Lima
Ada hari selain akhir pekan saat Sasya tidak ada jadwal kuliah, yaitu hari Rabu dan Jumat. Pada saat itulah tugasnya berubah. Tidak duduk di belakang meja mempelajari manajemen EuropeSky, tapi bertransformasi menjadi seorang pramusaji.
Ia mengenakan seragam yang sama dengan para pramusaji lain. Tugasnya pun sama. Dari membersihkan seluruh sudut ruangan resto sebelum buka, mengikuti briefing, mencatat pesanan pelanggan, menyajikannya, membersihkan meja, hingga kembali membersihkan seluruh sudut resto sebelum tutup sesuai shift-nya. Dengan begitu, ia bisa merasakan dan belajar bagaimana seharusnya menjaga kebersihan dan kerapian resto, bagaimana seharusnya melayani pelanggan sebaik-baiknya, dan tidak meremehkan peranan seorang pramusaji
Terkadang ia juga menjelma jadi kasir, pencatat reservasi, tukang cuci piring, ataupun asisten bartender. Tak jarang pula mewakili Fritz menjadi penerjemah bila ada tamu resto yang tidak memahami bahasa Indonesia atau membutuhkan hal lebih. Semua pramusaji di EuropeSky menguasai bahasa Inggris sederhana, tapi terkadang ada tamu yang justru tidak memahami bahasa Inggris. Kalau sudah begitu terpaksa Fritz atau Sasya turun tangan. Dengan bekal menguasai bahasa Belanda, Jerman, dan Perancis secara aktif selain bahasa Inggris, biasanya masalah komunikasi dengan para tamu akan terselesaikan.
Semua yang bisa ia lakukan, ia lakukan dengan senang hati. Yang ia tak pernah lakukan adalah terjun membantu di dapur, karena itu adalah wilayah kekuasaan chef dan para asistennya. Wilayah yang tidak boleh diganggu atau dilanggar garisnya. Tapi sering kali saat senggang ia asyik mengamati para asisten chef melakukan plating. Di situlah ia mempelajari standar-standar penyajian.
Semua hal itu pula yang dulu harus dijalani oleh ketiga abangnya. Tanpa terkecuali. Tanpa paksaan. Mengenal EuropeSky sejak kecil sudah membuat mereka mengerti apa yang harus dipelajari dan dikerjakan. EuropeSky adalah taman bermain mereka. Fritz tinggal mengawasi dan mengarahkan sekadarnya saja. Justru dengan cara seperti itu keempat putra-putrinya pelan-pelan menguasai dengan baik semua hal yang harus dikuasai di EuropeSky. Semua itu memerlukan waktu. Fritz percaya, waktu yang tepat akan selalu hadir.
Rabu siang itu, Fritz duduk menunggu dengan sabar di depan meja untuk berdua di sudut bagian belakang resto. Sasya muncul tak lama kemudian, membawa sebuah nampan berisi sepiring besar paella*), dua botol air mineral, dan dua gelas kosong. Paella racikan Chef Abraham itu terlihat masih mengepul. Menggugah selera. Setelah menata semuanya di atas meja, gadis berseragam pramusaji itu menggeser kursi di seberang sang ayah ke sisi lain meja. Di situlah ia menempatkan diri, sehingga mereka bisa duduk berdekatan dan menikmati paella itu berdua dari piring yang sama.
Mereka makan sambil mengobrolkan berbagai hal ringan. Fritz tergelak spontan ketika Sasya menceritakan kejadian lucu yang dialaminya bersama teman-teman baru selama beberapa minggu menjalani perkuliahan matrikulasi. Dan pada satu titik ia menatap gadis bungsunya dengan penuh arti.
“Hm... Entah kenapa, di kelas pun aku jadi anak bungsu,” Sasya meringis sambil menyuapkan sesendok paella ke dalam mulutnya.
“Kamu tahu, schat,” tatapan Fritz terlihat begitu dalam. “Yang terbaik selalu disimpan untuk saat terakhir.”
“Owh...,” Sasya menangkupkan telapak tangan kanannya di dada. Ditatapnya Fritz dengan sorot mata berkelip. Sesuatu yang selalu membuat hati Fritz meleleh. “Ik hou van jou, Papa...” Aku mencintaimu...
Fritz meraih kepala Sasya dan mengecup ringan puncaknya. Meskipun sang ayah tak membalas ungkapan cintanya dengan kata-kata, tapi Sasya memahami seutuhnya bahwa ia dan ketiga abangnya adalah sepertiga belahan jiwa Fritz lainnya.
“Mama mengkhawatirkan kamu,” gumam Fritz tiba-tiba, sambil menyuapkan sesendok paella ke dalam mulutnya.
“Hah?” mata Sasya bulat menatap ayahnya. “Kenapa?”
Yuliani duduk menghadap meja riasnya. Sibuk membersihkan wajah sebelum tidur. Dari pantulan cermin, dilihatnya Fritz tengah duduk bersandar di ranjang. Asyik membaca sebuah buku. Perempuan itu berpikir sejenak sebelum buka suara.
“Pa...”
“Hm...,” Fritz mengalihkan tatapan dari bukunya. “Ja?” ditatapnya Yuliani.
Perempuan itu berbalik. Tetap duduk di ottoman, tapi kini menghadap ke arah Fritz.
“Sasya...,” Yuliani terlihat ragu-ragu. “Apakah tidak terlalu banyak yang harus dikerjakannya? Kuliah, berkerja... Kulihat dia kurang punya waktu untuk dirinya sendiri.”
Fritz menghela napas panjang. Ditutupnya buku yang masih ada di pangkuannya. Ia tercenung sejenak. Sejujurnya ia merasakan hal yang sama. Sasya kecilnya terlalu sibuk.
Ini adalah minggu kelima Sasya mulai menjalani kuliah matrikulasi sekaligus berkerja di EuropeSky. Hari Senin, Sasya berada di kampus sebelum pukul sembilan hingga jadwalnya selesai menjelang pukul satu siang. Menjelang pukul dua ia tiba di EuropeSky. Menyempatkan diri sejenak untuk menikmati makan siang yang selalu dimasakkan Fritz untuknya, sebelum mulai bekerja hingga pukul lima sore.
Hari Selasa, kuliahnya dimulai pukul satu siang. Sebelum pukul sembilan pagi ia sudah muncul di EuropeSky. Bekerja hingga menjelang pukul sebelas, kemudian makan siang, dan berangkat ke kampus. Sekitar pukul empat sore ia muncul lagi di EuropeSky, bekerja hingga pukul enam sore.
Hari Rabu, ia memilih untuk menjalani peran sebagai pramusaji atau tenaga serabutan pada shift pagi. Mulai pukul delapan hingga pukul empat sore.
Hari Kamis, ia muncul menjelang pukul dua belas siang seusai kuliah. Setelah makan siang, ia bekerja hingga pukul enam sore.
Hari Jumat, ia memilih untuk masuk shift sore. Pagi harinya, ia terkadang pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok atau ke perpustakaan. Ia menjadi pramusaji atau tenaga serabutan lagi mulai pukul tiga hingga resto tutup sempurna pada pukul sebelas malam. Jam buka EuropeSky adalah pukul sepuluh pagi hingga pukul sepuluh malam. Dari Senin hingga Minggu. Pukul sembilan malam, mereka sudah tidak menerima tamu lagi. Hanya membiarkan para tamu yang sedang makan di dalam menyelesaikan ‘urusan’-mereka.
Hari Sabtu, ia tetap datang ke EuropeSky. Hanya saja waktunya agak longgar. Sejak pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga atau empat sore. Di antara kesibukan sepanjang minggu itu, ia tetap menyempatkan diri untuk belajar atau mengerjakan tugas dari dosen. Terlihat sangat sibuk. Bahkan Era dan Runa dulu pun tidak sesibuk itu.
Selama ini, Fritz secara disiplin memang berkantor di EuropeSky dari hari Senin sampai Jumat, sejak pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore. Kadang sendirian, kadang bersama Yuliani. Tidak selalu di belakang meja, karena Fritz masih sering terjun langsung menjadi koki. Makin sering sejak ada Sasya yang membantu pengerjaan administrasi resto. Hari Sabtu, kadang ia datang, kadang juga tidak. Sesuka hatinya saja. Hari Minggu ia libur. Begitu pula Sasya.
“Coba besok aku bicara padanya,” putus Fritz kemudian.
Yuliani menghela napas lega. Ia kemudian berbalik lagi menghadap ke cermin untuk menyelesaikan membersihkan wajah. Sekilas dilihatnya Fritz meletakkan buku di atas nakas, melepaskan kaca mata bacanya, kemudian berbaring. Yuliani menyusulnya tak lama kemudian. Segera tenggelam dalam pelukan Fritz yang selalu hangat.
“Bukan hanya Mama saja yang khawatir, tapi Papa juga. Jadi...,” Fritz menatap putri bungsunya dalam-dalam, “... mulai minggu ini, kamu wajib libur pada hari Sabtu.”
“Tapi, Pa...”
“Nee, Sasya!” Fritz menggeleng tegas. “Tidak ada tapi. Papa juga tidak setiap hari Sabtu mengontrol resto. Dan kamu sendiri punya kehidupan sosial yang harus kamu nikmati. Ini perintah boss. Jangan membantah!”
Sasya mengerucutkan bibirnya. Memang sudah beberapa kali ia menolak ajakan teman-temannya untuk menikmati akhir pekan bersama. Nonton bioskop, cuci mata di mall, atau sekadar nongkrong di kafe untuk bertukar cerita. Kadang-kadang ia memang merasa sayang sudah melewatkannya. Tapi rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan di resto membuatnya buru-buru mengenyahkan keinginan untuk bersenang-senang itu.
Hm... Tapi sesekali aku memang butuh juga me time itu...
“Oke,” ditatapnya Fritz. “Tapi kalau aku sedang tidak ada acara dengan teman-teman pada hari Sabtu, aku akan tetap ke sini.”
Fritz berpikir sejenak. “Setuju!” ucapnya kemudian sembari mengangguk.
Sasya tersenyum puas.
“Satu lagi,” pesan Fritz, “utamakan kuliahmu. Papa tahu kamu punya banyak tugas untuk dikerjakan, apalagi nanti, kalau kuliah reguler sudah dimulai.”
Sasya mengangguk. Fritz lega sekali melihatnya. Saat itu, seorang pramusaji mendekati mereka.
“Maaf, Pak, Mbak,” seorang pramusaji menatap keduanya dengan ragu-ragu.
“Ya, Mbak Su?” Sasya menoleh sambil membersihkan sekitar mulutnya dengan sehelai tisu.
“Itu tamu di meja nomor empat tidak paham bahasa Inggris,” jawab Suyani. “Padahal sepertinya mereka mau minta hal khusus.”
“Oh...,” Sasya meneguk air mineralnya sebelum berdiri. “Biar aku tangani.” Ia menoleh ke arah Fritz. “Papa habiskan saja makanannya. Aku sudah kenyang.”
Fritz mengangguk. “Ja. Nanti kalau ada kesulitan, kamu panggil Papa, ya?”
Sasya mengangguk sambil merapikan bajunya. Ia kemudian bergerak ke arah meja nomor empat dengan langkah cepat.
* * *
Sekilas Wanda mengamati sekeliling ruangan resto itu. Walaupun sejuk karena diembus beberapa AC, tapi suasana ruangan tetap terasa hangat. Sudah beberapa kali ia mengunjungi EuropeSky tapi baru kali ini ia mengamatinya lebih teliti. Terakhir, ia datang ke sini beserta beberapa rekan arisannya sekitar lima-enam bulan yang lalu.
Tata ruang resto itu cukup ringkas dan modern. Lantainya tertutup parket warna coklat muda dengan gurat-gurat kayu yang terlihat jelas. Setengah tinggi dindingnya juga tertutup parket kayu, tapi dalam warna lebih gelap daripada lantainya. Dinding bagian atas bercat putih bersih dengan hiasan berupa gambar-gambar indah pemandangan Eropa dalam berbagai musim yang terbingkai dan tertata rapi.
Ruang dalam resto itu tebagi jadi dua. Dibatasi oleh dinding kaca tebal bening yang rapat dari lantai hingga langit-langit. Memisahkan ruang non dan smoking area. Non smoking area tiga kali lebih luas daripada area satunya yang terletak agak di belakang.
Seorang staf dari meja reservasi kemudian mengantar Wanda dan Pradana ke meja yang sudah mereka pesan. Meja untuk bersepuluh di ruangan bebas dari asap rokok yang letaknya di dekat jendela besar di sudut depan resto.
Siang itu, keduanya ingin menjamu salah seorang teman Pradana yang lama bermukim di Perancis. Teman Pradana berkunjung ke Indonesia membawa keluarganya, yang terdiri dari istri, seorang anak, seorang menantu, dan dua orang cucu yang masih balita. Ronan akan menyusul kemudian, setelah menjemput Gaby dari sekolah.
Sasya sudah selesai mengurusi serombongan turis dari Prancis di meja nomor empat. Ia menoleh berkeliling. Ketika dilihatnya tidak ada pramusaji lain yang menganggur, dengan agak terpaksa ia kemudian mendatangi meja yang ditempati Wanda dan Pradana, tak jauh dari meja nomor empat.
“Selamat siang, Ibu dan Bapak...,” sapa Sasya dengan senyum tulus dan suara bernada ramah.
Wanda dan Pradana mendongak seketika. Walaupun sangat jarang bertemu sejak mereka pindah ke rumah baru, tapi tentu saja keduanya tidak bisa melupakan wajah ayu si anak gadis tetangga.
“Lho, Sya?” Wanda terbengong menatap Sasya yang tubuhnya terbalut seragam pramusaji.
“Saya Sasya, siap melayani Ibu dan Bapak,” Sasya melanjutkan ucapannya dengan tetap mengulas senyum sambil mengulurkan dua buah buku menu. “Silakan memilih, nanti saya yang akan mencatatnya.”
Wanda masih bengong menatapnya. Sasya terpaksa meringis sekilas.
“Tiap Rabu dan Jumat saya jadi pramusaji, Tante, Om,” bisiknya. “Maaf, saya harus profesional.”
“Oh...,” Pradana paham.
Laki-laki itu tersenyum lebar sambil menepuk lembut punggung tangan Wanda. Perempuan itu tersadar. Ia menggeleng samar. Ikut tersenyum
“Kaget aku lihat kamu jadi pramusaji di sini, Sya...,” gumamnya sambil menunduk untuk melihat-lihat buku menu.
Wanda bertanya menu apa saja yang istimewa pada hari itu. Dengan terperinci dan tetap ramah, Sasya kemudian menjelaskannya. Mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga makanan penutup. Wanda terlihat puas dengan penjelasan itu. Ia kemudian menatap Sasya.
“Kami sedang menunggu tamu. Datangnya kira-kira masih satu jam lagi. Bisa kami pesan agak nanti saja?” senyum Wanda.
“Oh, tentu saja bisa, Bu,” Sasya kembali bersikap resmi dengan tidak meninggalkan keramahannya.
“Pesan minuman dan wafel saja dulu,” celetuk Pradana, menatap Wanda. “Buat cemil-cemil. Satu jam itu lama juga, lho. Sebentar lagi anak-anak juga datang.”
Wanda menyetujui usulan suaminya. Ia menekuni buku menu dan memesan empat porsi wafel dengan empat topping berbeda.
“Yang small saja, ya, Sya,” sekilas Wanda menatap Sasya sebelum kembali menekuni buku menu. “Minumnya... mm... coklat saja ya, Pa?”
“Wis, sakarepmu wae, Ma,” Pradana menjawab pasrah. Terserah padamu.
Sasya kembali mencatat pesanan Wanda. Ia kemudian membaca ulang pesanan itu sebelum menyerahkannya ke dapur.
“Nanti kami masih pesan-pesan lagi, ya, Sya,” Wanda mendongak. Tersenyum.
“Baik,” Sasya mengangguk sopan. “Silakan ditunggu sebentar, Ibu, Bapak. Pesanan segera kami siapkan. Permisi...”
Sepeninggal Sasya, Wanda menatap Pradana. Masih dengan sorot mata tak percaya.
“Itu serius dia magang jadi pelayan di sini?” bisik Wanda. “Di restoran ayahnya sendiri?”
Pradana menanggapinya dengan senyum. Ditatapnya Wanda.
“Mungkin Pak Fritz punya cara sendiri, Ma,” gumamnya. “Sasya tampaknya juga nggak keberatan,” ia menggelengkan kepalanya. “Wajahnya tulus sekali waktu melayani kita.”
Tentu saja Wanda bisa melihat hal itu dengan jelas. Dan ia tak punya kata-kata lagi untuk menanggapi ucapan Pradana.
* * *
Catatan :
*) Paella (dibaca ‘paeiya’) adalah ‘nasi kuning’ asal Spanyol yang dimasak dengan berbagai bumbu rempah, produk hewani (daging, udang, kerang, cumi), dan terkadang ditambah sayur (polong-polongan). Warna kuningnya berasal dari bahan alami saffron, yaitu rempah kering yang merupakan putik bunga Crocus sativus. Penggunaan saffron yang berlebihan pada masakan akan memberikan rasa pahit.
Saffron adalah bumbu termahal di dunia. Harganya mencapai belasan bahkan puluhan juta rupiah per kilogramnya.
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
Pertama lho.... ada hadiahnya?
BalasHapus#&+☆ edisi ngarep &"#?
Europesky, keren banget
Gedhang goreng 😁😁😁
HapusMantap...
BalasHapusLanjut...
Siaaap! Makasiiih... 😘😘😘
HapusKalau boleh aku gambarkan affogato itu auranya agak muram ya. Ungu-kelabu gt. Skrg loncat ke cerbung ini. Auranya pink ceria. Yang aku heran kok bisa toh dik?
BalasHapusWis toh jgn bilang abal-abal lagi. Aku nyimak, menikmati & terkagum-kagum (lagi, u/ kesekian kalinya).
Lanjut!
Makanya selalu ada jeda tayang seminggu antara cerbung lama dan baru, Mbak. Biar bisa keluar dari yang lama dan masuk ke yang baru. Matur nuwun rawuhipun... 😘😘😘
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊😊😊
HapusYah... Pak Dosen datangnya hari Kamis :(
BalasHapusSesuai jadwal 😋😋😋
Hapus