Tujuh Belas
Olivia terjaga tepat pukul empat pagi karena bunyi alarm ponselnya. Sambil menguap lebar, ia membebaskan diri dari kehangatan ranjang dan menyeret langkah ke kamar mandi. Setelah gosok gigi dan cuci muka, ia keluar dari kamar dan turun ke dapur. Nyaris tanpa suara.
Semalam, seusai menggoreng sekantong kerupuk udang mini, ia sempat menanak nasi dan ditinggalnya tidur. Ia tersenyum puas ketika membuka tutup penanak nasi dan mendapati nasi dengan tekstur sempurna untuk dijadikan nasi goreng. Setelah mematikan benda itu dan mengeluarkan com, ia mengambil sebuah baskom plastik dan menumpahkan nasi ke dalamnya, sekaligus mengacaukannya sedikit agar cepat dingin.
Dari island, ia berpindah mendidihkan sepanci kecil air untuk merebus sayuran campur beku yang diambilnya dari dalam freezer. Sambil menunggu air mendidih, ia mencuci dua buah mentimun dan memotong-motongnya untuk dijadikan acar. Air mendidih tepat ketika ia menutup kotak acar.
Tak perlu waktu lama untuk memasak sayuran beku berupa polong hijau, wortel, buncis, dan jagung manis. Ditampungnya air tirisan sayur dalam sebuah mangkuk yang sudah berisi segenggam ebi. Setelah selesai, ia duduk menghadap ke island dan mulai mengupas bawang merah - bawang putih.
“Liv...”
Suara lembut itu membuatnya sedikit kaget. Ia mengangkat wajah dan mendapati Prima masuk ke dapur dan mengambil tempat duduk di seberangnya.
“Pagi, Pa,” sapanya manis.
“Ya, pagi... Kamu bangun pagi banget, Liv?”
“Iya, Pa, ini sekalian saja bikin sarapan buat kita.”
Prima mengangguk sambil mengambil satu lagi pisau dan membantu Olivia mengupas bawang. Gadis itu mencegah, tapi sang ayah bersikukuh tetap melakukannya. Tak lama, pekerjaan itu selesai. Olivia meraih chopper dan menghaluskan dua jenis bawang, beberapa buah cabai merah, dan dua butir tomat yang sudah dicuci bersih.
Ketika bumbu halus itu bertemu dengan minyak panas, segera saja tercium aroma sedap yang memenuhi dapur. Sambil menunggu tumisan jadi setengah matang, Olivia meraih dua buah cangkir dan menoleh ke arah Prima.
“Papa mau teh atau kopi?” tanyanya.
“Teh tawar saja, Liv. Itu, hati-hati bumbunya gosong.”
Sambil membuat masing-masing secangkir teh tawar dan kopi, Olivia mengaduk bumbu nasi goreng di atas penggorengan besar. Disodorkannya cangkir teh pada Prima, yang disambut dengan ucapan terima kasih. Olivia beralih meniriskan ebi, dan memasukkannya ke dalam penggorengan. Aroma tumisan itu makin menggugah selera.
“Mama belum bangun, Pa?” tanya Olivia sambil lalu, sembari sibuk di depan kompor.
“Nggak tahu, Mama ke mana,” sahut Prima dengan suara lirih.
Olivia menoleh cepat dengan mata terbelalak. “Hah???”
Prima tersenyum tipis sambil mengangkat bahu. “Yang jelas di kamar nggak ada. Mungkin di kamar tamu, mungkin juga di ruang baca. Tapi mobilnya masih ada, kok.”
“Dari kapan?” Olivia kembali sibuk mengaduk nasi gorengnya.
“Nggak tahu, Liv. Papa bangun, Mama sudah nggak ada.”
Hadeeeh...
Olivia menggeleng samar. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding. Waktu cepat sekali berlalu. Tahu-tahu sudah pukul lima.
“Ini apa lagi yang mau disiapkan, Liv?”
“Mm... Papa bisa bantu aduk nasinya ini, nggak?” Olivia balik bertanya. “Aku mau bungkusin kerupuk sama acar dulu."
“Oh, ya, sini!” Prima berdiri dari duduknya dan beralih ke depan kompor.
Tak hanya mengemas kerupuk dan acar, Olivia sekalian menyiapkan tiga kotak bekal yang berlainan warna, peralatan makan, dan mulai mengocok telur.
“Ini nasinya mau diangkat dulu?” Prima menoleh sekilas.
“Dimatikan saja apinya, Pa. Aku dadar telur di sebelahnya saja. Papa mandi dulu, sudah jam segini. Sekalian minta tolong bangunkan Maxi dan Mela, ya, Pa?”
“Oke,” sahut Prima sambil beranjak.
Beberapa menit setelah Prima meninggalkan dapur, Arlena muncul dengan langkah bergegas.
“Maaf, Liv, Mama terlambat bangun,” ucapnya. “Ini kurang apa saja?”
“Tinggal dadar telur dan panasin lagi nasinya,” jawab Olivia dengan nada datar.
“Ya, sudah, kamu mandi dulu, biar Mama selesaikan. Buat telur dadar berapa?”
“Tujuh. Yang tiga mau aku bawa ke kantor, buat bekal.”
Arlena mengangguk. Olivia segera meninggalkan tempat itu. Arlena meneguk segelas air putih hangat sebelum meneruskan pekerjaan Olivia. Hanya tinggal membuat tiga lagi telur dadar, memanaskan penggorengan besar berisi nasi goreng dengan api kecil, dan menata peralatan makan di meja. Ketika Arlena hendak meraih tumpukan piring yang sudah disiapkan Olivia, Carmela muncul. Sudah berseragam rapi, masih bersandal jepit seperti biasanya.
“Biar aku yang tata piringnya, Ma,” ucap gadis remaja itu.
Arlena membesarkan api kompor dan mengaduk nasi goreng dalam penggorengan.
Aromanya saja sudah lain dengan masakanku...
Ditatapnya isi penggorengan dengan nelangsa. Masakannya tak pernah bisa se-'indah' itu. Nasi goreng itu benar-benar berpenampilan cantik dengan taburan sayur campur, beraroma sedap tumisan bumbu bercampur ebi yang komposisi dan kematangannya benar-benar pas.
Belum lagi rasanya...
Arlena mencicipinya sedikit. Enak sekali, seperti biasanya nasi goreng buatan Olivia. Ia hendak mengangkat pengorengan itu ketika Olivia muncul lagi. Sudah rapi, tapi wajahnya masih polos tanpa riasan. Tanpa berkata apa pun, gadis itu mengambil alih pekerjaan Arlena. Perempuan itu kemudian beralih ke sudut untuk membuat teh hangat. Dengan cekatan, Olivia memindahkan nasi goreng dari penggorengan ke tiga kotak plastik dan sebuah mangkuk besar. Carmela kembali muncul.
“Sudah, Mbak?” tanyanya.
“Iya, Mel,” angguk Olivia. “Bawa ke ruang makan, ya? Telur dadarnya jangan lupa, tapi jangan sekalian bawanya. Repot.”
Setelah itu Olivia memasukkan masing-masing selembar telur dadar ke dalam kotak dan merapikannya sekaligus dalam dua kantong non-woven seperti kemarin. Tak lupa ia memasukkan pula sendok beserta bungkusan kerupuk dan acar. Begitu selesai, ia membawa kedua kantung itu ke ruang tengah, berpamitan, dan langsung berangkat.
* * *
Carmela menatap Maxi ketika menyadari ada keheningan di ruang makan itu. Arlena memang hadir di sana. Tapi tidak bersuara. Lain dengan selama ini setelah ia ‘kembali’. Prima pun demikian. Menikmati sarapan dalam diam. Hanya sesekali bersuara ketika mengajak Maxi dan Carmela bicara sekadarnya.
Menjelang pukul enam, usailah makan pagi bersama itu. Masih tanpa suara, Arlena meringkas semua piranti bekas makan mereka dan membawanya ke dapur. Prima tak menunggu lama untuk menggiring Carmela dan Maxi ke mobil, agar mereka bisa segera berangkat. Tepat pukul enam, bersamaan dengan munculnya Muntik melintasi carport, Maxi meluncurkan mobil Prima masuk ke jalan.
Prima menyandarkan kepalanya ke headrest. Ia tidur cukup larut semalam, dan bangun agak terlalu pagi. Ia sudah terjaga ketika mendengar suara pintu kamar lain tertutup pelan-pelan. Kamar Olivia. Dan tidak bisa lagi memejamkan mata ketika menyadari bahwa tidak ada Arlena di sisinya. Ia mengira bahwa Arlena-lah yang sibuk di dapur. Tapi ternyata yang ditemukannya adalah Olivia.
“Nggak enak badan lagi, Pa?” celetuk Maxi, menoleh sekilas.
“Ngantuk, Max,” Prima menguap.
“Tidur dululah, Pa. Lumayan sejam ini.”
Prima menoleh ke belakang, menggapaikan sebelah tangan ke arah Carmela.
“Sini, Mel, Papa cium dulu,” ujarnya. “Papa mau merem lagi sebentar.”
Gadis remaja yang duduk di belakang itu mencondongkan tubuhnya dan menerima kecupan sang ayah di kening.
“Dah, Papa bobok saja,” ucapnya sambi menepuk ringan bahu Prima.
Prima kemudian merebahkan sedikit sandaran jok dan mulai memejamkan mata. Sekilas Maxi menatap Carmela dari spion tengah. Dan ia menemukan ada ekspresi kesedihan dalam wajah adiknya itu.
* * *
Olivia membundarkan bibirnya tanpa suara ketika memarkir mobil di halaman kantor dan meilhat SUV Luken sudah ada di sana. Sudah lewat sedikit dari pukul setengah delapan. Belum terlambat...
... tapi sudah keduluan Pak Boss.
Ia meringis sambil cepat-cepat keluar dari dalam mobil. Langkahnya langsung terarah ke pantry, tidak ke lantai atas. Tepat sebelum mencapai pintu pantry, ia berpapasan dengan OG bernama Mimin. Segera saja ia memberi instruksi pada Mimin untuk melakukan hal yang sama dengan kemarin, memanaskan nasi goreng menggunakan microwave.
“Nanti kalau sudah selesai langsung saja diantar ke atas, ya, Mbak Min,” ucap Olivia sebelum meninggalkan gadis itu. “Yang biru untuk Pak Luken, yang jingga untukku. Jangan tertukar. Kalau aku belum ada di sana, Pak Luken tanya, bilang saja aku masih ke toilet.”
“Sip, Mbak!” Mimin mengacungkan jempolnya. “Mau dandan dulu, ya?” goda Mimin.
Olivia tertawa dan berlalu.
* * *
Luken manggut-manggut mendengar ucapan Sandra dari seberang sana.
“Kemarin sore, sih, dokter bilang kalau papanya Angie sepertinya sudah boleh pulang hari ini, Pak. Tapi nanti masih mau dicek lagi.”
“Coba nanti kalau jadwal saya kosong, saya ke situ, ya, Bu.”
“Wah, Pak, nggak usah repot-repot. Saya berterima kasih sekali atas semua perhatian dan bantuan Bapak dan Mbak Livi.”
“Sama sekali nggak repot, kok, Bu.”
Sejenak kemudian Luken mengakhiri pembicaraan itu, bertepatan dengan munculnya Mimin membawa nampan berisi dua kotak bekal, dua gelas teh tawar hangat, dan bungkusan-bungkusan plastik berisi acar dan kerupuk udang yang tergeletak beralaskan kantong non-woven yang terlipat rapi. Dengan cekatan, Mimin menghidangkan semua itu di atas meja Sandra.
“Lho, yang bawa nasi goreng ke mana ini, Min?” Luken mengerutkan kening.
“Lagi ke toilet, Pak,” jawab Mimin.
Tepat saat itu Olivia muncul dengan langkah tergesa. Ia menyapa Luken dan terus melangkah ke mejanya untuk meletakkan barang bawaan. Wajahnya sudah terias rapi. Natural, tapi tetap terlihat cantik dan segar.
“Ayo, sarapan dulu, Liv,” tegur Luken.
Olivia mengangguk dan segera mengambil tempat di depan Luken. Keduanya kemudian menikmati sarapan sambil bercakap. Terutama tentang Sandra.
“Kayaknya aku ada jadwal hari ini, ya, Liv?” tanya Luken sambil memasukkan sepotong kerupuk udang ke dalam mulutnya. “Pak Gusti?”
“Ada,” Olivia mengangguk. “Jam dua, Pak.”
“Hm...,” Luken tampak berpikir. “Kalau kamu siapkan berkasnya, terus kita ke RS dulu, kemudian makan siang, lanjut ketemu Pak Gusti, sampai nggak waktunya, Liv?”
“Bisalah, Pak. Berkasnya, kan, sudah tinggal angkat saja. Sudah Bapak cek, kan, kemarin? Atau ada revisi?”
“Oh, enggak,” Luken menggeleng cepat. “Sudah perfect, kok, Liv. Jadi bisa, ya? Soalnya, kan, ada kemungkinan Pak Riza boleh pulang hari ini. Aku takut depositku di RS nggak mencukupi.”
“Oh, iya, tadi Bu Sandra bilang sama saya soal Pak Riza. Lapor juga sama Bapak?”
“Iya, ini tadi Bu Sandra meneleponku. Sekalian pamer padaku soal betapa enaknya menu sarapan darimu pagi ini,” Luken tergelak. "Dan ternyata dia benar."
Olivia tersenyum dengan wajah sedikit tersipu.
“Sayangnya besok sudah nggak ada lagi,” Luken berlagak kecewa.
“Wah, jadi kecanduan, nih, Bapak,” Olivia tertawa. “Menu sarapan juga nggak tiap hari nasi gorenglah, Pak.”
“Biasanya apa saja?”
“Mm... Selain nasi goreng, kadang nasi pakai tumisan sayur, ayam goreng, telur balado. Atau nasi pecel lengkap kalau Bibik sempat bikin bumbu pecel dan goreng rempeyek sehari sebelumnya. Kadang juga nasi rawon. Sengaja dimasak Bibik sebelum pulang, buat paginya. Kalau ada sisa lodeh, ya, sarapan lodeh. Seadanya, sih, Pak. Kadang-kadang kalau nggak ada apa-apa yang mengandalkan roti tawar buat sandwich. Harus jam lima pagi keluar dulu ke Sevel,” Olivia tersenyum lebar.
Luken manggut-manggut.
“Bapak sukanya apa? Besok-besok biar saya bawakan.”
“Kan, kamu tahu sendiri, aku ini omnivora, Liv,” Luken nyengir. “Barang mentah macam lalapan dan sambal saja aku sikat, apalagi yang matengan.”
Olivia kembali tertawa. “Oke, kalau begitu, tiap pagi Bapak saya bawakan sarapan. Tapi kalau masakan Mama sebaiknya enggak, deh.”
“Lho, kenapa?” Luken mengangkat alisnya.
“Rasanya nggak standar, suka ke mana-mana,” Olivia meringis.
“Terus, kamu bisanya masak enak begini, belajar sama siapa?”
“Bibik lah, Pak,” senyum Olivia sambil meringkas kotak makan yang sudah sama-sama kosong. “Dia itu, ibaratnya bikin telur dadar cuma digarami doang, sudah enak rasanya.”
“Makin bikin ngiler saja kamu ini, Liv,” Luken berlagak menggerutu
Olivia terkekeh. “Kalau Bapak masih belum bosan nasi goreng, besok saya buatkan lagi, deh.”
“Nah, gitu, dong!” Luken menepukkan kedua telapak tangannya seperti seorang anak kecil yang kegirangan mendapatkan sesuatu yang disukainya.
“Pakai teri, ya, Pak?” tawar Olivia. “Kayaknya ada tadi di dapur.”
“Asal jangan pakai pete saja, Liv,” Luken tergelak. “Ketemu klien habis makan nasgor pete, bisa pingsan klien kita.”
Olivia tertawa sambil menggelengkan kepala. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah kembali serius membicarakan masalah pekerjaan dalam suasana resmi. Termasuk membicarakan Gusti, calon pemasok biji kopi dari daerah Kintamani.
* * *
Arlena termenung lama di depan layar laptop di tengah keheningan ruang baca. Pada saat seperti ini, ia gatal sekali untuk membuka akunnya di BlogSip.
Tempat pelarian mana yang lebih indah dari BlogSip?
Dan ia pun melayani ke-‘gatal’-an itu. Begitu ia berhasil login, ada puluhan pesan melalui fasilitas inbox yang antre, menunggu untuk dibaca. Dengan telaten, Arlena membuka dan membaca satu demi satu deretan pesan itu. Kebanyakan menanyakan kabarnya, menyatakan rindu akan kehadirannya, dan berbagai pesan sejenis.
Sebuah dunia yang lain...
Arlena menyandarkan punggungnya. Matanya masih lekat menatap layar laptop.
Yang membuatku merasa ‘ada’...
Dihelanya napas panjang.
Bisakah kembali ke ‘sini’ dan ke ‘sana’ dilakukan secara bersamaan?
Ia kembali termenung. Hingga beberapa menit kemudian kembali menegakkan punggung.
Tidak akan pernah tahu kalau tidak dicoba!
Lalu ia segera tenggelam dalam keasyikan yang seolah tak terbatas dan tak terhingga.
* * *
Luken menghela napas lega setelah mencapai kata sepakat dengan Gusti. Pasar ekspor kopi khas Bali beraroma jeruk itu masih terbuka lebar. Gusti sendiri merasa lega karena produknya sudah memperoleh pasar.
Ia sudah banyak mendengar tentang Luken dari Julian, seorang pemain lama dalam bisnis kopi, tempat ia menimba ilmu. Dan membaca pasal-pasal dalam dokumen perjanjian antara dirinya dengan pihak Coffee Storage, agaknya ucapan Julian benar adanya.
“Tapi jangan pernah main-main dengan Luken,” begitu Julian pernah berpesan. “Sekali saja kamu tidak jaga mutu, dia tak akan segan memasukkanmu dalam daftar hitam. Dan daftar hitam dari Coffee Storage itu sudah lama jadi acuan para pemain bisnis kopi. Kamu bisa mati.”
Dan ia, sama sekali tak mau main api dalam membangun bisnisnya ini.
Luken dan Olivia meninggalkan kawasan fx Sudirman hampir bersamaan dengan Gusti. Ketika hendak meninggalkan area parkir, Luken melirik jam digital pada dashboard mobil Olivia yang dikemudikannya.
“Jamnya tanggung banget ini, Liv,” gumamnya. “Kalau mampir ke kantor, pasti sudah lewat dari jam empat. Langsung pulang saja, ya?”
“Wah, ya, terserah Bapak,” Olivia menoleh sekilas ke arah Luken.
“Mm... Oke, deh, begini saja,” Luken tampak berpikir-pikir sambil terus mengemudi. “Kita nggak usah balik ke kantor. Aku antar kamu pulang. Tapi mobilmu ini kubawa. Besok aku jemput kamu. Biar mobilku di kantor saja. Toh, selama ini parkirnya di bawah kanopi.”
“Mobil saya yang mana, ya, Pak?” Olivia mencoba bercanda. “Satu sen pun saya belum mengangsur ke Bapak, lho...”
Luken tergelak mendengarnya. Hari ini mereka memang keluar kantor dengan memakai mobil Olivia. Luken ingin mencicipi mengemudikan city car, yang ternyata dirasakannya kurang cocok untuk dirinya.
“Wah, ternyata kecil banget, ya, Liv?” begitu ucapnya tadi, ketika hendak meluncur ke RS Tebet, yang segera disambut tawa oleh Olivia.
Dan tanpa menunggu persetujuan Olivia, Luken melajukan mobil mungil itu masuk ke jalur menuju rumah Olivia.
“Kamu biasanya berangkat jam berapa, Liv?”
“Kalau bareng Papa, sih, jam enam sudah berangkat, Pak. Apalagi harus antar Mela juga. Dua hari ini juga berangkat jam segitu, karena harus ke RS Tebet segala, kan.”
“Oh... Ya, sudah, besok aku jemput jam segitu, ya?”
“Sekalian saja sarapan di rumah, Pak,” senyum Olivia.
“Wah, jangan, Liv. Segan, aku. Jatahku kamu kotakin saja, deh! Hehehe...”
Lewat sedikit dari pukul empat, keduanya sudah sampai di rumah Olivia. Luken tersenyum lebar ketika melihat Carmela tengah membantu Muntik menyemprot tanaman di taman depan. Carmela yang tak menduga kehadiran Luken segera menyambut laki-laki itu dengan meriah.
Sejenak kemudian Luken sudah duduk di teras bersama Olivia dan Carmela. Asyik mengobrol hingga Prima dan Maxi muncul pada pukul setengah enam. Menjelang pukul enam, ketika Luken hendak berpamitan, Arlena menahannya.
“Pak Luken, ayo, makan dulu,” ucap Arlena dengan wajah serius.
“Wah...,” laki-laki itu tampak sedikit kikuk.
“Nggak boleh menolak,” timpal Carmela dengan wajah jahilnya.
Luken tertawa. Sejujurnya, ia tak enak juga hendak menolak, tapi segan juga hendak menerima.
“Ayolah, Pak,” senyum Arlena. “Memang cuma masakan sederhana. Itu juga Bibik yang masak Tapi dijamin jauh lebih ajib daripada masakan saya.”
Luken akhirnya tak punya pilihan lain. Walaupun ia harus menunggu sejenak.
“Tapi biar anak-anak dan papanya mandi dulu, ya, Pak?” ujar Arlena lagi.
Luken pun mengangguk sambil tersenyum.
* * *
Kalau saja tidak merasa segan, ingin rasanya Luken menuruti nafsunya untuk menambah makanan lagi. Tapi ia sudah menghabiskan dua piring nasi beserta sayur dan lauk-pauknya. Gulai nangka muda, daun singkong rebus, sambal hijau, ayam bakar, dan kerupuk ikan yang keritingnya menggemaskan sekali.
“Mari, Pak, tambah lagi,” celetuk Arlena, seolah mengetahui ‘nafsu’ dalam tatapan Luken.
Laki-laki itu tersipu. Apalagi sempat ditangkapnya sekilas wajah Olivia yang menahan senyuman.
“Sudah, Bu Lena,” jawabnya. “Terima kasih sekali. Memang kalau diteruskan, bisa habis semua makanan masuk ke perut saya. Enak sekali!”
Semua tertawa mendengar ucapannya.
Sesungguhnya makanan itu rasanya biasa saja. Setidaknya di lidah Olivia. Enak seperti biasa. Mungkin suasanalah yang membuat nafsu makan Luken bertambah. Menikmati makan sendirian dibandingkan dengan makan bersama banyak teman, tentulah hasilnya lain. Dan hal itu memang diakui Luken saat Olivia mengantarnya kembali ke mobil.
“Astaga, Liv, aku tadi rakus sekali...,” bisiknya.
Olivia kali ini tidak bisa lagi menahan tawanya.
“Malu banget, aku...,” lanjut Luken.
“Santai saja, Pak,” gelak Olivia. “Sudah biasa lihat orang makan bersemangat begitu. Papa dan Maxi juga seperti itu.”
Luken manggut-manggut. Ia tidak sendirian menghabiskan makanan hingga dua piring penuh. Prima pun demikian walaupun tak seganas ia dan Maxi. Dan demi segera mengakhiri rasa malunya di tempat itu, ia kembali berpamitan kepada Olivia, masuk ke dalam mobil, dan meluncur pergi diiringi lambaian tangan Olivia yang mengantar hingga ke pintu pagar dan seluruh keluarga Arbianto yang berdiri di teras.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Fiuuuuuuh....part iki rek....garai weteng disko ae!
BalasHapusWetengmu wes njemblung ngunu lho... ๐๐๐
HapusWiiii aq kedisikan !
HapusSembarang panganan disikat iku mb Lis.
Makae perute tamba endut wakwakwakwak
Penyakite bapak-bapak... ๐๐๐
HapusGood post
BalasHapusMakasih, Mbak Farieda... Kok belum nulis lagi nih? ๐๐๐
HapusHahahaha... Mba lizz, boro2 nulis,, ide bejibun tapi Masih banyak pikiran.
HapusLaper ๐๐๐๐untung pas masakan ku juga sudah siap santap
BalasHapusWakakak... Selamat makan, Sylla... ๐๐๐
HapusSayangnya, tadi aku sarapannya bukan nasgor, Tante. Hehehe...
BalasHapusMercon?
HapusWoooow mb Lizz memang selalu wookay.......
BalasHapusWakakak... Wookay kok bales komen lelet melulu ๐๐๐
HapusMakasih mampirnya, Mbak Dewi ๐๐๐
Episod ini saya suka sekali. Banyak kulinernya hihi
BalasHapus