* * *
Aku sampai di rumah ketika Kakung dan Uti sudah selesai makan malam. Tadi pagi aku memang sudah berpesan akan pulang terlambat karena akan mampir dulu ke butik Budhe Risa. Langsung saja aku masuk kamar setelah setor pipi sejenak. Satu-satunya hal yang kuinginkan saat ini hanyalah mandi air dingin. Setelah itu hal paling enak yang bisa kubayangkan adalah menikmati makan malam, kemudian berselonjor di karpet ruang tengah sambil menonton televisi.
Tapi bayangan hanyalah tinggal bayangan. Ketika aku selesai memakai bedak tipis dan lip balm, dan sedang menyisir rambut, terdengar suara ketukan di pintu kamar, diikuti suara Mbok Nem, “Mbak... Dicari bapak sebelah, tuh...”
Aku mengerutkan kening. Tapi kubuka juga pintu kamarku.
“Siapa?” tanyaku memastikan.
“Pak Bule itu, lho, Mbak.”
Ale? Mau apa dia?
“Ada di ruang tamu, Mbak.”
Aku mengangguk dan melangkah ke ruang tamu. Kutangkap senyum di wajah Kakung dan Uti ketika aku melintasi ruang tengah, tempat Kakung dan Uti bersantai seusai makan malam.
“Hi! Good evening, Ale.”
“Good evening, Arinda,” senyumnya. “Apa kabar?”
“Baik,” aku balas tersenyum.
Pada saat yang sama, Bik Desi muncul membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil. Dengan cekatan diaturnya suguhan itu di meja pendek di depan kami.
“Silakan,” ucapku begitu Bik Desi selesai menghidangkan dan berdiri hendak meninggalkan kami.
“Terima kasih,” angguk Ale.
Setelah menyesap sedikit teh hangat dari dalam cangkir, Ale menatapku. “Aku ingin mengajakmu keluar sebentar. Boleh?”
Aku terdiam sejenak. Sejujurnya aku lumayan lelah hari ini. Dari pagi hingga menjelang jam kerja berakhir, aku harus mengikuti aktivitas Mas Hasto. Mas Hasto sendiri yang mewajibkan. Dan sebagai stafnya, aku harus patuh.
“Ritme kerjamu selanjutnya akan seperti ini, Ri,” ucap Mas Hasto tadi. “Ada banyak hal yang harus kamu pelajari dan selanjutnya akan menjadi urusanmu.”
“Aku lihat kamu belum lama pulang kerja,” Ale masih menatapku. “Kamu sudah makan?”
Aku menggeleng.
“Ayo, makan malam bersamaku,” ajaknya. Penuh harap.
“Hm...,” aku ragu-ragu sejenak.
“Di kafe dekat taman saja, Arinda. Santai, bukan resmi.”
Pada akhirnya aku mengangguk. Karena dua hal. Yang pertama, aku memang lapar. Yang kedua, aku tak tahan melihat kilau harapan yang dipancarkan mata Ale. Maka aku pun luluh.
“Sebentar, aku ganti pakaian dulu,” ucapku sambil berdiri.
Sampai di ruang tengah, aku berhenti sejenak.
“Kung, Ti, Ale mau mengajakku makan di luar. Boleh?”
“Bersenang-senanglah!” Kakung tersenyum lebar.
Kutangkap juga senyum Uti. Maka aku pun meneruskan niatku untuk berganti pakaian. Kulihat tadi Ale hanya mengenakan kaus polo berwarna hitam dan celana jeans. Maka kali ini aku memilih celana dari jenis yang sama, dan kupadukan dengan blus katun putih berbunga-bunga warna biru. Sebelum menyambar dompet, kukenakan sepatu flat berbahan jeans.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk muncul kembali di ruang tamu. Setelah berpamitan pada Kakung dan Uti, Ale dan aku pun berjalan kaki menuju ke kafe yang dimaksud Ale.
“Kamu sibuk sekali akhir-akhir ini, ya?” celetuk Ale.
“Hm...,” aku mengangguk. “Ada tanggung jawab lebih ketika harus masuk dalam perusahaan keluarga, Ale.”
“I see.”
“Kamu tidak ke taman hari Minggu lalu?”
“Iya, aku mengurusi tamu.”
“Tamu, ya?” aku nyengir.
Ingatanku langsung melayang pada seorang perempuan cantik berambut merah di hotel tempat Hide menginap. Tawa ringan Ale terdengar mengandung nada masam.
“Dia Lucia, putri salah seorang pejabat di negaraku,” jawab Ale kemudian. “Berlibur ke sini. Hendak ke Bali.”
“Tidak kamu temani?” godaku.
Ale tertawa lagi. Ringan. “Aku harus bekerja, Arinda. Lagipula...”
Ujung langkah kami memotong ucapan Ale. Kami sudah sampai di kafe. Mendapat tempat di teras belakang yang menghadap ke taman yang dilengkapi dengan air terjun mini.
Ketika Ale sibuk memesan ini-itu, aku mengamati Ale. Perasaanku mengatakan bahwa ada hal sangat penting yang akan dibicarakan Ale. Tapi apa itu, aku sama sekali tak punya bayangan. Dan ketika ia menutup acara pesan-memesan itu, ia pun menatapku.
“Tugasku di sini akan berakhir sebulan lagi,” ucapnya kemudian. Lirih.
Aku hanya bisa terdiam. Sungguh-sungguh tak tahu harus mengatakan apa. Ale masih menatapku. Dalam.
“Sebenarnya... Aku belum ingin pergi,” Ale setengah mendesah. “Aku baru saja bertemu lagi denganmu. Baru saja hendak memulai mimpiku. Mimpi yang membayangiku sejak hari-hari terakhirku bertugas di Canberra. Sejak aku pertama kali melihatmu.”
Aku mendegut ludah.
“Aku mencintaimu, Arinda.”
Kalimat yang diucapkan Ale dengan sangat halus itu telak menghantam telingaku.
“Aku... Aku...,” kutatap Ale dengan putus asa. “Kenapa bukan Lucia?”
“Lucia?” Ale mengerutkan keningnya.
Bersamaan dengan itu pramusaji membawakan pesanan kami. Ada jeda sejenak yang bisa kupakai untuk mengatur napas dan menyalakan lampu di otakku. Tapi jeda itu segera berlalu seiring undur dirinya si pramusaji dari meja kami.
“Kenapa harus Lucia?” tatapan Ale seolah menuntutku.
“Karena...,” aku ingat tatapan tajamnya padaku. “Ale, jujurlah padaku, siapa Lucia bagimu?”
“Dia...,” tatapan Ale meragu. “Ya, dia temanku.”
“Teman seperti apa?” kejarku.
“Teman dekat. Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan.”
“Memangnya apa yang kupikirkan?”
Ale menghela napas panjang.
“Oke...,” ia terlihat seperti menyerah. “Aku tahu dia mencintaiku.”
“Nah!”
“Tapi aku mencintaimu,” tatapan Ale menghujamku. “Kamu pikir kenapa aku mati-matian belajar bahasa Indonesia? Belajar segala hal tentang Indonesia? Karena aku jatuh cinta padamu sejak pertama melihatmu, Arinda.”
Aku terhenyak. Benar-benar tak tahu harus mengatakan apa.
Cinta? Apa gunanya menuruti cinta kalau hasilnya begitu menyakitkan? Apalagi jika aku harus meruntuhkan apa yang sudah mulai kubangun dan menata lagi hal lainnya yang sama sekali tak aku ketahui akan berakhir bagaimana dan di mana.
Setelah Otto, aku merasa tak mampu lagi mencintai laki-laki lain. Mungkin bisa, tapi bukan lagi seorang diplomat. Apalagi dari negara asing. Aku sudah melakoni kehidupanku selama ini. Aku bisa melihat sosok Mama.
Satu-satunya hal yang bisa membuat Mama tegar berada di samping Papa adalah keluarga yang menanti di sini. Rumah. Tanah airnya. Aku tahu bagaimana Mama menyembunyikan air mata setiap kali harus berpisah dengan teman-teman yang didapatnya di tempat baru. Setiap kali sudah merasa betah di suatu tempat, Mama harus secepatnya menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu meninggalkan tempat itu.
Belum lagi kerepotan yang harus dilakoni Mama saat harus pindahan. Butuh waktu hingga berminggu-minggu bagi Mama untuk membereskan semua itu. Mama mengeluh karenanya? Tidak. Sama sekali tidak.
“Semua ini pilihan, Pluk,” begitu selalu kata Mama. Seolah berusaha meyakinkan diri sendiri agar selalu kuat untuk Papa, Dipa, Rinnel, dan aku. “Dan Mama sudah memilih papamu. Sesuatu yang jauh lebih berharga daripada semua yang harus tiap kali Mama tinggalkan di setiap tempat yang pernah kita tinggali.”
Dan aku sama sekali bukan Mama. Setidaknya, ketika bukan lagi Otto yang harus kudampingi, aku sudah merasa tak mampu lagi memilih jalan itu.
Kutatap Ale yang masih menatapku sendu. Ada bersit-bersit harapan yang masih tersisa. Tapi aku menggeleng.
“Sebuah rasa tidak bisa dipaksakan, Ale,” gumamku lemah. “Maaf.”
“Kenapa, Arinda?”
“Tak bisa dipaksakan dan tak perlu ada alasan.”
“Aku memang bukan Otto,” desahnya. Patah.
“Bagiku, kamu memang selamanya bukan Otto,” ujarku, melirih. “Dan aku sudah memilih untuk tetap berada di sini. Aku sudah lelah melangang buana. Saatnya aku hinggap pada sebuah sarang yang nyaman. Dan tempatnya adalah di sini. Rumah. Keluarga.”
Lama Ale menatapku. Sebelum akhirnya mengangguk. Dan ada yang terasa menghangat di kedua belah mataku.
“Maafkan aku, Ale,” bisikku.
“Mungkin dengan berjauhan akan ada sesuatu yang kamu temukan,” Ale seolah menemukan kembali binar harapan itu.
“Ale, kamu sudah membuang terlalu banyak waktu dengan memikirkan segala sesuatu yang berhubungan denganku. Cobalah untuk menengok ke arah lain. Melihat hal yang jauh lebih mungkin untukmu. Agar tak lebih menyakiti dirimu sendiri.”
Dan binar itu padam seketika. Sesungguhnya aku sedih sekali dengan kenyataan ini. Tapi aku sungguh-sungguh tak bisa memberi Ale harapan lebih. Aku takut bila harapan itu buyar lagi dan kami sama-sama tersakiti.
“Tapi masih bisakah kita berteman, Arinda?”
Aku hanya bisa mengangguk. Tak berani membayangkan pertemanan seperti apa yang bisa kujalin bersama Ale nantinya.
* * *
Tak enteni tiwas arep keturon mbak... Dideloki kaet sore (jam jepang), eh tibakno sak iki muncul.... Ale, nasibmu lha kok bertepuk sebelah tangan. Cup cup ojok nangis nggih?!?!???? TOPBGT mbak, tapi EF mengatakan Cempluk jadian ama chef Irvan. Itu tuh pemilik godhong gedhang khan???? Suwun ceritane mbak, apik buanget, saliimmmm
BalasHapusHehehe... Makasih yooo... 😘😘😘
Hapusemmm...
BalasHapussi ale mau gak ya sama akyuuuuuu....
#ngarep
Sek yo, tak'takokno sek... *melok owah* 😝😝😝
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih banyak... 😄
HapusIni kayaknya Pak Subur ya. Hehehe...
kok ale ngerti otto mbk? wah baca dr awal ki
BalasHapusSabar to, Mbak... Kan nggak semua hal bisa dijelaskan di depan 😊
HapusHaduhh runtuh hati ini... Gak kuat bacanya, kasihan Ale, eh kabarnya alumni OPQ yang lain gimana, ya?
BalasHapusHehehe... Nanti aku tanya Hide atau Cempluk dulu ya, Mbak... 😁
HapusOk! ;-)
Hapus