Senin, 08 Januari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #1-1








Satu



Angin berembus sepoi-sepoi, mengantarkan aroma yang begitu khas itu samar-samar ke dalam kamar Kencana. Tanpa menoleh ke arah jendela pun ia sudah tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Ibu sedang menjemur koleksi jarik[1]-nya di bawah keteduhan kanopi teras belakang. Dan, aroma wangi khas jarik-jarik Ibu itulah yang kini mengelus indera penciuman Kencana.

Sudah jadi kebiasaan Ibu untuk beberapa minggu sekali merawat koleksi jarik-nya. Tidak semuanya dikerjakan sekaligus, tapi bergiliran. Dengan telaten Ibu mencuci jarik-jarik itu menggunakan lerak[2]. Walaupun di pasaran sudah banyak tersedia sabun lerak cair, tapi Ibu tetap lebih senang menggunakan biji lerak asli untuk mencuci koleksi jarik-nya.

Ketika pertama kali menyadari ritual perawatan jarik yang dikerjakan Ibu, Kencana kecil mengamatinya nyaris tanpa kedip. Ibu akan mengeluarkan sekitar lima sampai delapan lembar jarik dari dalam lemari. Berikutnya Ibu akan membuka lipatan jarik-jarik itu dengan cekatan tapi hati-hati. Setelah lipatan itu terbuka, maka aktivitas Ibu berlanjut dengan membuka gulungan panjang jarik-jarik itu. Ujung dari gulungan memanjang itu adalah wiron[3] rapi yang kemudian diurai dan diluruskan Ibu sebelum jarik itu dicucinya.

Dan, tugas Kencana kecil adalah memasukkan sekitar delapan biji lerak ke dalam baskom kecil berisi air hangat, meremas-remasnya hingga berbuih, kemudian memasukkan larutan itu ke dalam sebuah bak besar berisi air. Setelah itu, Ibu akan memasukkan satu per satu jarik yang hendak dicucinya ke dalam bak.

Hanya memasukkan? Tidak. Tapi Ibu akan menerangkan dengan sabar motif-motif jarik di tangannya. Membuat Kencana jadi mengenali juga motif-motif jarik koleksi Ibu. Sidomukti, parang kusumo, sidoluhur, sekar jagad, kawung, truntum, dan masih banyak lagi.

Tangan halus Ibu tak akan mengucek jarik-jarik di dalam bak. Cukup hanya mengopyok sebentar jarik-jarik itu setelah direndam selama 15 menit lamanya. Kemudian setelah jarik-jarik itu dibilas bersih, Ibu akan membentangkannya satu per satu tanpa memerasnya. Membuat jarik-jarik itu nanti akan kering oleh angin dalam kondisi sama sekali tidak kusut.

Sejatinya nyaris tak ada kotoran yang melekat pada jarik-jarik itu. Toh, setelah dicuci dan dikeringkan, jarik-jarik itu akan berdiam manis di dalam lemari. Kencana melihat ritual pencucian jarik sebagai ritual kenangan Ibu pada akar Jawa-nya. Pun ketika dengan telaten Ibu akan kembali mewiru satu persatu jarik-jarik-nya yang sudah kering. Sembilan atau sebelas wiron tiap kainnya. Membuat kebyarnya terlihat makin indah bila dipakai.

Selanjutnya, Ibu akan menggulung tiap jarik yang sudah selesai diwiru dengan bagian wiron berada di dalam. Setelah jarik itu tergulung sempurna, maka Ibu melipat kedua ujungnya ke dalam, melipatnya lagi, hingga kedua lipatan bertemu di tengah. Selesai. Dan jarik-jarik itu akan kembali jadi penghuni lemari, menunggu hingga dipakai Ibu untuk menghadiri acara atau resepsi penting berpadu dengan kebaya, atau menunggu hingga ritual pencucian berikutnya.

Pelan Kencana melongok ke luar jendela kamarnya. Teras belakang penuh dengan bentangan jarik-jarik basah beraneka motif. Menjadi anak Ibu berarti jadi mengerti juga beberapa motif jarik koleksi Ibu. Tapi yang paling menyekat pandangan Kencana adalah dua lembar jarik truntum garuda[4]. Kencana mengerjapkan mata.

Betapa dua lembar jarik kembar itu menempati sudut istimewa dalam hati Ibu. Karena asalnya. Karena fungsinya. Jarik kembar itu adalah jarik yang dikenakan kedua eyang Kencana ketika Ibu – si bungsu sekaligus satu-satunya putri Eyang – menikah dengan Ayah. Bukan sembarang jarik. Karena jarik kembar itu dibatik sendiri oleh Eyang Putri dengan penuh cinta. Menghasilkan sepasang jarik truntum garuda ber-prada[5] yang begitu sempurna dan istimewa.

Ibu tak pernah mengatakan apa-apa. Tapi Kencana bisa menangkap segala harapan yang tersirat. Ayah terlihat lebih santai. Hanya saja Kencana tahu harapan Ayah sama besarnya dengan harapan Ibu.

Kencana bukannya tak tahu bahwa ibunya nyaris tiap malam mengeluarkan dan mengelus-elus dua lembar jarik truntum garuda yang setiap waktu tersimpan rapi di dalam lemari. Dan harapan yang tersembunyi di balik ritual itu? Kencana menghela napas panjang.

Sebuah pernikahan. Tepatnya pernikahannya. Kapan akan dilaksanakan? Entahlah. Kencana menggeleng samar. Ia tak tahu tinggal seberapa besar belahan hatinya yang tersisa.

Setelah Alvin dan Mas Denta...

Ia kembali menggeleng samar. Muram. Murung.

Barangkali keping hatinya yang terbawa oleh Alvin hanya secuil besarnya. Tapi Denta?

Tujuh tahun yang sia-sia...

Kencana mengerjapkan mata. Perih itu masih begitu terasa di seluruh penjuru hatinya.

Menyalahkan Mas Denta?

Ia tak mau. Tak mampu. Tak bisa. Jalan yang pada akhirnya dipilih Denta terlalu agung untuk dijadikan kambing hitam.

Seberkas hawa dingin menyusup, membuatnya menggigil sejenak. Kencana menengok ke luar jendela kamarnya yang terbuka lebar. Hujan yang merinai sejak siang hari belum juga mereda. Angin kembali berembus, dan wangi khas itu hadir lagi. Kencana menghirupnya dalam-dalam. Membiarkan seluruh ujung sarafnya disentuh aroma menyejukkan itu. Walau hanya untuk sementara. Walau hanya sekian detik saja.

Kemudian, diputuskannya untuk menutup jendela beserta tirainya. Perlahan hawa dalam ruangan itu menghangat dalam pendar cahaya lampu.

Tapi tidak hatinya.

* * *

Selanjutnya

Mari singgah juga ke cerpen yang tayang sebelum cerbung ini, fiksi pertama pada tahun 2018 : Semangkuk Bubur Mutiara


Catatan :

[1] Jarik = kain panjang batik.

[2] Lerak = biji tumbuhan Sapindus rarak De Candole atau Sapindus mukorossi yang dipakai sebagai ‘deterjen’ untuk mencuci kain batik agar warnanya tidak pudar dan serat kain tetap terjaga keawetannya. Lerak mengandung saponin yang menghasilkan busa dan berfungsi sebagai bahan pencuci dan pembersih.

[3] Wiron = berasal dari kata wiru(+an), yaitu lipitan bolak-balik berbentuk seperti kipas pada sepanjang ujung jarik, jumlahnya ganjil (3, 5, 7, 9, dst.), untuk jarik yang dipakai perempuan lebar lipitannya sekitar 2 cm atau lebar 2 jari, untuk laki-laki lebarnya 4 jari.

[4] Jarik Truntum Garuda = kain batik bermotif Truntum Garuda atau Truntum Gurdha (baca : gurdo), biasanya dipakai oleh orangtua kedua mempelai / pengantin dalam adat Jawa.

[5] Prada = pewarna emas untuk kain batik, pewarna yang asli terbuat dari bubuk emas 18-22 karat, dilekatkan pada kain batik dengan menggunakan ‘lem’ yang terbuat dari resin.


10 komentar:

  1. Yes! Entok antrian numero uno rek! Kalah nyonyahku! Wkkkkkkkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Loya !
      Kedisikan temenan aq mb Lis !
      Akire diterusno ya critae ini ?
      Aq kemping mb.

      Hapus
  2. Selamat pagi mba Lizz... Akhirnya tayang lg cerbungnya, lumayan jg liburnya n berasa kangen bgt... Tp sekarng dh start lg, seneng pake banget...Kadung jatuh cinta sma cerita2 mba lizz... Top bgt dah ����

    BalasHapus
  3. Mas denta mesti dadi romo kui.. Hihi.. Kok kykny aku curhat hahai

    BalasHapus
  4. Khas Mbak Lis, tulisan dengan tempo lambat yg mengalir manis. Hadiiir...

    BalasHapus
  5. Author tersayang & yg dirindukan muncul lagi 😍 Terkesan bngt dg referensinya. Lanjut jeng!

    BalasHapus
  6. Baru 2 cerbung yg kubaca mbak Lis...tapiiii ternyata muantabbb..lanjut...aku penggemar baru ya mbak Lizzz...salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih singgahnya. Salam kenal kembali. πŸ™πŸΌ
      Btw, ini saya juga mau kenalan kenalan tapi kok nggak ada namanya ya... 😁

      Hapus
  7. Baru 2 cerbung yg kubaca mbak Lis...tapiiii ternyata muantabbb..lanjut...aku penggemar baru ya mbak Lizzz...salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke siap, Mbak Sri Rahayuningsih... πŸ™πŸΌπŸ‘πŸΌ

      Hapus