Sepuluh
“Kamu nanti pulang jam berapa, Mel?” tanya Maxi sebelum menggigit sandwich-nya.
“Jam dua belas. Cuma class meeting doang.”
“Mau Mas jemput atau pulang sendiri?” Maxi mengangkat alisnya.
“Lha, Mas Maxi pulang jam berapa?” Carmela membelalakkan mata bulatnya yang indah.
“Jam sepuluh sudah bubaran. Cuma ujian satu matkul hari ini.”
“Oh...”
“Sudah, Mama jemput saja,” timpal Arlena. “Mama nggak ke mana-mana, kok.”
“Nggak usah,” sahut Carmela lugas. “Ngojek saja.”
“Daripada naik ojek, kan, mendingan dijemput Mama, Mel,” ujar Prima lembut.
“Nggak usah,” tegas Carmela sekali lagi. Menatap Prima dengan berani. “Lagian nanti anak sekelas mau rujakan dulu di rumah Betty. Pulang mungkin agak sorean.”
Prima dan Arlena bertukar tatapan sejenak. Arlena tersenyum dan menggeleng samar. Mengisyaratkan ‘tidak apa-apa’. Prima kemudian menatap Olivia, mencoba untuk meminta sedikit bantuan. Tapi gadis itu tekun menikmati sarapannya dalam diam, tanpa menoleh ke mana-mana.
Seharian kemarin, hari Minggu, ada saja kesibukan Olivia, hingga Prima sedikit pun tak punya kesempatan untuk bicara dengan putri sulungnya itu. Ia merasa bahwa Olivia sengaja menghindarinya. Sabtu malam sebelumnya, ia sempat lama berdiri di ambang pintu depan. Hingga sempat memergoki Olivia termenung lama, dan berakhir dengan mengusap pipi. Sepertinya ada guliran air mata.
Prima tersentak ketika anak-anak berdiri bersamaan, kemudian berpamitan. Carmela mengekor Olivia, dengan Maxi mengiringi di belakang. Masih didengarnya sayup-sayup ketiganya bercakap.
“Mel, ikut Mbak Liv apa Mas?” tawar Maxi.
“Mela sama aku saja, Max,” sahut Olivia.
“Iya, kalau aku nebeng Mas, nanti Mas mutarnya kejauhan,” timpal Carmela.
Lalu hening sejenak sebelum terdengar derum halus mobil dan motor yang meninggalkan garasi. Arlena berdiri sambil meremas lembut bahu Prima.
“Papa sendiri, kan, yang bilang harus sabar?” bisiknya.
Prima hanya bisa mengangguk.
“Ayo, siap-siap, Pa. Itu Muntik sudah datang. Nanti kita terlambat sampai ke kantor Papa.”
Prima kembali mengangguk.
* * *
Carmela tidak berani bersuara karena merasa aura dalam kabin mobil itu agak gelap. Entah kenapa, sejak pulang dari WaterBoom Sabtu sore kemarin, Olivia jadi jauh lebih pendiam daripada biasanya. Ia tidak mau dan tidak bisa menduga-duga. Sepenglihatannya, Miko biasa-biasa saja. Tetap ‘ramai’ seperti biasanya.
Masa berantem, sih? Kayaknya enggak, deh...
Perjalanan sejauh lima kilometer dari rumah ke sekolah itu terasa panjang bagi Carmela. Olivia hanya menggumam tak jelas ketika Carmela mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari mobil.
Olivia sendiri sebetulnya merasa menyesal begitu Carmela keluar dari mobil. Yang ada di pikirannya adalah masalahnya. Sama sekali bukan masalah Carmela. Rasanya tak pantas hanya berdiam diri sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah. Tapi sudah telanjur. Dan Olivia hanya bisa menghela napas panjang sambil terus melajukan mobil ayahnya. Sekadar untuk mengurangi sedikit rasa sesak dalam dadanya.
Ketika sampai di tempat parkir kantornya, mobil Luken belum kelihatan. Dengan mesin dan AC masih menyala, Olivia cepat-cepat berdandan. Sedikit lebih lengkap daripada biasanya. Sekadar untuk menyamarkan raut muram wajahnya. Setelah selesai dan mematut sejenak penampilannya melalui sebuah cermin, ia pun mematikan AC dan mesin mobil, kemudian keluar. Bertepatan dengan kehadiran Luken yang memarkir SUV-nya tepat di sebelah mobil Olivia.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Olivia begitu Luken keluar dari mobil.
“Pagi, Liv,” senyum Luken terlihat cerah. “Kamu masih bawa mobil sendiri? Pak Prima belum masuk kerja?”
“Hari ini Papa sudah masuk kerja lagi, Pak. Diantar Mama.”
“Oh...”
Keduanya melangkah bersisian menuju ke lobi. Tidak ada banyak pembicaraan hingga keduanya sampai di lantai atas. Sandra yang sudah hadir di sana menghadiahi keduanya sebuah sapaan dan seulas senyum hangat. Luken tidak langsung masuk ke kantornya, melainkan mampir dulu untuk duduk di depan meja Sandra.
Tanpa suara, Olivia menyiapkan meja kerjanya. Meletakkan, membuka, dan menghidupkan laptop. Menempatkan ponselnya yang sudah dalam kondisi silent dan hanya menyisakan vibrate di sebelah kiri laptop. Tak lupa ia menyiapkan juga catatan dan bolpennya di sebelah kanan laptop.
Semua itu tak luput dari perhatian Luken dan Sandra. Sejenak keduanya saling menatap. Menyadari keheningan yang ‘lebih’ dalam diri Olivia. Luken kemudian mengambil inisiatif dengan berdiri dan melangkah ke arah kantornya.
“Bu Sandra, kalau sudah siap segera ke kantor saya, ya?” ucap Luken.
“Baik, Pak. Sekarang juga sudah siap,” Sandra berdiri dan buru-buru mengikuti langkah Luken.
“Kenapa dia?” bisik Luken begitu pintu tertutup rapat dan Sandra duduk di depannya, berbatasan meja.
“Saya nggak tahu, Pak,” Sandra menggeleng. “Jujur, Livi jarang membicarakan soal pribadinya.”
Luken termenung sejenak. Ia kemudian kembali menatap Sandra.
“Saya percaya Livi mampu bekerja secara profesional,” ujarnya lirih. “Tapi kurang nyaman juga kalau suasana kerja jadi sedingin ini. Menurut Bu Sandra, bagaimana?”
Sandra menghela napas cukup panjang sebelum menjawab, “Saya sependapat dengan Bapak. Tapi kita tidak bisa memaksanya untuk curhat atau apalah namanya, yang mungkin dia tak mau membaginya dengan kita.”
Luken manggut-manggut. Pelan ia menyandarkan punggungnya.
“Padahal nanti saya harus keluar sama dia,” gumam Luken.
“Oh, ya, meeting dengan Mr. Liu, ya, Pak?”
Luken mengangguk. Ia menegakkan lagi punggungnya.
“Ya, sudah, Bu. Tolong, dicatat saja urusan hari ini, ya?”
Sandra mengangguk dengan sigap, sambil menyiapkan catatannya.
* * *
Dari dalam mobil jemputan yang mengantri untuk menurunkan penumpang di area parkir seberang teras lobi, dengan jelas Navita melihat bahwa Prima tengah turun dari sebuah city car berwarna putih yang berhenti tepat di depan teras lobi. Ketika ia menyeberang bersama rombongannya, laki-laki itu dengan senyum khasnya yang menyejukkan hati melambaikan tangan pada seseorang yang melajukan mobil itu pergi.
Ia terpaksa ikut menyalami Prima seperti teman-temannya yang lain ketika mereka sampai di teras lobi. Bertukar sapa dengan dada dipenuhi debar liar yang ia sendiri tak bisa mengendalikannya. Tapi sikap Prima biasa saja. Dan ikut arus dengan beberapa staf sedivisi melangkah menuju ke ruangan mereka.
“Sekarang pakai jasa sopir, Pak?” celetuk Rima.
“Enggak,” Prima menggeleng, masih dengan senyumnya. “Istri saya tadi yang mengantar.”
“Pulangnya nanti dijemput Ibu juga, Pak?” Adian ikut menimpali.
“Iya... Habis bagaimana? Belum berani bawa mobil sendiri, nih!” Prima tertawa ringan.
Dan pembicaraan itu masih panjang sambil menunggu jam kerja dimulai. Navita memutuskan untuk diam-diam menyisihkan diri. Mengobrol dengan rekannya yang lain. Tapi tanpa sengaja, pada suatu detik yang sama, tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Namun benar-benar mampu mengguncang hati Navita. Membuatnya mengeluh.
Aku ini kenapa? Bukannya sudah ada Mas Gandhi yang jauh lebih sepadan?
Navita membunuh keresahan itu dengan menyibukkan diri. Apa saja yang bisa ia kerjakan, ia kerjakan tanpa banyak kata. Bagaimanapun ia masih ingat betapa singkatnya jawaban Prima atas pesannya melalui Whatsapp tempo hari. Hanya “Terima kasih...”, titik. Tanpa embel-embel apa pun.
Memangnya apa yang kamu harapkan?!
Begitu saja sisi lain hatinya berteriak menegur.
Lupa apa yang kamu baca semalam?!
Navita menghela napas panjang. Tidak, ia tidak lupa.
Bertemu BlogSiper Idola
Siapa, sih, di BlogSip ini yang nggak kenal Ibu Arlena Arbianto? Artikel-artikel beliau yang sangat inspiratif, penuh motivasi, dan tentu saja menggelegar sudah beberapa waktu lamanya menghiasi BlogSip ini. Saya sendiri sampai termimpi-mimpi bertemu dengan beliau, BlogSiper idola. Dan hari Sabtu kemarin ternyata mimpi saya jadi kenyataan!
Bermula dari sohib saya Inta yang ngeyel ingin jalan-jalan, nggak afdol kalau nggak bareng-bareng se-gank berempat, akhirnya kami meluncur ke Grand Indonesia. Niat awal cuci mata sambil kongkow aja, siiih... Tapi kurang asyik kalau mulut nggak ngunyah sembari ngobrol. Cusss! Kami serbulah sebuah kafe di lantai lima.
Lagi saja baru masuk, mata saya langsung kedip-kedip melihat ada pasangan ‘matang’ cantik dan ganteng yang asyik mojok mesra. Nggak tahulah, tertarik saja melihatnya. Dan setelah saya amati lebih lanjut, ternyata... Astaga! Ibu Arlena Arbianto! Dan laki-laki yang di sampingnya adalah Bapak Prima Arbianto. Duh! Rasanya hati ini jadi nyut-nyutan melihatnya! Iriii banget lihat mesranya, bo’!
Akhirnya, saya beranikan diri untuk mendekat dan menyapa. Sejuuuk banget rasanya hati ini waktu Bu Arlena dan Pak Prima membalas sapaan kami dengan ramah. Bahkan mengizinkan kami ambil foto / foto bersama (lihat di bagian akhir).
Dengan berat hati, saya terpaksa undur diri setelah foto-foto. Ingin lanjut chit-chat, siiih... Tapi saya nggak berani ngobrol banyak. Segan. Takut mengganggu kemesraan beliau-beliau.
Tapiii... Sambil ngariung sama gank, sesekali saya masih curi-curi pandanglah, hihihi... (saliiim Paaak, Buuu...). Dan makin curi pandang, makin iri saja rasanya. Mesranya itu, lhooo!
Ya, sudah, deh! Masih punya mimpi kapan bisa ngobrol banyak dengan beliau. Sekalian mimpi kapaaan dapat suami yang awet ganteng kayak Pak Prima (ampuuun, Buuu...).
Oh, ya, penulisan artikel sudah mendapat ijin dari Bu Arlena dan Pak Prima (waktu saya minta ijin, Bu Arlena minta pendapat Pak Prima dulu. Pak Prima bilang ‘terserah Mama’. Owh... So Sweet...). Terima kasih, Bu Arlena dan Pak Prima... Semoga lain kali ada kesempatan ketemu lagi dan ngobrol lebih banyak.
Ciao!
Dan saat itu matanya terpaksa nanar menatap senyum Prima yang terlukis sempurna dalam beberapa foto yang disertakan pemilik akun Pristia Andari itu. Senyum yang sungguh menggetarkan hati.
“Vit...”
Navita tersentak. Ia menoleh dan debar jantungnya makin menjadi ketika melihat tatapan serius Prima.
“Daftar yang harus training Selasa depan sudah selesai kamu kerjakan?”
“Sudah, Pak,” Navita buru-buru mengangguk.
“Tolong, segera dicetak, sekalian bikin copy-nya masing-masing tiga lembar.”
“Baik, Pak.”
Saatnya bekerja, bukan melamun yang enggak-enggak lagi!
* * *
Arlena menghenyakkan punggungnya ke sofa lazy boy di sudut ruang baca. Keheningan menyergapnya. Dan ia ingin menikmatinya begitu saja. Sembari memejamkan mata. Diiringi musik lembut yang sayup-sayup mengalun dari stereo set di ruang tengah.
“Kelihatannya anak-anak sulit memaafkan aku,” keluh Arlena sambil menyetir mobil.
“Yang sabarlah, Ma...,” Prima menanggapi dengan sangat halus. “Baru beberapa hari. Lagipula anak-anak juga sudah bukan bayi lagi. Sekarang sudah punya kesibukan sendiri-sendiri.”
“Ya,” gumam Arlena. “Aku memang pantas mendapatkannya.”
Prima terdiam.
“Nanti sore aku jemput, ya?” Arlena membelokkan mobilnya masuk ke halaman luas Chemisto, dan terus melajukannya ke depan teras lobi. “Aku usahakan nggak telat.”
Sebelum membuka pintu mobil mobil, Prima mendaratkan kecupan ringan dan hangat di kening Arlena.
“Hati-hati di jalan,” ucapnya sebelum menutup pintu mobil dari luar.
Arlena menghela napas panjang.
Saat ini tampaknya ia harus lebih banyak bergantung pada usaha Prima untuk mendekati anak-anak. Ia khawatir, bila memaksa untuk ‘masuk’, penolakan anak-anak akan lebih besar lagi. Seutuhnya ia menyadari kesalahannya. Sudah terlalu besar dan menumpuk. Dan mungkin sudah tak bisa lagi termaafkan walaupun ia berusaha hingga keluar keringat darah. Tak pelak pemikiran itu membuat semangatnya sedikit meluruh.
Lalu ia membuka mata. Tampak olehnya sebentuk pigura berwarna keemasan, yang membingkai sebuah foto kanvas besar di ruangan itu, tepat di seberangnya. Foto pernikahannya dengan Prima.
Apakah aku sudah terlalu banyak bermimpi?
Arlena mengerjapkan matanya.
Bahkan pernikahan ini pun dibangun berdasarkan mimpi.
Mimpi yang ia sama sekali tak tahu akan berujung di mana.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
good post
BalasHapusMakasih, Pak Subur... πππ
HapusKeren
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Bekti...
HapusAyok tabur-tuai Arlena !
BalasHapusJok sekarepe dewek !
Geregeten aq mb Lis.
# nyokot tahu
Nggak nyokot lengene ojob meneh tah? πππ
Hapus