Kamis, 25 Mei 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #10

Sepuluh


Anak-anak itu...

Sasya menyadarkan punggungnya di sofa teras.

Seharusnya hidup nyaman di tengah kehangatan kasih orang tua. Tapi nyatanya...

Gadis itu menghela napas panjang.

Setelah Runa dan Era nyaris berbarengan meninggalkan rumah ini, Sasya seperti kehilangan setengah hidupnya. Biasanya rumah terasa penuh dan ramai dengan kehadiran mereka, mendadak saja terasa kosong setelah keduanya pergi. Pada awalnya ia merasa kesepian. Apalagi Runa lebih memilih untuk hijrah ke tempat yang jauh, Surabaya. Di antara ketiga abangnya, Sasya memang lebih dekat hubungannya dengan Runa. Lalu ia mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain untuk mengurangi rasa sepi itu. Belajar lebih tekun, dan mengikuti beberapa kegiatan yang mengarah ke sosial.

Era sesekali pulang. Jarak Bandung-Jakarta tidak terlalu jauh. Tapi menjadi lebih jarang setelah mulai serius dengan kekasihnya. Runa hanya muncul sekitar perayaan Natal, Paskah, dan ulang tahun pernikahan Fritz-Yuliani. Begitu juga Vin dan keluarga kecilnya. Selebihnya? Sibuk sendiri-sendiri walau tak pernah lupa untuk saling bertukar kabar melalui grup WA maupun video call minimal seminggu sekali.

Dan anak-anak itu... Pikiran Sasya bergulir lagi. Alangkah beruntungnya aku! Saking nyamannya sampai kadang-kadang lupa untuk bersyukur. Ampuni aku, Tuhan...

Lalu pikirannya bergulir lagi. Entah kenapa kali ini guliran itu berhenti pada sosok mungil Ela dan sang abang yang terlihat sangat takut kehilangan adiknya.

Sekecil itu, hanya tinggal berdua di dunia... Terpaksa terdampar di panti asuhan... Duh!

Tapi panti asuhan “Cinta Putih” tampaknya benar-benar memperlakukan anak-anak itu dengan baik. Badan mereka tampak sehat. Ada keceriaan khas anak-anak dalam mata mereka. Beberapa terlihat sangat berisik demi mencari perhatian. Selebihnya? Mereka cukup mudah diatur dan dapat berinteraksi dengan baik. Yang sudah besar pun terlihat dapat membimbing dan mengendalikan yang lebih muda.

Dan laki-laki ‘yang satu itu’...

Mau tak mau benaknya jatuh pada sosok ‘yang satu itu’.

Pada akhirnya ia bisa melihat sisi lain laki-laki itu. Selama ini sosok Ronan yang dikenalnya adalah seorang dosen yang tegas, disiplin, dan mampu mengajar dengan baik.

Ternyata...

Rasa-rasanya ia tak akan pernah mampu melupakan apa yang dilihatnya siang tadi. Bagaimana laki-laki itu tetap sabar walaupun ‘ditempeli’ belasan anak-anak yang berisiknya bukan main. Juga betapa pandainya Ronan mendongeng. Menciptakan suasana hening ketika ia bertutur, dan memecahkan keheningan itu dengan bahana tawa anak-anak ketika ia sampai pada bagian yang lucu. Tak lupa ada interaksi yang sungguh menarik dengan anak-anak yang menonton dan mendengarnya. Dan terakhir, bagaimana Ela tampak demikian nyaman dalam gendongan Ronan.

Jika diharuskan untuk melongok ke dalam hatinya sendiri, Sasya merasa tidak boleh ingkar. Sejujurnya, sosok Ronan sudah berhasil membuat jantungnya berdebar liar tanpa bisa dikendalikan. Rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Ia tak pernah menampik kenyataan bahwa tidak hanya satu atau dua orang saja teman laki-lakinya terlihat betul meng-gebet ia, bahkan sejak jaman SMP dulu. Tapi tak satu pun dianggapnya istimewa. Semua adalah teman biasa. Sama rata.

Tapi laki-laki yang satu ini?

Diam-diam ia menyerah. Ronan bukan saja seorang pekerja keras dan seorang dosen yang baik, tapi juga seorang yang lembut hati, terutama terhadap anak-anak. Seorang laki-laki yang menyukai anak-anak itu sungguh-sungguh tampak sexy di matanya. Itu di luar wajah dan penampilan yang memang good looking tanpa menimbulkan kesan berlebihan. Sosoknya pun tidak terlihat ‘mengintimidasi’. Sasya yakin laki-laki itu tidak memiliki six packs di perutnya. Entah kalau ia salah. Tapi ia merasa ‘nyaman’ melihat sosok laki-laki itu.

Sejak awal melihat Ronan di awal kuliah dulu, ia memang sudah merasa tertarik. Ketertarikan normal seorang gadis muda terhadap lawan jenisnya. Setengah terhipnotis melihat raut wajah dan gerak-gerik tenang laki-laki itu. Tapi segera saja ia menyadari posisinya. Ia mahasiswi, dan laki-laki itu adalah dosennya. Bahkan hingga sekarang, walaupun dalam perkuliahan reguler yang sudah mulai dijalaninya tidak ada nama Ronan Respati, SE., MM. dalam daftar dosen yang mengajarnya.

Tapi tetap saja...

Sasya mengembuskan napas keras-keras. Sejenak ia membungkuk untuk meraih secangkir coklat yang sudah kehilangan suhu hangatnya di atas coffee table. Diteguknya minuman yang masih terasa enak itu.

Tumbuh besar dan menjadi dewasa di antara empat laki-laki yang jauh lebih matang daripadanya membuat ‘selera’ Sasya terhadap laki-laki tak jauh dari sosok ayah dan ketiga abangnya. Ia kurang tertarik pada laki-laki yang sebaya dengannya, atau sedikit lebih tua, apalagi yang lebih muda. Ia sudah pernah mengeluhkan hal itu pada Yuliani. Tapi jawaban sang ibu sungguh melegakan hati.

“Mama lihat itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, Sas,” ucap Yuliani lembut. “Kamu berhak untuk suatu saat hidup bersama orang yang bisa membuatmu nyaman. Perbedaan usia yang cukup jauh bukan masalah. Asal itu tadi, kalian nyaman menjalani hubungan. Saling menyayangi, saling menghargai, saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, saling menjaga.”

Jadi...

Sasya meletakkan kembali cangkir coklatnya di atas coffee table. Saat hendak meluruskan kaki di atas sofa, samar-samar ia mendengar dering bel dari arah garasi. Segera saja ia melongok ke arah pagar. Ada seseorang yang berdiri di depan pintu pagar. Tidak jelas siapa karena suasana teras jauh lebih terang daripada keadaan di luar sana. Tapi dihampirinya juga pintu pagar karena posisinya memang paling dekat. Saat ia mendekat, makin jelas siapa yang berdiri di sana. Seketika hatinya bergemuruh.

Laki-laki itu menunggu dengan sabar hingga nona rumah mendekat.

“Hai, Sya,” sapanya dengan bibir menyunggingkan senyum

“Oh, Bapak,” Sasya cepat-cepat membuka pintu pagar. “Selamat malam... Mari, masuk.”

Laki-laki itu mengikuti langkah Sasya. Gadis itu membuka pintu ruang tamu lebar-lebar dan menyilakan tamunya yang membawa parsel masuk.

“Mm... Ini ada titipan dari Mama, buat Tante Fritz,” laki-laki itu meletakkan parsel yang dibawanya di atas coffee table.

“Oh, sebentar saya panggil Mama.”

Tanpa menunggu jawaban sang tamu, Sasya masuk untuk mencari ibunya. Perempuan itu ditemuinya tengah duduk di ruang tengah bersama sang ayah. Asyik menekuni tablet. Serius mencari tiket pesawat ke Bali.

“Ma, ada kiriman parsel, tuh,” ujarnya.

Yuliani menoleh. “Dari siapa?”

“Tante Wanda. Tuh, dianter sama Pak Ronan. Mama temui dulu, deh!”

Yuliani bertukar tatapan sejenak dengan Fritz sebelum beranjak. Sasya kemudian duduk di dekat Fritz. Tapi Yuliani membelalakkan matanya.

“Ngapain kamu duduk di situ?” ucapnya dengan nada galak.

Sasya menanggapinya dengan meringis tak jelas.

“Bikin minumlah, tolong,” lanjut Yuliani.

“Ah, paling cuma sebentar,” elak Sasya.

Tapi tatapan sang ibu membuatnya mengkeret juga. Dengan ogah-ogahan Sasya beranjak ke dapur. Beberapa menit kemudian ia sudah keluar ke ruang tamu dengan membawa sebuah nampan berisi dua cangkir teh, dua piring mungil, dan dua stoples berisi speculoos dan kacang bawang.

Sasya terbengong sejenak ketika Yuliani beranjak begitu ia muncul. Yuliani tersenyum manis pada Ronan.

“Nah, Mas Ronan ngobrol dulu sama Sasya, ya. Bilang Mama, makasih banyak atas bingkisannya.”

Dan Yuliani melenggang masuk sambil membopong parsel itu. Sasya pun ‘terpaksa’ duduk setelah menghidangkan minuman dan cemilan. Canggung. Ditambah harus meredakan badai yang timbul lagi di hatinya. Sementara itu Yuliani yang sudah kembali ke sebelah Fritz segera meraih ponselnya. Dihubunginya seseorang.

Lalu ia berbisik, “Sudah, Jeng, mereka lagi ngobrol sekarang.”

Kemudian ia terkikik. Fritz yang melihat kelakuan Yuliani hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengulum senyum.

* * *

“Tante Fritz lagi sibuk, ya?” ucap Ronan setelah menyesap tehnya.

“Nggak juga, sih, Pak,” senyum Sasya. “Cuma lagi browsing tiket pesawat untuk ke Bali.”

“Oh, mau honeymoon lagi?” bibir Ronan melebar, membentuk seulas senyum yang mampu membuat Sasya nyaris kelojotan.

“Mm... Papa, sih, ngakunya kangen sama cucu, Pak. Tapi kalau penerapannya lain, ya, entah,” Sasya tertawa ringan. “Gara-gara habis gendong-gendong Ela tadi.”

“Mm... Kalau di luar kampus jangan panggil ‘pak’-lah,” Ronan menatap Sasya. Ada senyum di matanya.

“Oh... Kakek?” Sasya nyengir.

Tawa Ronan pecah karenanya. Gadis di depannya ini benar-benar menggemaskan!

Dan seketika rasa canggung itu mencair. Mereka terlibat dalam obrolan yang entah berujung-pangkal di mana. Tapi pada akhirnya bermuara pada dua orang abang-adik bernama Dennis dan Ela.

“Semua anak berhak untuk mendapat kehidupan kedua,” ucap Ronan dengan mata yang redup, setengah menerawang. “Juga Dennis dan Ela. Kesempatan mereka tidak banyak karena jarang ada orang tua yang bersedia mengadopsi dua anak sekaligus. Sudah banyak yang tertarik pada salah satunya, tapi mundur dan beralih ke lainnya karena syarat khusus itu. Juga ada faktor religi yang harus sama.”

Seandainya...

Sasya menatap Ronan. “Kalau belum menikah, nggak boleh mengadopsi, ya, Mas?”

Ronan mengangguk. “Boleh, sih... Cuma, kan, nggak bisa egois juga tanpa mempertimbangkan psikologis si anak. Lagipula, nggak gampang juga, kan, jadi orang tua tunggal.”

“Oh...,” cahaya wajah Sasya meredup.

“Kenapa?” Ronan tertawa ringan. “Tertarik untuk mengadopsi mereka? Ayo, balapan, siapa yang lebih dulu bisa mengadopsi mereka.”

Sasya terdongak. Kembali ditatapnya Ronan.

Maksudnya???

Ronan seolah tahu apa yang dipikirkan Sasya. Ia berdehem sedikit.

“Aku... juga berniat mengadopsi mereka, Sya,” Ronan mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Hanya saja terbentur masalah status.”

“Kenapa tidak diadopsi melalui Om dan Tante?” Sasya mengerutkan kening.

“Ada batas atas usia calon orang tua, Sya.”

“Oh...” Berarti Mama-Papa juga nggak bisa, nih!

Mereka masih mengobrol sejenak lagi hingga Ronan memutuskan untuk berpamitan karena sudah hampir pukul sepuluh malam. Lama juga ia bertamu. Ketika ia sampai di rumah, senyum Wanda menyambutnya.

“Kamu nggak nyasar, kan, antar parselnya?” goda Wanda.

Ronan nyengir. Wanda tergelak. Terlihat sangat senang.

* * *

Ketika melintasi ruang tengah untuk meletakkan nampan berisi cangkir kosong di dapur, Sasya mendapati bahwa Fritz dan Yuliani masih duduk berdampingan di ruang tengah sambil menonton televisi. Kepala Yuliani terlihat rebah ke bahu Fritz. Melihat Sasya, Yuliani buru-buru menegakkan kepalanya.

“Eh, Sya,” ia melambaikan tangan. “Sini, deh! Ini kaastengel-nya endes gurindes banget!”

Sasya tertawa sambil meneruskan langkahnya ke dapur. Sejenak kemudian ia muncul lagi di ruang makan. Duduk di sebelah Fritz. Laki-laki itu menyodorkan stoples berisi kaastengel padanya. Sasya mengambil beberapa batang dan menggigitnya satu.

“Iya,” ia mengangguk. “Tambah endes karena grateees.”

Ketiganya tergelak. Tapi kaastengel yang mereka dapat dari tetangga sebelah itu memang enak sekali. Gurihnya keju tidak meninggalkan sisa yang lengket di lidah dan langit-langit mulut. Ringan, tapi lezat.

“Mama dan Papa jadi berangkat ke Bali hari Rabu,” ujar Fritz kemudian. “Paling lama dua minggu. Besok Papa adakan briefing lebih dulu. Tanggung jawab manajerial resto Papa serahkan padamu. Tapi jangan sampai mengorbankan kuliahmu. Kalau ada kesulitan, cepat hubungi Mas Era.”

“Siap, Pa,” angguk Sasya.

“Sekarang kamu istirahat,” Yuliani mencondongkan tubuhnya, menatap Sasya. “Biar besok nggak kesiangan bangun. Kamu harus berangkat pagi, kan?”

“Oke, Ma.”

Setelah mencium pipi Fritz dan Yuliani, Sasya pun beranjak ke kamarnya. Tapi tidak langsung tidur. Melainkan meraih ponselnya dan membuka aplikasi Whatsapp. Kemudian sibuk ngerumpi bisu dengan Olin.

* * *

Ini jelas bukan ketertarikan biasa. Ronan harus benar-benar mengakuinya. Bahwa hatinya sudah jatuh pada Sasya. Parah. Obrolan mereka tadi mengalir lancar. Tidak ada missed sedikit pun. Gadis itu adalah teman bicara yang menyenangkan. Dan berkali-kali ia menangkap kerlip di mata Sasya. Kerlip indah yang bukan kerlip ‘biasa’.

Apakah dia juga...

Ronan menghempaskan punggungnya ke ranjang. Seluruh warna langit-langit dan kertas dinding kamarnya seolah berubah. Berganti menjadi jajaran wajah Sasya dalam berbagai ekspresi. Sedikit pudar, tapi masih terlihat jelas.

Dan soal anak-anak itu...

Bolehkah ia berharap? Melihat bagaimana Sasya begitu lembut dan penuh perhatian saat memperlakukan Ela, rasa-rasanya harapan itu boleh bertumbuh.

Tapi masih terlalu jauh, Ron...

Laki-laki itu menggeleng samar. Betul, masih jauh.

Sangat jauh. Bahkan belum apa-apa. Belum lagi soal...

Ronan kembali menggeleng samar. Ia tak bisa menuntut orang lain untuk mengerti. Pun Sasya. Tapi ia tak boleh menyembunyikan apa pun dari gadis itu. Dihelanya napas panjang. Terngiang lagi kalimat yang pernah diucapkan Pradana dengan sangat tegas.

“Laki-laki harus berusaha untuk siap dan berani menghadapi apa pun, Ron. Apa pun. Tidak akan pernah mudah, tapi harus tetap berusaha.”

Ronan mengerjapkan mata.

Seperti Papa siap dan berani menghadapi apa yang terjadi padaku. Memberiku dukungan dan selalu mengingatkan supaya tidak mengambil jalan yang salah.

Semua itu menguatkannya. Makin menegakkan tekadnya untuk memperjuangkan hatinya. Kemungkinannya hanya ada dua. Akan berbuah manis, atau...

Aku akan kehilangan dia. Selamanya.

Dihelanya napas panjang.

Dan aku tidak akan mengetahui hasilnya kalau tidak mulai bergerak.

* * *



Catatan :

Ada ketidaktepatan dalam penggambaran pengelolaan resto pada Bab 8. Pada umumnya, resto jarang yang tutup cepat, kecuali yang berdasarkan reservasi (sedangkan sistem di EuropeSky bukan reservasi atau berdasarkan pesanan). Dengan ini, satu bagian pada Bab 8 (bagian kedua) sudah diperbaiki.
Terima kasih banyak untuk nona cantik Thong Leeann. ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜



Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Penasaran m pak Ronan....


    Ada apa??????
    ๐Ÿ˜ฏ๐Ÿ˜ฏ๐Ÿ˜ฏ๐Ÿ˜ฏ๐Ÿ˜ฏ

    BalasHapus
  2. Bayangin Pak Ronan wajahnya artis Amrik si Paul welker ๐Ÿ˜

    BalasHapus
  3. Cocok. Pas. Apik.

    3 kata dari saya buat pasangan dosen-mahasiswi.

    BalasHapus