Satu
Buuufff...
Sambil
mengembuskan napas kuat-kuat, Ronan menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang di
ruang tengah. Menjelang berakhirnya hari keempat, pekerjaan mereka tuntas sudah.
Semua sudah rapi, tepat pada tempatnya. Lebih tepatnya lagi, persis seperti
keinginan sang nyonya rumah. Dan saat ini perempuan itu tengah mondar-mandir
dengan sehelai kertas dan bolpoin berada di kedua belah tangannya. Ronan
menatapnya dengan lelah. Apalagi ketika kedua pasang mata mereka bertemu.
What’s next?
“Kamu
mau makan apa, Ron?”
Laki-laki
itu langsung menghela napas lega. Ternyata sang ibu hanya menawarinya untuk
memilih menu makan malam, bukan menyuruhnya memindahkan perabot lagi.
“Apa
sajalah, Ma,” jawabnya pasrah.
Sejenak
kemudian Wanda sudah menempelkan ponsel ke telinganya dan mulai memesan ini-itu
pada sebuah restoran cepat saji. Hal paling praktis yang bisa mereka lakukan
selama empat hari ini di tengah kesibukan menata perabotan di rumah baru.
Berseling dengan pesanan makanan melalui jasa Great Food Delivery, sebuah
diversifikasi jasa ojek online Great-jek.
Baru
saja Ronan hendak memejamkan mata, sebuah sentuhan dan goyangan di kakinya
membuatnya terbelalak kembali. Ternyata Pradana yang mengusiknya. Ia menatap
ayahnya itu dengan sorot mata bertanya.
“Mandi...,”
ujar Pradana. “Sudah jam segini.”
“Iya...,”
sahut Ronan.
Sekilas
dilihatnya jam dinding yang tergantung di atas LED TV berukuran 50 inci di
seberang sofa dan coffee table.
Hampir pukul enam petang. Ia kemudian mengangkat punggungnya dari sofa dengan
gerakan ogah-ogahan. Seluruh tubuhnya terasa penat. Kerja rodi selama empat
hari membantu kedua orang tuanya pindah rumah cukup membuatnya merasa seperti
habis digilas tank sepasukan musuh. Apalagi seminimalis apa pun selera ibunya,
sang nyonya rumah, tetap saja banyaaak sekali perabot yang harus mereka atur
ulang.
Sambil
menguap, Ronan pun melangkah ke arah kamar mandi. Ia masih setengah linglung.
Mencoba mengingat-ingat di mana ia meletakkan perlengkapan pribadinya.
Ah, ya! Di kamar Gaby!
Setelah
mengingat itu, ia pun mengubah arah langkahnya ke kamar sang adik. Tapi baru
saja membuka pintu dan setapak masuk, sebuah teriakan kencang menyambutnya.
Membuat kantuk dan lelahnya lenyap seketika.
“AAARGH!!!
Abaaang! Ketuk pintu dulu napa??? Aku belum pakai baju, niiih!!!”
Ups!
“Sorry, By...”
Ronan
nyengir sambil kembali menutup pintu. Dengan sabar ia menunggu di luar. Ia
tersenyum ketika menyadari bahwa adiknya sudah bukan lagi bayi menggemaskan
yang biasa ditimang-timangnya. Gaby kini sudah jadi remaja tanggung berusia
lima belas tahun.
Gaby
adalah hal paling indah yang pernah diperoleh Ronan. Setelah
empat belas tahun lamanya puas menjadi anak tunggal, akhirnya ia memiliki
seorang adik. Uniknya lagi, keduanya berbagi tanggal ulang tahun yang sama. Jadi ia selalu menganggap si adik adalah hadiah ulang tahun untuknya.
Pintu
terbuka dan Gaby melangkah melewatinya dengan wajah masam. Ronan terkikik
karenanya.
“Nggak
ingat, apa? Dulu aku yang bersihin dan ganti popokmu tiap kali kamu pup-in,” ledek Ronan.
Gaby
hanya melirik sadis dengan bibir mengerucut. Ronan terbahak sambil masuk ke
dalam kamar adiknya. Ketika keluar lagi dan hendak masuk ke kamar mandi,
didengarnya sebuah percakapan yang terasa menggelitik telinga.
“Ada apa, sih? Berisik
banget, By?” tegur Wanda.
“Itu, Abang main selonong
saja masuk ke kamarku,” jawab Gaby dengan nada mengadu. “Aku belum selesai
pakai baju.”
“Hehehe...,” Pradana
terkekeh. “Kamu ini kebiasaan nggak kunci pintu kamar, sih.”
“Ya, kan, aku lupa kalau
Abang di sini. Lagian biasanya juga dia ketuk pintu dulu.”
Ronan
mengulum senyum. Memang sudah hampir lima tahun ini ia menjadi ‘orang luar’
karena pindah tinggal di sebuah apartemen yang lebih dekat dengan kantornya.
Hanya pulang ke rumah saat akhir minggu atau hari libur. Sekarang pun, saat
keluarganya ‘terpaksa’ pindah, ia belum memperoleh kamar yang pasti di rumah satu
lantai berkamar lima ini. Jadi sementara ia tidur di kamar Gaby. Sedangkan si pemilik
kamar berlagak jadi bayi lagi dengan nyempil
tidur di tengah ayah-ibunya.
Air
yang dibiarkannya mengalir dari shower
dan membasahi tubuhnya dari puncak kepala hingga ujung kaki sedikit demi
sedikit meluruhkan rasa penatnya. Kesegaran mulai ia rasakan datang
menggantikan keletihannya. Beberapa menit kemudian ia pun menyudahi acara
mandinya.
* * *
Setelah
memastikan makanan yang terhidang di island
dapur tidak kurang untuk kedua orang ART mereka, Wanda kembali ke ruang
makan. Ia mengerutkan kening ketika melihat ketiga orang tercintanya masih
sibuk bercakap.
“Lho,
belum mulai makan?” tegurnya.
“Tunggu
Mama-lah...,” sahut Gaby, tersenyum manis. “Lagian belum berdoa.”
Perempuan
berusia 53 tahun yang masih sangat gesit dan cantik itu pun tergelak ringan
sambil mengusap kepala si bungsu. Ia kemudian duduk di sebelah Pradana, di seberang
kedua putra-putrinya. Setelah Ronan memimpin doa, mereka kemudian mulai
menyantap makanan yang terhidang di meja.
“Bang,
Abang kapan balik ke apartemen?” tanya Gaby dengan nada jahil, sambil menggigit
sepotong chicken drumstick.
Ronan
segera menanggapinya dengan kedua telapak tangan tertangkup di dada. Wajahnya
disetel se-‘terluka’ mungkin.
“Ouch! Jadi begini rasanya habis manis
sepah dibuang?” ratapnya lebay.
Tawa
meriah segera pecah di sekeliling meja makan.
“Itu
sebenarnya pertanyaan Papa,” ujar Wanda di ujung tawanya. “Papa sudah nggak
kuat tidur bareng Gaby. Sudah tempatnya jadi sempit, Gaby kalau tidur
hadeeeh... Gayanya macam-macam.”
“Memangnya
dikira aku kuat apa, bobok sama Papa?” sungut Gaby dengan bibir maju sekian
sentimeter. “Papa ngoroknya kenceng banget gitu.”
Meledak
lagi tawa mereka. Obrolan beralih ke banyak hal lain lagi. Hingga tak terasa
makanan yang cukup untuk enam sampai tujuh orang itu habis oleh mereka
berempat.
“Besok
pagi kita mulai kenalan sama tetangga,” ucap Pradana sambil meletakkan gelas
air putihnya yang sudah kosong. “Mumpung akhir pekan. Paling tidak, yang sederetan
dulu, dari ujung ke ujung. Sekalian Papa mau tanya di mana rumah ketua RT-nya.”
“Aku
ikut?” tanya Ronan.
“Ya,
iyalah...,” sergah Wanda. “Biar kamu kalau ke sini nggak dianggap sebagai penyusup.”
Si
anak sulung meringis lucu. Wanda kemudian memanggil kedua ART mereka yang sudah
selesai makan untuk membantunya membereskan meja makan. Setelah selesai, mereka
berempat beriringan menuju ke teras depan untuk menikmati suasana malam di
rumah baru dalam suasana yang betul-betul santai.
Pendar
redup lampu taman menemani mereka mengobrol. Ditemani empat cangkir teh lemon
dan satu stoples besar keripik singkong asin-manis. Teras seluas 5x3 meter
persegi itu terasa lega karena hanya berisi seperangkat sofa dan sebuah coffee table, dengan jajaran pot berisi
tanaman suplir koleksi Wanda di kedua tepinya. Tepi lainnya berbatasan langsung
dengan carport berpayungkan atap fiber bening yang menghubungkan pintu
pagar dengan garasi.
Rumah
mereka sekarang berada di kompleks perumahan yang cukup elit. Pradana dan Wanda
memutuskan untuk pindah karena ingin rumah lama mereka dipakai untuk perluasan
panti asuhan yang didirikan oleh keduanya beserta dua pasang sahabat mereka.
Saat ini panti sudah membutuhkan rumah terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Pradana dan Wanda memilih untuk
menempati rumah baru yang lebih dekat dengan sekolah Gaby, apartemen Ronan, dan
kantor Pradana. Kompleks yang sebetulnya ‘milik’ Pradana sendiri karena
perusahaan propertinyalah yang membangun kompleks itu.
“Kayaknya
aku nggak bakal punya teman di sini,” celetuk Gaby tiba-tiba.
Ketiga
orang lainnya terdiam. Kompleks seelit itu, sepertinya menyimpan permasalahan sendiri.
Di mana para penghuni kelihatannya jauh lebih individualistis daripada
orang-orang di kompleks kelas menengah yang terpaksa mereka tinggalkan.
“Nanti
kalau sudah masuk sekolah lagi, pulangnya kamu bisa tetap pulang ke rumah
lama,” Wanda mengelus kepala putri bungsunya. “Kan, Mama tetap ngantor di sana.
Kamu masih tetap bisa main sama sohib-sohibmu. Sorenya, baru kita pulang ke
sini. Senyampang kamu sekarang masih libur, kalau kamu mau ikut Mama ke sana,
ya, ikut saja.”
Gaby
mengangguk. Menyembunyikan helaan napas panjangnya. Ia tengah belajar untuk
berkorban sekarang. Berkorban untuk hal yang lebih baik. Ia masih punya rumah
yang hangat dengan cinta orang tua yang lengkap, dan juga seorang abang yang
penuh kasih dan perhatian.
Sementara anak-anak di
panti? Hm...
Tek!
Tek! Tek!
“Permisi...”
Keempatnya
menegakkan punggung ketika melihat ada orang yang mengucap salam sambil
mengetukkan gembok ke besi pagar. Ronan segera beranjak, berinisiatif untuk
membuka pintu pagar.
“Selamat
sore...”
“Iya,
selamat sore,” Ronan menyambut sapaan itu dengan ramah sambil membuka
lebar-lebar pintu pagar.
Seorang
laki-laki sebaya dirinya segera mengulurkan tangan, mengajak berjabat.
“Maaf,
mengganggu, Mas,” ucap laki-laki itu. “Saya Era, dari rumah sebelah,”
ditunjuknya rumah di sebelah kiri. “Saya lihat beberapa hari ini ada kesibukan
pindahan. Kebetulan saya lewat, lihat lagi pada santai. Saya pikir sekalian
saya mampir untuk memperkenalkan diri. Tapi kalau mengganggu...”
“Oh,
enggak, Mas Era,” senyum Ronan. “Sama sekali nggak mengganggu, kok. Iya, baru
ini tadi semuanya beres. Ayo, masuk dulu, yuk!”
Ronan
menggiring tamu itu masuk, kemudian memperkenalkannya pada keluarganya. Sejenak
kemudian mereka sudah tenggelam dalam obrolan akrab. Dalam hati Wanda
tersenyum. Setidaknya mereka punya seorang tetangga yang cukup ramah. Gaby
menyelinap masuk untuk membuatkan tamu mereka secangkir teh.
“Sebetulnya
besok kami mau kelilingan, Mas,” ucap Pradana. “Kenalan sama para tetangga. Mas
Era sendirian tinggal di sebelah? Atau sudah berkeluarga?”
“Mm...
Sebenarnya KTP saya sekarang sudah KTP Bandung, Om,” jawab Era. “Tiga hari ini
saya diminta Papa untuk kontrol usaha kami di sini. Papa sama Mama lagi ke luar
negeri. Besok pagi-pagi saya balik lagi ke Bandung. Kebetulan saya pegang
cabang usaha di sana.”
“Oh...,”
Pradana manggut-manggut. “Kalau boleh tahu, usahanya di bidang apa, Mas?”
“Kuliner, Om,” senyum Era.
“Wah,
berarti Mas Era ini chef, ya?” Ronan
menanggapi dengan nada antusias.
“Bukan,
Mas,” Era tertawa. “Saya cuma mengawasi operasional saja. Yang asli chef itu Papa sama abang sulung saya.
Tapi kami punya beberapa chef yang
loyal dan handal. Makanya Papa memutuskan untuk buka cabang di beberapa kota.”
“Di
mana saja, Mas?” Wanda nimbrung
sambil tangannya sibuk menghidangkan secangkir teh yang baru saja dibawa keluar oleh
Gaby. “Ayo, Mas, silakan diminum.”
“Wah,
repot-repot saja,” wajah Era terlihat rikuh. “Terima kasih, Tante, Dik...”
“Enggak
repot...,” senyum Wanda. “Jadi, di mana saja, Mas?
“Mm...
Pusatnya di Jakarta sini, Tante,” Era kemudian melanjutkan jawabannya. “Di
Kemang. Masih dipegang Papa, tapi mulai disiapkan untuk adik bungsu saya. Di
Bandung ada, saya yang pegang. Di Denpasar dipegang abang sulung. Di Surabaya
jatah saudara kembar saya.”
“Wuih,
hebat, Mas!” Pradana mengacungkan jempol. “Saya saja kesulitan untuk merayunya
menggantikan saya,” Pradana meringis menatap Ronan. Yang ditatap pura-pura
tidak paham. Justru menengok ke arah lain. “Malah punya pilihan sendiri. Ya,
sudahlah. Siapa tahu yang bungsu ini nanti mau,” Pradana merengkuh bahu Gaby
yang duduk di sebelahnya.
Era
tertawa ringan. Obrolan mereka masih panjang lagi hingga Era minta diri hampir
setengah jam kemudian. Laki-laki itu berjanji untuk memberitahu kedua orang
tuanya bahwa mereka kini punya tetangga baru. Keempatnya mengantar sang tetangga
sampai ke pintu pagar.
“Hm...
Kalau semua tetangga ramah kayak dia, bisa kerasan, nih, kita,” gumam Gaby
setelah Era menghilang dari pandangan.
Pradana
memeluk bahu Gaby sambil melangkah kembali ke teras. “Mungkin nggak semua. Tapi
paling tidak, ada yang ramah.”
Gaby
balas melingkarkan lengan kirinya ke sekeliling pinggang sang ayah.
* * *
Ilustrasi : pixabay.com
(dengan modifikasi)
Catatan :
1. Cerbung ini mungkin tidak sepanjang
cerbung yang lalu. Jadi penayangannya hanya hari Senin dan Kamis saja, KECUALI
harus ada bab yang dipecah.
2. Mau tahu nasib calon novel “Eternal Forseti”? Silakan mampir ke sini...
Eng ing eng..... mas era abangnya wati ya? Blasteran dunks.... nuwus mbak. Ditunggu lanjutannya.. .
BalasHapusHahaha... Siaaap, Jeng... πππ
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... πππ
HapusSelalu setia menunggu π
BalasHapusMakasiiih, Sylla... πππ
Hapus