Dua Puluh Delapan
Prisca sejenak memejamkan mata ketika Erlanda muncul dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut sebelum duduk menghadap ke meja makan. Sebuah kebiasaan yang nyaris tak pernah putus dilakukan Erlanda setiap pagi sejak hari pertama setelah mereka menikah. Sebersit aroma khas Erlanda samar mengelus hidungnya. Parfum woody yang bercampur dengan jejak aroma sabun mandi dan aftershave. Aroma yang amat sangat disukai Prisca. Laki-laki itu duduk di sebelahnya.
Setelah sejenak terbuai, Prisca kembali lagi ke alam nyata. Dengan cekatan ia mengambil dua lembar roti tawar yang sudah dipanggang, melapisi bagian dalamnya dengan mayonaise, meletakkan dua lembar daun selada segar pada salah satu bagian, dan sepotong telur mata sapi, kemudian menangkupkan keduanya. Setelah meletakkannya pada sebuah piring kecil, disodorkannya roti isi itu pada Erlanda.
“Makasih, cantik,” gumam Erlanda.
Entah mengapa, gumaman itu membuat Prisca tersipu. Erlanda melihatnya. Tertawa ringan.
“Masih doyan menggombal...,” gerutu Prisca.
“Masih ada yang doyan digombali,” timpal Erlanda. Tertawa lepas.
Mau tak mau, Prisca tersenyum, kemudian ikut tertawa. Erlanda menatapnya. Prisca-nya yang cantik, Prisca-nya yang sabar, Prisca-nya yang setia.
Betapa sulitnya untuk bersyukur..., sesal Erlanda.
“Mm... Menyambung soal semalam,” Prisca menatap Erlanda, “aku sebetulnya belum puas.”
Erlanda mengerutkan kening. Tatapannya tampak mengisyaratkan tanya.
“Aku belum sempat bicara dengan Mbak Lauren,” sambung Prisca. “Bicara dari hati ke hati. Antara dua orang perempuan. Dua orang ibu. Apakah masih mungkin?”
Erlanda tercenung sejenak sebelum kembali menatap Prisca.
“Yang jelas,” ucapnya lirih, “Lauren masih tak mau bertukar nomor kontak denganku. Dia menghormati pernikahannya, pernikahan kita. Aku pun sangat menghormati keputusannya itu. Tapi kalau dipandang perlu bicara dengannya, bicaralah, Ma. Tanyakan dulu pada suaminya.”
Prisca manggut-manggut. Sejenak kemudian kembali ditatapnya Erlanda.
“Semua sudah benar-benar berakhir, kan?” ia memastikan.
Erlanda mengangguk tegas. Ada kejujuran dalam matanya. Bahwa Lauren sudah berhasil membuatnya sadar, bahwa masa lalu itu sudah benar-benar tamat riwayatnya. Dan menyadari bahwa Prisca tetap dengan manis berada di sisinya, terasa makin mudah melalui semua itu. Apalagi selama ini ia baik-baik saja. Juga Lauren.
Prisca tersenyum. Semua makin terasa lebih ringan di hati sekarang. Tapi ia masih ingin memastikan apakah seperti itu juga perasaan Lauren. Ia percaya, Lauren sudah lebih dulu menyelesaikan Erlanda dari hidupnya.
Tapi soal anak-anak?
“Coba nanti aku telepon Pak Himawan,” putus Prisca kemudian.
“Aku nggak bisa menemanimu, ya, Ma. Ada kerjaan hari ini.”
Prisca mengangguk.
* * *
Himawan urung menekankan kakinya pada pedal gas. Ponselnya yang tergeletak di konsol tengah mobil berbunyi nyaring. Diraihnya benda itu. Keningnya berkerut melihat siapa yang meneleponnya pagi ini.
“Halo, selamat pagi, Bu Prisca,” sapanya ramah.
“Selamat pagi, Pak. Maaf, saya mengganggu.”
“Oh, enggak, Bu. Ada kabar apa, ya?”
“Pak, saya bermaksud untuk bertemu dengan Bu Lauren. Bicara soal anak-anak. Apakah mungkin?”
“Oh... Datang saja, Bu. Hari ini bunda Sisi nggak ada acara, kok,” diliriknya Lauren yang masih berdiri dengan sabar di luar mobil. Menunggunya hingga benar-benar berangkat. Sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah selama tiga puluh tahun.
“Mm... Bisa minta alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi, Pak?”
“Bisa... bisa... Tapi nanti, ya, Bu. Saya kirim lewat WA. Ini saya sudah di mobil, mau berangkat.”
“Oh, baik kalau begitu. Sekali lagi mohon maaf, sudah mengganggu.”
“Nggak apa-apa, Bu. Santai saja...”
“Terima kasih banyak, Pak. Selamat bekerja.”
“Sama-sama, Bu.”
Diletakkannya kembali ponsel itu. Ditatapnya sejenak Lauren di luar mobil. Seketika ia memutuskan untuk tidak memberitahu Lauren siapa yang baru saja meneleponnya, dan apa maksudnya. Sambil meluncurkan mobil, dilambaikannya tangan pada perempuan tercintanya itu. Lauren membalasnya, disertai senyum manis terkembang di bibir.
* * *
Lauren menautkan kedua tangannya. Meluruskannya ke atas kepala sambil menggeliatkan punggungnya. Sekilas diliriknya jam dinding. Baru menjelang pukul sepuluh pagi, tapi rasanya ia sudah berjam-jam lamanya berkutat dengan layar laptop dan file naskah novel.
Memang sudah berjam-jam...
Ia meringis. Menyadari bahwa ia sudah tercebur di ruang baca hanya beberapa saat setelah Himawan berangkat ke kantor. Pelan, ia menyandarkan punggungnya. Ditatapnya sebuah foto dalam pigura di atas mejanya. Ada mereka bertiga di sana. Ia, Himawan, dan Sisi. Tampak cerah ceria saat merayakan ulang tahunnya yang terakhir beberapa bulan lalu.
Lebih lekat lagi, ditatapnya wajah Himawan. Laki-laki itu kini sudah menua, tapi ketampanannya serasa tak berkurang sedikit pun. Bahkan makin berumur, Himawan terlihat makin matang dan bertambah kharismanya. Membuatnya makin terpesona dan terjebak dalam cinta Himawan yang seolah tak terbatas padanya.
Kalau saja Erlanda tidak mendepakku, bagaimana bisa aku bertemu dengan laki-laki sesempurna Ayah?
Lauren kembali meringis. Menyadari bahwa perlakuan ‘buruk’ Erlanda justru membawa kebaikan yang luar biasa baginya. Sebuah kesadaran yang sekian lama tersembunyi di dasar sakit hati, perasaan marah, dan kecewanya. Dikedikkannya bahu dengan ringan.
Aku sudah memaafkannya. Sudah lama. Bertemu lagi dengannya ternyata tidak membawa perubahan apa-apa seperti yang selama ini pernah kukhawatirkan. Justru membuatku makin terpikat pada Ayah. Erlanda memang masih mempesona, tapi Ayah lebih lebih lebih lagi. Dan Ayah memang benar. Masalah tidak akan benar-benar selesai kalau menghindarinya terus.
Dengan ringan dihelanya napas panjang.
Sekarang tinggal Sisi. Entah bagaimana caranya.
“Bu...”
Sedikit tersentak, Lauren menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit. Miatun menyelipkan tubuhnya. Masuk.
“Maaf, Bu. Ada tamu cari Ibu.”
“Siapa?” Lauren mengerutkan kening. Rasa-rasanya ia tak ada janji dengan siapa pun hari ini.
“Bu Prisca.”
Hah???
Seketika Lauren menegakkan punggungnya.
* * *
Setidaknya, Sisi punya kesibukan lebih akhir-akhir ini. Ada banyak pesanan terrarium mini yang harus dikerjakan dan aneka kaktus baru untuk dirawat. Membuatnya nyaris tak punya waktu untuk diri sendiri, apalagi memikirkan sepotong nama itu. Sander. Tapi sekejap-sekejap, saat ia mencoba untuk mengatur napas, bayangan sosok gagah dan tampan itu melintas begitu saja dalam benaknya. Lalu ia buru-buru menggeleng untuk menepiskannya. Tak mau rasa sedih menjeratnya begitu saja tanpa ia bisa melawan.
Laki-laki itu bagai hilang ditelan dunia. Foto terakhir yang bisa diintipnya di Instagram adalah kebersamaan laki-laki itu bersama beberapa orang temannya di Bandara Sukarno-Hatta, siap untuk melakukan penerbangan panjang ke Los Angeles. Setelah itu?
Ia menggeleng samar. Mencoba menghitung-hitung seluruh kerinduannya. Sudah sebulan lebih tanpa bertukar sapaan dan kabar. Membuatnya mengambil keputusan dalam satu helaan napas panjang.
Tampaknya aku benar-benar harus melupakannya.
Sesuatu yang melintas di luar pintu ruang kerjanya yang terbuka lebar membuatnya tersentak dan menoleh. Martha tampak mengayuh kursi rodanya dengan sebuah dos besar terletak di pangkuan. Terlihat begitu sibuk seperti juga Oggy dan Dio, dan seorang lagi tenaga baru bernama Tinus. Menyadari hal itu, ia segera beranjak, hendak keluar dari ruang kerja mungilnya.
Tapi di ambang pintu ia nyaris menabrak seseorang. Ia mundur selangkah. Ternyata bundanya. Menatapnya dengan seulas senyum cantik.
“Kamu sibuk banget?” tanya Lauren.
“Enggak,” geleng Sisi. Tapi sedetik kemudian ia meralat ucapannya. “Eh... Sebenarnya iya, sih. Ini lagi mau kerja lagi.” Ia meringis.
Lauren tampak berpikir sejenak sebelum kembali menatap putrinya.
“Mm... Ada tamu yang ingin bertemu denganmu,” ujar Lauren. “Teman Bunda.”
Sisi mengerutkan kening. “Mau pesan terrarium? Kayaknya aku sementara close dulu, deh, Bun. Sudah hampir nggak tertangani.”
“Bukan...,” Lauren menggeleng. Senyumnya melebar. “Teman Bunda ini mau memperkenalkanmu pada anaknya. Cowok. Cakep banget, lho!”
Tatapan Sisi seketika berubah jadi sengit. “Apaan, sih, Bun? Males, ah! Sisi lagi ingin sendirian.”
Tapi senyum Lauren tak berubah. Tatapannya tampak begitu sabar menyapu wajah putri tunggalnya.
“Sekali ini saja, Si,” suara Lauren terdengar bernada membujuk. “Kalau kamu merasa nggak cocok, kamu bebas menolaknya. Dan setelah ini, Bunda nggak akan berusaha menjodoh-jodohkan kamu lagi dengan anak teman-teman Bunda. Tapi, please, kali ini saja kamu tolong turuti permintaan Bunda.”
Perlu waktu lebih dari semenit bagi Sisi untuk diam mematung, sebelum memutuskan untuk mengangguk. Tetap dengan wajah terkesan malas dan ogah-ogahan. Dengan langkah berat ia mengekor bundanya di belakang. Dalam hati ia mengomel.
Apa sedemikian menderitanya, sih, aku kelihatannya? Ini lagi ibu-ibu rempong amat pakai mau jodoh-jodohin anaknya sama aku! Bunda lagi, main setuju saja! Huh!
Mendekati ruang tamu, Sisi sekian kali menghela napas panjang dan berusaha untuk mengubah ekspresi sebalnya dengan wajah lebih manis. Tak sepenuhnya berhasil. Tapi lumayanlah!
“Nah, ini Sisi-nya, Jeng...,” suara Lauren terdengar begitu ringan, penuh kegembiraan.
Sisi mengangkat wajah. Seketika ia ternganga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Halo, Sisi...
BalasHapusTante Mamanya Juno... boleh ya, Tante kenalin sama anak Tante...
#ngikiksetan
*ngumpettt*
Hapus*ngeriii sama ngikiknya*
😆😆😆