Senin, 05 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #9-1










* * *


Sembilan


Leander datang tepat ketika Letta menyelesaikan sesi lesnya Jumat sore itu. Dengan sabar laki-laki itu duduk menunggu di teras hingga semua anak yang diberi les oleh Letta berpamitan dan pulang.

“Sendirian?” Letta kemudian duduk di sebelah Leander. “Rena sama Ludy mana? Pakai mobil sendiri?”

“Belum baca pesanku, pasti...,” senyum Leander.

“Iyalah... Belum sempat,” Letta meringis.

“Serena sama Ludy menyusul besok pagi. Ludy belum pulang dari RS. Kata Rena, Ludy sedang bantu menangani beberapa korban kecelakaan.”

“Oh...,” Letta manggut-manggut.

Mereka berempat sebetulnya berencana untuk menghabiskan long weekend bersama di Sentul. Berhubung Sabtu adalah tanggal merah, maka Letta terbebas dari kewajiban membimbing English Club dan latihan drama. Jadi, ia menyambut dengan antusias ketika Leander mengajaknya berangkat ke Sentul sore ini.

“Mau berangkat sekarang?” Letta berdiri.

“Boleh,” angguk Leander. “Kamu sudah siap?”

“Yup!” Letta mengacungkan jempol.

Menjelang pukul enam sore, Leander sudah meluncurkan mobilnya, membelah jalanan menuju ke Sentul. Mereka sampai di tujuan hampir dua jam kemudian, setelah terjebak beberapa kemacetan kecil.

Meiske dan Alex menyambut Leander dan Letta dengan wajah gembira. Meiske segera menggiring anak dan calon menantunya itu ke dalam.

“Kalian belum makan, kan? Mamam sudah masak buat makan malam kita.  Lean, kamu sudah mandi? Kalau belum, buruan. Telat makan lagi, nasibmu bisa berabe!”

Letta tersenyum tertahan mendengar sederetan kalimat yang seolah diucapkan Meiske dalam satu tarikan napas.

“Iya, aku belum mandi, Mam,” Leander menanggapi dengan nada sabar. “Ini juga sudah telat makan. Untung Letta punya biskuit buat dicemil di jalan.”

Setelah meletakkan travel bag Letta di kamar untuk tamu, Leander kemudian masuk ke dalam kamar yang biasa dipakainya. Meiske segera menggamit lengan Letta. Membawa gadis itu ke ruang makan. Alex sudah duduk menunggu di sana.

“Papap mau makan dulu?” tanya Meiske.

“Sekalian saja tunggu Lean,” jawab Alex sambil mengangkat alis. Tersenyum. “Let, gimana kabarmu? Papap dengar, kamu punya mobil baru?”

“Oh...,” Letta meringis. Terlihat malu-malu. “Mobil second, kok, Pap. Masih mengangsur.”

“Baru atau bekas, yang penting fungsinya,” sergah Meiske halus sambil menepuk lembut punggung tangan Letta.

Mereka kemudian mengobrol tentang banyak hal ringan yang terjadi di sekitar mereka. Dan kehangatan itu makin bertambah ketika Leander hadir pula di sekitar meja makan itu. Mereka menikmati makan malam dengan asyik. Sesekali diselingi dengan tawa ceria.

* * *

Letta selalu betah berada di Sentul. Di sanalah ia kembali merasakan kehangatan keluarga yang sebenarnya. Kehangatan yang dengan paksa sudah tercerabut dari kehidupannya sekitar tiga belas tahun yang lalu. Kehangatan yang sering dirindukannya.

Letta tak segan merebahkan kepalanya dengan manja pada bahu Meiske. Sebuah sikap yang selalu membuat Meiske terharu. Menyadari bahwa hanya ia dan Alex-lah pengganti orang tua Letta kini.

“Dia selalu memperlakukanmu dengan baik, kan?” tanya Meiske dengan nada lembut.

Alex baru saja berpamitan untuk sejenak berkumpul dengan bapak-bapak tetangga di balai keamanan di dekat pintu gerbang cluster. Leander diajaknya serta. Meiske dan Letta duduk bersebelahan di sofa teras depan.

“Iya, Mam,” angguk Letta. “Jangan khawatir. Mas Lean sama sekali nggak pernah menyakiti Letta, kok. Oh, ya, Mam, Letta ingin cerita sesuatu sama Mamam. Boleh?”

“Ceritalah,” Meiske membelai kepala Letta dengan lembut.

Kehangatan sikap Meiske membuat Letta tak segan lagi untuk bercerita tenang masalah yang terasa membelenggunya beberapa minggu belakangan ini.  Tentang keluarga Handoyo, juga tentang Dika.

“Letta nggak pernah berniat untuk mengkhianati Mas Lean, Mam,” ucap Letta di ujung cerita panjangnya. Disusutnya air mata yang menggelinding tanpa bisa dikendalikan di pipi. “Itu cuma sebuah perasaan nyaman. Tapi... lain dengan perasaan Letta terhadap Mas Lean. Letta nggak bisa menjelaskannya, Mam. Dan Letta senang sekali ketika sahabat Letta ada tanda-tanda mulai dekat dengannya.”

“Hm...,” Meiske manggut-manggut sambil berusaha memahami seluruh ungkapan hati Letta. “Lean sendiri bagaimana?”

“Sempat marah. Tapi sekarang sudah lebih mengerti. Cuma... apa yang Letta rasakan ini, Letta nggak bilang sama Mas Lean. Letta tahu diri, kok, Ma. Tahu batas. Niat Letta cuma mau bantu keluarga Pak Handoyo itu. Hari Minggu lalu semuanya mentah lagi. Kara-nya Mas Lean yang Letta kira anak yang hilang itu ternyata sama sekali bukan anak Pak Handoyo. Bisa dibilang tugas Letta sudah selesai. Tapi Letta masih harus beberapa kali lagi ke sana. Demi murid-murid Letta.”

Meiske menghela napas panjang. Dibelainya lagi kepala Letta.

“Mamam tahu, Letta pasti mengerti batasannya,” ucap Meiske dengan lembut. “Mamam pikir Lean pun juga tahu soal itu. Dia akan bisa memahaminya. Mamam senang Letta mau terbuka sama Mamam. Memang sebaiknya begitu. Kalaupun Mamam nggak bisa bantu, paling tidak Letta jadi bisa lebih lega setelah curhat. Begitu, kan?”

“Iya, Mam,” Letta menyandarkan kepalanya di bahu Meiske.

Meiske pun menepuk-nepuk pipi Letta dengan penuh rasa sayang. Tepat saat itu, sebuah mobil berhenti di depan pintu pagar. Meiske dan Letta sama-sama menegakkan punggung.

“Hah? Lho! Rena dan Ludy?” gumam Meiske. “Yang benar saja! Jam berapa ini, Let?”

“Hampir setengah sebelas, Mam,” jawab Letta sambil menatap sekilas ke arah arlojinya.

“Astaga...,” Meiske berdiri. “Kayak besok nggak ada hari saja!”

Leander keluar dari mobil itu dan membuka lebar-lebar pintu pagar. Ludy pun meluncurkan mobilnya masuk dan menghentikannya di carport depan garasi. Alex keluar dari pintu belakang, dikuti Serena dari kiri depan, dan Ludy dari kanan depan. Serena dan Meiske segera berpelukan.

“Kok, Papap sama Lean jadi bareng?” Meiske melebarkan matanya.

“Iya...,” Alex terkekeh. “Ketemu di depan situ.”

“Katamu besok?” Leander mengangkat alisnya, menatap Serena.

“Ituuu... Kata Mas Ludy sekalian capeknya,” Serena mengerucutkan bibir.

“Sudah makan?” Meiske mengerutkan kening.

“Sudah, tapi aku lapar lagi,” jawab Serena dengan nada aleman. “Bawaan bayi, Mam...”

“Huuu... Kamu yang gembul, si baby yang jadi kambing hitam,” ledek Leander.

Serena mencubit lengan Leander dengan wajah gemas. Semua tertawa melihat kejadian itu.

Suasana malam itu kembali meriah dengan hadirnya Serena dan Ludy. Mereka berenam kemudian kembali memusatkan kegiatan mengobrol di meja makan. Menemani Serena dan Ludy yang dengan lahapnya menikmati makan malam kedua.

* * *

Dua malam plus setengah hari di Sentul sungguh-sungguh menyegarkan hati dan pikiran Letta. Dengan berat hati, ia terpaksa melambaikan tangan pada Alex dan Meiske ketika Leander mulai meluncurkan mobilnya, hendak kembali ke Jakarta, selewat tengah hari. Serena dan Ludy sudah berpamitan sejak pagi tadi karena sore nanti keduanya harus menghadiri undangan pernikahan teman Ludy.

“Rasa-rasanya aku harus sering-sering ke sini,” gumam Letta sambil merebahkan kepalanya ke sandaran jok.

“Kamu tinggal bilang saja, Let,” Leander melirik sekilas.

“Ya, kalau Mas Lean sibuk, aku bisa sendirian, kok.”

“Duuuh... Yang sudah punya mobil...,” ledek Leander.

Letta tertawa ringan.

“Seharusnya sejak dulu aku mandiri,” gumam Letta kemudian.

“Yang kukenal, kamu adalah perempuan mandiri, Let.”

“Ya,” Letta mengedikkan bahu, “tapi belakangan ini seperti terlalu dilindungi.”

“Merasa kebebasanmu berkurangkah, Let?”

“Enggak...,” Letta menggeleng. “Bukan begitu. Cuma kadang-kadang aku merasa kurang praktis saja kalau Mas Lean harus ketanggungan mengantar-jemputku. Apalagi belakangan ini Mas Lean, kan, lebih sibuk daripada biasanya. Aku tahu, buat Mas, aku sama sekali bukan beban. Tapi sungguh, aku nggak mau bikin repot Mas Lean. Itu saja, sih.”

Leander manggut-manggut. Kalau dipikirkan lebih dalam lagi, seluruh ucapan Letta adalah benar adanya. Walaupun masih ada rasa khawatir itu. Sejujurnya, selama Letta masih punya kegiatan di sanggar Pancarwengi, hatinya belum akan merasa tenang.

Hati kecil Leander mengatakan bahwa ia harus menaruh kepercayaan penuh pada Letta. Tapi ia tak bisa memungkiri bahwa ia punya rasa takut itu. Takut Letta benar-benar terpeleset. Takut kehilangan Letta.

* * *

“Mampir makan dulu, ya, Rin?” Dika menengok sekilas ke arah Arinka. “Aku lapar.”

“Hehehe.. Iya.”

Mereka baru saja pulang dari melihat-lihat lokasi proyek Arinka. Rencana awal minggu kemarin gagal karena Dika dan Mega ternyata sama-sama sibuk. Demikian pula Arinka. Hari Sabtu kemarin Arinka punya waktu senggang, tapi Dika tidak, karena kakak dan abang iparnya baru saja mendarat kembali setelah menyelesaikan misi kebudayaan di benua lain.

Jadilah sepanjang siang tadi mereka melewatkan waktu untuk meninjau lokasi. Tidak hanya berdua, karena ada Mega juga. Tapi pulangnya hanya berdua saja, karena Mega dijemput kekasihnya. Itulah yang membuat mereka terlambat pulang. Karena kekasih Mega sempat kesasar cukup jauh dari lokasi sehingga mereka mau tak mau harus menunggu.

Dika kemudian membelokkan mobilnya di tengah hujan yang menderas, masuk ke area parkir kafe Private Room. Ketika turun dari mobil dan berjalan bersama di bawah payung yang dipegang Dika, laki-laki itu bisa mencium aroma wangi rambut Arinka. Dihirupnya dalam-dalam aroma itu.

Suasana hangat dan nyaman menyambut mereka ketika melangkah masuk ke dalam kafe yang sedang tidak terlalu ramai itu. Dan tatapan Arinka langsung tertuju ke sebuah sudut. Langkahnya cepat menuju ke sudut itu.

“Letta, Letta, Letta!” serunya tertahan.

* * *

Langit sudah mulai gelap ketika mobil Leander memasuki Jakarta. Mereka tadi memang tak langsung meluncur pulang, tapi berputar-putar sejenak untuk menikmati hawa segar Sentul. Leander melirik jam digital di dashboard. Pukul 05.38.

“Sekalian makan, yuk, Let,” ajak Leander.

“Boleh...,” sahut Letta.

Leander segera mengarahkan mobilnya ke jalur menuju kafe langganan mereka. Setelah berhasil menembus beberapa kemacetan kecil di tengah siraman hujan ringan, mereka pun sampai di tempat tujuan. Setelah mematikan mesin mobil, Leader meraih sebuah payung besar di belakang joknya.

Berlindung di bawah payung, mereka kemudian keluar dari mobil; dan menyeberangi halaman parkir. Tangan kiri Leander merengkuh bahu Letta, dan tangan kanannya menggenggam erat gagang payung dengan posisi menyilang ke kiri di depan dada. Angin dingin bertiup, membuat Leander mengetatkan rengkuhannya.

Kafe itu cukup lengang. Mungkin karena memang belum waktunya bagi orang-orang untuk menikmati makan malam, mungkin juga karena hujan mulai lebat hingga orang-orang malas untuk keluar rumah.

“Mau makan apa, Let?” Leander membuka-buka buku menu yang disodorkan oleh salah seorang pramusaji.

“Pangsit goreng enak ‘kali, ya, buat cemil-cemil dulu?’ gumam Letta.

“Hm... Oke, pangsit goreng satu porsi, Mbak,” Leander menatap sejenak pramusaji itu.

“Yang isi sepuluh atau enam?” sang pramusaji bersiap untuk mencatat.

“Yang enam saja,” sahut Letta.

“Minumnya?” tanya Leander.

“Aku mau ginger tea saja,” jawab Letta.

“Oke,” Leander kembali menatap pramusaji. “Ginger tea satu, hot chocolate satu, air mineral dua botol kecil. Makannya kami pilih-pilih dulu. Nanti dicatat pas antar pangsit dan minumannya saja, ya, Mbak?”

“Baik, Pak.”

Leander dan Letta serempak mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji itu meninggalkan mereka.

“Eh, Mas...,” celetuk Letta lirih. “Tadi pagi pas Mas Leander mandi, kan, aku bantuin Mamam nyiapin sarapan di dapur. Mamam tanya soal pernikahan kita. Ya, aku jawab seperti yang sudah pernah kita sepakati. Mamam kelihatannya belum puas. Tapi keburu Papap nongol, bantuin masak.”

“Hehehe...,” Leander terkekeh. “Sebentar lagi kalau Rena lahiran, Mamam juga lupa sama kita. Tenang saja.”

Letta tertawa ringan mendengar ucapan Leander.

“Pokoknya,” Leander menatap Letta dalam, “yang jelas, aku sudah mantap denganmu, Let. Tinggal tunggu hari saja ketika kita berdua sudah benar-benar siap.”

“Iyaaa...,” senyum Letta. “Aku sendiri juga belum mau diburu-buru. Lagipula...”

“Letta, Letta, Letta!”

Sebuah seruan membuat Letta tak jadi meneruskan kalimatnya. Ia menoleh dan melihat Arinka melangkah lebar menghampirinya.

“Hei!” Letta berdiri dan mengembangkan kedua lengannya.

Tubuh mungil Arinka sejenak tenggelam dalam pelukan Letta. Setelah cipikia-cipiki, barulah Letta menyadari ada sosok lain yang berdiri di belakang Arinka.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :
Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan penulis kepada seluruh pengunjung blog FiksiLizz yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca dan meninggalkan komentar, dengan berat hati mulai hari ini penulis memberlakukan moderasi komentar demi kenyamanan penulis dan pembaca blog FiksiLizz.
Terima kasih.

5 komentar: