Empat Belas
Tahun baru.
Harapan baru...
Olivia menatap sosok Prima dari jok belakang tempatnya duduk. Hanya terlihat bagian belakang kepalanya saja. Juga terdengar suaranya yang hangat sedang mengobrol dengan Maxi yang duduk di belakang setir.
Hari ini adalah hari pertama ia dan Prima masuk kerja lagi, sekaligus hari pertama Carmela kembali bersekolah setelah berpuas diri menikmati libur akhir tahun yang menyambung hingga ke awal tahun baru. Hanya Maxi yang masih bisa menikmati libur semester. Dan pagi ini pemuda itu menawarkan diri untuk mengantarkan mereka bertiga walaupun ada ‘udang di balik batu’.
“Aku antar, ya, Pa?” ujar Maxi saat menikmati sarapan tadi.
Prima mengerutkan kening. “Tumben?”
“Hehehe...,” Maxi nyengir. “Sekalian aku mau pinjam mobilnya, buat ke Bogor sama gank.”
“Ngapain ke Bogor?” celetuk Arlena, sambil menyodorkan piring berisi setangkup roti oles sarikaya pada Prima.
“Main ke rumah Donner.”
“Terus, nanti yang jemput Papa, siapa?” Prima mengangkat alisnya.
“Ya, sudah, aku saja yang jemput,” sahut Arlena. “Biar mobil Papa dipakai Maxi.”
Maxi menatap Prima. Penuh harap. Prima berpikir sejenak sebelum mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, sudah. Tapi hati-hati, ya, Max.”
“Sip, Pa. Makasih.”
Olivia mengalihkan tatapan ke luar jendela. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam hatinya. Seharusnya ia bisa bersikap lepas seperti Carmela. Menerima kembali Arlena dengan terbuka. Nyaris tanpa syarat. Maxi pun sudah mulai bergerak ke arah yang sama, walaupun belum selepas Carmela. Sedangkan ia?
Olivia menggeleng samar.
Keluarga yang kembali sempurna...
Ia menggigit sedikit bibir bawahnya.
Yang tidak boleh kukacaukan dengan sesuatu yang aku tidak tahu ini...
Masih ada tirai tipis tapi masif yang menghalanginya untuk berinteraksi dengan Arlena. Ia tidak bisa menafikan usaha Arlena untuk mendekat padanya. Tapi tanggapannya hingga sejauh ini barulah sampai pada taraf ala kadarnya. Belum bisa lebih. Apalagi seperti Carmela. Itu karena sesuatu hal yang masih terasa mengganjal tanpa ia bisa menjelaskan. Ia tahu ada bersit-bersit rasa sedih yang sesekali melompat keluar dari dalam mata Prima. Dan ia memilih untuk menghindari semua itu. Diam, dan menyingkir tanpa kentara.
Dikerjapkannya mata ketika Maxi menepikan mobil itu di depan gerbang sekolah Carmela. Prima memutar badannya ke belakang hingga berhasil mengecup lembut kening Carmela yang sudah mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Belajar baik-baik, ya, Mel,” senyum Prima.
“Siap, Pa,” sahut Carmela dengan suara riang. Ia kemudian menatap Maxi sebelum keluar dari mobil. “Mas, jangan lupa bawain roti unyil, ya?”
Maxi menanggapinya dengan tawa dan acungan jempol. Mobil itu melaju lagi. Kali ini masuk ke jalur menuju ke kantor Olivia.
“Mau asinan, Mbak?” celetuk Maxi tiba-tiba. “Nanti aku cariin.”
“Apa sajalah,” gumam Olivia. “Asal kamu pulang selamat saja sudah cukup.”
Sekilas Maxi dan Prima saling menatap.
* * *
Sesungguhnya Prima mulai merasa kehilangan Olivia yang biasanya. Anak gadis sulungnya itu memang tidaklah selincah dan secerewet si bungsu. Tapi juga tidaklah sehening belakangan ini. Ia kehilangan suara Olivia yang hangat, senyum yang cerah, dan sikap yang penuh atensi. Yang ada hanya Olivia yang makin pendiam, dingin, dan datar.
Seharusnya ia tahu bahwa selamanya ia tak akan pernah tersisih walaupun Arlena kembali.
Tatapan Prima jauh menerawang, menembus kaca depan mobil.
Ia sama sekali tidak berhasil membuat Olivia bicara tentang Arlena sepanjang liburan kemarin. Walaupun Arlena sedang tidak ada di rumah. Ketika ia mulai berbelok ke arah sana, Olivia yang kewaspadaannya selalu dalam taraf penuh selalu berhasil menghindar. Kalaupun terpaksa sudah terjebak, gadis itu hanya mengangkat bahu dan memasang wajah masam. Membuat ia jadi merasa bersalah karena sudah merusak suasana.
Dalam hening pula Maxi menepikan mobil di depan kantor Olivia. Gadis itu bersiap keluar sambil menunggu hingga mobil itu benar-benar berhenti. Ia kemudian menoleh sekilas sebelum membuka pintu.
“Pa, nanti aku pulang sendiri. Nggak usah dijemput.”
“Tapi, Liv...”
Olivia sudah keluar dan menutup pintu. Melangkah masuk ke area kantornya tanpa menoleh lagi. Prima menghela napas panjang.
“Sabarlah, Pa,” ujar Maxi lirih. “Kan, kita tahu sendiri kalau Mbak Liv-lah yang paling terbeban selama ini, ketika Mama menoleh ke arah lain. Mbak Liv bisa saja bersikap nggak peduli. Tapi, kan, kenyataannya nggak kayak gitu. Menurutku, sih, wajar kalau Mbak Liv masih punya rasa marah. Apalagi Mbak Liv, kan, orangnya nggak banyak omong.”
Prima hanya bisa mengangguk.
Ia tak pernah berusaha mengingkari kenyataan itu. Bahwa Olivia-lah yang selama ini sudah ia andalkan untuk ikut mengurus rumah dan adik-adiknya. Sangat lebih daripada yang seharusnya.
Tapi mau sampai kapan?
Ia menggeleng samar. Entah untuk ke berapa kali dalam hidupnya, ia harus terus memelihara kesabaran itu.
* * *
Arlena melihat kembali foto-foto yang baru dipindahkannya dari ponsel ke laptop. Pada satu frame, ia berhenti cukup lama. Dalam sebentuk foto itu terekam tawa Carmela dan senyum lebar seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai atasan Olivia.
Mereka bertemu di Sanur, di sebuah rumah makan tempat mereka sama-sama menikmati makan siang. Laki-laki itu bersama ayah-ibunya. Sepasang suami-istri berusia akhir 60-an yang terlihat masih sangat mesra. Carmela terlihat sudah akrab sekali dengan laki-laki yang dipanggilnya ‘Pak’ itu.
“Yang lain mana, Bu?” Luken menjabat tangannya dengan hangat ketika mereka bertemu. Tangan kiri Luken mengusap secuil poni yang jatuh di kening Carmela.
“Cuma berdua saja, Pak,” Arlena tertawa ringan. “Maklum rencananya dadakan.”
“Oh...”
Mereka tidak duduk satu meja. Terpisah agak jauh. Hanya sempat mengambil beberapa foto bersama saja.
“Kamu akrab sekali sama dia, ya?”
Carmela sempat melengak ketika mendengar nada menyelidik dalam suara mamanya. Seketika Arlena menyadari kesalahannya.
“Maksud Mama...”
“Ya, aku tahu,” potong Carmela, agak ketus. “Tenang saja, aku bukan abege gatel penyuka om-om. Jangan samakan aku dengan abege cowok fans Mama yang suka gatel sama tante-tante itu.”
Nggak boleh marah... Nggak boleh marah...
Arlena mengucapkan kalimat itu dalam hati bagai litani. Benar bahwa ia memang mengkhawatirkan kedekatan Carmela dengan Luken seperti yang terekam oleh lensa matanya. Dan ia mengungkapkannya pada saat yang kurang tepat. Mungkin semua ibu akan mengungkapkan kekhawatiran yang sama, tapi...
Bukankah hubungan baik ini baru saja mencair? Kalau aku tidak bisa menahan diri, habis sudah...
Dan rupanya Carmela menceritakan ucapannya itu pada Luken. Malamnya, laki-laki itu menemuinya di hotel. Minta waktunya untuk bicara empat mata. Di sudut coffee shop, laki-laki itu menatapnya.
“Bu Arlena, saya minta maaf atas kejadian tadi siang,” ucap Luken dengan wajah sangat serius. “Saya sama sekali tidak tahu Ibu dan Mela berlibur ke sini. Livi tidak mengatakan apa-apa. Tentang Mela dan saya...,” Luken mengerjapkan mata, “... Ibu jangan khawatir. Saya tahu betul posisi saya, dan Mela adalah remaja yang luar biasa. Senang sekali bisa mengenalnya. Saya sendiri menganggapnya sebagai anak, keponakan, tidak lebih. Mela memahaminya dan menganggap saya sebagai omnya, ayahnya. Saya harap, Ibu memahami ini.”
Arlena terdiam dalam kubangan rasa malu. Bahkan orang lain pun mengenal Carmela lebih baik daripadanya.
“Saya tidak mau ikut campur dalam urusan keluarga Ibu walaupun Livi adalah bawahan saya,” lanjut Luken. “Hanya saja, saya ingin mengatakan pada Ibu, bahwa Livi selama ini sudah bekerja maksimal dan sangat profesional. Mela pun, saya yakin, prestasi dan kepribadiannya membuat keluarga sangat bangga. Ibu sudah memiliki semua impian orang tua. Sesuatu yang hingga saat ini belum saya capai. Tolong, jangan dilepaskan, Bu.”
Senyum jahil Carmela menyambutnya ketika ia kembali ke kamar. Ia membalas senyum itu. Sepenuh hati. Dipeluknya Carmela.
“Maafkan Mama, Mel,” ucapnya tulus. “Mama masih harus belajar banyak untuk jadi seorang mama yang baik. Bantu Mama, ya?”
Dan hatinya seolah mengembang ketika Carmela membalas pelukan itu dengan hangat.
Tatapannya kembali jatuh pada seraut wajah Luken di layar laptop. Terlihat begitu teduh.
Seandainya ia lebih muda dan sebaya Livi atau Miko, aku akan dengan senang hati melepaskan Livi untuk didekap dan dilindunginya setiap saat. Seperti aku di samping Mas Prima...
Dihelanya napas panjang. Disandarkannya punggung pelan-pelan.
Livi...
Ia kembali menghela napas panjang.
Alangkah sulitnya meraih hati Livi.
Tapi seutuhnya ia menyadari posisinya. Kesalahannya terlalu besar. Terutama terhadap gadis sulungnya itu. Bertahun-tahun ia membiarkan Olivia mengambil alih tugasnya. Pontang-panting. Tanpa sedikit pun ia mau menoleh, apalagi peduli. Dan satu hal belum ia lakukan sama sekali terhadap Olivia. Meminta maaf.
Mengingat hal itu, ia buru-buru menegakkan punggung dan meraih ponsel. Dengan cepat jemarinya menyentuh layar ponsel di sana-sini. Sejenak kemudian ia menarik napas lega. Tapi kelegaan itu berubah menjadi kecemasan ketika hingga tiba saatnya ia menjemput Prima menjelang sore hari, pesan itu tak juga terbalas.
* * *
Prima tersenyum lebar ketika melihat kemeriahan di ruang kantor divisinya. Pagi ini ada acara bagi-bagi berbagai oleh-oleh hasil liburan, rupanya. Kemeriahan makin bertambah ketika ia meletakkan sebuah kantong plastik yang ditentengnya di atas sebuah meja di tengah keramaian itu.
“Waaah... Pak Prima habis liburan juga?” seru Anis.
Prima menggeleng dengan senyum lebar masih menghiasi wajahnya. “Enggak. Ibu yang pergi, sama si bungsu.”
Kantong itu berisi aneka cemilan kacang khas Bali, yang segera saja laris dibagi-bagi di antara mereka. Prima nimbrung, ikut menikmati aneka oleh-oleh lain yang tersebar sambil mengobrol tentang banyak hal. Jam kerja masih setengah jam lagi. Setelahnya, masih banyak lagi staf dan oleh-oleh yang berdatangan.
Waktu terus merambat. Lima menit sebelum alarm tanda jam kerja dimulai, Prima bertepuk tangan.
“Ayo! Ini semua makanan disimpan buat nanti lagi!” serunya. “Sudah mau bel, lho!”
Semua bergerak sesuai arahan sang boss.
* * *
Bertemu kembali dengan Sandra, tentu saja Olivia sangat gembira. Matanya berbinar ketika mendapat oleh-oleh berupa dua helai kain lurik katun dengan warna yang sangat padu dan cerah.
“Buuu! Ini bagus bangeeet!”
Sandra tertawa senang melihat ekspresi Olivia.
“Dijahitkan sendiri, ya, Mbak Liv,” ujarnya.
Olivia mengangguk-angguk sambil mematutkan kedua kain itu di badannya. Tapi keasyikan itu terputus ketika Luken muncul. Laki-laki itu tertawa melihat tingkah laku Olivia. Rasanya senang sekali bertemu kembali dengan kedua sekretarisnya itu, terutama Olivia.
“Wah! Kelihatannya sudah segar semua setelah libur akhir tahun, ya?” ujar Luken sambil meletakkan masing-masing sebuah tas kertas di meja Sandra dan Olivia.
“Oleh-oleh, Pak?” mata Olivia membulat. “Bapak liburan ke mana, nih?”
“Bali,” ucap Luken polos. Ia duduk di depan meja Sandra. “Ajak jalan mama-papaku. Sudah agak lama juga nggak liburan bareng.”
Sandra berseru senang ketika mendapat seperangkat produk home spa, tiga helai kaus oblong humor yang sangat terkenal itu, dan sehelai kain batik tulis Bali. Sedangkan wajah Olivia makin bercahaya ketika mendapatkan produk home spa yang sama dengan yang didapat Sandra, sehelai kaus oblong humor, sehelai batik tulis, dan seuntai kalung perak bermodel sederhana tapi sangat manis.
“Terima kasih, Pak,” ucap keduanya, nyaris bersamaan.
“Wah, saya liburan di rumah saja,” Olivia meringis. “Jadi nggak bisa kasih oleh-oleh.”
“Hadeeeh... dipikirin,” Sandra tertawa.
“Kalau mau pie susu, kacang disko, segala macam, ke bawah saja,” ucap Luken sambil berdiri, bersiap masuk ke ruangan kantornya. “Sengaja aku tinggalkan semua makanan di bawah.”
Senyum Sandra dan Olivia melebar lagi.
“Oh, ya,” Luken yang tangannya sudah menjangkau pegangan pintu berhenti dan berbalik sejenak. “Nanti siang kita makan siang bareng di sebelah, ya? Sekalian sama Mama-Papa sebelum kembali ke Purwakarta.”
Sandra dan Olivia saling menatap ketika sosok Luken menghilang di balik pintu.
“Waduh...,” gumam Sandra. “Padahal tadinya aku mau minta izin Pak Luken untuk keluar makan siang sama papanya Angie. Gagal, deh...”
Olivia meringis. “Besok, kan, masih bisa, Bu.”
Sandra ikut-ikutan meringis. Keduanya kemudian meringkas oleh-oleh yang mereka dapatkan, dan memasukkan dalam tas kertas masing-masing. Bersiap untuk bekerja karena jam dinding sudah menunjukkan waktu lima menit sebelum jam kerja resmi dimulai.
Tepat ketika Olivia duduk dan mulai menyalakan laptop, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ia meraih dan menyalakan layarnya. Dengan wajah datar, dibacanya pesan yang masuk.
‘Liv, selama ini Mama belum pernah sekali pun minta maaf secara pribadi padamu. Mama minta maaf yang sebesar-besarnya. Juga ingin berterima kasih padamu atas semua yang sudah kamu lakukan untuk keluarga kita selama ini. Kapan kamu bersedia meluangkan waktu agar kita bisa bicara berdua, Liv? Mama tunggu jawabanmu. Selamat bekerja...’
Ia kemudian meletakkan kembali ponsel itu dan mulai bekerja. Memblokir pikirannya agar tetap fokus hanya pada urusan profesional. Bukan hal-hal lain.
Apalagi urusan yang nggak penting seperti itu.
Diam-diam ia mendengus dalam hati.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Mohon maaf tayangan hari ini sangat terlambat terbit karena kendala jaringan internet yang kocar-kacir (mungkin karena) dilanda hujan deras selama beberapa hari (padahal kuota masih buanyaaakkk). Sudah saya umumkan sejak pagi tadi di halaman FiksiLizz di FB (itupun loading FB Lite dari tablet bikin pingin ngunyah ban serep truk).
Terima kasih atas pengertian pengunjung dan pembaca blog ini.
Bravo mbk... Jangan nyerah dengan internet hohoho
BalasHapusgood post mbak
BalasHapus