Sebelumnya
* * *
Lima
Dengan ringan Erlanda mengecup kening Prisca ketika perempuan itu berpamitan hendak berbelanja ke pasar terdekat dengan ART mereka. Kebiasaan Prisca setiap Sabtu pagi. Sepeninggal Prisca dan Munah, Erlanda keluar ke teras belakang. Dengan santai ia membaringkan tubuhnya di atas sebuah kursi malas di sudut teras.
Ditatapnya taman kecil di depannya. Terlihat mulai rimbun dan memperlihatkan tata letak yang indah. Sambil memejamkan mata, ia menyandarkan kepalanya ke belakang. Mencoba menikmati semilir angin yang muncul sesekali, dan indahnya alunan lembut tembang lawas dari arah ruang tengah.
‘In My Dreams’ mendadak melambungkan lamunannya pada suatu titik waktu jauh di belakang. Lagu itu kesukaan...
... Laurentia...
Tanpa sadar ia mendesah.
Dan, ternyata kisah cintanya dengan Laurentia memang hanya berujung pada sepotong mimpi belaka. Salah Laurentia-kah? Erlanda menggeleng lemah. Seandainya saja ia lebih tegas dalam mengemudikan arah hubungannya dengan Laurentia, mungkin...
... akan ada Michael Sander yang segagah diriku dan Proxima Centauri yang secantik Laurentia...
Ada yang terasa menusuk hati Erlanda. Menimbulkan sedikit nyeri. Entah mengapa, baginya hubungannya dengan Laurentia sejatinya tak pernah berakhir, kendati ia sudah memiliki seorang Prisca yang cantik, dan Michael Sander yang gagah dan tampan. Ia mencintai Prisca? Ya, pada akhirnya. Tapi tetap saja rasa cinta itu tak pernah berhasil mengusir secuil halaman buku kehidupan yang pernah dibukanya bersama Laurentia.
Bagaimana kabarmu, Ren?
Erlanda mengerjapkan mata.
Di mana kamu sekarang? Apakah kamu berbahagia? Apakah laki-laki itu benar-benar mencintaimu? Apakah kamu memiliki keduanya atau salah satu?
Mimpi itu sudah mereka gantung begitu tinggi. Bahkan sudah menyentuh langit-langit ruang nama anak yang kelak mereka ingin miliki. Michael Sander untuk anak laki-laki mereka, dan Proxima Centauri untuk sang putri. Ia sudah memiliki salah satunya. Sang pangeran.
Apakah ada Michael Sander yang lain?
Erlanda tersentak tiba-tiba. Ia menegakkan punggung.
Ataukah Proxima Centauri?
Laki-laki itu hampir lupa mengembuskan napasnya. Ia kemudian berdiri, dan setengah berlari menuju ke ruang kerjanya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menyalakan laptop, dan menunggu dengan tak sabar ketika benda itu loading selama beberapa detik.
Lalu ia mengetikkan nama itu. Michael Sander. Hanya menemukan berbagai akun media sosial milik pangerannya dan beberapa orang lain bernama sama yang sepertinya tak ada hubungannya dengan Laurentia. Lalu Proxima Centauri. Pun nihil.
Pelan-pelan Erlanda menyandarkan punggung. Sambil sesekali mengedipkan mata, ia masih menatap layar laptopnya. Beberapa detik kemudian ia mengerutkan kening. Ia kembali menegakkan punggung dan mengetikkan susunan huruf yang diingatnya di luar kepala. Laurentia Wuryandani.
Nihil. Bayangan perempuan yang satu itu seolah lenyap ditelan bumi. Erlanda kembali menyandarkan punggung dan memejamkan mata.
Ia bukannya tak pernah mencoba untuk mencari Laurentia. Tapi perempuan itu benar-benar menghilang. Kabar terakhir yang ia dengar, Lauren menikah dengan seorang pria yang ia lupa namanya dan tak mau tahu sosoknya, hanya kurang dari setahun setelah ia membuat keputusan mengejutkan dengan melepaskan Lauren begitu saja.
Setelah itu, hingga detik ini, tak sedikit pun ia bisa melacak jejak Lauren. Semua keluarga dan sahabat Lauren hanya menatap dengan sinis ketika ia berkali-kali mencoba menanyakan kabar Lauren. Tak ada yang bersedia buka mulut tentang keberadaan Lauren. Pun tak ada jejak Lauren di media sosial mana pun. Entah karena Lauren tak bermain di sana, ataukah menggunakan nama lain.
Lauren marah, ia tahu. Lauren sakit hati, ia paham. Lauren membencinya, ia terima. Lauren menghilang, baru ia sadar bahwa keputusannya adalah salah. Salah besar!
Lauren sudah membelenggu segenap hatinya tanpa ia sadari seberapa parah efeknya. Saat itu ia hanya ingin fokus mengejar karier dan masa depan. Sayangnya ia melupakan bahwa usia mereka juga terus merambat naik. Ketika Lauren menanyakan akan ke arah mana mereka menuju, ia tak mampu memberikan jawaban yang pasti.
“Setidaknya aku tahu harus menjawab apa kalau ayah-ibuku bertanya tentang kita, Er...”
Begitu ucapan Lauren yang dilontarkan dengan nada sangat halus. Dan dengan egoisnya ia menjawab, dibalut aroma emosi yang sangat kental, “Seharusnya kamu tahu aku serius denganmu, Ren! Aku masih butuh waktu. Ini juga untuk masa depan kita.”
Lauren terdiam saat itu. Menatapnya dalam. Menyembunyikan kekecewaan. Kemudian berbisik, “Juga seandainya aku memintamu untuk melamar lebih dulu? Melamar saja, Er. Selanjutnya masalah nanti.”
Erlanda menggeleng teguh. “Nanti!” tegasnya.
Ia tidak suka diintimidasi dengan cara seperti itu. Oleh Lauren sekalipun. Sehalus apa pun caranya. Emosi sudah telanjur menyelimutinya. Membuatnya lupa bahwa ia sudah hampir sebelas tahun lamanya memacari Lauren yang sebaya dirinya. Lupa bahwa usia Lauren sudah mulai memasuki limit untuk berkeluarga, sudah hampir menyentuh angka 30. Lupa bahwa ia sudah membuang sekian banyak waktu yang Lauren miliki dalam kesetiaan dan kesabarannya yang nyaris tak terbatas. Lupa bahwa Lauren bukannya perempuan yang tidak menarik.
Dalam gulungan emosi yang masih sama, ia berucap tandas, “Kalau kamu memang sudah tidak sabar lagi, sebaiknya kamu cari laki-laki lain, Ren. Aku membebaskanmu. Aku melepaskanmu.”
Betapa dalamnya luka dalam mata Lauren begitu ia selesai mengucapkan kalimat itu, sudah terlalu lambat untuk ia sadari. Lauren mematuhi ucapannya. Menarik diri. Menutup pintu. Bergeming tanpa kata ketika ia mengiba dan meminta maaf, memohon agar Lauren kembali. Betapa besar kerusakan yang ia timbulkan atas nama egoisme. Padahal permintaan Lauren hanya sesuatu yang sederhana.
Kepastian.
Yang bisa ia lakukan kemudian hanyalah menyesali diri. Mengutuki diri sendiri. Betapa ia terlalu tinggi menilai dirinya sendiri, tanpa pernah benar-benar peduli perasaan Lauren.
Erlanda yang egois, tolol, dan gobloknya nggak ketulungan...
Laki-laki itu menghela napas panjang.
Ya, itu aku... Sampai sekarang...
Sudah lebih dari tiga puluh tahun semuanya itu berlalu, tapi tetap saja terasa begitu segar dalam ingatan. Walaupun ia sudah memperoleh Prisca sebagai gantinya, rasanya lembaran tentang ia dan Lauren masih akan tetap bermukim di suatu sudut hatinya sampai kapan pun.
Ia kembali menghela napas panjang sembari menegakkan punggung, dan mengusap-usap wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Berusaha membuang resah yang muncul sejak semalam. Sejak...
... gadis itu... Kenapa begitu mirip? Nyaris 100%! Adakah hubungannya dengan Lauren? Apakah selama ini Lauren di sini? Di Jakarta?
Jantung Erlanda kembali berdebar kencang. Nyaris tak terkendali.
* * *
Sisi menopang pipi kirinya dengan tangan kiri. Tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk segelas besar es jeruk kelapa. Sedikit pun tatapannya tak lepas dari wajah Dion. Mencari berkas-berkas sinar main-main dalam ekspresi wajah sahabatnya itu. Tapi, tak secuil pun ia menemukannya. Sejenak ia terhenyak.
Dia serius!
Apa yang baru saja didengarnya sendiri dari mulut Dion cukup mengguncang dunianya.
Sore ini tadi, Dion menghubunginya. Mengajaknya menghabiskan malam Minggu berdua di sebuah kafe. Bukan hal yang aneh. Terkadang bila para sahabatnya sedang suntuk, Sisi menyediakan diri dengan suka rela untuk menemani mereka secara pribadi. Mendengarkan dengan sabar semua curcol yang terkadang tidak bermutu. Atau terpaksa menebalkan telinga ketika berbagai sumpah-serapah dengan suara rendah menerjang pendengarannya. Atau apa pun yang bisa melegakan hati kelima sahabatnya itu.
Karena ayah-bundanya sore itu hendak menghadiri sebuah resepsi, meninggalkannya sendirian di rumah karena di ujung siang tadi Miatun berpamitan untuk pulang sejenak ke Bogor, maka dengan senang hati Sisi menyambut ajakan Dion. Dan di sinilah keduanya sekarang. Mojok berdua di sudut belakang sebuah kafe. Mengobrol ngalor-ngidul, hingga akhirnya Dion curhat mengenai masalah pribadinya.
“Gue... lagi jatuh cinta,” gumam Dion.
Akhirnya... Sisi tersenyum lebar.
Dion menatapnya. Terlihat ragu. Tapi Sisi menunggu kelanjutannya dengan sabar.
“Dia... dosen di kampus gue,” Dion mendegut ludah di ujung kalimat itu. Sejenak, dialihkannya pandangan ke arah lain, sebelum kembali menatap Sisi. “A mom. Single parent. Anaknya sepasang. Kembar. Baru saja masuk SD.”
Sampai di situ Dion berhenti. Seolah sedang berusaha mengumpulkan dan menyusun kata. Sementara itu Sisi mulai menghitung-hitung.
Anak masuk SD, minimal umurnya enam tahun. Dion sebaya aku. Hm... Umur berapa ibu anak-anak itu menikah? Nikah muda? Selepas SMA? Eh! Dosen, ya? Hm...
“Suaminya meninggal waktu anak-anak menjelang umur dua tahun,” lanjut Dion. Masih dengan suara lirih bernada ragu-ragu. “Pesawatnya jatuh di Kalimantan. Almarhum seorang pilot. Masalahnya...,” Dion mengerjapkan mata beberapa kali. “Umurnya sudah tiga tiga.”
Hitungan itu terjawab. Dan seketika membuat Sisi ternganga.
Di antara kelima pemuda sahabatnya, Dion memang paling pendiam, sekaligus dewasa. Mungkin terbawa situasi karena terlahir sebagai anak sulung. Pembawaannya sabar, kalem, dan ngemong. Sedikit bicara. Tapi dari bicara yang cuma seuprit itu, Dion adalah anggota geng yang paling didengar suaranya.
“Gue cinta sama dia, Si,” desah Dion. “Gue suka anak-anaknya. Mereka cerdas dan lucu banget. Dia juga sepertinya ada sinyal khusus. Tapi hambatannya besar. Nggak perlulah gue ceritain, lu pasti sudah paham.”
Sisi tercenung. Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana menanggapi curhat Dion. Di satu sisi, ia memahami keseriusan dan hak Dion untuk mencintai seseorang. Tapi di sisi lain, ia juga memahami bahwa jarak usia Dion dan orang itu terlalu jomplang.
Lebih tua yang cewek pula... Sisi menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
“Mm...,” akhirnya Sisi memutuskan untuk menanggapi, walaupun ia sama sekali tidak yakin apakah tanggapannya itu tepat. “Lu benar-benar cinta sama dia?”
“Iya.”
Sisi mengerucutkan bibir begitu mendengar nada mantap dalam suara lirih Dion, disertai anggukan dengan gerakan tegas.
“Yakin?” Sisi mencoba memastikan.
“Yakin,” Dion kembali mengangguk mantap.
“Kalau lu yakin, gue lihat nggak ada halangan buat lu deketin dia,” Sisi menatap Dion, dalam. “Kalau yang lu anggap hambatan itu soal keluarga lu atau keluarga dia, ya... itu harusnya kalian hadapi berdua. Menurut gue, sih, yang penting jalanin aja dulu. Soal lain-lain, kan, bisa kalian pikirkan sambil jalan.”
Dion balik menatap Sisi.
“Jadi menurut lu, nggak aneh gue jalan sama dia?” Dion menyipitkan mata.
“Ya, aneh juga, sih,” jawab Sisi. Jujur. Sedikit meringis. “Dikit doang. Secara dia lebih tua sembilan tahun daripada lu. Tapi asal dia single aja buat gue no problemo, Yon. Lu nggak loncatin pagar orang lain.”
Dion menghela napas panjang. “Gue masih nggak bisa bayangin gimana harus masukin dia ke geng.”
Mau tak mau Sisi tersenyum. Ditepuknya lembut punggung tangan Dion.
“Masukin ke geng itu urusan belakang,” ucapnya dengan nada menghibur. “Yang penting kenalin dulu sama gue. Biar beliaunya nggak salah paham sama kedekatan kita.”
Dion mengangguk. Senyum mulai terbit di wajahnya. Sementara itu Sisi kembali menghitung-hitung.
Dua empat dikurangi sembilan. Lima belas. Kira-kira SMP. Eh, busset! Gimana kira-kira reaksi Ayah sama Bunda kalau aku pacaran sama anak SMP, ya?
Sisi meringis dalam hati ketika pikiran jahilnya mulai merajalela.
* * *
Langit sudah lama menggelap sempurna ketika jam kuliah Sander usai menjelang malam itu. Sambil menguap ia menyalakan mesin mobil. Tapi sebelum kakinya mulai menekan pedal gas, ia menyempatkan diri untuk membuka ponselnya. Ada beberapa pesan yang masuk melalui aplikasi WhatsApp. Yang paling menarik perhatiannya adalah pesan dari Anindya. Dibacanya baik-baik pesan itu, sementara ia masih mengabaikan pesan-pesan lainnya.
‘Namanya Sisi. Aku nggak tahu akun medsosnya yang lain kecuali akun IG. Coba kamu cari @xixi_adiatma. Kalau ada info valid lain, nanti aku kasih tahu kamu lagi, San.’
Tak terhingga rasa terima kasihnya pada Anindya. Info tentang gadis boneka porselen itu memang baru secuil, tapi sudah mampu memompa semangatnya hingga hampir mencapai titik tertinggi.
Satu hal yang ia inginkan saat ini adalah segera tiba di apartemen dan mengulik laptopnya untuk membuka akun IG @xixi_adiatma. Oleh karenanya, ia segera memacu mobil, meluncur ke arah Kalibata.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
jarene kemis mbak? edisi rodhok mekso sethithik.... gak pake melas tapinya. he he he, sander bukannya pernah tayang di cerpen mbak?? (*_*)
BalasHapus