Empat
Pagi yang muram dan berantakan. Dimulai
dengan Kencana terlambat bangun, dan mendapati ban mobilnya kempis saat hendak
berangkat ke kantor. Ayahnya sudah berangkat lebih dulu dengan mobil satunya,
sehingga ia tidak bisa nebeng. Satu-satunya jalan adalah menggunakan ojek online. Tapi mendung yang menggantung
begitu tebal di langit membuatnya mengalihkan order pada taksi online.
Hanya sekitar lima menit menunggu, sebuah city car berwarna silver sudah berhenti di depan pagar rumah. Kencana buru-buru masuk
dan sekilas melambaikan tangan pada Ibu yang tadi menemaninya di teras.
“Selamat pagi... Dengan Mbak Kencana?”
Sejenak Kencana terpana dengan sapaan halus
yang terdengar empuk di telinga itu. Mobil itu mulai melaju. Membuat Kencana
tersadar.
“Iya, selamat pagi,” jawabnya pendek.
“Maaf, permen, Mbak?” tangan kiri sopir
mengangsurkan satu stoples kecil berisi aneka permen ke arah Kencana.
Sedetik gadis itu tergiur, sebelum akhirnya
menggeleng. Siapa tahu itu obat bius?
Ia meringis dalam hati.
“Nggak, Mas. Makasih.”
“Gratis, lho, Mbak.”
Kencana menangkap nada canda yang hangat
dalam suara sopir itu, alih-alih kurang ajar.
“Mm... Saya kurang suka permen,” jawab Kencana,
sopan.
“Oh... Biskuit?” sebuah bungkusan kecil
kembali teracung.
“Nggak, Mas. Makasih,” Kencana tersenyum.
“Saya sudah sarapan.” Padahal hanya
segelas susu, sambungnya dalam hati, dengan sedikit nelangsa.
“Oke kalau begitu. Selamat menikmati perjalanan,
Mbak.”
“Makasih...”
Pada lampu merah kedua yang mereka lewati,
hujan mulai merinai. Kencana menarik napas lega. Pilihannya tidak salah.
Kantornya cukup jauh. Apa jadinya bila harus menerobos hujan dengan menumpang
ojek online? Walaupun sedikit lebih lambat
daripada biasanya, ia perkirakan waktunya masih cukup untuk mencapai kantor
sebelum jam kerja dimulai.
Untungnya, perkiraannya tidak meleset.
Beberapa menit lewat dari pukul setengah delapan, taksi yang ditumpanginya
sudah menepi ke teras lobi.
Ooo...
Ternyata dia ganteng banget!
Kencana meringis dalam hati ketika sopir
taksi online itu memutar badan untuk
menerima pembayaran tunai darinya. Penampilan laki-laki itu sangat rapi seperti
orang kantoran. Sikapnya sopan dan ramah. Mobilnya bersih dan wangi. Caranya
mengemudi halus dan memberikan kenyamanan. Setelah mobil itu berlalu, Kencana
dengan ringan memberikan lima bintang.
Entah
kapan bertemu dengannya lagi.
Kencana mengedikkan bahu dan melangkah masuk
ke gedung kantornya.
* * *
Senin selalu menjadi hari yang sangat panjang
bagi Kencana. Tak sampai pada taraf ‘I
hate Monday’, tapi tetap saja masih ada aroma malas ‘ngapa-ngapain’ sisa
dari akhir pekan. Rasanya hampir seabad menunggu hingga tiba waktunya istirahat
makan siang. Padahal cacing-cacing di perutnya sudah berubah wujud jadi
naga-naga ganas yang sudah protes keras minta ransum.
Dan, begitu alarm tanda istirahat berbunyi,
dengan gesit Kencana meninggalkan kursi dan mejanya. Ia hanya nyengir ketika
teman-temannya menggoda. Dijawabnya singkat sambil tertawa lebar, “Gue mau maksi sama Babeh.”
Ia tak berbohong, tentu saja. Sekitar dua
puluh menit lalu, sebuah pesan melalui WA masuk ke ponselnya. Jati sudah
menunggunya di depan salah satu depot yang ada di food court lantai dua gedung perkantoran itu. Senyumnya melebar
ketika ia sampai di lantai dua, dan mendapati sang ayah sudah duduk manis
ditemani segelas es jeruk. Sedang sibuk dengan ponselnya.
“Yah,” sapa Kencana manis begitu sampai di
belakang Jati.
Laki-laki berusia lima puluh tujuh tahun itu
menoleh dan segera berdiri. Dihadiahinya si gadis bungsu sebuah kecupan penuh
kasih di kening.
“Ibu tadi menelepon Ayah,” ucap Jati saat
duduk kembali. “Katanya, ban mobilmu kempis.”
“He eh...,” Kencana mengangguk dengan gaya
sedikit aleman.
“Nanti pulang Ayah jemput saja, ya?”
“Ayah repot nanti,” sahut Kencana. “Ngomong-ngomong,
Ayah sudah pesan makanan?”
Jati menggeleng. “Kan, menunggu kamu.”
“Hm...,” Kencana menatap berkeliling. “Aku
mau bakmi goreng saja.”
“Ya, sudah,” Jati menanggapi. “Samakan saja
buat Ayah.”
“Seafood,
ya?” Kencana menatap Jati.
Laki-laki itu mengangguk.
“Mau nambah minum?” tanya Kencana lagi.
“Air mineral saja, Can.”
“Oke,” Kencana pun beranjak untuk memesan
makanan dan minuman.
Beberapa menit kemudian, gadis itu sudah
duduk kembali di depan ayahnya. Laki-laki itu menatapnya.
“Kenapa tadi pagi bisa telat bangun?”
Kencana meringis malu. Kebanyakan melamun, Ayah..., jawabnya, hanya dalam hati.
“Nanti habis ini Ayah gantikan ban mobilmu,”
gumam Jati sebelum menyedot es jeruknya.
“Pulang? Bolak-balik, dong, jadinya?”
Jati menggeleng. “Ayah nggak balik lagi ke
kampus. Kan, nggak ada jadwal mengajar Senin begini.”
“Lha, nanti jemput lagi aku?” Kencana
mengerutkan kening. “Kan, jauh, Yah. Mendingan aku naik ojek.”
“Musim hujan begini,” tukas Jati halus.
“Ya, deh, taksi,” Kencana mengalah.
“Nggak,” Jati keras kepala. “Ayah jemput.”
Kencana mengerjapkan matanya. Ia kemudian
menggelengkan kepala. Menyerah. Lumayan juga ada yang bersedia menjemput. Irit
ongkos. Diam-diam gadis itu tersenyum simpul.
“Senyum-senyum...,” ujar Jati dengan nada
meledek. “Seneng, ya? Irit ongkos.”
Kencana tergelak mendengar tebakan tepat
ayahnya. Jati pun tersenyum lebar. Gembira sekali hatinya menatap raut wajah
riang si putri bungsu. Jeda sejenak menghampiri ketika seorang pramusaji datang
membawa nampan berisi minuman, diikuti pramusaji lain membawa dua piring bakmi
goreng seafood. Keduanya kemudian
menikmati acara makan siang mereka sambil mengobrol tentang banyak hal ringan,
mulai dari berita terkini hingga gosip paling mutakhir. Hingga sisa waktu
istirahat Kencana kian tipis, tinggal sepuluh menit lagi.
Dengan wajah menyesal, Kencana bangkit
berdiri. Berpamitan pada ayahnya.
“Aku kerja lagi, ya, Yah...”
Jati menghadiahinya sebuah kecupan hangat di
kening.
“Ya,” Jati menepuk lembut puncak kepala
Kencana. “Sampai nanti sore, ya.”
Kencana mengangguk, kemudian beranjak.
* * *
Hmm...
Jadi itu yang namanya Ican? Handaru menghenyakkan
punggungnya ke sandaran kursi. Kencana...
Terkesan sangat manis dan begitu ‘menyenangkan’. Persis deskripsi yang
pernah diungkapkan pamannya.
Sudah lama sebetulnya ia ingin bertemu dengan
gadis itu. Entah kenapa, ketika Paul bercerita tentang nasib jalinan kasih
antara Denta dan Kencana, perhatiannya justru tertambat pada sepotong nama
‘Ican’. Ia tahu, sejak kecil Denta – sepupunya – tak pernah berlaku
sembarangan, termasuk – pasti – ketika menjatuhkan hati pada seorang kekasih.
Walaupun ujungnya tersimpul pada akhir yang menyedihkan, tetap saja pastilah
seorang Ican adalah sosok yang istimewa. Sayangnya, tak semudah itu bisa
bertemu dan berkenalan dengan seorang Ican, walaupun Paul sudah memberikan data
gadis itu secara nyaris lengkap.
“Kalau
kamu memang mau dan serius, tolong, jaga Ican, Dar.”
Begitu keinginan yang diungkapkan Paul padanya pada suatu ketika. Ia berusaha
menanggapinya dengan baik.
Dan, sebuah keisengan ternyata membawa
keberuntungan tersendiri baginya. Setelah hampir satu tahun nyambi beraktivitas sebagai sopir taksi online, tadi pagi, di bawah naungan
mendung, diterimanya sebuah order dari seseorang bernama Kencana. Alamatnya
persis seperti info yang didapatnya berbulan-bulan lalu dari Paul. Pun
tujuannya, sebuah gedung perkantoran tak jauh dari kantornya kini, tempat gadis
itu sehari-hari berkarya.
Segera saja setengah harian ini pikirannya
dipenuhi oleh bayangan sosok gadis itu. Gadis tinggi ramping berkulit sawo
matang bersih, berwajah manis dengan kesan imut-imut, berkaca mata dengan
bingkai modis, berpenampilan elegan dan rapi, dan...
Dia
cukup membentengi diri.
Handaru tersenyum samar, teringat pada
tawaran permen dan biskuitnya yang ditampik Kencana dengan sopan dan halus.
“Dia
sudah mau aktif lagi di gereja,” begitu ucap Paul kemarin. “Kamu punya kesempatan luas untuk
mendekatinya. Toh, kamu sudah nggak ada halangan lagi, Dar.”
Semangat Handaru mendadak mengempis ketika
kalimat penutup dari Paul itu terngiang kembali di telinganya.
Halangan...
Memang sudah tidak ada lagi. Tapi maukah dia menerimanya?
Secercah kesadaran mendadak saja mendesak
masuk ke benaknya.
Belum
apa-apa, Dar! Hatinya mengingatkan. Satu kegagalan yang sudah telanjur terjadi bukan berarti besok-besok
pasti akan gagal lagi!
Laki-laki itu menghela napas panjang,
kemudian mengembuskannya kuat-kuat. Pada titik itu, ia hanya berharap waktu dan
kesempatan sedikit berbaik hati padanya.
* * *
Berbahagialah, Ican sayang 💕😉
BalasHapusKebawa jalinan cerita...semoga Ican bahagia diakhir kisah ya jeng Lizzzz😘
BalasHapus