Empat Belas
Senin
pagi buta, Olivia sudah sibuk di dapur untuk membuat sarapan. Carmela
membantunya mengocok dan mendadar telur. Maxi muncul saat Olivia asyik mengaduk
nasi goreng di atas penggorengan. Pemuda itu membuat tiga cangkir kopi, semug
teh hijau hangat, dan segelas susu coklat. Setelah semuanya selesai, Olivia dan
Carmela segera naik untuk mandi, sementara Maxi menata meja makan.
Hari
ini adalah hari yang penting. Prima akan melakukan serah terima jabatan dari
Manager HRD menjadi Wakil Direktur PT. Chemisto. Laki-laki itu tampak gagah dalam
balutan kemeja batik tulis sogan lengan panjang dan celana panjang hitam. Warna
gelap kemeja itu membuat Prima tampak begitu agung dan berwibawa.
Arlena
duduk di depan meja rias, merapikan rambut dan rias tipis wajahnya. Meskipun ia
tidak ikut acara sertijab itu, paling tidak ia ingin mengantarkan Prima dalam
kondisi lebih rapi daripada biasanya. Dari pantulan cermin, ia melihat Prima
sedang duduk di tepi ranjang untuk memakai kaus kaki. Pada satu detik, tatapan
mereka bertemu. Arlena buru-buru mengalihkan pandangannya. Entahlah, bertemu
tatapan dengan Prima masih juga menimbulkan perasaan tersipu.
Prima
mengulum senyum. Pada saat-saat seperti ini, ia makin yakin bahwa keputusannya
memberikan pilihan pada Arlena tempo hari tidak salah. Perempuan itu berubah.
Jadi jauh lebih baik, sekaligus terlihat lebih menikmati hidup. Kualitas
hidup Prima pun meningkat drastis. Tidak lagi serasa menanggung beban berat.
“Nanti
aku pulang naik taksi saja, Ma,” celetuk Prima sambil memasukkan kaki ke
dalam sepatu. “Nggak usah dijemput. Ada acara syukuran di luar. Pak Krisno yang
mengadakan.”
“Oh,
oke,” Arlena mengangguk. “Tapi kalau kira-kira masih memungkinkan, tinggal
telepon aku saja, Pa. Nanti kujemput.”
“Ya,
coba nanti kita lihat, ya?” Prima berdiri.
Laki-laki
itu kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja. Dirabanya bagian belakang
celana. Dompetnya tidak terlupa. Arlena kemudian menyodorkan sehelai saputangan
yang sudah terlipat rapi dan berbau harum. Prima menerimanya sambil mengucapkan
terima kasih.
Arlena
berlalu untuk keluar dan turun ke dapur. Saat melewati Prima, laki-laki itu
dengan lembut menyapukan bibirnya ke rambut Arlena. Perempuan itu tiba-tiba
saja menjadi beku. Dengan halus Prima menjangkau bahu Arlena. Dengan halus pula
ia menarik bahu itu hingga Arlena berbalik dan menghadap ke arahnya. Sebelum
Arlena tersadar dari rasa tertegunnya, Prima sudah memeluknya dengan hangat.
“Terima
kasih, kamu sudah memilih untuk tetap berada di sini, Ma,“ bisik Prima. “Di
sampingku. Mendampingi anak-anak.”
Ada
yang terasa hangat di pelupuk mata Arlena. Tanpa ragu, ia membalas pelukan
Prima. Laki-laki itu mengelus rambutnya.
“Semua
ini,” bisik Prima lagi, “yang ada padaku, adalah untukmu dan anak-anak.”
Arlena
mengangguk tanpa suara. Seutuhnya ia percaya. Selama ini, toh, Prima sudah
membuktikannya. tanpa pernah terlalu muluk mengumbar janji. Pelan-pelan mereka
saling melepaskan pelukan.
“Sudah
waktunya sarapan,” ujar Arlena dengan suara sedikit serak. “Jangan terlambat
sampai di kantor.”
Prima
mengangguk dan menggandeng tangan Arlena, keluar dari kamar.
* * *
Seperti
biasa, menjelang pukul enam pagi, bersamaan dengan datangnya Muntik, acara
sarapan bersama mereka selesai. Olivia meraih tas laptop dan hobo bag-nya.
“Mel,
kamu nebeng Mbak Liv, ya, biar Mama
nyetirnya lebih santai ke kantor Papa,” ujar Olivia sambil membungkuk untuk
meraih pump shoes-nya di dekat sofa.
“Aku
diantar Mas Maxi, Mbak,” jawab Carmela sambil, memakai sepatunya.
Hari
ini, gadis itu siap berangkat ke sekolah dengan memakai seragam training suit karena kelasnya masuk
final bola voli pada class meeting seusai
UAS.
“Oh,
oke,” angguk Olivia.
Ia
kemudian bergegas menuju ke mobilnya. Arlena sudah siap di belakang kemudi
mobil Prima. Prima sempat mencium kening Olivia sebelum masuk ke dalam mobil.
Setelah kedua mobil itu meluncur keluar dari garasi, barulah Carmela nemplok di boncengan motor sang abang.
* * *
Seperti
biasa pula, Sandra sudah duduk manis di belakang mejanya ketika Olivia datang.
Gadis itu menyapa dengan ringan sambil melangkah ke area kerjanya. Sandra
sekilas mengamati.
Olivia
berdandan seperti biasa. Minimalis walaupun tetap terlihat cantik. Busananya
juga tidak istimewa. Hanya setelan blus putih bersimpul pita di depan dada dan
rok span berwarna khaki selutut. Blazer lengan panjang yang menutupi blusnya
berbahan dan berwarna sama dengan rok. Rambutnya diikat tinggi. Menambah segar
penampilannya yang tampak begitu bersih.
“Gimana
kabar Mas Bule, Mbak Liv?” celetuk Sandra.
Olivia
menoleh. Tersenyum tipis.
“Baik,”
jawabnya pendek.
Sebuah
sinyal kuat yang menandakan bahwa Olivia sedang tidak ingin membicarakan itu. Sandra
mengingat pertemuannya dengan Olivia pada resepsi pernikahan.
“Itu Livi, bukan, Ma?” Riza mencolek
lengan Sandra.
Perempuan itu menoleh ke
arah Riza menatap. Seketika ia ternganga. Gadis bergaun biru itu tampak
benar-benar lain daripada biasanya. Terkesan lebih ‘terbuka’, tapi tetap
terlihat elegan dan tidak berlebihan. Penampilan laki-laki tinggi tegap yang
menggandengnya terlihat padu, juga bernuansa biru.
Seharusnya Sandra tidak
perlu terlalu terkejut kalau melihat Olivia sudah menggandeng laki-laki lain
selepas hubungannya dengan Miko beberapa waktu lalu. Olivia cantik, menarik,
sikapnya juga menyenangkan. Tak sulit menarik laki-laki mana pun untuk mendekat
padanya.
Tapi... Yang ini sungguh-sungguh di luar dugaanku! Hm...
Secara tersamar, diamatinya
pasangan itu ketika memberi selamat pada mempelai. Tampak lebih akrab berbicara
dengan Edo. Sandra maklum. Edo bekerja di sebuah perusahaan asing. Sepertinya
laki-laki itu rekan kerjanya. Ketika pasangan itu bergabung dengan sebuah
kelompok di sudut, Sandra masih mengamatinya.
Ekspresi wajah Olivia tampak
begitu lepas. Berseri-seri. Ketika kelompok itu bubar dan satu per satu
orangnya mendekati meja prasmanan, Sandra tak tahan lagi untuk tak menghampiri
gadis itu. Pelan ia mendekat dan mencolek Olivia. Mengulas senyum ketika gadis
itu menoleh.
“Dunia sempit, ya?” Sandra
nyengir.
“Oh, hai, Bu!” Olivia
tersenyum. Terlihat berusaha menutupi kegugupannya.
Keduanya kemudian saling
berpelukan dan bertukar sentuhan di pipi.
“Cantik bangeeet!” puji
Sandra, setulusnya.
“Hehehe... Nggak sangka
ketemu di sini sama Ibu.”
“Iya, istrinya Edo itu
keponakanku, anak kakakku.”
“Oh...”
“Ke sini sama siapa?”
“Itu,” Olivia menunjuk
pasangannya, “teman sekantor pengantin cowok.”
“Oh...,” Sandra
manggut-manggut.
Olivia kemudian memanggil
laki-laki itu dan memperkenalkannya pada Sandra.
“Ah! Rupanya Anda sedang ke
Eropa ketika saya berkunjung ke Coffee Storage bersama ayah saya,” Allen menjabat tangan
Sandra dengan hangat.
“Oh?” Sandra menatap Olivia,
tampak menuntut penjelasan.
“Allen ini putra Mr. Victor
Byrne,” jawab Olivia. “Teman lama Pak James. Klien kita juga.”
Kemudian keduanya berpisah
karena Olivia dan Allen memang sudah waktunya menikmati hidangan. Tapi dari
kejauhan Sandra sesekali masih mengamati. Kedua muda-mudi itu sesekali bercakap
dengan wajah serius, sesekali saling mengulas senyum, sesekali sama-sama tertawa
pula.
Keesokan harinya, Minggu
kemarin, ketika menjenguk Nessa yang sudah pulang ke rumah, ia mendapat gosip
tentang kencan Olivia dan bule itu. Nessa dan Oyas bertemu keduanya di sebuah
resto Jepang di Kokas. Bahkan ada kedua orang tua Olivia juga. Duduk bersama di
sekeliling satu meja.
Mendadak saja pikiran Sandra
melayang kepada sosok Luken.
Dan
sosok yang dipikirkannya tiba-tiba saja muncul dalam gegas langkah yang
terlihat bersemangat. Menyapanya dan Olivia dengan senyum secerah mentari pagi.
Seperti biasa, Luken duduk di depan Sandra.
“Liv,
berkas untuk meeting jam satu nanti
tolong kamu siapkan sekarang,” Luken menoleh sekilas ke arah Olivia. “Sekalian
siap-siap berangkat sekarang.”
Olivia
terbengong sejenak. Luken rupanya menangkap ekspresi itu. Ia tesenyum.
“Kamu
ikut aku antar Om James ke bandara, setelah itu kita langsung ke tempat meeting. Daripada aku bolak-balik cuma
untuk jemput kamu.”
“Oh...,”
seketika Olivia paham. “Pesawat Pak James jam berapa, Pak?”
“Setengah
sebelas. Takutnya kena macet, Liv.”
Gadis itu mengangguk. Dengan cekatan dan teliti ia menyiapkan semua kebutuhan untuk meeting dengan salah seorang pemasok.
Luken juga mengarahkan beberapa hal yang harus dicatat dan dikerjakan Sandra.
Beberapa menit sebelum pukul delapan, Olivia dan Luken turun. James
ternyata sedari tadi duduk menunggu di sofa lobi bawah.
Olivia
yang hendak duduk di jok tengah SUV Luken terpaksa mengalah karena James sudah
mendahuluinya. Gadis itu kemudian duduk manis di jok kiri depan. Benar perkiraan
Luken. Mereka sempat terhadang beberapa kemacetan, sehingga baru pukul 09.23
mereka masuk ke area bandara.
“Drop
aku di depan saja, Luk. Kamu nggak usah parkir,” ujar James.
“Nggak
apa-apa, Om?” Luken menatap James dari spion tengah.
“Nggak
apa-apa...”
Luken
menuruti permintaan pamannya. Setelah menurunkan James, ia kemudian melajukan mobilnya
meninggalkan area bandara, kembali ke Jakarta, mengarah ke Cipete.
“Kita
kepagian, Liv,” gumam Luken.
“Tapi
takutnya kalau tadi saya nggak sekalian ikut, kita bisa telat ke Cipete, Pak.”
“Iya,
benar,” angguk Luken.“
“Bu
Lyra dan Pak Yus sehat, Pak?”
“Sehat,”
senyum Luken. “Titip salam buat kamu.”
“Oh,
terima kasih.”
“Oh,
ya, tadi kayaknya Om James lupa bilang sama kamu. Minggu depan Om James mau ‘pinjam’
kamu agak sering. Jadi, kira-kira bisa, nggak, kalau minggu ini kamu agak
banyak kerjaan karena sekalian mencicil pekerjaanmu minggu depan?”
“Bisa
diatur, Pak,” angguk Olivia. “Kebetulan sebagian pekerjaan saya minggu ini
sudah selesai sejak minggu lalu.”
“Oke,”
wajah Luken terlihat puas. “Sekarang kita cari makan dulu ya, Liv. Sambil
tunggu waktu meeting kita. Mampir ke
mall atau...”
“Gimana
kalau langsung ke Cipete saja, Pak? Banyak banget tempat makan di sana.”
Luken
pun menyetujui ucapan Olivia.
Menjelang
pukul sebelas siang, Luken membelokkan mobilnya ke halaman sebuah resto yang
menyajikan makanan rumahan. Sambil makan, keduanya banyak membahas soal
pekerjaan dan juga proyek James.
“Oh,
ya, aku dengar dari Dino, hari ini Pak Prima sertijab,” celetuk Luken pada satu
titik waktu.
“Oh...,”
Olivia terlihat sedikit tersipu, tapi tidak mengurangi rona bahagia dalam
wajahnya. "Iya, Pak."
“Selamat,
ya, Liv,” senyum Luken. “Pak Prima sangat pantas mendapatkannya. Dino cerita
banyak soal Pak Prima. Makanya dulu waktu Dino dipromosikan jadi GM, dia sempat
keder karena dia merasa belum pantas.
Merasa Pak Prima jauh lebih layak. Justru Pak Prima yang selalu meyakinkan Dino
bahwa pasti bisa. Dan sekarang Pak Prima benar-benar berada pada posisi yang
tepat.”
“Semua
hal memang ada waktunya sendiri, Pak,” ucap Olivia halus.
“Iya,
aku percaya itu...”
Apakah termasuk waktu untuk
menjabarkan isi pesanmu beberapa minggu lalu?
Sekilas Olivia menatap Luken.
Sekilas Olivia menatap Luken.
... Walau aku sendiri tidak
yakin apakah aku masih punya waktu yang tepat untuk bisa memilikimu, Liv...
Luken menatap ke arah lain. Ingatannya melayang pada kejadian Jumat sore lalu saat ia melihat Olivia dijemput oleh seorang laki-laki asing.
Luken menatap ke arah lain. Ingatannya melayang pada kejadian Jumat sore lalu saat ia melihat Olivia dijemput oleh seorang laki-laki asing.
* * *
Olivia
sampai di rumah beberapa belas menit lewat dari pukul lima sore. Tadi ia pulang
pukul empat bersamaan dengan Luken dan Sandra. Ketika memasuki garasi setelah
memarkir mobilnya di carport,
dilihatnya dua buah mobil berada lengkap di sana. Hanya motor Maxi yang tidak
ada. Sambil sedikit mengerutkan kening, ia pun melanjutkan langkahnya. Dua
kepala sama-sama menoleh ketika ia masuk ke ruang tengah melalui pintu
tembusan.
“Nah,
kebetulan Mbak Liv sudah pulang!” seru Carmela.
“Biar
istirahat dululah mbakmu, Mel,” sergah Arlena lembut.
“Ada
apa, sih?” Olivia meletakkan barang bawaannya di sofa.
Carmela
segera ngacir ke dapur untuk
mengambil segelas air dingin untuk Olivia.
“Ini...
lagi ngomongin syukurannya Papa,” jawab Arlena. “Tapi dilanjut nanti saja,
setelah kamu mandi.”
“Oh...,”
Olivia menerima uluran gelas berisi air dingin dari Carmela sambil mengucapkan
terima kasih. “Eh, itu Papa nggak dijemput?”
Arlena
menggeleng. “Papa bilang mau pulang naik taksi saja. Pulang kantor ada acara
makan-makan sama Pak Krisno.”
Olivia
manggut-manggut. Setelah menghabiskan isi gelasnya, gadis itu kemudian beranjak
seraya meraih barang-barangnya.
“Aku
mandi dulu,” ujarnya. “Setelah itu kita ngobrol soal syukuran.”
Arlena
mengangguk.
* * *
Tengah
ketiga perempuan itu asyik membicarakan syukuran yang direncanakan akan diadakan
pada akhir minggu ini, bel pagar berbunyi. Carmela segera beranjak keluar.
Beberapa saat kemudian ia masuk lagi sambil membawa sebuah tas kertas.
Diulurkannya tas itu pada Arlena.
“Buat
Mama, nih!”
Arlena
sempat mengerutkan kening. Tapi senyum lebarnya segera tersungging ketika
membuka bungkusan yang ada di dalam tas kertas itu. Dua helai kaus oblong
berwarna merah hati dan biru donker.
Yang berwarna biru berukuran lebih besar. Carmela iseng menyambar kaus biru
dari pangkuan Arlena.
“Apaan,
sih?” gumamnya penasaran.
Ketika
ia membentangkan kaus oblong itu, tawa Carmela dan Olivia sama-sama meledak.
Kalimat berwarna putih dengan bentuk font
menarik itu bertuliskan ‘Mr. Right’.
Terletak di bagian dada dan punggung. Ketika Arlena membentangkan kaus merah,
tawa keduanya meledak lagi. Warna dan font
tulisannya sama, hanya saja kalimatnya berbunyi ‘Mrs. Always Right’.
“Beli
di mana, sih, Ma?” Carmela terlihat penasaran. “Kok, dianternya pakai
Great-jek?”
“Ini
usaha anak Om Nando,” jawab Arlena.
“Oh...
Sama kayak kaus-kaus kocaknya Papa, ya?” Olivia tertawa lagi.
“Iya...,”
Arlena mengangguk sambil ikut tertawa. “Ini juga Papa yang pilih. Biar kayak
ABG, katanya.”
Tawa
Olivia dan Carmela meledak lagi. Olivia mengamati lagi kaus di tangannya. Bahannya bagus.
Katun. Cukup tebal. Membuatnya tertarik. Ditatapnya Arlena.
“Mama
ada katalognya?”
“Ada
IG-nya,” Arlena meraih ponselnya di atas coffee
table. Sejenak kemudian ia sibuk membuka layar ponselnya. Diulurkannya
ponsel itu pada Olivia. “Coba, deh, kamu lihat.”
Gambar-gambar
kaus yang dipajang di laman IG milik Mutiara Pelangi Hasibuan itu terlihat sangat
menarik. Ada bermacam warna, gambar, tulisan, dan mutu kaus. Harganya cukup
terjangkau, disesuaikan dengan kualitas kaus. Bahkan bisa pesan sesuai tulisan
dan gambar yang diinginkan. Olivia mengembalikan ponsel Arlena.
“Jadi
kesimpulannya, gimana itu acara syukuran?” tanya Olivia.
Arlena
membaca catatannya. “Diadakan hari Sabtu, jamnya belum deal, kita minta Budhe Min
yang masak. Nah, kita mau undang siapa saja, nih? Orang-orang terdekat saja.”
“Kak
Luzar,” celetuk Carmela sambil nyengir.
“Wooo...,”
Arlena dan Olivia serempak menanggapi sambil tertawa.
“Catat...,”
sambung Arlena.
“Keke,
Ma,” Olivia mengingatkan. “Mas Gandhi, pasti. Mbak Vita pasti bantuin Budhe.”
“Iya,
nanti hari Jumat biar Mama minta Bunde
dan Mbak Vita menginap di sini,” ujar Arlena sambil terus mencatat. “Allen?”
Arlena mengangkat wajahnya, menatap Olivia.
Gadis
itu mengangguk. “Sabtu kayaknya dia bisa. Minggu besok ini harus berangkat ke field, soalnya.”
“Oke,”
Arlena mencatat lagi.
“Bapakku,
Ma,” celetuk Carmela. “Harus diundang juga.”
“Mas
Luken?” Arlena mengangkat kembali wajahnya.
Carmela
mengangguk mantap. Sekilas Arlena menatap Olivia. Tapi yang ditatap pura-pura
sibuk mengamati kaus couple Arlena
dan Prima.
Hm... Aku harus bicara dulu
padanya, putusnya kemudian.
* * *
WORO-WORO... Novel "Eternal Forseti" sudah resmi meluncur dari ruang penerbitan Jentera Pustaka pada hari Selasa, 8 Agustus 2017 kemarin. Bagi yang berminat memilikinya, bisa klik DI SINI untuk memperoleh informasi selengkapnya. Terima kasih... 😘
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Adudu ......
BalasHapusNunggu Luken ketemu kambek Allen !
Wasek iq mb Liiiiissss .....
Good post mbak
BalasHapus