* * *
Dua Puluh Dua
Liburan sudah usai. Masa cutiku sudah habis. Kehidupanku pun kembali lagi ke rutinitas semula. Memang tak ada segunung pekerjaan yang harus kuselesaikan. Karena selama dua minggu aku di Madrid, setiap hari ada kiriman pekerjaan yang harus kuselesaikan via email. Jadi hanya tersisa setengah gunung saja. Aku memang meminta seperti itu agar aku tak hilang kontak dengan pekerjaanku.
Aku menghela napas lega ketika akhir hari Jumat mulai mendekat. Pekerjaanku sudah beres sejak pukul dua tadi. Dengan sepengetahuan Pak Heddy, aku pun pergi ke ruangan Mas Hasto. Ketika aku melongok, ia tampak sibuk di depan laptopnya. Ia menoleh sekilas ketika aku menyapanya.
“Hai juga, Ri,” balasnya singkat.
“Aku bantu?” tawarku sambil duduk di depannya.
Ia menggeleng. “Sudah selesai, kok.”
Beberapa saat kemudian kami sudah asyik mengobrol tentang kejadian-kejadian di Rubberplast selama aku tidak ngantor. Ternyata sempat ada kasus percobaan pencurian material produksi di pabrik Rubber. Keburu ketahuan karena rupanya oknum pencurinya memang bukan profesional.
Modusnya, material yang hendak diselundupkan keluar itu dijadikan satu dengan kantung-kantung berisi sampah sisa produksi. Tapi pihak sekuriti memeriksa dengan teliti setiap kantung sampah yang hendak keluar. Jadi, tertangkap basahlah upaya penyelundupan itu.
Dan di luar sana sudah siap seorang penadah untuk menerima barang curian itu. Si oknum orang dalam ini tentu saja tak mau menanggung akibat perbuatannya sendirian. Diseretlah nama si penadah itu. Nama yang membuat aku ternganga seketika.
“Serius?” hanya itu yang bisa kuucapkan.
Mas Hasto mengangguk. “Om Nor luar biasa marahnya. Apalagi waktu Gatot sinting itu malah menyalahkan kita yang tak mau kasih dia modal.”
Aku terhenyak.
“Memalukan banget, Pluk,” keluh Mas Hasto. “Usaha, kok, jadi penadah barang curian. Dari perusahaan keluarga istrinya lagi.”
Aku tercenung. Entah, harus diapakan Mas Gatot itu. Jujur, aku benar-benar kaget dengan peristiwa yang terjadi selama aku tidak di sini. Kutatap Mas Hasto.
“Kakung dan Uti tahu kejadian ini, Mas?”
Mas Hasto menggeleng. “Jangan sampai tahu. Kasihan, Pluk. Sudah waktunya enak-enakan santai, masih juga dipaksa mikir yang enggak-enggak.”
Aku manggut-manggut. Tapi dalam hati aku masih tak habis pikir. Manusia macam apa sebenarnya Mas Gatot itu?
* * *
Sepulang kerja, aku langsung melajukan mobilku ke Godhong Gedhang. Pemilik resto itu sudah berjanji padaku untuk membuat sesuatu yang istimewa sore ini. Hm... Memikirkan itu saja sudah membuat perutku asyik berkonser disko.
Aku langsung memarkir mobilku di dekat pintu keluar dapur resto. Aneka bau sedap menyambutku begitu pintu kubuka dan aku menyelinap masuk. Salah seorang asisten Irvan segera memanggilnya begitu tahu aku datang. Aku segera melangkah ke ‘sudut Irvan’, seperti biasanya.
Tak lama kemudian ia muncul dengan wajah segarnya yang seolah tak pernah kehabisan energi. Dikecupnya ringan puncak kepalaku sebelum duduk di depanku.
“Kamu sudah lapar?” tanyanya dengan mata berbinar.
Aku menggeleng. Meringis. “Belum terlalu. Tapi haus, sih, iya.”
Irvan segera berdiri dan menghilang sejenak. Tak lama kemudian ia muncul lagi dengan membawa es teh leci. Butiran-butiran leci yang masuk ke mulutku menambah kesegaran rasa minuman itu.
“Mas Irvan mau masak apa untukku?”
“Kamu yang masak untukku,” senyumnya. Menggoda.
Aku terbengong sejenak. Nggak salah? Tapi melihat ekspresiku, ia segera meralatnya.
“Oke... Oke...,” diangkatnya kedua tangan. “Aku yang akan memasak untukmu.”
“Eh, sebentar!” aku menahannya sehingga ia terduduk kembali. “Maksudnya, Mas Irvan percaya aku bisa memasak, begitu?”
Ia mengangguk. Tersenyum lebar.
“Baiklah, aku akan masak air. Semoga tidak gosong.”
Irvan tergelak.
Sesungguhnya aku benar-benar tidak punya ide harus memasak apa untuk makan malam kami. Berhadapan dengan ahlinya sungguh-sungguh membuatku hilang akal.
“Masalahnya, nanti jam setengah tujuh Mbak Erina sama Mas Kelvin mau ke sini,” jelas Irvan. “Aku ingin memotivasi Mbak Erina biar sedikiiit saja mau belajar memasak. Kalau dia tahu yang dimakannya nanti adalah hasil masakanmu, semoga hatinya tergerak.”
Satu-satunya masakan sederhana yang aku yakin bisa memasaknya tanpa membuat yang makan nanti keracunan adalah minestrone. Dari hasil membantu Mama beberapa hari lalu sewaktu masih di Madrid, aku masih ingat bahan dan caranya. Menu itu yang pada akhirnya kusebutkan.
“Ayo!” seru Irvan, antusias.
Beberapa menit kemudian kami sudah asyik mengolah bahan ‘seadanya’ untuk dijadikan minestrone. Memang tak ada patokan harus sayur apa yang dimasukkan. Irvan memeriksa kulkasnya dan menemukan kacang polong beku, wortel segar, buncis, dan tomat yang merah mulus sempurna. Selain itu ada beberapa lembar daging asap, asparagus, dan kacang merah segar.
“Aku nggak punya pasta,” Irvan menatapku. “Kalau soun ada. Bagaimana?”
“Masuk!” jawabku penuh semangat.
Irvan kemudian mengajariku mencincang bawang putih dan bawang bombay yang benar. Begitu juga teknik memotong sayuran. Awalnya aku ngeri melihat pisau yang cukup besar untuk mememarkan bawang, memotong, mencincang, dan sebagainya itu. Tapi Irvan menjamin bahwa teknik yang ia ajarkan aman untuk jariku.
Mbak Erina dan Mas Kelvin datang ketika aku masih sibuk menumis bawang putih dan bawang bombay. Mata Mbak Erina melebar ketika menatapku beraksi di depan kompor.
“Riri bisa masak?” tanyanya dengan nada takjub.
“Ya, kalau yang sederhana asal cemplung begini, ayo saja, Mbak,” jawabku, sedikit menyombong.
“Nah, tuh,” Irvan menggerakkan dagunya ke arahku. “Riri sudah mulai mahir, lho!” nada suaranya terdengar memanas-manasi.
Mbak Erina duduk diam. Memperhatikan. Beberapa saat kemudian, semua bahan kecuali soun sudah masuk ke dalam panci. Irvan merendam soun di dalam air mendidih agar lunak. Sambil menunggu rebusan di dalam panci matang, aku membantu Irvan menyiapkan mangkuk saji. Irvan minta salah seorang anak buahnya untuk membuat empat gelas minuman dingin.
Setelah soun lunak, Irvan menatanya di dalam empat buah mangkuk. Aku memperhatikannya. Bagaimana soun itu dibentuknya jadi melingkar rapi di dasar mangkuk.
“Cicipi dulu, Ri,” ujar Irvan halus, setelah membubuhkan gerusan lada hitam pada masakanku.
Hm... Sepertinya rasa minestrone-ku sudah pas. Irvan mengangkat alisnya. Bertanya. Ganti aku menyuruhnya mencicipi. Segera saja ia manatapku dengan takjub.
“Enak! Sumpah, ini enak banget!” serunya, nyaris tak terkendali.
Ketika mangkuk berisi minestrone itu tersaji di hadapannya, Mbak Erina menatap dengan sedikit skeptis. Tapi Mas Kelvin segera menyantapnya tanpa banyak komentar. Lahap. Mbak Erina pun mulai mencicipi. Dan ia tak bisa berhenti hingga minestrone dalam mangkuknya bersih tak bersisa. Ia kemudian menatapku dengan wajah tersipu malu.
“Kelihatannya gampang dan sederhana,” ia meringis.
“Mamaku juga nggak begitu pandai memasak, Mbak,” ucapku manis. “Tapi kalau untuk yang sederhana seperti ini bisa, sih. Dan selama ini aku cukup heran kenapa masakan Mama rasanya selalu pas. Enak. Ternyata rahasianya cuma kemauan dan cinta. Aku yakin Mbak Erina juga bisa.”
Mbak Erina dan Mas Kelvin saling menatap. Begitu juga Irvan dan aku. Tampaknya upaya kami berhasil. Bukan cuma itu. Sepertinya aku akan meminta pada Irvan agar menyediakan waktu khusus untuk mengajariku memasak.
* * *
Dan sebuah kejutan sudah menungguku di rumah pada Minggu pagi sepulang aku dari taman. Irvan duduk manis di teras depan dengan dua buah dos besar tergeletak di atas lantai di sebelah sofa yang didudukinya. Ia tersenyum lebar ketika melihatku pulang bersama Uti dan Kakung. Segera disalaminya Uti dan Kakung.
“Ini, saya bawa peralatan buat Riri,” ucapnya malu-malu.
“Peralatan apa?” Uti mengerutkan kening, tapi bibirnya mengulas senyum.
“Kompor high pressure, dan beberapa peralatan dasar,” jawab Irvan halus. “Riri mau belajar masak, katanya.”
Aku langsung menyembunyikan wajahku di punggung Kakung. Malu... Uti dan Kakung terkekeh melihat kelakuanku dan Irvan.
“Mau ditaruh di mana, ya?” Irvan mengangkat kedua dos itu.
Uti segera menggiring kami ke dapur. Di sudut dekat pintu ada bagian berkeramik yang letaknya agak rendah. Dulu tempat untuk meletakkan dispenser air sebelum diganti dengan yang lebih besar. Uti segera menyuruh Bik Desi untuk mengangkat beberapa kotak plastik dari bagian itu.
Dan kompor itu pun duduk dengan manis dan pas di sana. Apalagi bagian bawah dudukan berkeramik itu ada rongga kosong yang tampaknya pas juga untuk tempat tabung gas. Aku menatapnya dengan puas.
Menurut Irvan, kompor itu cocok untuk memasak hidangan yang dasarnya chinese food. Aroma bawang putih akan jauh lebih wangi bila ditumis dengan kompor bertekanan tinggi. Dan chinese food adalah masakan yang cukup mudah untuk dipelajari seorang pemula seperti aku. Bumbunya sederhana tapi hasilnya prima.
“Pantas, kita menumis bawang putih nggak pernah sewangi abang-abang nasi goreng gerobak itu, ya, Bu?” celetuk Bik Desi. “Kompornya saja sudah lain.”
Kami tertawa mendengarnya.
Kemudian Irvan mengajakku keluar untuk membeli beberapa bahan makanan dan bumbu dasar yang mungkin aku butuhkan. Menu makan siang sepertinya sudah disiapkan Mbok Nem. Dan aku berencana untuk mencoba membuat sup kimlo seperti yang pernah dibuatkan Irvan untukku tempo hari untuk makan malam nanti.
* * *
Good post mbak, jadi lapar baca cerita ini
BalasHapusHehehe... Makasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusMb Lisssss aq lemburan ndisek yo.
BalasHapusKetinggalan akeh rek !
Liburanku ya wis entek wakwakwakwak
HapusHooooo aq baru ngerti lek sing garai tumisan bawange wangi itu kompore.
Pantesan aq masiyo numis sampek bawange gosong tetep ae baue laen.
Top mba !
Onok tayangan sabtu sisan ????
Kemping gapindah"
Iyo ae wes, Nit, timbangane awak benjut, huahahaaa... 😅😅😅
Hapus........sabtu....sabtu......sabtu..... Wah ada bonus niih......
BalasHapusHehehe... Makasih atas kesetiaan Mbak Dewi mampir ke sini... 😘
HapusGood post mbak, jadi lapar baca cerita ini
BalasHapusHahaha... Makasih mmpirnya lagi, Pak 😁
Hapusnyesel juga aku putus ma si irvan...
BalasHapus#menyesalidiri
Haiiish... 😝
Hapus