* * *
“Om Diaz itu baik, ya?”
Qiqi langsung menghentikan nyanyiannya. Ia menoleh sekilas ke arah Grandy yang tengah mengemudi di sebelah kanannya.
“Baik,” angguk Qiqi.
“Sayang sama Qiqi, nggak?”
“Nggak tahu,” Qiqi menjawab dan menggeleng dengan polosnya.
Grandy tergelak ringan. “Kalau nggak sayang, kan, nggak bakal ajak kita makan pizza bareng.”
“Hm...,” Qiqi manggut-manggut. “Qiqi tahunya Om Grandy sayang sama Qiqi.”
Tangan kiri Grandy mengelus lembut kepala Qiqi. Lehernya terasa sedikit tercekat.
Mereka sedang dalam perjalanan dari sekolah Qiqi menuju ke mall terdekat. Qiqi memilih untuk ‘menemani Om Grandy biar nggak kesasar’, di dalam mobil Grandy yang membuntuti mobil Ares dengan Mai berada di dalam sana. Tak butuh waktu lama hingga mereka sampai ke area parkir di basement mall itu.
“Jangan turun dulu, Qi,” ucap Grandy sebelum keluar setelah memarkir mobilnya baik-baik.
Qiqi menurut. Ia sudah hafal kebiasaan dan alasan Grandy. Nanti akan membukakan pintu untuknya demi kemananan. Dan ketika pintu sudah terbuka, Qiqi segera meloncat keluar sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Grandy pun menekan tombol alarm mobil dan meraih tangan Qiqi. Menggandengnya erat. Keduanya kemudian menyeberangi basement ke arah Ares dan Mai yang baru saja mendapatkan tempat parkir di dekat pintu masuk mall.
* * *
“Terima kasih sudah menjaga Rara, Mas,” ucap Ares lirih, ketika Qiqi meminta Mai menemaninya ke toilet.
Grandy menggeleng. Tersenyum samar. “Dia menjaga dirinya sendiri. Aku hanya menemaninya saat aku bisa.”
Ares menyesap minumannya. Ditatapnya Grandy.
“Mas kenapa tidak menikahinya?”
Grandy melengak cepat. Seketika Ares merasa bahwa pertanyaannya terlalu lancang.
“Maaf, Mas,” gumamnya, sedikit tertunduk.
“Tidak apa-apa,” Grandy kembali menggeleng sambil tersenyum samar. “Aku merasa bahwa kesibukanku bisa membuat Mai dan Qiqi terabaikan, Di. Aku punya banyak mimpi. Salah satunya adalah belajar bedah syaraf ke Jepang. Dan profesorku di sana sudah memintaku untuk membantunya selama beberapa tahun sebelum aku benar-benar kembali ke sini. Aku belum memutuskan. Salah satu alasanku untuk tetap tinggal di sini sebetulnya Mai dan Qiqi. Tapi...,” Grandy mengerjapkan mata dan menghela napas panjang. “Kalau ada laki-laki lain yang lebih baik dan lebih menyayangi Mai dan Qiqi, kenapa tidak?”
“Mas, saya belum...,” Ares berusaha menyergah.
“Aku tahu,” potong Grandy. “Semuanya perlu waktu. Dan waktumu masih sangat panjang. Yang aku yakini, kamu jauh lebih baik daripada mantan pacarnya yang kurang ajar itu.”
“Hm...,” Ares mengelus dagunya. Saat itu juga matanya menangkap sosok Mai dan Qiqi sudah kembali dari toilet. Ia buru-buru mengubah topik pembicaraan. “Sudah berapa lama Mas di Jepang?”
“Hampir enam tahun. Tapi kalau libur aku usahakan pulang ke sini. Supaya princess kecil ini nggak lupa sama omnya,” Grandy menepuk lembut kepala Qiqi yang sudah berada kembali di dekatnya.
Ares menangkap seluruh kejadian itu dan menarik sebuah kesimpulan. Kelihatannya langkahnya masih sangat jauh dan berat.
* * *
Mai menoleh sejenak ke jok belakang. Qiqi tampak tertidur pulas. Setelah acara makan pizza tadi, Ares mengajak mereka sejenak ke arena bermain. Qiqi tampak senang sekali. Dan kelihatannya, gadis kecil itu sudah merasa nyaman dengan kehadiran Ares. Kesempatan itu dipakai Grandy untuk undur diri dengan alasan sudah ada janji dengan temannya yang lain.
Dari kejauhan, ketiganya tampak seperti sebuah keluarga muda yang bahagia. Ares menikmati sekali gelak tawa Qiqi ketika mereka bermain bersama. Tak butuh banyak alasan bagi Ares untuk jatuh hati pada Qiqi.
Ia pula yang menggendong Qiqi kembali ke mobil ketika gadis kecil yang kekenyangan dan kelelahan itu sudah tidak bisa lagi menahan kantuknya. Dan kini, ia berusaha lebih berhati-hati mengemudikan mobil agar tidur Qiqi tidak terganggu.
“Mas Grandy itu kelihatannya sangat baik,” gumam Ares.
“Iya, banget,” Mai menoleh sekilas. “Saking baiknya, dia selalu lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri.”
“Sudah umur berapa, dia?”
“Tiga puluh tujuh. Dan sudah jadi dokter ahli bedah syaraf,” senyum Mai.
“Sudah lulus?”
“Sudah, tapi masih banyak urusan. Jadi dia masih akan kembali ke sana lagi.”
“Kamu tidak bisa memintanya untuk tinggal, begitu, Ra?”
Mai seketika tercenung.
Memintanya untuk tinggal? Lha, aku ini siapa baginya?
Ia kemudian menggeleng, “Aku nggak berhak, Di. Dia sudah berbuat terlalu banyak dan terlalu baik bagiku. Aku sama sekali tak punya hak untuk menghalanginya meraih mimpi.”
Ares mengerjapkan mata. Suara Grandy terngiang lagi di telinganya.
“Yang aku yakini, kamu jauh lebih baik daripada mantan pacarnya yang kurang ajar itu.”
Ares menggeleng samar.
Entahlah...
* * *
‘Janji dengan temannya yang lain’ itu sama sekali tidak ada. Grandy hanya ingin pulang. Mengistirahatkan sejenak kepalanya yang seolah berasap. Jam sekian, mamanya masih sibuk dengan kegiatan sosialnya entah di mana lagi. Sedangkan papanya, selain sibuk berpraktek di beberapa rumah sakit, juga menjadi seorang dosen.
Dan seutuhnya Grandy menikmati keheningan yang diam-diam menulikan telinga di dalam kamarnya seperti ini. Ia berbaring di tengah ranjang. Dengan wajah cantik Mai dan Qiqi seolah bergantian bermain di matanya.
Salah satu alasannya untuk pulang adalah Mai dan Qiqi. Tapi ketika sudah ada laki-laki baik lainnya yang bisa menjaga Mai dan Qiqi, mendadak saja alasannya itu jadi terasa mentah. Dan Mai adalah perempuan terkuat yang pernah dikenalnya. Berani memasang badannya di depan untuk menghalangi badai menerjang Qiqi mungilnya.
Sedangkan Sachiko?
Grandy terlonjak tiba-tiba.
Astagaaa! Aku belum membalas pesannya!
Buru-buru Grandy meloncat dari kasurnya, menggapai ponsel yang tadi ia geletakkan di atas meja. Dengan cepat ia kemudian mengetikkan sesuatu.
‘Sachiko-chan, gomenne ima anata ni au. Boku ga daijyoubu desu. Zenbu mo yokatta ni natta. (Sachiko, maaf aku baru sempat mengabarimu sekarang. Aku baik-baik saja. Semua hal juga berjalan dengan baik di sini.)’
Send.
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawabannya.
‘Yokatta desyoune, Grandy-san. Ano onna no ko ha? (Lega sekali mendengarnya, Grandy. Bagaimana keadaan gadis kecilmu itu?)’
Grandy buru-buru membalasnya. ‘Ano ko ha genki yokatta. Motto yukuninarimashita. Saiking piano Ojiisan to benkyou suru ga atte. (Dia baik-baik saja. Makin pintar. Sekarang sedang belajar bermain piano bersama kakeknya.)’
‘Modoranai koto ha do demo wakatta yo. (Aku bisa mengerti kalau kamu memutuskan untuk tak akan kembali ke sini.)’
Grandy tercenung sesaat sebelum kembali membalas, ‘Ima ha mada nani mo kimattenai. (Aku belum memutuskan apa-apa.)’
‘Jaa, ima kara matta sensei ni naru ha. Ki wo tsukette kudasai. (Baiklah, aku harus kembali mengajar. Jaga diri baik-baik.)’
‘Kimi mo, Sachiko-chan. (Kamu juga, Sachiko.)’
Grandy kembali membaringkan dirinya di atas kasur.
Sachiko-chan...
Gadis itu adalah putri tunggal profesornya. Ketika ia pertama kali bertemu dengan gadis itu, seutuhnya ia dapat melihat diri Qiqi di dalamnya. Keduanya sama. Hanya memiliki satu lengan. Bedanya, Qiqi memiliki lengan kanan, sedangkan Sachiko lengan kiri. Qiqi masih anak-anak, Sachiko sudah dewasa.
Tapi kondisi itu tak pernah membuat Sachiko tertunduk layu meratapi nasib. Alih-alih mengasihani diri, ia justru berdiri tegak mengangkat wajah dengan segala kecemerlangan isi otaknya. Saat ini, Sachiko menjadi asisten salah seorang profesor di Universitas Tokyo.
Senyum selalu menghiasi wajahnya yang tampak begitu murni dan tulus seperti malaikat. Dengan cepat ia bisa akrab dengan orang baru, termasuk Grandy, salah seorang mahasiswa ayahnya. Dan mereka bersahabat dengan baik.
Grandy tahu seperti apa hati Sachiko sesungguhnya. Tapi sejak awal ia memang tak pernah memberi harapan lebih. Ia justru bercerita tentang Mai dan Qiqi. Sedikit memberi alarm pada Sachiko. Dan kelihatannya gadis itu cukup mengerti.
Grandy menghela napas panjang.
Kalau nanti ceritanya benar-benar lain, mungkin memang kita ditakdirkan untuk saling memiliki, Sachiko-chan...
* * *
Ares menutup pintu apartemennya dengan wajah letih. Ternyata bermain dengan anak selasak Qiqi cukup menguras tenaga. Apalagi diikuti dengan euforia yang sedikit berlebihan ketika merasakan bahwa Qiqi bersedia mendekat padanya.
“Dia mulai bertanya tentang ayahnya.”
Ucapan lirih Mai tadi seolah menghantam lagi telinga Ares.
“Saat ini aku masih bisa berkelit dengan mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Tapi apakah selamanya akan bisa begitu?”
Ares menggeleng samar, seolah menjawab pertanyaan Mai. Ia kemudian menyeret langkahnya ke kamar. Sempat diliriknya sekilas jam dinding. Menjelang pukul empat sore. Dan di pintu kamarnya tertempel catatan dari Winda.
‘Mas, ada lauk di kulkas dan nasi panas di com. Ada roti isi sarikaya juga satu lonjor. Lauknya tinggal angetin saja di microwave.’
Oleh karenanya ia memutuskan untuk segera mandi kemudian merebahkan dirinya di atas kasur. Segera saja ia dibuai alam mimpi. Dengan Mai dan Qiqi turut serta berada di dalamnya.
* * *
...........selamat mimpi indah Diaz......lanjooooot.....
BalasHapusSiaaap... 👌
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusNice Dream
BalasHapusTerima kasih... 😊
HapusSweet dream Semoga mimpinya happy ending ☺️
BalasHapus😍😍😍
HapusMmmmm .....
BalasHapusAq dadie ngitung benik ka .....
Jek gaisok nebak.
Ngene iko hloh sing garai aq kemping terus mb Liiiis !
Hihihi... 😁
HapusManstaf :)
BalasHapusMakasih, Pak... 😊
HapusOK besok tayang. Makin manis aja sih fiksinya...
BalasHapusMakasiiih... 😊
HapusRehat disik dik 😃
BalasHapusHehehe... Nggih, Mbak 😊
Hapus........take your time Mba Lizz........
BalasHapusThank you... 😘
Hapus