Dua Puluh Lima
“Kenapa nggak mulai berpikir untuk membentuk hubungan baru dengan Danny, Si?”
Seketika Sisi mengurungkan niatnya meneguk sisa air koktail buah dalam gelas di tangannya. Ditatapnya Lauren dengan kening berkerut.
“Maksud Bunda?”
Lauren berdehem kecil sebelum menjawab, “Danny itu cowok baik, lho, Si. Sangat baik! Masih kosongan pula. Kenapa nggak meningkatkan hubungan dari sekadar sahabat ke arah yang lebih serius?”
Sisi ternganga. Danny? Memaksa diri untuk ‘jadian’ dengan Danny hanya demi melupakan Mas Sander? Yang benar saja!
“No!’ Sisi menggeleng tegas. “Justru karena Danny terlalu baik, maka aku nggak akan pernah mempermainkan Danny, atau menjadikannya hanya sebagai pelarian.”
Lauren menghela napas panjang. Ditatapnya Sisi, tepat di manik mata.
“Nggak sulit mencintai cowok seperti Danny,” ucapnya tegas, tapi dengan nada lembut. “Dan Bunda akan dengan senang hati melepasmu di bawah penjagaan Danny.”
Wajah Sisi masih terlihat linglung. Danny? Beberapa saat kemudian ia kembali menatap Lauren.
“Nggak bisalah, Bun...,” desahnya. “Danny itu buatku sama kayak the bandits lainnya. Mereka saudaraku, Bun. Masa saudara makan saudara? Yang benar saja!”
“Kamu nggak pernah berpikir Danny menyukaimu secara ‘lebih’?” jemari Lauren mengisyaratkan tanda petik.
“Enggak,” Sisi menggeleng dengan wajah polos.
Hadeeeh... Lauren menatap Sisi dengan sorot mata putus asa. Yang ditatap justru meneruskan niat yang tertunda untuk menghabiskan sisa air koktail buah. Setelah usai, kembali ditatapnya Lauren. Serius.
“Bun, memangnya benar-benar nggak ada kemungkinan Mas Sander dan aku jalan terus tanpa menyakiti Bunda, ya?”
Lauren terhenyak. Sama sekali tak punya jawaban tepat atas pertanyaan itu.
* * *
Pada akhirnya, kesempatan itu datang juga. Lauren pergi sejak pukul empat sore untuk menengok salah seorang tetangga yang dirawat di rumah sakit. Sebetulnya ia ingin mengajak Sisi. Tapi gadisnya itu beralasan sedang sibuk karena banyak pesanan.
Ya, Sisi bersama para asistennya memang sedang mengerjakan banyak pesanan, tapi tak harus diselesaikan dengan cara lembur. Sisi keluar dari kantornya begitu Lauren meluncur pergi bersama salah satu mobil tetangga. Ia memang sengaja, karena ia menunggu Himawan pulang dan mereka berdua punya kesempatan untuk bicara.
Yang ditunggu muncul juga menjelang pukul setengah enam. Dengan manis Sisi mengulurkan secangkir besar teh lemon hangat kesukaan Himawan. Laki-laki itu menerimanya dengan senyum dan ucapan terima kasih. Sisi menjatuhkan diri di sebelah sang ayah yang duduk di sofa panjang.
“Yah...”
“Hm...,” Himawan melepaskan bibirnya dari tepi cangkir. “Ada apa?”
“Kemarin ngapain Ayah ketemuan sama mama Mas Sander?” Sisi menengokkan kepalanya ke kiri, menatap Himawan.
“Oh... Kamu lihat kami?” tak sedikit pun ada nada terkejut dalam suara Himawan. “Kenapa memangnya?”
“Ish! Ditanyain malah balik nanya,” gerutu Sisi.
Sang ayah terkekeh. Tangan kanannya kemudian terulur. Menepuk lembut kepala putri tunggalnya.
“Kira-kira, menurutmu, ngomongin apa?” tanyanya lagi, dengan nada menggoda.
Sisi mengerucutkan bibirnya. Ditatapnya Himawan dengan sorot mata penasaran bercampur sebal.
“Palingan ngomongoin sepasang manusia yang dimabuk cinta di masa lalu, tapi terpaksa terpisah oleh kondisi tidak jodoh,” Sisi setengah mencibir.
“Nah, itu kamu tahu,” Himawan tergelak ringan. Sebelum sang putri bereaksi lebih lanjut, laki-laki itu melanjutkan bicaranya. “Sesungguhnya, mama Sander sangat menyukaimu. Sayangnya, dia terbentur masa lalu bundamu dengan papa Sander. Ayah sudah bilang, bundamu memang sudah menganggap selesai semua yang pernah terjadi dengannya dan papa Sander. Untuk itu, menurut bundamu, maka sebaiknya mereka nggak usah bertemu lagi. Selamanya. Tapi menurut Ayah, nggak bisa seperti itu. Karena itu artinya mengorbankan kamu dan Sander. Itu sama sekali nggak adil buat kalian.”
Pelan-pelan Sisi menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia tertunduk.
“Jujur, mama Sander keberatan hubungan kalian berlanjut. Sander juga memahami kondisi itu. Tapi lama-lama mama Sander juga merasa bersalah. Sander sedih banget, lho, Si. Nggak cuma kamu yang merasakannya. Makanya mama Sander menghubungi Ayah. Ingin membicarakan bagaimana enaknya menyelesaikan masalah ini. Terakhir, Ayah tawarkan padanya untuk mempertemukan papa Sander dengan Bunda. Agar semuanya benar-benar selesai bagi mereka berdua. Agar kamu dan Sander bisa meneruskan lagi apa yang sudah kalian mulai.”
Entah kenapa, mendadak saja kedua belah mata Sisi terasa menghangat. Melihat sang putri berdiam diri dengan mata mengaca, Himawan segera meraih bahu Sisi, kemudian merengkuhnya dengan hangat.
“Kamu sudah dewasa, Ayah tahu,” bisiknya lembut. “Karena kedewasaan itu pula kamu bisa menerima kenyataan bahwa hubungan kalian ada potensi bisa menyakiti Bunda. Tapi... Ayah nggak mau kamu berkorban atas sesuatu yang nggak seharusnya terjadi padamu. Karenanya Ayah memaksa diri untuk campur tangan. Kalau memang dalam perjalanannya nanti kalian merasa ada ketidakcocokan, ya, sudah. Keputusan akhir ada di tangan kalian. Tapi bukan kandas di awal seperti sekarang. Hanya berdasar atas masa lalu yang seharusnya sudah benar-benar selesai.”
Sisi memeluk Himawan erat. Laki-laki itu membalasnya dengan begitu hangat. Bagi Himawan, selamanya Sisi adalah bayi kecilnya yang manis. Tapi roda waktu terus berputar dan ia tak kuasa mencegahnya. Akan tiba masanya menyerahkan Sisi ke dalam penjagaan laki-laki lain. Mau tak mau, ia harus siap untuk itu.
“Makasih, ya, Yah...,” bisik Sisi.
Apa pun yang terbaik untukmu... Himawan mengecup puncak kepala putri tunggalnya.
* * *
Sebelum gema suara Prisca menghilang, Erlanda sudah ternganga. Dengan takjub ditatapnya Prisca.
“Kenapa?” cibir Prisca. “Merasa mendapat durian runtuh?”
Erlanda tersadar. Bertemu dengan Lauren? Ia mengerjapkan mata.
Sejak permasalahan itu mencuat, permasalahan bahwa calon kekasih Sander ternyata adalah putri mantan kekasihnya, sikap Prisca terhadapnya sedikit demi sedikit mendingin. Sepulang dari perjalanan ziarah dan wisata pun, sikap Prisca tetap sama.
Seutuhnya, ia memahami hal itu. Pada satu sisi, ia memahami kecemburuan Prisca. Pada sisi lain, ia pun memahami hatinya sendiri, bahwa Prisca memang punya alasan untuk cemburu.
Baginya, Lauren adalah bagian dari hidupnya yang tak pernah selesai. Setidaknya, belum selesai hingga detik ini. Walaupun semuanya sudah berakhir dengan dua pernikahan yang sama-sama berjalan bahagia. Pernikahan Lauren dengan laki-laki bernama Himawan itu, dan pernikahannya sendiri dengan Prisca.
“Tentu saja durian itu bukan buatmu,” suara pedas Prisca kembali menyambar telinganya. “Tapi buat Sander.”
Ego Erlanda mendadak menyeruak ke depan. Ditatapnya Prisca. Tajam.
“Tidak bisa, ya, bicara soal itu baik-baik?” tandasnya. “Nggak usah pakai nyengit seperti itu?”
“Selama ada yang masih ditutupi, mana bisa dibicarakan baik-baik?!” mata Prisca seketika menyala. “Aku sudah bersabar selama tiga puluh tahun, Pa! Tiga puluh tahun! Harus sesabar apa lagi aku sekarang? Kalau bukan karena Sander, aku juga ogah bicara soal itu. Karena apa? Percuma! Aku tahu bahwa aku cuma perempuan nomor seratus dalam hidupmu. Dari nomor satu sampai sembilan puluh sembilan, isinya cuma Lauren, Lauren, Lauren. Aku cuma istri di atas kertas selama tiga puluh tahun! Demi memenuhi egomu agar bercitra sebagai lelaki setia yang tunduk pada aturan Gereja. Padahal kamu tahu, dia sudah selesai memikirkanmu. Sudah selesai dengan dirimu. Sudah selesai sejak tiga puluh tahunan yang lalu.”
“Kamu salah, Ma,” desah Erlanda, memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. “Aku mencintaimu... Ya, rasa cinta itu memang tak seketika ada saat kita saling mengikat janji di depan altar. Tapi sungguh, aku sudah mencintaimu sejak lama. Kamu tak sekadar istri di atas kertas. Kamu teman hidupku, ibu dari anakku, belahan jiwaku. Harus dengan cara apa lagi aku menyatakannya? Harus bagaimana aku meyakinkanmu?” Erlanda membuka matanya. Menatap Prisca dengan nelangsa.
“Mudah,” Prisca mengangkat bahu dengan sikap keras kepala. “Turuti permintaanku. Bertemulah dengan Lauren. Dan selesaikan apa yang belum selesai di antara kalian. Aku yang akan mengatur waktunya.”
Erlanda kembali terhenyak.
* * *
“Ya sudah, sih, Yah... Kalau Bunda nggak mau, jangan dipaksa lagi. Nanti Bunda malah makin sakit hati. ...”
Lauren menghentikan langkahnya. Dari balik pintu ruang baca yang terbuka sedikit itu, samar-samar didengarnya suara Sisi.
“... Aku nggak apa-apa, kok, Yah. Kan, masih banyak cowok yang lain. Pelan-pelan nanti aku coba buka hati.”
“Sungguh, Si, kamu nggak pantas harus menjalani semua ini.”
“Untungnya mantan Bunda cuma satu doang. Kalau banyak, punya anak cowok semua, tiap kali harus ada story mereka ketemu sama aku, kan, berabe. Hehehe...”
“Kamu ini... Masih juga bisa ketawa.”
“Lho, aku harus gimana, coba? Nangis-nangis? Sedih sepanjang masa? Nyalahin keadaan? Nggak bisa kayak gitu lah, Yah. Apalagi, kan, story-nya amburadul kayak gitu juga bukan salah Bunda. Bunda sudah berkorban terlalu banyak, Yah...”
Lauren tercenung.
Di akhir senja tadi, sepulangnya dari menengok tetangga di sebuah rumah sakit swasta, ia sempat adu urat dengan Himawan. Entah jin apa yang menyambet Himawan, tiba-tiba saja suaminya itu menawarinya untuk mengadakan pertemuan dengan Erlanda.
“Ayah sudah gila, apa?!” Lauren membelalakkan mata bulatnya. “Pokoknya aku nggak mau! Aneh-aneh saja!”
“Bunda nggak kasihan Sisi, apa?”
Ia tak menjawab. Tak bisa menjawab.
Hingga detik ini pun ia masih tak mampu menjawabnya. Bertemu kembali dengan Erlanda sama sekali tak pernah ada dalam daftar hal-hal yang diinginkannya. Antara kehendaknya dan kepentingan Sisi, sungguh, hal itu kini benar-benar menjepitnya.
“Sudah malam ini, ayo, bobok dulu, Si.”
Suara berat Himawan itu menyentakkan kesadaran Lauren. Buru-buru ia beringsut pergi agar tidak tertangkap basah sedang menguping. Tak pelak, pembicaraan dari balik pintu itu terngiang terus di telinganya.
* * *
Danny meraih ponselnya yang berbunyi pendek sambil menguap lebar. Empuknya kasur di dalam kamar akhir-akhir ini menjadi barang yang terasa sangat mewah baginya.
‘Lu lagi di mana?’
Pemuda itu tersenyum simpul mendapati ada pesan yang begitu tanpa basa-basi menyelonong masuk melalui aplikasi Whatsapp. Dibalasnya pesan itu, ‘Gue lagi di rumah. Napa, Si?’
‘Bunda, tuh, masa gue disuruh pacaran sama elu?’
‘Hah???’ Seketika Danny ternganga.
‘Nah, aneh, kan? Masa pacaran sama sohib sendiri? Sodara sendiri?’
Danny mengerjapkan mata. Seandainya benar, Si... Alangkah senangnya!
‘Hehehe...’ Ia hanya mampu menuliskan itu.
‘Andaikan bener lu suka sama gue, apa iya pantes gue jadiin lu pelarian gue?’
Danny tercenung.
‘Oi! Dan! Lu dah ngorok yak? Sorry, gue gangguin lu.’
‘Gpp, nyante aja...’
‘Dan, boleh tanya nggak?’
‘Tanya aja. Apaan?’
‘Cowok kek lu, emang ada kemungkinan suka sama gue?’
Danny terhenyak. Mengakui perasaan itu sepertinya akan menambah rumit masalah Sisi. Tapi ia harus jujur.
‘Ya iyalah, gue suka sama elu. Kalo kagak, ngapain betah sekian abad sohiban sama elu?’
‘Hahaha... Gue demen nih jawaban lu. Lu emang sohib tiada tara deh! Ya udah, lu ngorok sana ‘gi! Gue juga mo mimpi-mimpi cantik manja. Eh, lu kapan ada waktu kosong lagi? Gue traktir lu sepuasnya lagi yak!’
‘Cakeeep... Makin cinta gue sama lu, Si!’
‘Hahaha... CU, Dan.’
Danny mengirimkan sebuah emoticon ciuman yang dibalas Sisi dengan emoticon yang sama. Pelan-pelan ia meletakkan ponselnya ke sebelah bantal.
Seandainya, Si... Seandainya!
Seandainya persahabatan indah itu tidak jauh lebih berharga daripada perasaannya terhadap Sisi...
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
apiikkk mbak. maniezzss koyok sing nulis... ' he he he
BalasHapusAyu koyok sing komen, hihihi... Nuwus yo... 😘
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊
Hapus