Senin, 20 November 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #23










* * *


Dua Puluh Tiga


Satu-satunya cara untuk menyembuhkan diri adalah larut dalam pekerjaan. Sander mengangguk dengan antusias ketika atasannya bertanya apakah ia bisa tetap ikut tim berangkat ke kantor pusat di Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan berkala yang sudah dijadwalkan sejak awal tahun.

“Kamu sudah cukup sehat?” sang boss menegaskan.

“Ya,” Sander mengangguk mantap.

Dan, tatapan Prisca serasa mengulitinya ketika ia berpamitan. Sedangkan Erlanda hanya terdiam. Tapi lara dalam mata putra tunggalnya, jelas-jelas ia bisa menangkap biasnya.

“Mama khawatir kamu kenapa-napa,” Prisca mengungkapkan keberatannya. “Kamu belum pulih benar.”

“Aku nggak akan kenapa-napa, Ma,” senyum Sander.

Prisca mendesah.

“Ini kesempatan buat Mama untuk rekonsiliasi dengan Papa,” bisik Sander ketika memeluk Prisca sebelum kembali ke apartemen.

Prisca sedikit menarik tubuhnya dari pelukan putra kesayangannya. Ia mendongak sedikit. Mata Sander yang tengah menatapnya bercerita banyak tanpa diminta.

Kamu melarikan diri, Nak...

Tangannya terulur, mengusap pipi Sander. Ia mengangguk samar.

“Berangkatlah,” bisiknya. “Tapi berjanjilah kamu akan baik-baik saja.”

Sander mengangguk. Tersenyum. Prisca menghela napas panjang.

Seandainya saja...

* * *

Hubungannya dengan Erlanda sedikit mendingin bahkan setelah ia pulang dari melakukan tur ziarah dan wisata, Prisca mengakuinya. Ia belum juga menemukan ketenangan itu. Ia belum ikhlas seutuhnya akan masa lalu Erlanda. Padahal selama ini ia bisa bersikap seolah-olah tak peduli. Bagaimanapun, ia dan Erlanda sudah saling memiliki. Bahkan sudah tiga puluh tahun ini.

Lalu, apa yang kutakutkan?

Prisca menggeleng samar. Sedikit demi sedikit ia berhasil menemukan akar keresahannya. Hanya satu.

Pertemuan Erlanda dengan Lauren.

Cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Sander dan Sisi betul-betul ‘jadi’ atau tidak, perasaannya mengatakan bahwa suatu saat Erlanda akan bertemu juga dengan Lauren. Apalagi sekarang mereka tinggal di kota yang sama, walaupun Jakarta seluas dan seramai ini. Entah akan berujung seperti apa pertemuan itu kelak, ia benar- benar tidak tahu.

Tampaknya aku memang harus melakukan sesuatu...

Prisca mendesah sebelum memainkan gawainya. Dibukanya aplikasi Instagram pada ponselnya. Antara ‘iya’ dan ‘tidak’, ia kemudian melanjutkan niatnya.

* * *

Menjelang siang itu, Sisi duduk di depan meja kerja dalam ruang kantor mungilnya yang tertutup rapat. Ia bertopang dagu. Seolah-oleh matanya menekuni deretan aneka ragam kaktus yang tertata rapi di rak panjang setinggi satu setengah meter. Tapi sesungguhnya tatapannya jauh melampaui itu. Ke arah ruang yang tak terbatas. Dan, kosong.

Ia baru tersentak ketika ponselnya bernyanyi nyaring. Dengan gerakan malas, diraihnya benda yang tergeletak di atas meja itu. Dihelanya napas panjang ketika melihat siapa yang meneleponnya.

“Ya, Dan?” ucapnya tanpa semangat.

“Lu baik-baik aja?” suara Danny di seberang sana terdengar mengandung kekhawatiran.

Tanpa sadar Sisi menggeleng.

“Si...?”

Gadis itu tersentak. Dikerjapkannya mata.

“Ya... Lu tahu lah...,” jawabnya lirih.

“Oke, gue ke situ sekarang.”

“Lu nggak...”

Klek. Danny sudah memutuskan sambungan telepon itu. Sisi kembali menghela napas panjang.

Di antara semua ‘bandit’ sahabatnya, ia memang paling dekat dengan Danny. Selain rumah mereka berdekatan, hanya beda blok, chemistry-nya memang sudah lain.

Benar saja! Pemuda tinggi tegap itu muncul di depan Sisi tak sampai sepuluh menit kemudian. Ditatapnya Sisi dengan sorot mata prihatin. Sisi hanya tersenyum samar. Tapi ketika Danny menjangkau dan menenggelamkannya ke dalam pelukan, seketika pertahanan Sisi runtuh. Tangis yang entah sejak kapan ditahannya mendadak saja pecah. Danny membiarkannya saja. Hanya memeluknya erat. Sesekali membelai bagian belakang kepala Sisi.

Ketika tangis itu hanya tinggal jadi isakan-isakan kecil, Danny melonggarkan pelukannya. Dengan kedua ibu jarinya, dengan lembut dihapusnya air mata yang masih menggantung di bulu mata lentik Sisi.

Sorry, gue ninggalin lu beberapa waktu belakangan ini, Si,” bisik Danny, penuh penyesalan.

Sisi menggeleng. “Gue tahu lu sibuk. Kita semua punya kehidupan sendiri-sendiri. Gue cuma butuh ruang dan waktu buat nyembuhin diri gue sendiri.”

Danny mengangguk.

“Jalan, yuk!” ujarnya kemudian.

“Ke mana?” Sisi mendongak, menatap Danny. “Lu libur hari ini?”

Danny mengangguk. Meringis sedikit. “Gue udah nyaris tiga minggu nggak libur.”

“Pantesan lu kurus amat,” Sisi nyengir.

Danny tertawa. “Makanya lu sekarang traktir gue, biar gue gembung lagi.”

Serta-merta Sisi menarik tangan Danny.

“Eh, lu nggak sibuk?” sela Danny.

“Kerjaan bisa diselesaikan asisten,” jawab Sisi. “Lagi nggak gitu banyak pesanan.”

Danny pun membiarkan dirinya mengikuti tarikan tangan Sisi untuk berpamitan pada Lauren.

* * *

Himawan meninggalkan kantornya dengan jantung sedikit berdebar. Ia ada janji dengan seorang perempuan yang semalam menghubunginya melalui direct message Instagram-nya. Seorang yang secara tidak langsung berhubungan erat dengan masa lalu Lauren. Perempuan itu Prisca Prabandaru, istri Erlanda, ibu Sander.

Kalau Lauren sampai tahu aku melakukan ini, dia bisa mencincangku, pikir Himawan sambil melangkah menyusuri trotoar di bawah naungan mendung.

Ia dan Prisca memang membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe tak jauh dari kantornya. Ia yang menginginkan mereka bertemu di tempat itu agar tidak terlalu membuang waktu istirahat makan siangnya yang berharga. Hanya tinggal berjalan ke depan gedung sebelah, kemudian menyeberang.

Siapa yang akan dia bicarakan? Suaminya? Ataukah anaknya?

Sesungguhnya ia tak mau menduga-duga. Tapi tetap saja pertanyaan itu melingkar-lingkar dalam benaknya.

* * *

Sisi-nya siang ini bukanlah Sisi-nya yang ceria dalam segala suasana dan terkadang celamitan mulutnya. Benar kata Marco semalam.

“Kelihatannya Sisi patah hati berat, Bro.”

Danny menghela napas, menatap gadis cantik yang duduk dalam hening sambil menyedot jus alpukatnya.

What can I do for you?” tanya itu akhirnya melompat juga dari sela-sela bibir Danny.

Sisi mengalihkan tatapannya yang jauh, kemudian memfokuskannya pada wajah Danny. Wajah tampan beraura teduh yang selalu menawarkan persahabatan tulus. Dihelanya napas panjang.

Nothing,” gelengnya. “Makan saja yang banyak, biar lu nggak malah jadi pasien gegara kurang gizi.”

Danny tersenyum lebar. Tapi ia tetap meneruskan niatnya mengorek keterangan lengkap dari Sisi.

“Dia sama sekali nggak berusaha menghubungi lu?” usiknya.

Sisi mengangkat bahu. “Sebaiknya memang kayak gini sebelum semuanya jadi terlalu dalam. Lagian dia juga belum nembak gue. Jadi, yah... belum apa-apa.”

Danny mendesah. Kenapa jadi rumit begini, sih?

Saat hendak membuka mulut lagi, matanya menatap sosok yang baru masuk ke kafe itu. Sosok yang sama sekali tak asing baginya. Dialihkannya tatapan ke arah Sisi.

“Lu janjian sama Ayah?” celetuknya.

“Janjian apaan?” Sisi mengerutkan kening.

“Maksi bareng.”

“Enggak,” Sisi menggeleng.

“Tapi itu...”

Sisi menoleh, mengikuti arah pandang Danny. Benar! Ayahnya tengah melangkah di lorong seberang sana. Tatapan laki-laki sepuh yang masih sangat gagah itu tampak lurus ke depan. Sisi sudah hendak melambaikan tangan ketika langkah Himawan berhenti di sebuah meja. Seketika Sisi ternganga.

Di depan meja tempat ayahnya menghentikan langkah itu, sudah duduk menunggu seorang perempuan cantik berusia sekira pertengahan lima puluhan. Dan yang membuat ia lebih ternganga lagi, ia cukup mengenal perempuan itu. Ibu Sander.

Mau apa mereka?

Pelan-pelan mata Sisi menyipit.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. lha kok mbulet Koyok benang pas aku ngerajut kemaren yah.... apik tenan mbak. lanjoott kamis kok suwe men yah????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wes meh tamaaat, hahaha... ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†

      Hapus