* * *
Sepuluh
Laki-laki itu tak mengatakan apa-apa...
Ares membuka lebar-lebar pintu balkon apartemennya sore itu. Membiarkan angin membawa masuk suara gemercik rintik hujan beserta segala kesegarannya. Ares menarik kursi malasnya hingga berada tepat di depan pintu. Sambil menyesap segelas coklat hangatnya, ia duduk bersandar meluruskan kaki. Menatap lukisan alam yang terbingkai kusen pintu balkon.
Tapi jelas kelihatan dia mencintai Rara dan Qiqi...
Ia meneruskan pikirannya. Matanya mengerjap sesekali. Terutama bila dengan jelas ia menangkap kilatan cahaya menyambar langit kelabu pekat di kejauhan. Kemudian diiringi suara menggelegar yang terkadang memekakkan telinga.
Dan Rara...
Ares menghela napas panjang.
... terlalu rendah diri. Bahkan hanya untuk meminta laki-laki itu agar tetap tinggal.
Digelengkannya kepala berkali-kali. Coklat hangat di dalam cangkir di tangannya perlahan mendingin. Seiring dengan makin menggelapnya langit ketika senja makin tua. Ketika tetes terakhir coklat itu sudah lolos meluncur ke dalam kerongkongannya, Ares pun bangkit dan menutup pintu balkon. Membiarkan tetes-tetes hujan tetap bebas bermain dan bersuara di luar sana.
* * *
“Ma... Ma... Om Diaz itu baik juga, ya?” celetuk Qiqi sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Mai menghentikan gerakan tangannya sejenak. Batal memindahkan sesendok besar capcay ke dalam piringnya. Ditatapnya Qiqi dengan senyum terulas tipis di bibir.
“Memang baik,” jawab Mai, sambil kembali melanjutkan gerak tangannya. “Karena itu, Mama suka berteman dengannya.”
“Hm...,” Qiqi mengangguk-angguk sejenak.
“Kamu tadi sudah belajar?”
Qiqi mengangguk dengan mulut terlihat penuh.
“Setelah ini mau latihan piano lagi sama Kakek?”
Qiqi kembali mengangguk.
“Baiklah,” senyum Mai melebar. “Kakek bilang sama Mama, Kakek senang sekali karena kamu rajin berlatih.”
“Eh, Ma, kata Om Grandy, aku disuruh latihan nyanyi juga. Kata Om, suaraku bagus.”
“Hm...,” Mai mengangguk-angguk. “Kamu lebih suka main piano atau menyanyi?”
“Ng...,” Qiqi meringis lucu. “Dua-duanya, sih...”
Mai tertawa ringan. Tapi ia mengangguk juga.
“Oke, nanti kita omongin lagi soal itu, ya? Sambil Mama coba cari info soal guru vokal yang oke,” Mai mengedipkan sebelah mata sambil mengacungkan jempol.
Qiqi tersenyum lebar.
Beberapa menit kemudian gadis mungil itu sudah menyelesaikan makan malamnya, lalu berpamitan pada Mai untuk pergi berlatih piano ke rumah sebelah. Dan tak butuh waktu lama bagi Mai untuk mulai mendengar sayup-sayup denting piano yang sudah berirama teratur. Dihelanya napas panjang.
Berlatih vokal, ya?
Mai mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk kanan ke atas meja. Tanpa sadar mengikuti ketukan piano yang tertangkap oleh telinganya.
Sebenarnya sudah sejak lama ia menyadari bahwa Qiqi mampu bernyanyi tanpa keseleo nada fals. Hanya saja ia belum berani memanjangkan pikirannya tentang itu. Ia khawatir memberatkan Qiqi. Apalagi perlu usaha lebih bagi Qiqi untuk berlatih menjadi anak yang bisa mengurus kebutuhan dasarnya sendiri dalam kondisi khusus seperti itu.
Tanpa pikir panjang, Mai kemudian mengambil ponsel dari saku celana capri-nya. Tepat saat itu, Yayah muncul dari arah belakang.
“Sudah selesai makannya, Bu?” bisik Yayah.
Mai mengangguk dengan telepon sudah menempel di telinganya.
“Kamu sudah makan?” balasnya dengan berbisik pula.
Yayah menggeleng. “Baru selesai menyeterika.”
“Makan dulu.”
Yayah mengangguk sambil meringkas semua piranti makan malam bekas pakai di atas meja.
“Ya, halo,” Mai menegakkan punggungnya ketika terdengar jawaban bernada hangat dari seberang sana.
* * *
Grandy tak canggung untuk membantu Amey membersihkan meja bekas makan malam mereka berdua. Satya belum pulang dari praktiknya. Biasanya, kalau tak ada Grandy, Amey lebih memilih untuk makan bersama para asuhannya di rumah sebelah.
Ketika Grandy membawa tumpukan piring ke dapur, ponselnya yang tergeletak di atas meja berbunyi nyaring. Amey menyusulnya.
“Sudah, biar Kus saja yang bereskan sisanya,” ucap Amey. “Urusi dulu ponselmu itu.”
Grandy mengangguk sambil kembali ke ruang makan. Diraihnya ponsel yang masih bernyanyi minta diperhatikan itu. Matanya melebar begitu melihat nama yang tertera di layar.
“Halo, Mai,” jawabnya hangat, sambil melangkah ke ruang tengah.
“Ya, halo. Maaf, Bang, aku ganggu Abang.”
“Enggaaak...,” Grandy menjatuhkan badannya di atas sofa panjang di seberang televisi. “Ada apa, Mai?”
“Mm... Abang pernah bilang sama Qiqi kalau suaranya bagus dan dia perlu latihan menyanyi?”
“Oh, iya, iya. Baru tadi kubilang. Waktu kita jalan ke resto pizza tadi. Dia nyanyi-nyanyi. Kelihatannya gembira betul. Dan beneran, Mai, suaranya bagus banget, lho! Bening.”
“Iya, sih. Sebetulnya aku sudah menyadarinya sejak lama. Cuma aku berpikir bahwa kebanyakan les bisa memberatkan Qiqi. Tapi kelihatanya dia berminat sekali untuk urusan menyanyi ini. Enaknya gimana, ya, Bang?”
“Coba kamu ngobrol sama Qiqi dulu, Mai. Kalau aku pribadi, sih, rasanya sayang kalau dia punya potensi tapi kurang dikembangkan. Tapi, ya, kamu ibunya. Tahu apa yang lebih baik buat Qiqi.”
“Hm... Ini aku sudah kepikiran cari info guru vokal yang bisa dan biasa menangani anak kecil.”
“Coba nanti aku tanya Mama, Mai. Kayaknya Mama punya banyak kenalan yang bisa melatih vokal.”
“Jangan sampai soal ini merepotkan Abang, ya...”
“Aduh, Mai! Kamu ini apa, sih? Nggak akan pernah merepotkan. Kan, sudah berkali-kali aku katakan seperti itu. Ayolah...”
“Hehehe... Iya, Bang. Ya sudah, Bang. Terima kasih banyak, ya?”
“Iya, sama-sama. Eh, Qiqi ada?”
“Lagi latihan piano sama Ayah di sebelah.”
“Oh... Oke, deh! Salam buat Qiqi, Om, dan Tante, ya?”
“Iya, Bang. Selamat malam, selamat istirahat.”
“Sama-sama, Mai.”
Grandy menurunkan ponselnya dari depan telinga begitu mendengar nada putus dari seberang sana. Ia menoleh ketika Amey datang dari arah dapur sambil membawa satu stoples besar penuh berisi pop corn. Grandy tertawa melihatnya. Ia segera bangkit dan mengambil alih nampan berisi minuman dari tangan Kus yang membuntuti langkah Amey.
“Terima kasih, Mbak Kus,” senyum Grandy.
Amey langsung menyodorkan stoples yang dipegangnya pada Grandy. “Kesukaanmu. Kayak ABG saja.”
Tawa Grandy pecah seketika. Ia kemudian mencium pipi Amey dengan gemas, disambut dengan tawa meriah Amey. Dan momen seperti itulah yang selalu membuat Grandy merasa rindu untuk pulang.
“Mai?” tanya Amey sambil menjatuhkan diri di sebelah Grandy.
Grandy mengangguk.
“Qiqi nggak kenapa-napa, kan?”
“Enggak,” Grandy menggeleng. “Dia cuma minta pendapat soal kemungkinan Qiqi berlatih vokal. Lagipula memang aku yang bilang ke Qiqi kalau suaranya bagus, Ma.”
“Hm... Seusia Qiqi memang harus banyak diisi sesuai minatnya. Bukan dipaksa, ya? Tapi semua hal positif yang dia suka harus didukung.”
“Iya,” Grandy mengangguk. “Mama ada teman guru vokal yang biasa menangani anak kecil, begitu?”
“Hm... Ada... Ada...,” Amey mengangguk-angguk. “Coba nanti Mama tanya apakah dia masih punya waktu kosong.”
Grandy mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan merengkuh bahu Amey dan mendaratkan kecupan ringan di pipi kiri Amey.
* * *
Nirwan tertunduk dalam-dalam. Diam tak berkutik di bawah tatapan tajam Willem dan Hanna, kedua orang tua Maika. Gadis itu sendiri entah ke mana. Tak hadir di ruang tamu keluarga Willem.
“Maika sudah ceritakan semuanya pada Mama dan Papa,” kelihatan sekali Willem berusaha keras menekan suaranya agar tetap terjaga rendah. “Bagaimana hal ini bisa terjadi, Nirwan?”
Nirwan mendegut ludah sebelum mengungkapkan semuanya dengan suara lirih dan terbata-bata. Berkali-kali Willem dan Hanna menghela napas panjang. Menyesali kebodohan Nirwan di masa lalu itu.
“Maafkan saya,” ucap Nirwan, tertunduk makin dalam, mengakhiri ceritanya.
“Yang akan menikah itu Kika dan kamu,” ujar Hanna. “Dan Kika enggan meneruskan pertunangan denganmu ini. Bukan karena kamu sudah punya anak, Nirwan, tapi karena kamu sudah bersikap tidak jujur padanya dan kami. Juga karena kamu sudah begitu kejam dan tidak bertanggung jawab terhadap anakmu dan ibunya!”
Nirwan mendesah. Habis sudah!
“Dalam beberapa hari ini kami akan mengembalikan semua peningset yang sudah kamu dan keluargamu serahkan untuk Kika,” suara dingin Hanna kembali merajam telinga Nirwan. “Kalau keluargamu merasa tidak puas, silakan datang ke sini. Kita selesaikan semuanya baik-baik. Oh, ya, apa kedua orang tuamu sudah tahu soal ini?”
Dengan berat Nirwan menggeleng. Willem dan Hanna kembali menghela napas lega dan menatap Nirwan dengan sorot mata mencela.
“Ya, sudah, kamu boleh pergi,” putus Willem. “Aku tetap menerimamu bekerja di klinik. Karena secara profesional, kamu dokter gigi yang bagus.”
Nirwan benar-benar tak tahu harus menangis bergulingan di lantai karena kehilangan Maika, ataukah mengucap syukur sepenuh hati karena masih diijinkan memiliki pekerjaan.
* * *
Ilustrasi : www.rumahcom-asli.blogspot.com
Semakin seru mbak Lis....keren ceritanya..
BalasHapusMakasih banyak, Mbak Bekti... 😘
HapusMb Liiiiissssss !!!!
BalasHapusBeber tenda kemping maning.
Lope" full !
😍😍😍😘😘😘
HapusAku vote Grandy ah. #eh?!
BalasHapusHihihi... 😁
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusKasihan juga nirwan ☺️
BalasHapusTapi lebih suka ares yg kalem hehhe
Hihihi... 😁
HapusAkhirnya... Terbit juga!!!
BalasHapusYup! 😊
Hapus