Prolog
“Lho, Mbak Livi masuk kerja?”
Olivia menghentikan langkah. Gadis berusia 24 tahun berpenampilan rapi itu mengangkat wajah dan menemukan tatapan penuh tanya Sandra. Sedetik kemudian ia mengangguk.
Tatapan Sandra berubah. Dan Olivia sama sekali tak bisa mengartikannya. Tapi ditemukannya keteduhan dalam mata perempuan berwajah keibuan berusia 46 tahun itu. Membuatnya sejenak terseret dalam ketenangan.
Setelah semua yang harus kuhadapi kemarin-kemarin...
Dan gadis itu tersentak ketika pintu di belakang punggungnya terbuka tiba-tiba, diikuti suara bas yang menggema di seantero ruangan itu. Suara yang selalu terdengar hangat di telinga.
“Bu Sandra, saya bisa minta tolong...”
Olivia berbalik.
“Liv?” laki-laki itu mengalihkan fokus tatapannya dari Sandra ke Olivia.
Olivia segera menemukan tatapan yang sama dengan tatapan Sandra ketika ia muncul tadi. Olivia segera mengangguk dengan wajah takzim.
“Maaf, Pak Luken, saya datang terlambat,” ucapnya lirih, dengan nada menyesal. Sudah hampir pukul 9 ketika ia menginjakkan kaki di kantor eksportir kopi itu.
“Oh... Tidak, tidak apa-apa,” Luken menggeleng cepat.
Hening sesaat sebelum Sandra memecahkan kebekuan itu dengan suara lembutnya, “Maaf, Pak Luken, apa yang harus saya lakukan untuk Bapak?”
Luken sedikit tersentak. Ia kembali menatap Sandra.
“Berkas untuk pengiriman ke Taiwan, Bu, tolong disiapkan.”
“Saya yang akan menyiapkan,” Olivia buru-buru melangkah ke arah mejanya. Tak sempat lagi melihat bahwa Luken dan Sandra bertatapan sejenak.
Beberapa saat kemudian, Olivia sudah sibuk di depan laptopnya, dan dalam hitungan belasan menit, berkas yang diminta Luken sudah selesai dicetaknya, dan dimasukkannya ke dalam map bening. Ia segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah ruangan Luken. Diketuknya pintu tiga kali dengan ritme dan volume ‘sopan’.
“Masuk!”
Setelah terdengar jawaban itu, barulah Olivia membuka pintu pelan-pelan.
“Berkasnya, Pak,” Olivia melangkah mendekati Luken. Diulurkannya map di tangannya pada Luken.
“Ya, terima kasih. Duduk dulu, Liv,” ujar Luken sembari menerima map dari Olivia.
Olivia menuruti permintaan Luken. Sang boss meneliti sejenak berkas itu sebelum menutup dan menyisihkannya. Sikapnya menjadi sempurna dengan melipat kedua tangan di atas meja, di depan dada. Ditatapnya Olivia dalam-dalam.
“Liv, kalau kamu memang belum bisa masuk kerja, jangan memaksakan diri,” ucap Luken lembut. “Bu Sandra masih bisa menangani pekerjaanmu walaupun tidak segesit dirimu. Dan kami memahami sepenuhnya.”
Olivia tercenung sejenak. Tatapannya jatuh pada sebidang kecil meja di depannya, tepat di hadapan Luken. Beberapa detik kemudian ia menggeleng sambil mengangkat wajahnya.
“Saya tidak apa-apa, Pak,” ucapnya, berusaha meyakinkan Luken dengan suara yang terdengar mengambang.
“Yakin?” tegas Luken.
Olivia mengangguk.
“Just take your time, Liv. Kapan pun kamu membutuhkannya.”
Olivia kembali mengangguk. “Terima kasih banyak, Pak.”
“Ya, sama-sama,” senyum Luken. “Oh, ya, siang ini jam 12 ada meeting dengan calon klien dari Hongkong di luar. Terserah siapa yang akan mendampingiku. Kamu atau Bu Sandra. Tolong, bicarakan dengan dia.”
“Baik, Pak. Ada lagi?”
Luken menggeleng sedikit. “Sementara ini sudah cukup.”
“Baik, Pak. Saya permisi dulu,” Olivia bangkit dari duduknya.
Luken mengangguk. Diawasinya sosok ramping Olivia, yang terbalut blazer dan rok selutut berwarna coklat tua, berjalan menjauh hingga menghilang di balik pintu. Sejenak kemudian dihelanya napas panjang sebelum meraih map yang ditinggalkan Olivia dan menekuninya lagi.
* * *
Ia memang membutuhkan kesibukan itu. Untuk melupakan sejenak keruwetan yang membelit hidupnya akhir-akhir ini. Terlibatnya Maxi dalam perkelahian antar fakultas di kampusnya hanyalah secuil puncak gunung es. Dan adiknya itu terkena luka tusukan di pinggang. Cukup parah walaupun tidak sampai merusak organ dalamnya. Dan cukup membuat kehidupannya limbung seketika.
Belum selesai masalah lain, masalah baru sudah menimpa lagi. Tak hanya satu. Tapi beberapa bertubi-tubi. Membuatnya nyaris tak punya tenaga lagi untuk menyelesaikan pekerjaan.
“Kalau memang harus aku yang berangkat dengan Pak Luken, beritahu apa saja yang harus kucatat, Mbak Liv...”
Suara lembut itu menyentakkan kesadaran Olivia. Ia mengerjapkan mata dan buru-buru meraih sebuah catatan di depannya.
“Tapi kurasa... lebih baik kamu saja yang berangkat, Mbak.”
Olivia mendongak. Sandra menatap Olivia dengan bibir mengulas senyum teduh. Perempuan itu kemudian duduk di kursi seberang meja, tepat di depan Olivia.
“Bagaimana, Mbak Liv?”
Sesungguhnya, ia tahu bahwa Sandra pasti dapat menggantikan tugasnya dengan baik. Sandra sudah menjadi sekretaris direktur yang mumpuni sejak jaman perusahaan ini dikendalikan oleh James Sudianto, paman Luken. Tak ada alasan bahwa ia lebih tahu daripada Sandra. Tapi mendampingi Luken mengadakan meeting adalah tugasnya. Ia haruslah tetap bersikap profesional. Jadi...
“Hm... Ya, Bu, aku yang akan berangkat,” ucap Olivia, akhirnya.
Sandra mengangguk dengan wajah lega. “Sepertinya, begitu lebih baik.”
Olivia tersenyum tipis.
“Tapi kamu baik-baik saja, kan?” Sandra menatap Olivia dengan sorot meneliti.
Olivia menghela napas panjang. “Aku harap, Bu...”
“Apa pun yang bisa kulakukan untukmu, Mbak Liv...”
Sebuah pelukan...
Olivia mendegut ludah.
Bahu untuk menangis...
Olivia mengerjapkan matanya.
Kehidupan yang lain...
Dan kedua hal pertama segera diperolehnya begitu pertahanannya runtuh. Ia terisak dalam pelukan Sandra. Tanpa bisa terkendali. Sementara Luken hanya bisa menatap kejadian itu tanpa suara. Dari depan pintu ruang kantornya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
1. Makasih banyaaak untuk Mak Eka Murti.
2. Cerbung ini akan diusahakan betul-betul ditayangkan sampai tamat, tidak seperti nasib cerbung “Pandora Box” kemarin.
good post mbak
BalasHapusMakasiiih, Pak Subur... πππ
HapusOk, sip! Lanjut!
BalasHapusSiap!
HapusSelalu menunggu ☺
BalasHapusBaru sempet baca krna di lanada malasπ
Makasih, Sylla... πππ
Hapus