* * *
Tiga
Sepotong Dunia Teduh
Sejak Kresna membuka mata di tempat ini, tak pernah sekali pun pandangannya berhasil menangkap berkas sinar matahari. Sekelilingnya terkadang terang tapi redup. Terkadang juga gelap walaupun tak terlalu pekat. Ia hanya perlu membiasakan diri dengan siklus itu, yang rasa-rasanya nyaris serupa dengan siklus harian di luar sana.
Tentu saja semua itu menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar. Rasa penasaran itu nyaris meluap dalam hati, kalau saja tidak dicegah oleh Wilujeng dengan kalimat yang disisipkannya dengan sangat lembut ke dalam benak.
‘Nanti juga kamu akan tahu...’
Jadi, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba untuk memupuk sabar di tengah rasa kantuk yang selalu menghampirinya setelah ia minum ramuan yang dibuat oleh Paitun. Ia menanti dengan penuh debar, kapan ‘nanti’ itu akan tiba. Juga ‘nanti’ yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan tentang keberadaan Wilujeng selama belasan tahun ini. Kalau ibunya itu memang masih utuh jiwa dan raga, mengapa tak kembali saja ke rumah? Benar-benar waktu tiga hari yang sangat menyiksa baginya.
Maka, ketika Paitun memberi isyarat bahwa ia sudah boleh meninggalkan pembaringan dan juga ruangan yang selama beberapa hari ini menjadi tempat istirahatnya, ia pun nyaris meloncat kegirangan. Tapi tatapan Paitun membuatnya mengerti bahwa ia harus menahan diri. Ia pun turun pelan-pelan dari atas pembaringan.
Kedua kakinya kini menapak lantai pondok yang terbuat dari kayu. Terasa halus dan sedikit hangat menyapa telapaknya. Pergelangan kaki kirinya sudah tak lagi terasa nyeri.
“Mandi dulu, ya, Kres,” ucap Wilujeng lembut. “Tempat untuk mandi ada di belakang. Sudah waktunya kamu BAB juga. Ayo, Ibu antar.”
Kresna pun menurut. Ia melangkah perlahan di belakang ibunya. Agak sedikit goyah sepanjang beberapa langkah. Tapi segera saja menjadi normal kembali.
Pondok yang sepenuhnya terbuat dari kayu itu tidak terlalu besar, tapi sangat bersih dan tidak sesak oleh banyak perabot. Bilik yang beberapa hari ini ditempatinya terletak di bagian depan, berbatasan dengan ruang kosong yang hanya beralaskan tikar anyaman pandan. Setelah itu ada lorong yang terletak di antara dua bilik. Lepas dari lorong, ada ruang cukup luas yang tampaknya tempat untuk memasak. Ada tungku-tungku besar dan beberapa perabot dapur di sana. Di salah satu sudut ruangan itu ada pintu yang terbuka. Langkah Wilujeng menuju ke sana.
Dan... Kresna ternganga begitu sampai di luar pintu. Ia berada di sebuah beranda yang dinaungi jajaran rapat rangkaian daun kelapa kering. Di luar beranda ada semacam kebun yang penuh berisi berbagai macam tumbuhan. Ada jalan setapak di tengah-tengah kebun itu. Wilujeng meneruskan langkahnya menembus kebun dengan Kresna tetap membuntuti.
Jalan setapak itu berujung di tepi sebuah sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Lebarnya kurang lebih satu setengah meter. Ada sebuah pondok kecil di sisi sungai itu. Wilujeng membuka pintunya.
“Di sini tempat kita mandi,” senyum Wilujeng. “Masuklah. Ibu tinggal, ya?”
“Mm... Bu...,” tatapan Kresna tampak ragu-ragu.
“Ya?” Wilujeng mengangkat alisnya.
“Apakah... tempat ini... aman?”
“Oh, ya! Tentu saja!” Wilujeng tertawa kecil. “Tuh, Janggo menjagamu.”
Tatapan Kresna mengikuti arah telunjuk Wilujeng. Seketika ia tercekat dan hanya bisa terbelalak dengan mata dipenuhi rasa ngeri. Seekor binatang menyerupai serigala berbulu coklat kemerahan duduk tegak sambil menatapnya di seberang sungai.
Astaga...
‘Apa astaga-astaga?’
Seketika Kresna terkesiap ketika suara berat itu menggema di benaknya. Ia menatap Janggo seolah tengah melihat film horor.
‘Sudah! Cepat mandi! Aku mau tidur setelah ini.’
‘Jangan galak-galak sama Mas, Janggo!’
Suara itu menggema di benak Kresna bersamaan dengan munculnya Pinasti dari arah belakang Janggo. Janggo menyeringai. Tatapannya seketika berubah jadi jenaka. Sementara itu, dengan bulu kuduk masih meremang, Kresna meloncat masuk ke bilik mandi.
* * *
Ya, Tuhan... Tempat apa ini?
Kresna duduk mencangkung di tepi beranda depan pondok. Sekelilingnya begitu hening dan sunyi. Sesekali semilir angin menggoyangkan dedaunan dan sejenak singgah untuk menyapanya.
Selesai mandi tadi, sambil berjalan kembali ke pondok, ia sempat mendongak untuk mencari sepotong langit. Tapi nihil. Ia hanya bisa melihat ruang kosong berwarna gelap nun jauh di atas. Semacam langit-langit yang menaungi tempat itu. Ada semacam cahaya yang entah bersumber dari mana menerangi tempat itu. Tidak segemerlap sinar matahari, tapi cukup memberikan terang yang berkesan sangat teduh.
Kalau ini gua, sebesar apa dan di mana letak tepatnya? Tapi kenapa ada semacam hutan hijau dengan udara yang begini sejuk?
“Mas...”
Sapaan halus itu membuat Kresna sedikit tersentak. Ia menoleh dan mendapati Pinasti berdiri di ambang pintu pondok, menatapnya ragu-ragu.
“Ya?”
“Mm... Nini menyuruhku menemani Mas jalan-jalan,” ucap Pinasti, setengah menggumam. “Itu juga... kalau Mas mau.”
Hm... Jalan-jalan? Menjelajahi tempat ini?
Semangat Kresna mendadak timbul. Tanpa berpikir panjang ia berdiri.
“Yuk!” sambutnya.
Pinasti pun mengangguk dan mulai melangkah. Ada semacam jalan kecil di depan pondok itu. Pinasti mengambil arah ke kiri. Kresna pun mengikutinya dalam hening. Segera saja butiran lembut pasir putih menyambut kaki Kresna yang telanjang. Seketika bibirnya membundar tanpa mengeluarkan suara.
Jajaran aneka pakis-pakisan dan keladi ada di kiri-kanan jalan itu. Tak jauh dari pondok, di tepi ujung jalan, ada pondok lain yang lebih kecil. Pinasti melintas di depan pondok, dan sejenak berhenti.
“Paman!” sapanya.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berambut gondrong yang diikat ke belakang menoleh. Kesibukannya membelah gelondongan kayu berhenti sejenak.
“Mau ke mana, Pin?” suara berat laki-laki itu terdengar bersahabat.
“Ini, mau ajak Mas Kresna lihat-lihat sekitar sini,” jawab Pinasti dengan senyum manis tersungging di bibir.
“Oh...,” laki-laki itu membalas senyum Pinasti. Tatapannya kemudian beralih pada Kresna. “Sudah mulai pulih, Mas?”
“Ng... Sudah, Paman,” Kresna mengangguk sopan.
Kembali tatapan laki-laki itu berlabuh pada Pinasti.
“Jangan jauh-jauh, Pin. Nanti masnya kecapekan,” pesannya.
“Iya, Paman,” angguk Pinasti.
“Ajak saja Janggo. Bangunkan dia.”
“Tak usah, Paman,” Pinasti menggeleng. “Biar dia tidur dulu.”
Setelah berpamitan, keduanya kemudian kembali melangkah menyusuri jalan yang termyata belum berujung. Ada belokan ke arah kiri.
“Itu tadi Paman Tirto,” Pinasti menjelaskan. “Dia yang angkat Mas ke sini waktu Mas pingsan.”
“Oh?” Kresna mengangkat alis, tercenung sejenak. Kemudian ia menggumam, “Gimana aku bisa sampai di sini, Pin?”
“Oh, itu...,” seperti ada yang merintangi Pinasti untuk menjelaskan lebih lanjut. “Mm... Kalau itu... biar Ibu atau Nini saja yang menjelaskannya.”
Walaupun rasa penasaran itu kembali menggunung di hati, Kresna berusaha keras untuk menahan diri. Tidak mendesak Pinasti lebih lanjut.
Beberapa puluh meter dari pondok Tirto, ada dua pondok lain yang berdampingan. Tapi terlihat tak berpenghuni karena pintu dan jendelanya tertutup rapat.
“Ada orang lain di sini?” tanya Kresna, terdengar berhati-hati.
“Ada,” Pinasti mengangguk. “Tapi sepertinya sedang pergi ke atas.”
“Ke atas?” Kresna mengerutkan kening. “Ke mana?”
“Ya ke atas,” Pinasti menoleh sekilas.
Jawaban pendek Pinasti seolah menjadi peringatan bagi Kresna untuk menyimpan kembali pertanyaan selanjutnya. Pinasti melangkah terus. Jalan yang mereka lalui mulai menanjak. Seolah mendaki bukit.
“Kita ke situ, ya?” tunjuk Pinasti ke satu arah.
Kresna hanya mengangguk.
Lalu, mereka pun sampai di puncak ‘bukit’. Tak terlalu jauh, tak terlalu tinggi. Dan, ketika langkah Kresna menjejak tepat di belakang tubuh Pinasti, seketika itu juga ia ternganga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Aku jadi ingat Rafael dan Steve. Tapi (kayaknya) aku lebih suka Mas Kresna.
BalasHapus😱😱😱
Hapusseketika aku juga ternganga, mengapa cepat sekali habis ceritanya? Kalau ini sih, aku bisa tahan duduk berjam-jam buat bacanya he he he
BalasHapusYang ngilu yang nulis, Mbak 😆😆😆
Hapus