Kamis, 08 Desember 2016

[Cerbung] Déjà Vécu #10-1








Sebelumnya  



* * *


Sepuluh


Yang ia inginkan saat ini hanyalah pulang, memeriksa semua dokumen, dan menemui Adrian. Dan yang ia butuhkan adalah Leander. Tapi tunangannya itu tak muncul hingga lewat waktu yang dijanjikan. Bahkan Letta tak bisa menghubungi ponsel Leander. Yang pertama, tak diangkat. Yang kedua, di-reject. Yang ketiga, agaknya Leander sengaja mematikan ponsel.

Mungkin ada urusan darurat di Serpong, Letta mencoba menghibur diri. Dan dia tak ingin aku ikut sibuk dengan urusan itu.

“Bapak antar pulang, ya?” Handoyo menatap Letta.

Gadis itu mengerjapkan matanya yang masih terlihat sedikit kosong.

“Ibu sebetulnya mau ikut,” timpal Sarita lembut. “Tapi setelah ini ada latihan ekstra untuk pementasan.”

“Bu,” Wulan meremas bahu Sarita. “Ibu ikut saja. Biar Mas Dian dan aku yang menangani latihan.”

Sarita dan Handoyo saling menatap. Sementara itu Letta tampak tercenung menatap layar gelap ponselnya.

“Let...,” Dika menyentuh lembut bahu Letta.

Gadis itu tersentak dan mendongak cepat. Matanya terbelalak, seolah baru saja keluar dari dunia lain. Hati Dika terasa ngilu melihatnya.

“Bapak dan Ibu antar pulang, ya?” ulang Handoyo, masih dengan nada lembut. “Atau kamu mau menginap?”

Letta buru-buru menggeleng.

* * *

“Sebaiknya kamu tanyakan padanya.”

“Aku sudah tahu jawabannya, Mam,” sahut Leander. Dingin.

Meiske menatap Leander. Pelan, dihelanya napas panjang.

“Selama ini aku berusaha untuk percaya padanya,” Leander setengah mengerang. “Setengah mati aku menekan ego. Supaya dia tidak merasa kusakiti karena aku cemburu buta. Tapi apa kenyataannya?”

Meiske tak bisa menjawab. Pelan ditepuknya bahu Leander. Tatapannya terlihat prihatin.

“Barangkali ini karma,” Leander tersenyum pahit. Sorot matanya terlihat kelam. “Atas semua yang sudah kulakukan di masa lalu.”

“Kamu ini ngomong apa?” sergah Meiske. “Menurut Mamam, kamu sudah menebus semuanya dengan bertobat dan menjalani hidup dengan sangat baik.”

Leander mendengus. Meiske meremas bahu Leander dengan lembut. Ia tengah berpikir mengenai curahan hati Letta minggu lalu. Tapi ia kemudian memutuskan untuk tutup mulut.

Sejujurnya, ia sangat terkejut mendengar cerita Leander baru saja. Hanya saja, entah kenapa, hatinya masih ingin percaya bahwa Letta tak akan ‘melompati pagar’. Dan bermulut ‘ember’ dengan mengungkapkan curhat Letta bisa jadi akan makin memperkeruh suasana.

Tapi berpelukan dengan laki-laki lain?

Meiske mengerjapkan matanya.

Dan menerima ciuman laki-laki itu di keningnya?

Mendadak saja ia jadi berpikir, bahwa masalah antara Leander dan Letta sesungguhnya jauh lebih pelik daripada kelihatannya. Tapi ia berusaha untuk tetap berkepala dingin. Keyakinan itu tetap kuat mengakar dalam hatinya. Bahwa pasti ada alasan di balik semua kelakuan Letta yang tertangkap oleh mata Leander.

Samar, Meiske menggelengkan kepala.

“Makan dulu,” Meiske kemudian berdiri sambil mengelus kepala Leander. “Sudah setengah dua, ini...”

Leander menggeleng lemah.

“Mamam nggak mau mengurusi bujangan tua yang tepar karena maag-nya kambuh gara-gara sengaja mogok makan,” tegas Meiske.

“Siapa yang sengaja mogok makan?”

Tiba-tiba saja Alex muncul dari arah garasi. Ia tadi memang keluar sebentar dengan beberapa temannya. Menengok salah satu anggota klub tenis yang sedang sakit.

“Ini, anak lanang-mu,” jawab Meiske dengan nada menggerutu.

“Kenapa?” Alex menjatuhkan dirinya di atas sofa, tepat di sebelah Leander. “Sudah bosan hidup? Minum racun serangga. Cepat efeknya. Kalau mogok makan, ya, lama.”

“Papap ini, lho! Ngomong seenaknya,” omel Meiske.

“Lho, benar, to?” Alex melengak dengan wajah disetel serius. “Cepat mana, coba, hasilnya? Pakai racun serangga atau mogok makan?”

“Haish! Embuh!” Meiske meninggalkan Leander dan Alex dengan wajah jengkel.

Alex terkikik geli. Mau tak mau, Leander tersenyum mendengar pembicaraan itu.

“Makan dulu, sana,” ucap Alex lembut begitu Meiske hilang dari pandangan. “Kamu nggak kasihan apa, sama Papap. Kalau Mamam ngomel, Papap ini, lho, yang korban perasaan.”

Leander terkekeh. Ia kemudian mengangkat bahu sambil berdiri. Tanpa kata, diturutinya juga ucapan Alex.

“Papap sudah makan?” Leander sempat bertanya sebelum melangkah pergi.

“Sebenarnya sudah,” bisik Alex, ikut berdiri. “Tapi Mamam bisa ngomel kalau tahu Papap makan di luar tanpa dia.”

Leander terkekeh lagi.

* * *

Semuanya berawal dari batalnya Letta memesan ojek online, dan setujunya ia untuk menunggu Leander datang menjemput sambil menonton keluarga Handoyo berlatih menari.

Pasangan Handoyo-Sarita dan Wulan-Dika kembali menarikan Gatotkaca Gandrung. Dan tatapan Letta lebih banyak jatuh pada Dika. Laki-laki itu terlihat cukup menguasai semua gerakannya.

“Bu Letta bisa menari?”

Letta sedikit tersentak mendengar pertanyaan Rahardian. Ia kemudian menjawabnya dengan gelengan kepala dan wajah tersipu.

“Tapi saya suka melihatnya,” sambungnya.

Rahardian tersenyum.

“Pa, aku nanti mau latihan juga,” Kana tiba-tiba nimbrung dengan nada manja.

“Boleeeh...,” jawab Rahardian dengan nada sabar sambil mencubit lembut ujung hidung putri bungsunya itu.

Tanpa malu-malu, Kana kemudian bersiap untuk menari begitu latihan orang dewasa usai. Dengan sabar, Mala membantu Kana memakai kain panjang batik. Letta menatap dengan takjub ketika Kana dengan gesit menuju ke rak tempat perlengkapan latihan tari di salah satu sudut pendopo dengan langkah cepat dan pendek-pendeknya.

Tiba-tiba saja Letta merasa tersedot masuk ke sebuah lorong. Bayang-bayang acak berkelebat liar di depan matanya. Pendopo itu seolah membesar. Dan Kana berubah menjadi sosok lain yang serupa. Tanpa sadar Letta menggumam, “Ba Uan...

Suara lirih yang membuat sekelilingnya tenggelam dalam hening.

* * *

“Mamam benar,” Alex menepuk bahu Leander sambil duduk di sebelah anak sulungnya itu. Bersila di atas rerumputan di tepi kolam ikan koi. “Bicaralah padanya.”

Leander menoleh sekilas sebelum tatapannya kembali ke arah kolam. Dihelanya napas panjang.

“Aku tak mau mengemis apa-apa, Pap,” gumamnya kemudian.

“Bertanya apa yang sebenarnya terjadi itu sama sekali bukan bentuk mengemis, Lean. Itu hakmu, untuk memperoleh jawaban.”

“Kalau jawabannya adalah sesuatu yang tak kuinginkan?” Leander kembali menoleh sekilas.

“Maka di situlah kebesaran hatimu diuji. Kebesaran hati untuk memaafkan dan melepaskannya.”

Leander kembali tercenung.

Melepaskannya? Setelah semua yang kualami dan kurasakan? Setelah aku bertekad untuk menjadikannya pelabuhan terakhirku?

Belum apa-apa, ia sudah merasa bahwa ia tak akan sanggup menjalaninya. Memikirkannya saja sudah membuat perutnya seperti terkena hantaman sekarung pasir.

“Perlu waktu untuk bersiap diri menghadapi ujian itu, Pap,” ucap Leander lirih.

“Hm... Tapi Papap rasa kamu sudah berpikir terlalu jauh,” Alex menyenggolkan lengannya ke lengan Leander.

Benarkah?

Leander mendegut ludah. Dan bila ia berpikir terlalu jauh, itu artinya...

Aku membuang waktu dan tenaga untuk suatu hal yang seharusnya tak perlu? Hm...

Diam-diam rahang Leander mengetat.

Tapi mataku belum rabun!

* * *

Pelan-pelan Letta menarik keluar sebuah kotak besar dari bagian bawah lemari pakaiannya. Di dalam kotak itu ada semua map yang berisi dokumen-dokumen penting yang dimilikinya. Dari dalam sebuah map berwarna putih, ditariknya sehelai akta kelahiran. Dibacanya baik-baik akta itu.

Ia kemudian mencari ponselnya di dalam tas, kemudian menghubungi seseorang. Perlu waktu beberapa detik sebelum ada sahutan dari seberang sana.

“Ya, Let?”

“Mas Drian... Lagi di mana?”

“Masih di show room. Kenapa, Let?”

“Sibuk?”

“Enggak. Mungkin sebentar lagi pulang.”

“Bisa ke rumahku?”
                                           
“Bisa. Sekarang? Kamu sakit?”

“Enggak. Tapi kalau bisa, sekarang juga Mas ke sini. Penting!”

“Oh, oke, oke. Tunggu, ya?”

Letta kembali menatap lembaran di tangannya itu. Jelas sekali akta itu bertuliskan nama Violetta Keisha Darmawan. Sebagai anak yang sah dari pasangan Yoga Darmawan dan Indah Kartika. Dengan dahi berkerut, Letta membawa lembar akta kelahiran itu ke ruang tamu rumahnya.

* * *

Sarita dan Handoyo saling menggenggam tangan. Duduk berdampingan di atas sofa ganda di dalam ruang tamu mungil itu. Mata keduanya berkeliling. Menatap satu per satu berbagai foto yang tergantung di dinding ruangan itu. Berbagai ekspresi wajah Letta yang membuat hati keduanya bergetar.

Bukti fisik sudah berkata, bahwa Letta adalah Kara mereka yang hilang. Pun perasaan yang tak bisa berbohong. Tapi kata tanya ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’ masih belum menemukan jawabannya. Begitu juga rasa terkejut yang amat sangat masih membuat sekat itu belum tercerabut sepenuhnya.

* * *

Letta tercenung. Menatap ke satu arah. Kana. Orang-orang yang duduk di sekitarnya tidak menyadari hal itu. Hingga gumaman Letta meluncur lirih, “Ba Uan...

Nyaris tak terdengar. Tapi sanggup membuat telinga empat orang di sekitarmya bagai tersambar petir. Handoyo, Sarita, Dika, dan terutama Wulan. Perempuan berusia 37 tahun itu sampai terlonjak dari duduk lesehannya. Secepat kilat menoleh ke arah Letta. Hening sejenak sebelum ia memecahkannya.

“Apa kamu bilang?” tangan Wulan terulur, menjangkau bahu Letta.

Letta terlihat tersentak kaget. Tatapannya terlihat linglung. Bingung karena semua tatapan tertuju padanya.

“Apa?” Letta mengerutkan kening.

“Yang kamu ucapkan baru saja,” tatapan Wulan terlihat menuntut.

Wajah Letta terlihat tegang. Ia tahu apa yang ia ucapkan. Tapi tak tahu kenapa ia mengucapkannya.

Ba Uan,” ulangnya dengan nada mengambang.

Mata Wulan dipenuhi genangan bening. Pelan ia mengulurkan kedua tangannya, meraih bahu Letta yang masih serupa orang kehilangan kesadaran. Dan tanpa bisa dicegah, Wulan memeluk Letta. Erat. Sepanjang hidupnya, hanya seorang saja yang sering mengucapkan kata itu.

“Ka-ra...,” isak Wulan. “Kamu Kara. Aku tahu kamu Kara. Hanya Kara yang tahu Ba Uan. Ini Mbak Wulan, Kara... Ini Mbak Wulan. Ba Uan-mu...”

Lalu semuanya terangkai begitu saja dalam benak Letta. Pendopo besar, kebun yang rimbun dan sejuk, sosok seorang anak berlatih menari Bondhan, puding coklat dengan setup buah.

Letta mengerjapkan matanya. Tubuh kakunya perlahan mengendur. Dibalasnya pelukan Wulan, dan tiba-tiba saja suasana rumah yang hilang sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya dirasakannya kembali.

Sarita dan Handoyo berusaha untuk menata hati, walau emosi itu terasa mencekam. Dika hanya terhenyak tanpa bisa berkata. Sementara itu, Mala memilih untuk menyingkir. Menggandeng tangan Kana untuk menjauh dari tempat itu.

Ketika keadaan menjadi lebih tenang, dengan Letta masih terlihat agak linglung, Sarita segera menggandeng tangan Letta untuk masuk ke dalam rumah. Handoyo, Wulan, dan Dika mengiringi dari belakang dalam diam. Sedangkan Rahardian memilih untuk menepi sejenak, mengajak anak-anaknya pulang ke rumah mereka sendiri.

Sesampainya di dalam rumah, Sarita mendudukkan Letta di sofa panjang, dan ia menempatkan diri di sebuah sofa tunggal, di samping kanan depan Letta. Tangan Letta digenggamnya. Ditatapnya Letta dengan cukup tenang, walau tak urung suaranya bergetar ketika bicara pada Letta dengan suara lirih dan lembut.

“Nak, boleh Ibu bertanya?”

Letta hanya mengangguk tanpa suara.

“Apakah kamu punya tanda lahir oval berwarna coklat tua di pinggang kiri?”

Letta mengerutkan kening sejenak sebelum mengangguk.

“Juga di perut bawah, di dekat paha kanan? Kecil, dengan bentuk tak beraturan?”

Letta tak perlu berpikir untuk menggerakkan kepalanya. Mengangguk. Karena ia memang memilikinya.

“Boleh Ibu melihatnya? Yang di pinggang saja.”

Letta menatap Sarita. Dari dalam matanya, terlompat sebuah persetujuan. Sarita segera menarik tangan Letta, dan membimbingnya ke kamar. Wulan mengikuti dari belakang.

Dan di dalam kamar tertutup itu, setelah melihat tanda lahir yang dimiliki Letta di pinggang kiri, Sarita menangis sambil memeluk dan menciumi Letta.

“Kamu Kara...,” bisiknya terbata. “Kara-ku... Akhirnya aku menemukanmu...”

Air mata Letta meleleh tanpa bisa dicegah. Sesungguhnya pikirannya kosong. Ia tak benar-benar tahu apa yang terjadi, apa yang ia rasakan, dan apa yang harus ia lakukan. Tapi ketika Sarita memeluknya erat, tangan Letta pun terangkat. Balas memeluk Sarita. Dan Wulan pun turut serta di dalamnya.

Setelah terasa cukup rindu itu diluapkan, Sarita pelan-pelan mengurai pelukannya. Dirangkumnya wajah Letta dalam kedua telapak tangannya. Dan ia kembali menangis ketika cahaya itu didapatinya berkilat dalam mata Letta.

Kerinduan.

Jadi di sanalah semua perasaan dekat itu bermuara. Karena mereka bukan orang lain yang asing.

* * *

Handoyo hanya bisa duduk diam sambil menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Dika menatap ekspresi Handoyo dengan hati tercabik.

Baru beberapa malam lalu ia mendapati Handoyo tengah duduk sendirian di gazebo. Handoyo tak mengetahui kehadiran Dika, yang bergerak tanpa suara dalam gelap. Dan dari tepatnya berdiri, Dika dengan jelas melihat Handoyo beberapa kali mengusap matanya. Menyusut air mata yang mengalir dalam hening.

Saat itu baru saja harapan mereka kandas. Kara yang mereka harapkan keberadaannya dalam kondisi apa pun ternyata bukan Kara mereka yang hilang. Sepatah apa hati ayahnya, Dika sangat memahami. Karena ia pun merasakan hal yang sama. Walaupun harapan itu masih ada.

Dan sekarang ekspresi itu ditemuinya lagi. Antara masih ingin berharap dan tidak. Antara masih ingin percaya dan tidak. Antara optimis sekaligus putus asa.

“Pak...,” Dika duduk di sebelah Handoyo.

“Bapak tidak apa-apa,” gumam Handoyo. “Masih ada kamu, Wulan, Dian, Mala, dan Kana. Lagipula...”

Ucapan Handoyo terputus karena pintu terbuka. Kedua tangan Sarita erat memegang dua bahu Letta. Lalu tatapannya bertemu. Dengan tatapan Letta. Dan bisikan itu sudah menjelaskan semuanya.

“Bapak...”

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja Letta sudah berada dalam pelukan Handoyo. Pelukan paling hangat yang pernah dirasakan Letta selain pelukan almarhum ayahnya. Dan setelah pelukan itu terurai, Dika meraih bahu Letta dengan sangat lembut.

Letta kemudian berpindah padanya. Tenggelam dalam pelukan hangat yang sungguh terasa nyaman dan menenangkan. Dan lengannya balas melingkar di sekeliling pinggang Dika.

“Dulu...,” bisik Dika dengan suara bergetar, “kamu selalu mencariku kalau kamu menangis. Dan aku akan memelukmu sampai tangismu habis. Bertahun-tahun aku merindukan peran itu. Sekarang...”

Dika melonggarkan sedikit pelukannya. Letta menengadah sedikit. Saat itu, kecupan Dika mendarat di keningnya. Ia memejamkan mata. Dan ia merasa seolah seluruh sisi kehidupannya yang terkadang terasa kosong jadi penuh terisi kembali.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

9 komentar:

  1. wow ... keren bgt bu lizz .. sampe nangis bombay ini..

    BalasHapus
  2. Tegoe mba Lis gae crito ngene.
    Garai misek" ae hyuuuuh .....

    BalasHapus
  3. Jadine koyok ngene toh mbak.... apiikkk tenan pake bingits. Mewek ndik opis, jaannn Mbak'e iki lho

    BalasHapus
  4. 😭😭😭😭berasa jadi letta nangis juga bacanya hehe

    Keren bangett

    BalasHapus
  5. Yes. Tebakanku benar. Letta is Kara. :-)

    Tapi yg masih bingung kenapa bisa terpisah en berganti identitas itu yang masih jadi misteri.

    BalasHapus
  6. Jangan-jangan Mamanya Drian itu... pembantunya keluarga Handoyo?

    BalasHapus