Kamis, 30 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #24








Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh Empat


Pulang...

Jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit menuju ke rumah diwarnai macet parah Jumat siang itu. Panas terik yang terlihat di luar jendela mobil sejenak membuat Prima pening walaupun hawa di dalam mobil terasa cukup dingin. Tanpa sadar, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Olivia.

“Pusing, Pa?” Olivia mengelus pelipis Prima.

“Enggak, cuma pening saja lihat panas di luar.”

“Sabar, ya? Sudah, Papa merem saja. Nanti, kan, tahu-tahu sampai di rumah.”

Prima menuruti ucapan putri sulungnya. Ia memejamkan mata. Dalam kelam itu, pikirannya berkelana hingga berhenti pada pembicaraannya dengan Olivia kemarin sore, saat mereka berdua saja di dalam kamar. Maxi dan Carmela sedang keluar untuk membeli makanan.

Sehari sebelumnya, Rabu sore, dokter memang sudah memberi aba-aba bahwa kemungkinan besar Prima akan diperbolehkan pulang dua hari kemudian, hari ini. Dan penegasan itu mereka peroleh pada Kamis menjelang siang kemarin.


“Pa... Kemarin, Maxi-Mela-Livi sudah ngobrol soal kepulangan Papa besok,” ucap Olivia dengan nada halus dan hati-hati. “Demi kenyamanan Papa, sementara kamar Papa pindah ke kamar tamu di bawah, ya? Biar Papa nggak sendirian, nanti akan ditemani Maxi. Dan kayaknya Mela nggak akan mau ketinggalan menemani Papa,” Olivia tertawa ringan. “Dia sudah ancang-ancang mau ngelonin Papa, biarpun aku yakin yang terjadi akan sebaliknya.”

Prima ikut tertawa karenanya. Sejenak kemudian ia mengangguk.

“Apa pun yang kamu atur, Papa yakin hasilnya akan baik,” gumamnya.

“Mm... Soal Mama, gimana?” tatapan Olivia mengandung sinar kekhawatiran.

Prima menghela napas sejenak. Ditatapnya Olivia baik-baik.

“Sampai detik ini, Mama masih tetap istri Papa, Liv. Rumah kita, rumah Mama juga. Kalaupun Papa kemarin-kemarin belum mau bertemu dengannya, itu karena Papa perlu waktu buat mengendapkan kemarahan Papa.”

Olivia tercenung sejenak.

“Beberapa hari lalu, Mela cerita sama Papa soal perasaannya. Ya, dia marah. Kita semua marah. Tapi seperti yang Mela bilang, semua sudah telanjur terjadi. Dia nggak mau lagi berpikir tentang itu. Dia masih punya kita. Kamu, Maxi, Papa. Mela benar. Papa belajar dari pemikiran Mela. Papa masih punya kalian, anak-anak Papa, yang selalu menemani Papa dan membuat Papa kuat. Jadi... Papa ingin menyerahkan semuanya pada waktu. Yang penting Papa ingin tetap berjalan lurus ke depan. Papa ingin kalian tetap seperti itu juga.”

“Papa sudah memaafkan Mama?”

“Mm...,” Prima mengerjapkan matanya. “Jujur, belum. Kalau Mama membuat foto itu setelah Mama dengar Papa mengigaukan nama Navita, Papa harus maklum. Mungkin Mama emosi atau apalah. Tapi kalau sebelum itu...,” Prima mengedikkan bahu, “Papa masih butuh waktu lagi. Kalau memang harus berpisah, ya...  Kita harus realistis, Liv.”

Olivia tercenung lama.

Dan malam itu juga, semalam,  Prima mengirimkan pesan pada Arlena.

‘Aku boleh pulang besok. Masih harus bed rest di rumah sampai akhir bulan ini. Minggu depan Livi sudah harus masuk kerja. Dia sudah cuti terlalu lama. Bisa merawatku? Terima kasih sebelumnya.’

Balasannya ia terima tak lama kemudian.

‘Tentu saja bisa. Aku minta maaf atas semuanya, walaupun aku tahu aku sudah tidak bisa lagi dimaafkan. Aku akan merawat Papa kalau memang diizinkan. Aku tidak akan ke mana-mana.’

‘Kalau ada anak-anak, aku milik anak-anak. Tolong dimengerti.’

‘Ya, aku paham. Terima kasih karena Papa masih mempercayaiku untuk merawat Papa.’

Prima menghela napas panjang sebelum memejamkan mata.


Welcome home, Pa,” Maxi menghentikan mobil di depan garasi.

Prima membuka mata dan menegakkan kepala.

Rumah...

Maxi sudah membuka pintu kiri belakang dari luar. Pelan-pelan Prima keluar. Langkahnya masih sedikit goyah ketika melangkah. Tapi Maxi sudah siap menopangnya. Muntik berlari keluar. Menyalami Prima, kemudian sibuk membantu Olivia menurunkan beberapa barang bawaan dari bagasi mobil.

Sejenak Muntik menatap Olivia. “Mbak, Mbak Liv kurus banget...,” ujarnya dengan mata mengaca.

Olivia hanya menanggapinya dengan senyum. Dua minggu ia tidak pulang. Dua minggu pula ia tak bertemu Muntik. Pasti terlihat sekali perbedaannya antara Olivia dua minggu lalu dan hari ini. Walaupun ia berusaha untuk selalu makan teratur dan mengkonsumsi vitamin, tapi tenaga dan pikirannya terkuras habis demi fokus memperhatikan kondisi Prima.

Sementara itu, dengan ragu-ragu Arlena menyambut kepulangan Prima. Ia terima dengan lapang dada ekspresi datar Prima beserta seluruh sikap dinginnya. Tapi ia cukup bersyukur laki-laki itu membiarkan ia menyentuh dan ikut menopang langkahnya. Berdua dengan Maxi, ia membimbing Prima masuk ke kamar bawah yang sudah disiapkan Maxi kemarin, sesuai dengan arahan Olivia.

Prima sejenak menatap berkeliling. Ada yang berubah dalam kamar itu. Ia kemudian menyadarinya. Sofa bed yang biasanya ada di ruang baca sekarang ada di sini. Sprei yang menutupi kasur berukuran king size itu bukan berbahan katun seperti biasanya, melainkan seperangkat sprei batik. Kesukaan Prima. Pengharum ruangan itu sudah diganti dengan aroma rempah yang juga menjadi kesukaan Prima.

“Pa, istirahat dulu, ya?” Maxi dengan hati-hati mendudukkan Prima di ranjang. “Aku mau jemput Mela dulu.”

“Masih belum jam satu, Max,” Arlena memberanikan diri menegur anak laki-lakinya. “Makan dulu. Sudah disiapkan sama Bibik.”

“Ya,” jawab Maxi pendek.

“Sekalian Mbak Liv ajak makan dulu, setelah itu suruh istirahat. Biar Papa, Mama yang urusin.”

“Ya,” jawab Maxi lagi sebelum menghilang di balik pintu.

Tanpa sadar Arlena menghela napas lega. Paling tidak, Maxi masih mau menjawab ucapannya. Ia mengembalikan perhatiannya pada Prima.

“Papa sudah makan?”

Prima menggeleng sambil melepas jaketnya. “Aku mau mandi dulu.”

Tanpa banyak kata, Arlena membantu Prima menyiapkan keperluan mandi. Tidak ada kamar mandi dalam kamar itu. Kamar mandi ada di luar. Bersebelahan dengan kamar itu. Prima juga membiarkan saja Arlena melakukan apa saja yang perempuan itu bisa lakukan. Hanya saja, ia belum bisa mengurangi sikap dinginnya.

Satu hal yang membuat Arlena hampir menangis. Prima menatapnya sejenak. Menggumam, “Bisa minta tolong mandikan aku? Tadi pagi aku dimandikan Maxi, takutnya kurang bersih.”

* * *

Seusai makan siang bersama Maxi, pelan-pelan Olivia membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang sudah dua minggu tak ditemuinya. Terasa sangat nyaman, tapi hanya sejenak. Beberapa saat kemudian ia  dirayapi rasa pegal yang selama ini  diabaikannya. Pelan-pelan ia bangun. Saat hendak keluar, ia berpapasan dengan Muntik yang membawa secangkir besar air jahe hangat.

“Disuruh Ibu bikin ini buat Mbak Liv,” senyum Muntik.

Olivia mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

“Eh, Bik,” tiba-tiba ia teringat maksudnya keluar kamar.

“Ya, Mbak?”

“Tetangga Bibik yang beberapa kali dipanggil buat ngurut Mama itu, masih praktik, nggak?”

“Mpok Ranti? Masih...,” angguk Muntik. “Mau dipanggilin, Mbak?”

“Boleh, deh. Baru terasa pegalnya badanku, Bik.”

“Mbak Liv tunggu saja, Bibik teleponin Mpok Ranti.”

Olivia mengangguk. “Makasih, ya, Bik.”

Sepeninggal Muntik, Olivia kembali berbaring di atas ranjang setelah meneguk setengah cangkir air jahe hangat itu. Ia memejamkan mata dan sejenak terbuai kenyamanan. Tapi ketika lelap hampir merenggutnya, ponselnya berbunyi. Ia terjaga dan seketika dihinggapi rasa pening. Dengan gerakan malas, diraihnya ponsel yang tergeletak di dekat kepalanya.

“Halo, siang,” sapanya tanpa memeriksa siapa yang menelepon.

“Siang, Liv.”

“Oh, Bapak,” Olivia buru-buru menegakkan punggungnya, seolah sang penelepon sedang ada depannya.

“Pak Prima jadi pulang hari ini?”

“Oh, iya, Pak. Kami sudah di rumah.”

“Syukurlah. Nanti pulang kerja aku mampir ke rumah, ya? Nggak apa-apa?”

“Apa nggak merepotkan, Pak?”

“Enggak... Ya, sudah, kamu istirahat dulu. Maaf, sudah mengganggu. Ada salam dari Bu Sandra dan teman-teman di sini.”

“Terima kasih banyak, Pak. Salam juga untuk teman-teman.”

Ketika hendak meletakkan ponsel itu ke atas nakas, tatapan Olivia jatuh pada cangkir besar bening yang isinya masih ada setengah. Ia kemudian bangkit dan meraih gelas itu, meneguk isinya yang sudah dingin sampai habis.

Peek-a-boo!"

Olivia menoleh ke arah pintu. Tersenyum lebar. Carmela menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

“Sudah ketemu Papa?” Olivia menaikkan alisnya dengan wajah cerah.

Carmela mengangguk dengan wajah disetel sedikit sedih. “Sudah, sih... Tapi Papa lagi bobok.”

“Oh... Eh, bapakmu mau ke sini nanti pulang kerja,” Olivia meringis.

“Hah? Pak Luken?” Carmela kemudian terbahak meriah. “Mbak Liv... Mbak Liv... Digebet bapak-bapak, kok, nggak merasa...”

What?!

Tapi Carmela sudah menghilang, menyisakan gema tawanya, bertepatan dengan kehadiran Muntik dan tukang urut yang diinginkan Olivia. Gadis itu segera masuk ke kamar mandi untuk mengganti kaos oblongnya dengan kemben batik lebar berkaret yang biasa ia pakai saat diurut.

Aroma minyak urut mint-lavender yang bercampur dengan harumnya hand and body lotion memenuhi kamar itu begitu Ranti mulai mengurut kaki Olivia. Membuat gadis itu merasa ketegangan dan rasa pegal di sekujur tubuhnya mulai mengendur. Ditambah dengan hawa sejuk yang disemburkan pendingin udara. Ia pun terlelap dalam posisi tengkurap.

* * *

Arlena memahami isyarat Prima agar tetap berada di kamar itu untuk ikut mengobrol dengan Luken yang baru saja datang.

“Mbakmu mana, Max?” Prima menoleh ke arah Maxi.

Pemuda itu segera bangkit dan keluar kamar. Tapi ia kembali tak lama kemudian. Sendirian.

“Mbak Livi masih tidur,” lapor Maxi. “Kelihatannya pulas banget. Aku nggak enak mau bangunin.”

“Livi tadi baru pijat urut,” Arlena menjelaskan dengan suara lirih. “Mungkin kecapekan. Sampai ketiduran begitu.”

“Nggak apa-apa, Bu,” senyum Luken. “Biar saja.”

Kemudian obrolan mereka mengalir ke mana-mana. Hingga terdengar bel berbunyi. Arlena segera beranjak.

* * *

Gandhi menepikan city car-nya dan parkir di belakang sebuah SUV yang parkir di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Ia menarik rem tangan. Kemudian menoleh ke arah Navita.

“Kelihatannya ada tamu, Vit,” ujarnya.

“Lha, enaknya gimana?”

“Nggak apa-apa, ‘kali, kita masuk saja. Kalau ada tamu biar sekalian kita juga bertamu. Supaya Pak Prima nggak lebih lama lagi tersita waktu istirahatnya.”

“Iya, deh,” Navita membuka pintu kiri depan, bersamaan dengan Gandhi dari arah berlawanan.

Keduanya bergandengan tangan melintasi pintu pagar yang terbuka lebar, memencet bel di pilar pagar sebelah dalam, kemudian melintasi carport di bawah langit yang sudah gelap. Setelah itu menunggu sejenak di depan pintu depan yang terbuka.

“Selamat sore,” sapa sang nyonya rumah yang mengulas senyum cantik itu.

Navita mengangguk sopan. “Selamat sore, Bu. Saya Navita, ingin menjenguk Bapak.”

Seketika wajah perempuan itu berubah menjadi tidak ramah. Tanpa sadar Navita lebih erat menggenggam tangan Gandhi.

“Tunggu sebentar,” perempuan itu segera berbalik.

Navita dan Gandhi kebingungan sejenak. Tidak disuruh masuk. Tidak disuruh duduk. Akhirnya Gandhi menarik Navita agar beringsut menjauh dari pintu. Berdiri di tepi teras yang berbatasan dengan rerumputan taman.

“Mama ini nggak beres!”

Navita dan Gandhi bertatapan sejenak. Terdengar suara laki-laki yang cukup keras dari dalam rumah, disahuti dengan suara perempuan yang tak kalah kerasnya walaupun sedikit lebih tertahan.

“Dia itu yang diigaukan papamu!”

“Pantas saja Papa sampai termimpi-mimpi! Mengigau segala! Mbak Navita itu keponakan Papa! Putri mendiang Pakdhe Drastya! Mengerti sekarang, Ma?!”

Lalu hening. Hingga seorang pemuda keluar dari pintu depan.

“Mbak, Mas, ayo, masuk!” Maxi menyambut keduanya dengan sapaan ramah dan jabat tangan hangat.

Navita menatapnya dengan rikuh. “Maaf, Dik, kedatangan kami mengganggu.”

“Oh, enggak...,” Maxi menggeleng cepat.

Pemuda itu menarik tangan Navita dan setengah menyeretnya masuk. Gandhi mengikuti dari belakang. Sementara Arlena menyingkir entah ke mana. Mereka melintasi ruang tamu dan ruang tengah yang sama-sama ditata dengan gaya minimalis tapi sangat elegan, kemudian masuk ke sebuah kamar yang cukup besar.

Prima duduk bersandar pada kepala ranjang. Tubuh bagian pinggang ke bawah tertutup selimut. Wajah laki-laki itu tampak cerah ketika melihat kehadiran keduanya. Navita menyalami Prima, dan mendapat bonus kecupan di kening. Luken yang tahu diri dan merasa segan segera berpamitan. Tapi Carmela menahannya.

“Pak, belum makan. Tunggu, Mela siapkan.”

“Mel, nggak usah,” cegah Luken.

“Mas Luken, makan dulu,” tegas Prima.

Luken hendak menolak sekali lagi, tapi Carmela sudah menyeretnya keluar. Prima menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelakuan putri bungsunya. Maxi kemudian menarik sebuah kursi lagi untuk Gandhi.

“Maafkan tantemu,” Prima menatap Navita yang duduk di dekatnya. “Bapak belum bercerita tentang kamu padanya. Beberapa waktu lalu, tantemu memang sempat cemburu padamu, karena Bapak tanpa tahu kenapa dan bagaimana bermimpi tentangmu dan mengigaukan namamu.”

Navita paham kini.

“Mungkin kamu sudah dengar bahwa tantemu dan Bapak... ada masalah belakangan ini. Jadi...,” Prima mengangkat bahu.

“Nggak apa-apa, Pak,” senyum Navita. “Saya mengerti.”

Saat itu Carmela muncul lagi dengan wajah polos dan cerianya. “Mbak Vita sama Mas Gandhi sekalian ikut makan, yuk! Papa juga sudah waktunya makan.”

Navita dan Gandhi saling menatap.

“Sana, makan dulu, Vit,” ujar Prima. “Ini rumahmu juga. Ayolah, jangan malu-malu atau segan segala. Sana, ajak Mas Gandhi. Nanti habis makan, kita ngobrol lagi.”

Navita tak punya pilihan lain. Apalagi Maxi sudah berdiri dan mengajak Gandhi.

Di depan pintu, mereka berpapasan dengan Arlena yang membawa makanan untuk Prima. Otomatis Navita mengambilalihnya. Arlena membiarkan saja. Setelah Maxi, Carmela, dan Gandhi keluar, barulah Arlena menatap Navita yang sedang meletakkan nampan itu di atas nakas.

“Maafkan Tante, Vita,” ucapnya tulus. “Tante benar-benar belum tahu bagaimana hubunganmu dengan papanya Livi. Papanya Livi juga belum cerita.”

“Tapi akhirnya tahu juga, kan?” sahut Prima dengan nada dingin.

Navita agak tercekat ketika mendengar suara Prima yang seperti itu. Ia belum pernah mendengarnya. Buru-buru Navita berpamitan keluar dari kamar. Arlena sendiri berusaha menerima nasibnya ‘dijatuhkan’ Prima dengan cara itu di depan seorang ‘tamu’. Ia diam dan tetap melayani Prima makan dengan sabar.

* * *

Sedikit demi sedikit Olivia terjaga. Ketika ia membuka mata, kegelapan menyergapnya. Tidak pekat, karena ada berkas-berkas sinar lampu dari luar yang menyelinap masuk ke kamarnya. Ia menggeliat. Terdengar bunyi gemertak lembut di sepanjang punggungnya.

Oh... enaknya punggungku...

Tapi sejenak kemudian ia terjingkat.

Sudah gelap? Jam berapa ini?

Ia buru-buru bangkit dan meraih ponselnya di atas meja tulis. Sudah hampir pukul setengah sembilan.

Hah??? Mpok Ranti belum kubayar!

Ia buru-buru menelepon Muntik. Tapi jawaban yang diterimanya dari Muntik cukup melegakan hati. Ranti sudah dibayar oleh Arlena. Setelah itu ia masuk ke kamar mandi. Membiarkan aliran air hangat dari shower mengendurkan ketegangan yang masih sedikit tersisa di sekujur tubuhnya.

Selesai mandi dan berpakaian, ia turun karena perutnya terasa keroncongan. Di dapur ada Arlena yang sedang mengeringkan tangan dengan serbet. Kelihatannya baru selesai mencuci perabot makan. Perempuan itu menoleh ketika menyadari kehadiran Olivia.

“Makan, Liv?” tawarnya.

Olivia mengangguk sambil duduk di depan island. Diteguknya air dingin yang baru saja diambilnya dari kulkas.

“Sebentar, ya?” Arlena sibuk menyiapkan mangkuk. “Lagi Mama panaskan sup merahnya. Kamu mau pakai nasi atau sus kering? Atau mau roti maryam? Ada di kulkas. Biar sekalian Mama panaskan.”

“Sama sus kering saja,” gumam Olivia. “Nanti aku ambil sendiri. Kalau Mama mau tidur, tidur saja.”

“Mm... ya,” Arlena mengangguk. Masih berdiri di depan kompor, sementara Olivia sibuk dengan ponselnya.

“Tadi Pak Luken ke sini?”  Olivia mengangkat wajahnya sekilas.

“Iya. Navita dan calon suaminya juga,” gumam Arlena.

Olivia kini mengangkat wajahnya. Arlena menghindari tatapan itu dengan menyibukkan diri mematikan kompor dan mengangkat sepanci kecil sup merah untuk diletakkan di island. Terakhir, disodorkannya sebuah mangkuk, sepasang sendok-garpu, dan satu stoples kecil sus kering.

“Mama mau nge-teh sebentar di sini, boleh?” ucap Arlena dengan nada ragu-ragu.

Olivia mengangguk tanpa banyak pernik sambil mulai mengambil makanannya. Arlena beringsut ke sudut dapur. Membuat dua cangkir teh beraroma blackcurrant. Setelah selesai, diletakkannya satu cangkir di depan Olivia. Gadis itu menggumamkan terima kasih.

“Tadi Mama bayarin ongkos pijatku ke Mpok Ranti?”

“Iya,” Arlena mengangguk sambil menyesap teh hangatnya. “Mpok Ranti nggak mau bangunin kamu. Dia bilang kamu pulas banget.”

“Makasih,” ucap Olivia sambil menyuapkan sesendok sup merah dan sebutir sus kering ke dalam mulutnya.

“Sama-sama.” Arlena mengangkat wajah sekilas sebelum kembali menatap cangkir tehnya. “Mm... Makasih juga, kamu sudah dua minggu ini menjaga dan merawat Papa dengan sangat baik.”

“Sudah kewajibanku.”

Jawaban pendek Olivia itu terasa telak menohok perasaan Arlena. Ia terdiam. Tapi Olivia memecahkan keheningan itu dengan suara datarnya.

“Papa harus diet. Tempo hari aku sudah dapat penjelasan dari dokter ahli gizi. Daftar yang boleh dan nggak boleh dimakan Papa ada padaku. Contoh-contoh kombinasi menunya juga sudah dikasih. Besok biar aku bilang sendiri ke Bik Muntik. Kalau nanti sudah ngantor lagi, sebaiknya pakai catering khusus untuk makan siang Papa. Ada di sekitaran Pasar Rebo. Nanti aku hubungi ke sana. Untuk sarapan, biar aku sendiri yang siapkan. Sementara Papa jangan nyetir dulu. Maxi sudah sanggup antar-jemput Papa tiap hari.”

“Soal antar-jemput, Mama juga bisa,” sahut Arlena dengan suara nyaris tak terdengar.

“Ya, itu bicarakan saja sendiri dengan Maxi dan Papa,” sahut Olivia tetap dengan nada datar.

Ia sudah selesai makan dan langsung mencuci peralatan bekas makannya. Setelah itu, ia kembali memanaskan sisa sup merah di panci kecil. Sup merah buatan Muntik itu benar-benar enak. Ia bermaksud menghabiskannya untuk sarapan besok pagi. Dimatikannya kompor setelah sup itu mendidih kembali. Ia langsung beranjak dan mengintip ke kamar bawah yang kini ditempati ayahnya. Ditinggalkannya Arlena sendirian di dapur.

Prima sudah terlelap. Begitu juga dengan Carmela yang berbaring di ranjang yang sama. Tepat seperti dugaan Olivia, bukan Carmela yang mengeloni sang ayah, tapi sebaliknya. Posisi si bungsu itu terlihat meringkuk seperti bayi menghadap ke dada ayahnya, yang memeluknya dengan begitu hangat dan penuh perlindungan. Olivia mengerjapkan mata. Mengulas senyum tipis. Maxi juga sudah terlelap di sofa bed. Pelan-pelan, ia menutup pintu kembali dan melangkah ke atas menuju ke kamarnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
  

6 komentar:

  1. Lah, sesuk khan jemuah. Mustine onok sambungane, kok senen? Senen cek suwene mbak.... wis ra popo, sing nulis lagek ndik Madrid. Teopebegeteh

    BalasHapus
  2. Lanjut senin...


    Suwene sak piro iki... Ngenteni sedino intip intip terus koq...

    Mpe baca baca yo hora mblenger..
    Melu baper full

    ๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜

    BalasHapus
  3. Mb Liiiissss ....
    Eropa ?????
    Kwereeeennn !!!!

    BalasHapus
  4. good post mbak.sudah lama nunggu nih , lama sekali nggak tayang, gara2 ditinggal piknik he he

    BalasHapus
  5. Baru sempat baca ,aku lagi sok sibuk๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚sibuk mimpi hehhe

    Good post Momy anggelo๐Ÿ˜˜

    BalasHapus