini, Ibu, dan Mas sedang bicara di depan. Aku tak bisa dengar.’

‘Mereka mencarinya, Pin. Ada lima orang yang turun ke Lembah Biru beberapa hari yang lalu. Dekat sekali dengan gerbang utama Bawono Kinayung. Aku terpaksa mengusirnya.’

‘Oh...’

Pinasti paham seutuhnya. Bondet dan Sumpil adalah penjaga utama gerbang-gerbang Bawono Kinayung. Tak bisa disalahkan kalau memang harus mengusir orang dari ‘atas’ yang mendekati gerbang.

‘Kelihatannya abangmu memang harus kembali ke atas, ya?’

Pinasti tersentak ketika ucapan Bondet itu menembus benaknya. Tanpa sadar mata Pinasti mengaca.

Kalau Mas harus kembali ke atas, kapan lagi bisa bertemu Mas?

Bondet mengerti apa yang dipikirkan gadis muda itu. Diletakkannya cakar kanannya ke pangkuan Pinasti. Gadis itu buru-buru menghapus genangan air matanya sebelum menggenggam cakar Bondet.

‘Ada yang namanya takdir, Pin. Sudah menggariskanmu untuk kelak bersama lagi dengan Kresna. Pada saat yang tepat.’

‘Benarkah?’ Pinasti menatap Bondet.

Ajak putih itu mengangguk. Ada seulas senyum dalam tatapan matanya. Pinasti pun membalas senyum itu.

“Kik... Kik... Kik...”

“Kik... Kik...”

Beberapa kali dengkingan itu diakhiri dengan lolongan panjang yang menggema bersahutan dari arah kanan beranda pondok. Bondet pun berdiri.

‘Pin, aku harus kembali ke atas. Kamu baik-baik di sini, ya?’

Pinasti mengangguk dan melepas kepergian Bondet dengan lambaian tangannya. Ajak putih itu segera menghilang dalam kegelapan. Pinasti kembali sendirian. Ditariknya napas panjang tiga kali sembari memejamkan mata. Kali ini ia ingin menutup pikirannya dari siapa dan apa pun. Ia sedang ingin berkelana seorang diri dalam alam pikirannya. Memikirkan apa yang dirasakannya selama beberapa hari ini.

Tentang debar-debar aneh yang selalu muncul bila ia berdekatan dengan Kresna. Tentang aliran mengejutkan yang pernah muncul saat ia bersentuhan dengan Kresna.

Apa ini sebenarnya?

‘Itu yang namanya cinta, Pin!’

Gadis muda itu tersentak kaget ketika suara berat itu menembus benaknya begitu saja. Ia menoleh dengan wajah kesal. Janggo ternyata sudah ada di dekatnya, duduk manis di batas beranda. Dan, sialnya, ia memang tak pernah bisa menutup pikirannya terhadap Janggo. Ajak itu menyeringai jenaka sambil berdiri dan menghampirinya.

‘Cinta itu ada bermacam-macam,’ lanjut Janggo. ‘Kedekatanmu dan Bu Wilujeng juga karena cinta. Ikatan ibu dan anak. Kamu dengan Nini juga terikat cinta cucu dan nenek. Kedekatan kita juga karena cinta. Ikatan persahabatan. Dan semua yang dekat dengan diri kita juga terikat oleh cinta. Cinta yang saling menghubungkan jiwa-jiwa kita yang masih mengembara di sini. Dan, ada lagi bentuk cinta yang lain. Seperti yang kamu rasakan terhadap Kresna.’

‘Ya, aku mengerti,’ angguk Pinasti. ‘Cinta persaudaraan, kan?’

Tapi Janggo menggeleng dengan ekspresi misterius. Pinasti menatapnya dengan kening berkerut.

‘Nanti juga kamu akan tahu, Pin.’

Pinasti menggeleng samar. Benar-benar tak bisa memahami ucapan Janggo. Tapi ketika ia hendak bertanya, Janggo sudah pergi begitu saja tanpa pamit. Bersamaan dengan itu, terdengar suara Wilujeng memanggilnya.

“Pin! Kamu di mana, Nduk?”

“Di belakang, Bu,” jawabnya sembari beranjak.

Keduanya berpapasan di depan pintu. Wilujeng mengulurkan tangan, membelai kepala Pinasti.

“Sudah malam, Nduk,” ucapnya lembut. “Ayo, tidur. Tadi Bibi Kriswo sudah menghubungi Ibu. Buku-buku yang kita pesan sudah datang. Besok pagi akan diantarnya ke sini. Jadi, kamu bisa lanjut belajar lagi.”

Seketika wajah Pinasti terlihat cerah. Ah, betapa hausnya ia akan segala sesuatu tentang dunia di luar sana. Dunia ‘atas’ yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Kamarnya bersama Wilujeng selama ini dipenuhi tumpukan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang dibuatkan oleh Tirto.

Seingatnya, dari awal Wilujeng memang sudah mengajarinya tentang apa yang namanya membaca dan menulis. Semua bahan dan sumbernya berasal dari ‘atas’. Diperoleh dengan cara menitip ketika ada yang sedang berkeperluan di ‘atas’.

Selama beberapa hari ini memang acara belajarnya sedikit terganggu karena Wilujeng sedang sibuk mengurusi Kresna. Tapi bila ada buku baru, tentu ia bisa menekuninya sendiri walaupun tanpa didampingi Wilujeng.

Ia ingat betul ucapan Wilujeng. “Semua ini akan berguna bila kelak kita kembali ke ‘atas’, Nduk.” Sejujurnya, saat itu ia tak mengerti seutuhnya arti ucapan Wilujeng. Tapi seiring dengan bertambahnya usia, ia mulai memahami bahwa ia sama seperti Wilujeng, karena ia putri Wilujeng, berasal dari ‘atas’. Hanya perlu waktu yang tepat untuk kembali ke sana.

Entah kapan.

* * *

Kresna hanya bisa berbaring dalam diam di pembaringan. Semua pembicaraan yang belum lama berlalu dari benaknya bersama Wilujeng dan Paitun seolah membuat ia tak bisa lagi berpikir. Benaknya terasa pepat oleh hal-hal absurd di luar nalar, yang mau tak mau ia harus memahaminya.

Dihelanya napas panjang. Sekadar melepaskan rasa sesak di dada. Dan, rangkaian pembicaraan dalam hening itu kembali melingkar-lingkar dalam benaknya.



‘Sekarang waktunya bagi kami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, Kres,’ ujar Paitun.

Kresna menatap perempuan tua itu lama sebelum meluncurkan tanya, ‘Sebetulnya tempat apa ini?’

Paitun mengangguk sebelum mulai berkisah. Begitu banyak hal yang serupa dongeng dari antah-berantah. Begitu banyak hal yang membuatnya ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

11 komentar:

  1. Ngintip mulai isuk hurung onok. Ditinggal adus,sarapan mecungul 😁
    Gae sangu mangkat makaryo iki asik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuuu keduluan pa Chris aq rek !
      Sehat trus pa Chris ya.

      Mb Lis tuamba jreng critae !

      Hapus
    2. @Mas Al : gak'e, wong iki biasane mocone rapelan kok saiki dadi rajin? 🀣🀣🀣

      @Mama NitNit : sing rajin moco tuambah criiing!!! 😁😁😁

      Suwun mampire yo, Luuurrr... πŸ™

      Hapus
    3. Embo i.. Kyk onok magnet e sing kauaat crito iki. Lain dr biasanya. Keluar dr zona nyaman a?

      Hapus
    4. Hadeeeeeer nyah! Awak karen² ae es mocoe ngene ki. Jek tas sempat leren. Kedisikan arek² kaet mangisuk deloken.

      Hapus
    5. @Dulkenyut : telat = setrap.

      @Mas Al : gws ya... Biar bisa baca lanjutan cerbung ini lagi πŸ™πŸ˜’

      Hapus
  2. andai hari jumat bisa ditarik ke pagi ini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maunya begitu bun, tapi harus sabaaarr biar indah pada waktunya

      Hapus
    2. Jumatnya ditarik ke besok pagi 😘

      Hapus