* * *
Dua
Tidak ada yang tiba-tiba, sebetulnya. Semua sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Kapan tepatnya, Denta sudah lupa. Betapa damai rasa hatinya setiap kali melihat sosok berjubah putih dilapisi kasula[1] dilengkapi semua atributnya, mempersembahkan Misa Kudus. Tapi rasa damai itu terpaksa dipendamnya karena nasib. Nasib sebagai anak bungsu. Harapan satu-satunya sebagai penerus perusahaan keluarga, setelah kakak sulung dan abang tengahnya ‘terlepas dari genggaman’.
Stella, si sulung, memutuskan untuk jadi biarawati setelah menamatkan kuliah di jurusan arsitektur. Masih sangat teguh hingga saat ini, dan sudah mengucapkan kaul kekal[2] setahun lalu, setelah bertahun-tahun hidup membiara. Vito, si tengah, bahkan sudah masuk ke seminari menengah selepas SMP. Meneruskan studinya hingga ditahbiskan jadi seorang pastor dua tahun yang lalu. Hal-hal yang tak bisa dicegah oleh orang tua mereka.
Lalu, harapan pun terpaksa jatuh padanya. Seperti robot, nyaris secara otomatis ia menyelesaikan pendidikan menengah, melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi, kemudian melanjutkannya ke jenjang magister bisnis, sambil mulai terlibat secara aktif di perusahaan yang telah belasan tahun dibangun sang ayah dengan keringat, darah, dan air mata. Terpaksa melipat rapi keinginannya untuk mengikuti jejak Vito, dan menyimpannya di sudut hati yang terjauh.
Sang ayah bukannya tak mengetahui keinginan putra bungsunya. Tapi sekaligus ia memahami seutuhnya mimpi sang istri. Setelah dua harapan tak bisa tergapai, akankah yang ketiga juga kandas? Tapi agaknya, Tuhan juga punya cara tersendiri.
Sekitar dua setengah tahun lalu, Christine – ibu dari tiga putra-putri yang hebat itu – divonis menderita limfoma. Sudah masuk ke stadium akhir ketika penyakit itu diketahui. Saat itulah ia memanggil si putra bungsu. Menggenggam tangannya dengan hangat. Berbisik lembut.
“Kamu tahu, Denta, ujung keinginan Ibu cuma menghabiskan usia senja bersama ayahmu, melihat kalian menjemput kehidupan masing-masing, dan boleh menimang cucu. Tapi tampaknya ujung itu hanya tersimpul pada titik terdekat dari sekarang. Lakukan apa yang hatimu ingin lakukan. Bicaralah pada Ayah. Akan jadi apa pun kamu kelak, lakukan saja yang terbaik. Biarkan Ibu bangga dan melihat kalian dari Surga sambil tersenyum. Satu hal, upayakan untuk membuat Ican mengerti dan tidak terlalu sakit hati.”
Lalu Denta menangis berjam-jam dalam pelukan sang ibu. Tapi sesudahnya, dengan rasa lega bercampur kesedihan yang sangat, ia menatap kepergian ibunya dalam senyum damai beberapa minggu kemudian. Selepas seratus hari kepergian Christine, Denta menghadap Paul.
Ayah yang bijak itu menatap si bungsu cukup lama sebelum memutuskan untuk mengangguk. Ia melihat dalam kedalaman mata Denta, ada keinginan yang tak lagi bisa digoyahkan. Keinginan yang berasal dari dasar hati putra bungsunya itu.
“Melangkahlah di jalanmu,” bisiknya. “Soal perusahaan kita, bisa Ayah alihkan pada orang lain yang juga cukup mumpuni. Kamu jangan khawatirkan itu. Tugas Ayah sudah hampir selesai. Tinggal melihat kalian teguh dalam perjalanan selanjutnya, dan mengiringi kalian dengan doa. Jangan khawatirkan Ayah. Percayalah, Tuhan akan menjaga Ayah.”
Selesai? Sama sekali belum.
Masih ada satu nama lagi yang terikat di hatinya. Calya Kencana. Gadis manis yang sudah menemaninya dengan setia selama enam tahun terakhir. Gadis yang diajaknya mengukir mimpi baru. Gadis yang bisa membuatnya lupa sejenak akan panggilan hati. Lebih tepatnya, gadis yang menjadi pelariannya dalam usaha untuk melupakan dan meninggalkan jauh-jauh panggilan hati.
Itu adalah kesalahannya yang terbesar. Melibatkan Kencana yang tak berdosa hingga sedemikian dalam. Selama enam tahun, tak pernah setitik pun ia berpaling. Membuat Kencana makin menatapnya bagai sesosok dewa cinta. Tatapan yang membuatnya seketika tenggelam dalam rasa bersalah ketika harus mulai memikirkan bagaimana mengakhirinya.
Perlu tambahan waktu setahun untuk mencari di mana sebenarnya jalan yang ia harus tempuh. Meneruskan niat untuk menjadi seorang pastor, atau menjadi belahan jiwa Kencana. Namun, pada akhirnya, keinginannya yang pertamalah yang menang. Keinginan yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum ia mengenal Kencana.
* * *
Sore itu, sebelum jam kantor berakhir, Denta sudah meninggalkan ruang kerjanya. Ia sudah berjanji untuk menjemput Kencana di kantor gadis itu. Keputusannya sudah bulat. Ia harus melepaskan Kencana. Ia tahu ia akan sangat menyakiti hati gadis manis itu. Tapi, ia tak punya pilihan lain. Pada akhirnya, momen itu harus tiba juga. Harus ia hadapi.
Pertahanan dan hatinya hampir runtuh ketika melihat wajah Kencana. Ada keletihan yang menggantung, tapi Kencana tetap berhasil membuat ekspresinya jadi lebih cerah. Ia hampir membatalkan niatnya. Tapi tetap saja, ternyata keinginan hatinya jauh lebih kuat.
Dan, rupanya Kencana menangkap keresahan itu. Ditatapnya baik-baik Denta ketika keduanya sudah duduk berhadapan di sudut sebuah kafe favorit mereka.
“Mas Denta sakit?” tanya Kencana halus. “Kok, kelihatannya lesu gitu?”
Denta menggeleng. Dicobanya untuk mengangkat wajah. Tertangkap oleh matanya kejora meredup di mata Kencana. Hatinya hampir meleleh. Maka ia berusaha menghindarinya dengan menunduk lagi.
“Lantas?” kejar Kencana, masih dengan nada lembut.
Denta menghela napas panjang. Berusaha untuk membebaskan dadanya dari rasa sesak yang menekan. Pada detik kesekian, ia memberanikan diri menatap kekasihnya. Tekadnya hampir meluntur, tapi ia tak punya pilihan lain.
“Can...,” lirih suara Denta. “Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Banyak mimpi yang telanjur kita sketsa bersama. Tapi... Maaf, Can, aku... aku... nggak bisa... melanjutkannya lagi. Aku... nggak bisa mewujudkannya... bersamamu.”
Ada jeda keheningan sekian puluh detik sebelum suara Kencana menggema di telinga Denta. Lirih. Sangat lirih. Tapi sarat dengan getar luka yang tak terhingga.
“Ada yang lain?”
Seketika Denta menggeleng. Masih ditatapnya Kencana, yang balas menatapnya dengan mata mulai digenangi telaga bening.
“Lantas?” suara Kencana mulai dibebani serak halus.
“Aku... aku sudah lama... ingin jadi pastor,” kekuatan yang entah dari mana datangnya itu meneguhkan hati dan suara Denta. “Tapi... sudah keduluan Mbak Stella dan Mas Vito. Aku sendiri... paham harapan Ibu. Karena itu... Can, aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah membiarkanmu melibatkan diri dalam hidupku selama tujuh tahun ini. Aku tak bisa memohon lebih, apalagi sepenggal pengertian darimu. Aku hanya... minta maaf yang sebesar-besarnya. Aku...”
Tak akan pernah dilupakan Denta betapa lebar dan dalam luka yang disayatkannya pada mata Kencana. Gadis itu hanya membisu, sebelum secepatnya berdiri dan meninggalkan tempat itu. Seutuhnya ia ingin mencegah, tapi...
Lalu apa?
Denta mendegut ludah. Hanya bisa berharap waktu menyembuhkan Kencana. Hanya berharap Tuhan mengampuni keegoisannya.
* * *
Denting bel membuyarkan lamunan Denta. Sejenak ia menyesali waktu satu jam belajarnya sesudah ibadat malam yang terbuang percuma karena mengingat lagi kenangan-kenangan itu. Sudah pukul sebelas. Saatnya mengakhiri hari dengan istirahat untuk menyegarkan otak dan stamina.
Sebelum berbaring dan memejamkan mata, Denta menghela napas panjang. Satu hal yang ia tahu, ia tak pernah menyesali keputusannya untuk melepaskan semua yang pernah ia miliki dan nikmati. Sejenak ia menatap berkeliling.
Kamar sederhana yang hanya berukuran sepersekian kamarnya dulu. Perabot yang ia tahu fasilitas para ART di rumahnya dulu pun masih jauh lebih mewah daripada ini. Jadwal yang padat. Aturan yang ketat.
Menyesal?
Denta menggeleng. Sungguh, ia menikmatinya. Merasa damai di dalamnya. Satu-satunya hal yang seolah masih jadi debu di sudut ruang hatinya adalah Kencana. Walaupun ia tahu dari Nanan, salah satu seniornya di seminari saat ini walaupun berusia sama, bahwa Kencana masihlah baik-baik saja.
Bagaimanapun keadaanmu, Can, aku berharap kamu mendapatkan yang terbaik.
Dalam setiap doa yang ia panjatkan, selalu terselip nama Kencana. Bukan untuk kembali. Tapi untuk menguatkan langkahnya lebih lanjut dan mengingatkannya akan pengorbanan tak terhingga gadis manis itu.
* * *
Catatan :
[1] Kasula = pakaian terluar yang dipakai oleh pastor khusus untuk mempersembahkan Misa/Ekaristi. Warnanya bermacam-macam sesuai makna dalam liturgis Katolik (Roma), yaitu : hijau, merah, ungu, kuning (emas) atau putih, hitam (sangat jarang digunakan), dan rose (warna opsional; boleh dikenakan, boleh tidak).(Sumber : www.luxveritatis7.wordpress.com)
[2] Kaul kekal = janji/kaul akhir yang diucapkan biarawan/biarawati sebelum menjadi biarawan/biarawati secara penuh (dan abadi), meliputi ikrar kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Sebelumnya ada kaul sementara.
(Proses untuk menjadi seorang biarawati tidaklah mudah dan singkat. Ada berbagai tahap yang harus dilalui sebelum menjadi seorang biarawati secara penuh.
Tahap pertama disebut masa aspiran. Para aspiran (calon dari calon biarawati, alias masih jauh) belum terikat pada serikat/ordo tertentu, dan baru diperkenalkan dengan kehidupan membiara. Masa ini berkisar 1-2 tahun sebelum masuk masa postulat.
Tahap kedua disebut masa postulat. Para postulan (masih calon biarawati) lebih lanjut diperkenalkan dengan orientasi kehidupan membiara, belajar berbagai hal berkenaan dengan Kitab Suci, pengetahuan agama Katolik, moral, etika, dasar teologi, dll. Postulan menjalani masa ini selama 1-2 tahun.
Tahap ketiga disebut masa novisiat. Para novis mulai mengenakan kerudung dan jubah biara. Diperkenalkan lebih dalam lagi dengan segala aspek kehidupan membiara beserta semua ilmu dan iman gereja. Masa ini berlangsung selama 2 tahun.
Tahap keempat disebut masa juniorat. Pada masa inilah seorang eks novis boleh dipanggil ‘suster’. Ditandai dengan pengucapan kaul sementara (kemiskinan, kemurnian, ketaatan), dan harus dijalani selama 6-9 tahun sebelum sampai ke tahap berikutnya. Pada masa ini, para suster mulai kuliah ilmu-ilmu khusus (lanjutan) secara lebih mendalam dan mulai berkarya secara nyata.
Tahap kelima adalah kaul kekal hingga akhir hayat.
(Sumber : www.semakinra.me)
Jadi, kalau ada yang baru 2 tahun masuk ke ‘sekolah biarawati’, kemudian nggak lulus, karena ‘tergoda’ pula, tapi kemudian mengaku ke mana-mana sebagai ‘mantan biarawati’, itu sama sekali bukan hoax membangun. Ini sekadar meluruskan saja, karena hal dan perjalanan hidup menjadi seorang biarawati bukanlah sesuatu yang patut dijual atau dijadikan barang mainan.)
apik mbak.... moga moga denta ttp teguh n calya hatinya sembuh...
BalasHapusMantappp...jadi menambah pengetahuan juga...
BalasHapus