Tujuh
Sabtu
pagi itu, seusai sarapan, Arlena sibuk mendandani gadis sulungnya. Ia memegang
sebuah cermin yang diarahkan ke bagian belakang kepala Olivia.
“Gimana?”
tanyanya.
Olivia
mengamati sanggul kepang yang pantulannya terlihat di cermin. Rambutnya dibelah
dua tepat di tengah. Kedua bagian itu masing-masing dikepang tempel, kemudian
ujung bebasnya disatukan di atas tengkuk dan dibentuk jadi sanggul gulung yang sangat
manis. Wajah Olivia tampak takjub.
“Wow...
Ini keren, Ma!”
Arlena
mengangguk puas. Ia kemudian beralih menangani bagian wajah. Gadis secantik
Olivia tak perlu terlalu banyak diwarnai menyolok. Hanya perlu menonjolkan
bagian-bagian yang tertentu agar terlihat lebih segar.
Seusai
meratakan pelembab pada wajah Olivia, Arlena mengaplikasikan alas bedak secara
merata. Tidak perlu memakai concealer karena
kulit wajah Olivia benar-benar tanpa noda. Setelah itu Arlena membubuhkan bedak
dengan menepuk-nepukkan spons secara sangat lembut ke seluruh wajah dan leher
Olivia.
Ia
menjauhkan tatapannya sedikit dari wajah Olivia sebelum mulai menangani alis.
Ia hanya menyikat dan menyempurnakan bentuk alis Olivia dengan pensil alis coklat
tipis-tipis saja. Bentuk alis anak gadisnya ini sudah bagus, sama seperti miliknya.
Dengan cepat ia memutuskan untuk memilih eyeshadow
dengan nuansa kecoklatan, seperti busana yang hendak dikenakan Olivia. Efek
sapuan kuasnya membuat mata Olivia tampak lebih besar dan indah. Tak cukup
hanya sampai di situ. Setelah memulaskan maskara, Arlena masih menambahkan lagi
sepasang bulu mata palsu. Dengan hati-hati ia mengguratkan eyeliner, kemudian menyatukan bulu mata asli dan palsu dengan
mengunakan penjepit. Membuatnya jadi lentik sempurna.
“Wow...,”
bisik Olivia lagi.
Matanya
terlihat jauh lebih indah, tapi tetap tidak tampak menor ataupun terlalu
dramatis. Masih cocok untuk menghadiri pesta pernikahan pada siang hari.
Setelah itu, Arlena menyelesaikan riasan itu dengan menyapukan blush on dan memulaskan lipstik berwarna
oranye lembut kecoklatan.
“Gimana,
Liv?” Arlena menatap gadis sulungnya melalui pantulan cermin.
“Salon
langganan kalah jauuuh...,” ucap Olivia dengan nada takjub. “Makasih banyak,
Ma.”
“Ya,
sama-sama,” senyum Arlena.
Ia
kemudian merapikan alat-alat riasnya, sementara Olivia beranjak untuk berganti
baju. Sekilas gadis itu melirik jam dinding. Sudah pukul sepuluh lewat sedikit. Busana
two pieces-nya terdiri dari kebaya lengan
pendek ber-kuthu baru dari bahan
brokat kerawang berwarna krem muda, dan sehelai rok panjang batik berpinggang
tinggi dengan model mermaid dalam
nuansa coklat muda dan coklat tua. Ada tambahan obi lebar polos berwarna cokelat tua dari bahan satin untuk menutup bagian pinggang rok, menggantikan fungsi setagen.
Pelengkapnya
adalah seperangkat perhiasan berwarna emas berhias kristal, dalam bentuk bunga
sepatu, berupa sepasang tusuk konde, sepasang giwang, seuntai kalung dan liontin,
sebentuk gelang di pergelangan tangan kanan, dan sebuah cincin di jari manis
kiri. Bukan emas asli, tapi sangat mewah dan elegan. Sebuah arloji kecil
berwarna senada di pergelangan tangan kiri menambah sempurna penampilan itu. Terakhir,
ia meraih sebuah handbag kecil coklat
kemerahan, sewarna dengan sepatu sling
back bertumit sepuluh sentimeter bermodel open toe yang hendak dikenakannya.
“Waduh,
Liv, kukumu belum dicat!” seru Arlena tiba-tiba, terlihat panik.
Olivia
terlihat sedikit kaget sebelum tersenyum.
“Semalam
sudah kukasih kuteks transparan, Ma,” ia menanggapi. “Masih rapi, kok.”
“Hm...
Ya, ya...,” Arlena mengangguk-angguk. “Nggak apa-apa. Fokusnya, kan, pada
wajahmu, bagian mata, bukan kuku. Perfect!”
Setelah
sekali lagi mengamati penampilannya melalui pantulan cermin, Olivia pun keluar dengan
masih mengenakan sandal jepit di kakinya. Kedua belah tangannya masing-masing
menenteng handbag dan sepatu.
“Busngeeettt!” seru Maxi yang melihat
kakaknya turun melalui tangga. “Ada bidadari, oi!”
“Whoaaa!!!
Mbah Livi cantik bangeeet!!!” Carmela pun tak kalah heboh. “Aku gemeeesss!!!”
“Halah...,”
Olivia tertawa.
Kehebohan
Carmela rupanya didengar pula oleh Prima yang sedang menemui Luken di ruang
tamu. Laki-laki itu tersenyum, menatap Luken.
“Sebentar,
ya, Mas,” ia berdiri. “Kelihatannya Livi sudah selesai.”
Langkah
Prima sampai di ruang tengah tepat ketika Olivia menunduk mengenakan sepatunya.
Saat gadis itu mengangkat wajah, seketika itu juga Prima terkesima. Ia sampai
tak sanggup berkata-kata.
“Wow!”
hanya itu yang bisa diungkapkannya.
Olivia
tersenyum manis. Prima tersadar.
“Itu,
sudah ditunggu Mas Luken,” ucapnya kemudian.
“Hah?”
Olivia melebarkan matanya. “Sudah datang? Sudah lama?”
“Baru
sepuluh menitan,” jawab Prima.
Olivia
melangkah cepat ke arah ruang tamu. Memang belum tepat setengah sebelas. Tapi
rasanya tidak enak juga membiarkan laki-laki itu menunggu.
“Selamat
pagi menjelang siang, Pak,” sapa Olivia halus. “Maaf, Bapak menunggu lama.”
Cangkir
yang isinya baru saja disesap Luken hampir meluncur jatuh dari tangan.
Seketika laki-laki itu ternganga melihat penampilan cantik luar biasa sang
sekretaris.
* * *
Reaksi
yang sama juga datang dari Madi. Laki-laki berusia 60-an itu nyaris tak
berkedip menatap Olivia. Dan demi menghindari hal yang ‘tidak-tidak’, laki-laki
itu menandatangani dolumen perjanjian tanpa banyak pernik. Tak sampai lima
belas menit, segala urusan kerja itu selesai. Sambil berpamitan, Madi
berkali-kali mengucapkan permintaan maaf karena sudah mengganggu acara Luken
dan Olivia. Berkali-kali pula Luken meyakinkan bahwa semua itu tidak apa-apa
karena orang tua yang sakit, kan, sama sekali di luar harapan dan kehendak.
Begitu
taksi yang ditumpangi Madi meluncur pergi, Olivia segera merapikan berkas di
atas coffee table di ruang tamu yang
ada di lobi kantor. Mereka memang menerima Madi di situ karena Luken tidak mau
Olivia naik-turun hanya untuk urusan itu. Bahkan semua berkas yang sudah
disiapkan Olivia di atas meja kerjanya di lantai dua, Luken pula yang
mengambil. Dan kini, laki-laki itu sudah bersiap kembali untuk mengembalikan
map berkas ke atas meja Olivia. Diraihnya map-map itu begitu selesai dirapikan
Olivia. Gadis itu tak kuasa mencegahnya. Sambil duduk menunggu di sofa, ia
menatap punggung Luken yang berjalan menjauh ke arah tangga.
Menjelang
siang ini Luken sungguh-sungguh terlihat mempesona. Tanpa ada perjanjian, hem
batik lengan panjang mengilap yang dikenakan laki-laki itu terlihat mirip
dengan corak rok Olivia. Begitu juga warnanya. Membuat laki-laki tinggi tegap
itu terlihat begitu tampan, matang, gagah, dan terkesan agung.
Ada
getar-getar tersembunyi dalam hati Olivia melihat penampilan Luken yang seperti
itu. Pada saat seperti ini, tak sedikit pun bayangan Allen muncul dalam
benaknya. Entah menghilang atau bersembunyi di mana. Ia juga enggan untuk
menelusuri dan mencari.
Gadis
itu berdiri ketika melihat kaki Luken yang terbungkus sepatu dan pantalon hitam
mulai menuruni anak tangga. Dirapikannya sejenak busana yang dipakainya.
Setelah mematikan ceiling fan di atas
area sofa, Olivia pun mulai melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantor.
Sekejap kemudian Luken sudah berada di sampingnya. Satpam yang bertugas
mengangguk hormat ketika keduanya melintas.
Ketika
Luken mulai meluncurkan mobilnya, ponsel Olivia berbunyi. Ia meminta maaf pada
sang boss sebelum menanggapi telepon
itu. Ternyata dari Sandra.
“Ya,
Bu?”
“Gimana urusan sama Pak
Madi, Mbak Liv?”
“Oh,
sudah beres, Bu. Ini kami sudah meluncur ke gedung. Gimana pemberkatan Mbak Mei
dan Mas Bagas, Bu? Lancar?”
“Iya, ini juga sudah
selesai. Lagi berangkat ke gedung. Sampai ketemu di sana, ya?”
“Oke,
Bu.”
Olivia
menoleh ke kanan setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam handbag.
“Bu
Sandra, Pak,” lapornya. “Pemberkatan sudah selesai, sekarang lagi jalan ke
gedung.”
“Oh,
oke,” sahut Luken.
Hening
sejenak. Hanya ada musik jazz instrumental yang mengalun lembut dalam kabin SUV
itu. Hingga kemudian Luken memecahkannya dengan suara berat dan lembut.
“Tadi
dandan di salon mana, Liv?”
Olivia
tertegun sejenak sebelum menjawab, “Nggak ke salon, kok, Pak. Kalau cuma soal
dandan begini, Mama juga piawai. Atau... justru dandanan saya nggak bagus, ya,
Pak?”
“Oh,
enggak! Enggak!” Luken buru-buru menjawab begitu mendengar nada khawatir dalam
suara Olivia. “Semua sudah pas, Liv. Sangat pas. Sampai nggak ada celah sama
sekali. Kamu biasanya sudah cantik. Dandan seperti kemarin makin cantik. Dan
sekarang... aku susah menemukan ungkapan yang pas karena kamu jauuuh melebihi
kemarin.”
“Owh...,”
seketika Olivia tersipu.
“Dan
kecantikanmu sama sekali bukan kecantikan yang kosong,” lanjut Luken dalam
bentuk gumaman. “Itu yang membuatmu makin sempurna.”
Saking sempurnanya sampai
aku tak berani memintamu, Liv...
Sekilas,
ia membuang pandang ke arah kaca spion di luar. Mereka sudah dekat dari gedung
tempat resepsi pernikahan Mei dan Bagas. Padahal Luken masih ingin berdua saja
bersama Olivia dalam keheningan. Mencium aroma harum lembutnya yang terasa
begitu menenangkan.
Sayangnya,
tinggal satu tikungan lagi.
* * *
Sandra
adalah orang kesekian yang ternganga melihat penampilan Olivia. Perempuan itu
segera menarik Olivia ke sebuah sudut, sementara Luken berbincang dengan Riza.
“Pengantin
perempuannya saja sampai kalah cantik,” gumam Sandra.
“Halah,
Bu... Cuma dandanan begini saja, lho,” kilah Olivia.
“Pak
Luken gimana?”
“Maksudnya?”
Olivia mengerutkan kening.
“Berani
taruhan sejuta dolar, dia pasti terpesona melihatmu,” ucap Sandra dengan mata
berbinar-binar.
Olivia
tersipu. “Berat itu, Buuu...”
Sandra
tertawa ringan. Tapi sejurus kemudian ia kembali serius.
“Dia
sudah terlalu lama menduda,” Sandra bergumam lagi. “Dia orang yang sangat baik.
Aku hanya ingin melihatnya mendapat yang terbaik. Seperti dirimu, Mbak Liv.”
Olivia
tercenung sesaat. Pada saat seperti itu, mendadak saja sosok Allen menyelinap
masuk ke dalam benaknya. Juga peristiwa yang terjadi kemarin sore.
Allen adalah laki-laki yang
menyenangkan. Di balik pekerjaan lapangannya yang terkesan sangat keras, laki-laki
itu cukup punya tata krama dan kesopanan. Dengan jelas ia memperkenalkan siapa
dirinya pada Prima dan Arlena. Tak lupa bercerita sedikit tentang keluarganya.
Ia anak sulung dari tiga
bersaudara. Ayahnya adalah seorang importir kopi, sedangkan ibunya yang dulu
berprofesi sebagai seorang perawat sudah lama meninggal. Sama seperti Olivia,
ia memiliki seorang adik laki-laki dan seorang adik perempuan. Adik
perempuannya, si bungsu yang seusia Olivia sudah menikah tahun lalu. Saat ini
berprofesi sebagai seorang guru SD, masih tinggal di Calgary, berjarak satu
blok jauhnya dari kediaman sang ayah, dan sedang menunggu kelahiran anak
pertamanya. Sedangkan adik laki-lakinya yang berusia 28 tahun bekerja sebagai
seorang peneliti pada industri kimia dan farmasi di Mississauga, sebuah kota di dekat Toronto.
“Lingkungan kuliah dan kerja
saya minim perempuan,” ungkapnya kemudian. “Apalagi selama sepuluh tahun ini,
saya sering berpindah-pindah negara. Saya kesulitan untuk bertemu dan berteman
dengan perempuan yang kemungkinan bisa menjadi teman hidup saya. Jadi... saat
ini, saya jalani saja apa yang harus saya jalani.”
“Eh,
makan dulu, yuk!”
Tarikan
Sandra pada tangannya membuat Olivia tersentak.
“Aku
sudah diserahi Mei untuk menservis Pak Luken sebaik-baiknya. Dan Pak Luken satu
paket denganmu saat ini,” sambung Sandra.
Samar,
Olivia menghela napas panjang.
Allen tidak menjanjikan
apa-apa.
Matanya
mengerjap ketika tatapan Luken yang masih mengobrol dengan Riza jatuh padanya.
Sedangkan yang satu ini, juga tidak mengatakan apa-apa lagi...
* * *
Olivia
mematikan laptop sambil menguap. Ia menggeliat sedikit sebelum bangkit dari
duduknya. Sekilas, diliriknya jam dinding. Hampir pukul satu dini hari. Revisi
calon novelnya sudah selesai. Akan dikirimkan ke editor melalui email besok
pagi atau siang. Sambil memutar leher untuk melemaskan tengkuknya yang terasa
pegal, ia keluar dari kamar dan turun ke dapur untuk mengambil minum.
Saat
melewati ruang baca, pintunya masih terbuka lebar. Ada alunan musik klasik
lembut dari arah dalamnya. Ia memutuskan untuk melongokkan kepala.
Astaga, Papa...
“Pa...,”
usiknya.
Laki-laki
itu mengalihkan tatapan dari layar laptop. Tersenyum melihat siapa yang
menegurnya.
“Belum
tidur, Liv?”
“Papa
sudah janji nggak akan lupa istrahat,” protes Olivia. “Kok, sekarang kerja lagi
sampai larut malam? Sudah dini hari pula.”
“Bukan
bekerja, Liv,” Prima meralat dengan halus. “Hanya mempelajari salinan
dokumen-dokumen perusahaan.”
“Sama
saja,” tukas Olivia, cemberut. Masih bersandar di kusen pintu.
“Oke...
Oke...,” Prima pun mematikan laptop. “Tapi kenapa juga kamu sekarang belum
tidur?”
“Baru
selesai mengerjakan revisi naskah novel.”
Prima
menutup layar laptopnya. Ia kemudian berdiri sambil mematikan CD player menggunakan remote control. Dihampirinya Olivia. Gadis itu mendahului melangkah
ke dapur. Di belakangnya, Prima menutup pintu ruang baca setelah mematikan
lampu dan kipas angin gantung. Laki-laki itu mengikutinya ke dapur.
“Mau
minum apa, Pa?” tanya Olivia.
“Teh
hijau tawar hangat saja, Liv,” Prima duduk di depan island.
Sambil
menunggu mesin kopi selesai beroperasi, Olivia membuat semug minuman yang
diminta ayahnya. Setelah selesai, disodorkannya mug itu pada Prima. Ia kembali
ke mesin kopi. Secangkir espresso
sudah siap. Tak lama kemudian, ia sudah menikmati affogato-nya di sisi island di
sebelah kanan Prima.
“Pa,
sungguh, aku khawatir banget kalau Papa sampai kurang istirahat,” ucapnya
lirih. “Ayolah, Pa, jangan terlalu keras bekerja.”
“Iya,
Papa tahu,” angguk Prima. “Nggak tiap malam juga, kok, Papa begadang. Ini tadi karena Papa nggak
bisa tidur. Belum juga ngantuk. Makanya Papa putuskan turun dan buka laptop.
Ngomong-ngomong, gimana tadi pestanya?”
“Meriah.
Undangannya nggak terlalu banyak. Gedungnya juga nggak gede-gede amat. Tapi makanannya enak-enak.”
“Yang
secantik kamu banyak?” Prima tersenyum lebar.
Olivia
tergelak ringan. Ia mengibaskan tangan kirinya. Prima menyesap teh hijaunya.
“Papa
saja terpesona lihat kamu, Liv, apalagi Mas Luken,” gumam Prima kemudian.
“Ah,
apa, sih...,” Olivia tersipu.
Prima
menatap Olivia. Dalam. Gadis itu berlagak sibuk dengan affogato-nya.
“Kamu
dengan Allen itu... bagaimana?” tanya Prima dengan suara lembut.
Olivia
mengangkat wajahnya. Tampak serius. Sedetik kemudian ia menggeleng.
“Papa
sudah dengar sendiri ucapannya kemarin,” tatapan gadis itu meredup. “Hanya
menjalani apa yang harus dijalani. Karena kemungkinan besar dia juga nggak akan
terlalu lama berada di sini. Lagipula... kami belum lama berteman. Tapi justru
aku senang dengan keterbukaan itu. Dia nggak PHP. Jadi seperti Papa pernah
bilang, aku juga nggak menggantung harapan terlalu tinggi.”
Prima
manggut-manggut mendengar curahan hati putri sulungnya. Tapi ia masih bermaksud
mengusik lagi.
“Kalau...
Mas Luken?”
Olivia
menggeleng. “Aku nggak tahu, Pa. Rumit kalau sama dia, sih. Waktu aku dapat
pesan yang ‘itu’ dan sesudahnya kita ngobrol, harapanku sempat membumbung
tinggi. Tapi, kan, Papa tahu, nggak lama aku justru bertemu Allen. Saat Pak
Luken masih tour. Aku belum pernah
merasa setertarik itu pada seorang laki-laki. Jujur, aku terpesona pada Allen.
Pada saat yang hampir bersamaan, Pak Luken pulang, dan kami segera saja
terjebak dalam rutinitas pekerjaan, karena memang lagi banyak banget yang harus
diurus dan diselesaikan,” Olivia tertunduk.
Prima
mengulurkan tangan. Menggenggam hangat jemari Olivia.
“Selanjutnya
aku nggak tahu gimana,” lanjut Olivia. “Ini juga Allen, kan, lagi siap-siap berangkat ke field besok. Bakalan tiga minggu di sana. Dia sudah bilang nanti pulang dari Papua mampir ke Toraja dulu. Dia
juga sudah paham kalau aku cuma free di
akhir minggu. Makanya dia masih tetap ingin manfaatkan waktu liburnya dengan
eksplorasi ke tempat-tempat yang dia ingin kunjungi. Dan itu haknya.”
Prima
menepuk-nepuk lembut punggung tangan gadis sulungnya.
“Papa
percaya kamu bisa menakar perasaanmu sendiri,” ujarnya halus. “Kamu sudah
dewasa. Bisa menjaga hati dan dirimu sendiri. Kalau memang harus memilih,
pilihlah yang membuatmu lebih nyaman, membuatmu tenang, membuatmu tidak takut
menjalani masa depan. Baik Mama maupun Papa, tidak ada yang mematok kamu harus
menikah pada umur sekian atau secepatnya. Tidak ada,” Prima menggeleng tegas. “Yang
penting kamu menemukan laki-laki yang tepat, saling setia, satu untuk selamanya.”
Olivia
menatap ayahnya. Mengangguk mengerti. Prima tersenyum.
“Sudah
hampir jam dua, Liv. Ayo, tidur. Oh, ya, besok mobilmu harus diservis rutin,
ya?”
“Iya,”
Olivia berdiri sambil membawa cangkir dan mug yang sudah kosong ke bak cuci
piring. Dengan cepat dicucinya kedua benda itu. “Maxi tadi bilang dia yang mau
servisin. Sama Papa?”
“Iya.”
Setelah
Olivia mengeringkan tangan dengan sehelai serbet bersih, Prima mengulurkan
tangan, merengkuh bahu putrinya. Sebelah tangannya menjangkau saklar. Lampu
dapur padam seketika. Nyaris tanpa suara, keduanya menapaki anak tangga,
kemudian masuk ke kamar masing-masing.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Thanks to Mas Chris Darmoatmojo
Thanks to Mas Chris Darmoatmojo
gregetan aku mbek pak luken.... ngomong ae wis. mslh duda, lek duren yo ora popo. opo maneh wis mapan, wis weruh de'e-ne sopo.... pilih2 tebu, lek oleh bongkeng yo emoh aku
BalasHapusWuiihhh... Tebu bongkeng... Rasane piye???
HapusGood post mbak
BalasHapusIsh Luken !
BalasHapusGari ngomong ae lo koq cik angele.
Pinter authore ncen.
Ngubek" emosie sing baca
Nggih sami2 bu..
BalasHapus