Senin, 24 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #14-1










* * *


Empat Belas


Malam menghening. Makin larut. Grandy terpekur sambil duduk bersila di atas tempat tidur. Beberapa hari ini menjadi saat-saat yang sungguh melelahkan baginya. Kini ujung dari bimbangnya sudah benar-benar final. Sudah tidak ada yang bisa mengubahnya lagi.

Besok, hari Senin, adalah hari besar baginya. Hari di mana ia akan mulai menapaki kehidupannya sebagai konsekuensi dari keputusan besar yang sudah diambilnya. Kali ini semuanya sudah bulat. Dan ia sungguh berharap keputusannya tidaklah salah.

Ketika ia membaringkan tubuhnya, bayang-bayang harinya belakangan ini seolah menjelma menjadi kilasan-kilasan film pendek yang berkelebatan di depan mata. Lalu semuanya berujung pada saat-saat terakhirnya di Bandara Soekarno-Hatta.


Ia sudah selesai melakukan boarding. Tinggal menunggu jadwal penerbangannya yang kurang dari satu jam lagi. Setelah duduk diam selama beberapa lama dan mengamati segala kesibukan di sekelilingnya, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku kemeja.

‘Hai!’ tulisnya. ‘Aku sudah ada di bandara. Siap mengudara ke Tokyo.’

Tak lama kemudian balasannya tertera di layar. ‘Sungguh-sungguh kembalikah, Grandy-san?”

‘Ya, Sachiko-chan. Aku sudah memutuskan.’

‘Senang sekali mendengarnya! Tapi bagaimana dengan gadis kecilmu dan ibunya itu?’

‘Mereka akan baik-baik saja.’

‘Yakin?’

‘Ya.’

‘Baiklah. Kami menunggu kedatanganmu.’

‘Sampai jumpa, Sachiko-chan.’

‘Sampai jumpa, Grandy-san.’

Grandy menghela napas.

Gadis kecilku...

Ingatannya kembali pada sosok Qiqi. Gadis mungil dengan wajah sedih berurai air mata mengiringi kepergiannya. Betapa Qiqi sudah berusaha keras untuk menangis tanpa suara.

Kalau ia ditanya, sebesar apa cintanya pada Qiqi, mungkin sebesar cinta ayah mana pun di dunia ini terhadap putrinya. Kenyataan bahwa selama bertahun-tahun ia meninggalkan Qiqi, hanya bertemu pada waktu tertentu saat ia kembali ke Jakarta, tidak pernah mengurangi rasa sayang dan cinta itu.

Dan Mai...

Ketegaran perempuan muda itu sudah berhasil menggantungkan sekat yang begitu tinggi mengelilingi. Sekat yang transparan, tapi sungguh-sungguh terasa membatasi. Membuat Grandy bisa tetap mendekati Mai dan Qiqi, tanpa bisa melangkah lebih jauh lagi. Karena Grandy khawatir, bila sekat itu diterjangnya, maka akan ada sekat baru yang lebih tebal dan tidak tembus pandang. Sekat yang justru akan membuatnya kehilangan Mai dan Qiqi.

Kembali dihelanya napas panjang. Dan ucapan terakhir Qiqi tadi seolah memenuhi benaknya. Terngiang tanpa jeda di telinganya. Gemanya membuat hati seolah dirajam ribuan batu tajam.

“Om, jangan pergi...”

Grandy mengerjapkan matanya yang basah beberapa kali. Disusupkannya telunjuk dan ibu jari di belakang kacamata. Menyeka genangan bening yang kembali berkumpul di ujung dalam kedua matanya.

Dan Grandy menegakkan punggungnya ketika mendengar bahwa penumpang pesawat Garuda menuju ke Bandara Narita dipersilakan untuk bersiap menuju ke pesawat. Ia berdiri, meraih ransel berukuran sedang – satu-satunya barang yang dibawanya selain tas berisi dokumen penting, kemudian melangkah ke arah antrean di depan gerbang keberangkatan. Dengan suara lirih Qiqi masih terus terngiang di telinganya.


Grandy mengerjapkan matanya yang sudah mulai berat.

Dan di sinilah aku sekarang...

Ia menguap sambil memejamkan mata. Sekarang juga ia harus benar-benar beristirahat agar esok hari dilaluinya tanpa kesalahan. Dan ia pun mulai terlena dibuai alam mimpi.

* * *

Senin pagi menjelang pukul enam, Ares, Winda, dan Dira sudah mengetuk pintu rumah Mai. Sesuai dengan yang sudah disepakati hari Sabtu sebelumnya, ketiganya akan membantu Mai mengurus perayaan ulang tahun Qiqi di sekolah. Bahkan, Ares sudah mengajukan cuti mendadak sehari ini.

Tapi rencana yang sudah dimatangkan pada hari Sabtu itu mendadak harus berubah. Rama yang sedianya pagi ini kebagian mengantar Qiqi ke sekolah, harus ke Tangerang. Meninjau kondisi pabrik yang terkena imbas kebakaran pabrik lain di sebelahnya semalam. Dan ia sudah berangkat pukul lima tadi. Menjelang siang nanti dari Tangerang, ia akan langsung ke sekolah Qiqi.

Sementara itu, sepeninggal ayahnya, Mai mendapat telepon dari Lila, pembuat kue ulang tahun, bahwa Lila harus ke Bogor pagi ini juga. Ibu mertuanya masuk ICU. Jadi Lila tidak bisa mengantar pesanan langsung ke sekolah. Harus Mai sendiri yang mengambilnya ke rumah Lila.

Sambil menikmati sarapan, mereka berempat merundingkan lagi hal itu. Di tengah berlangsungnya diskusi, tuan putri yang tengah berulang tahun muncul dari dalam kamar. Sudah segar, cantik, dan rapi dalam balutan seragam sekolahnya. Wajahnya menjadi cerah melihat Ares, Winda, dan Dira sudah hadir juga di meja makan. Ketiga orang itu berebutan mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Dan Mai segera menggiring Qiqi ke kursi makan, untuk menyelesaikan acara sarapan secepatnya.

“Aku saja yang antar Qiqi ke sekolah,” celetuk Ares tiba-tiba. “Aku tadi bawa mobil, kok. Kalian bereskan yang lain.”

“Dira biar ikut Mas Diaz,” timpal Winda, begitu melihat ada celah.

Dan Mai buru-buru mendukung ucapan Winda. “Oke, Om Diaz dan Tante Dira antar Qiqi ke sekolah,” Mai menatap Qiqi. “Mama, Tante Winda, Nenek, dan Mbak Yayah bereskan urusan perayaan ulang tahun Qiqi. Bagaimana?”

“Kan, Kakek yang mau antar Qiqi, Ma?” mata Qiqi bulat menatap Mai.

“Kakek harus ke Tangerang sebentar, sayang,” jawabnya sabar. “Dari Tangerang, nanti langsung ke sekolah. Kakek juga nggak mau ketinggalan makan kue ulang tahun Qiqi.”

Qiqi meringis lucu.

* * *

Perayaan ulang tahun yang berlangsung selama satu jam menjelang berakhirnya jam belajar itu berlangsung dengan meriah. Badut panda lucu yang disewa Mai membuat binar di mata Qiqi bertambah karena kepiawaiannya bermain sulap. Semuanya ceria. Semuanya gembira. Dan segala kerumitan yang sempat terjadi pada pagi harinya seolah terbayar lunas.

Ketika jam belajar usai tepat pukul dua belas, Bu Ridha membariskan murid-muridnya yang semuanya berwajah gembira. Satu-satu mereka keluar dari kelas dengan menenteng sebuah goody bag cantik berisi bingkisan dan paket snack, dan sebuah kantung plastik berisi nasi kotak dan cupcake. Setelah kelas sepi, Mai dan pasukannya membereskan kekacauan yang ditinggalkan oleh perayaan itu.

“Bu Mai, saya pamit dulu,” ucap badut panda yang sudah membuka kostumnya.

“Oh, iya, Mas. Terima kasih banyak, ya?”

Dan Mai membekalinya dengan beberapa kotak nasi dan kue khusus. Tak lupa disisipkannya selembar amplop berisi tips ke tangan pelakon badut itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Bu Ridha kembali ke kelas. Mai mendekatinya. Agak jauh dari yang lain.

“Bu, saya nanti titip kotak-kotak itu buat semua guru dan karyawan, ya? Nanti biar dibawakan omnya Qiqi ke ruang guru. Pak Satpam sudah ada jatahnya sendiri,” ucap Mai.

“Terima kasih banyak, Bu Mai,” senyum Bu Ridha. “Oh, ya, omnya yang sering antar Qiqi itu, benar kembali ke Jepang? Tadi pagi Pak Diaz sempat cerita ketika saya tanyai.”

“Iya, Bu,” jawab Mai lirih. “Untungnya, jauh hari saya sudah merencanakan untuk merayakan ulang tahun Qiqi seperti tadi. Jadi Qiqi bisa sedikit terhibur, tidak terlalu sedih lagi.”

“Bu Mai punya banyak teman yang baik,” senyum Bu Ridha. “Karena Bu Mai orangnya juga sangat baik. Saya doakan yang terbaik juga untuk Qiqi dan Bu Mai.”

“Terima kasih banyak, Bu,” ucap Mai tulus. “Saya juga berterima kasih karena sekolah dan juga Ibu sudah banyak membantu Qiqi.”

“Sama-sama. Sudah jadi tugas kami, Bu Mai.”

Dan setelah semuanya bersih, Bu Ridha memanggil dua orang OB untuk membantu Ares mengangkat dos besar berisi nasi kotak dan kue ke ruang guru. Mereka kemudian berpamitan. Di depan gerbang sekolah, rombongan itu berpisah. Rama dan Hening menuju ke SUV Rama. Mai dan Qiqi menuju ke mobil Mai. Ares, Winda, dan Dira menuju ke mobil Ares.

Tapi sebelum Mai menekan pedal gas, kaca jendela sebelah kiri ada yang mengetuk. Mai buru-buru menurunkan kaca jendela.

“Ya, Win?” Mai mencondongkan tubuhnya ke kiri.

“Mbak Mai, aku nebeng, dong...,” ucap Winda dengan wajah memelas. “Mobil Mas Diaz penuh kado buat Qiqi. Aku nggak kebagian tempat.”

Mai tergelak sejenak sebelum membuka pengunci pintu mobilnya.

“Ayo!” serunya kemudian.

Dan sepanjang perjalanan dari sekolah ke rumah, Qiqi ramai berceloteh. Mengulas segala hal menarik tentang perayaan ulang tahunnya baru saja. Dan semua itu membuat hati Mai ikut bernyanyi. Sesekali Winda menimpali. Dan mereka bertiga tergelak riang.

Ketiga mobil itu akhirnya beriringan merapat, menepi di depan rumah Rama dan Mai. Mereka kemudian sibuk menurunkan dos berisi makanan sisa pesta dan juga kado-kado untuk Qiqi yang diperoleh dari teman-temannya, dan kemudian mengumpul di teras rumah Mai.

“Yaaah...,” Rama mengetuk pintu yang belum juga dibuka Yayah dari dalam. “Ke mana anak itu?”

“Yaaah!” Mai ikut berseru. “Yayaaah!”

Beberapa saat kemudian, setelah beberapa kali ketukan lagi, bahkan sudah hampir menyerupai gedoran, barulah pintu itu terbuka. Mereka menyerbu masuk dan...

SURPRISE!!!

Mai dan Qiqi yang mendahului masuk seketika ternganga.

Ruang tamu rumah mungil mereka sudah dipenuhi aneka balon warna-warni yang dirangkai dan ditata dengan begitu cantik. Meja dan kursi sudah digeser ke arah dinding. Dan di tengah ruangan itu sudah ada sebuah meja kecil lengkap dengan taplak berenda berwarna merah jambu dan kue ulang tahun besar di atasnya. Lengkap dengan lilin berbentuk angka 8 yang belum dinyalakan. Senyum lebar Satya dan Amey menyambut mereka.

Tapi ada yang lebih penting dari semuanya itu. Setidaknya di mata Qiqi.

Sepasang lengan kokoh sudah terkembang. Siap untuk merengkuhnya.

Qiqi pun berlari kencang menubruk pemilik lengan kokoh itu, yang berlutut tak jauh di depannya. Ketika ia sampai, pelukan erat dan hangat segera saja menenggelamkan tubuh mungilnya. Dengan lengan kanan, Qiqi memeluk leher laki-laki itu. Erat. Seolah tak ingin melepaskannya lagi.

“Om Grandy...,” bisiknya sambil menyusupkan kepala ke leher laki-laki itu.

* * *

Selanjutnya

Ilustrasi : www.homemadehomeideas.com

16 komentar:

  1. Waaaahhhhh????? Bang Grandy mulih nang Jakarta malihhhh????? Saya suka, saya suka.... Teopebegeteh pake bingits. Maacih storynya.... πŸ˜πŸ˜˜πŸ˜šπŸ€—

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama... 😘😘😘
      Nggak mulih, memang nggak sido budhal 😝

      Hapus
  2. Yesss!!! Semoga sesuai harapanku, hehehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih, Bu Ninik... 😘😘😘

      Hapus
  3. Ouch !
    Aq melelehhhhhh .....
    Mb Liiiisssss tego soro garai pembaca kejang" baper.
    Gemeeeeessss !!!!

    BalasHapus
  4. 😭😭😭😭😭menangis bahagia happy birthday qiqi 😘😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasiiih... 😘😘😘

      Hapus
  5. Aku nggak dapat undangannya, kok? Tapi biarlah. Yang penting Qiandra bahagia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang dapat undangan cuma yang seumuran kelas 2 SD 😚😚😚

      Hapus
  6. Asyiiiikkk... request-ku dibaca oleh penulisnya. Semoga untuk selamanya Grandy berada di sisi Mai en Qiqi. Aamiin... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Penulisnya tutup mata terhadap segala request pembaca 😁😁😁

      Hapus