Kamis, 02 Juni 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #4







* * *


Empat


Bunyi alarm pada ponselku betul-betul mengganggu telinga. Memaksaku untuk membuka mata lewat sedikit dari pukul 4.45. Setelah mematikan alarm, aku menggeliat dan menguap lebar-lebar. Lamat-lamat terdengar ada yang bercakap-cakap di luar sana. Dengan langkah masih agak tersaruk, aku masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Minggu pagi. Waktunya untuk ikut Kakung dan Uti ke taman seperti seminggu lalu. Sejenak kemudian aku sudah siap. Ketika membuka pintu kamar, aku hampir terpekik karena kaget. Sudah ada orang yang berdiri tepat di depan pintu kamarku. Budhe Danik juga tampak terkejut karena pintu di depan hidungnya terbuka-tiba-tiba.

“Aduh...,” Budhe Danik mengelus dada. “Kaget, aku! Baru saja mau kubangunkan, Pluk.”

“Hehehe...,” aku terkekeh ringan. “Sudah siap, Budhe.”

“Ya, sudah, ayo, kita kemon!” Budhe Danik menggamit lenganku dengan penuh semangat.

Di teras depan sudah menunggu Kakung, Uti, Pakdhe Juno, dan Mas Hasto. Saat Mas Hasto hendak membuka pintu pagar, sebuah mobil lain berhenti tepat di depan. Tante Ninin melongokkan kepala dari jendela mobil.

“Aduh! Hampir ketinggalan, ya?”

Mas Hasto buru-buru membuka pintu pagar lebar-lebar agar Om Bimo bisa segera meluncurkan mobilnya masuk ke carport. Belum juga mobil itu berhenti sempurna, tiga orang di dalamnya sudah meloncat keluar. Tante Ninin, Hantoro, dan Joya.

Akhirnya kami bersepuluh jadi rombongan yang berjalan dengan suara cukup riuh menuju ke taman. Mas Hasto, Han, Joya, dan aku sengaja mengambil tempat di belakang rombongan para sesepuh agar bisa lebih bebas ‘bertingkah’. Sesekali kami tergelak karena Han berjalan sambil sesekali berjumpalitan, dan Joya yang memang agak tomboy segera saja mengikuti tingkah abangnya.

“Coba, Mas Hasto!” ujar Han dengan nada suara meledek.

“Ogah!” sahut Mas Hasto seketika. “Kalau aku jatuh, bisa gempa bumi lokal ini!”

Kami tergelak bersama. Perawakan Mas Hasto memang plek-ketiplek dengan rata-rata perawakan laki-laki dalam keluarga Kakung dan Uti. Tinggi besar. Apalagi Pakdhe Juno pun sebangun pula. Sedangkan Han tinggi ramping, persis perawakan Tante Ninin dan Om Bimo.

Sesampai di taman, para sesepuh segera bersiap untuk bergabung dengan kelompok senam. Han dan Joya segera berlomba lari menuju ke area gym yang bersebelahan dengan area skating. Mas Hasto dan aku bersenam ringan di sebuah sudut sambil mengobrol. Tengah Mas Hasto dan aku tertawa-tawa ketika Mas Hasto mencoba mengangkatku dengan posisi beradu punggung, sebuah sapaan halus terpaksa menghentikan kami.

“Eh, hai, Nik!” Mas Hasto balas menyapa dengan wajah cerah dan mata berbinar.

Oh, oh... Rasanya aku tahu... Gadis mungil yang baru saja menyapa Mas Hasto menatapku dengan senyumnya.

“Riri, ya?” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Menik.”

Aku menyambutnya sambil balas tersenyum. Tapi senyumku berubah jadi manyun ketika Mas Hasto menyeletuk, “Bukan Riri itu, tapi Cempluk.”

“Hahaha...,” gadis mungil itu tergelak.

Tapi aku berhasil membuat gelak tawanya terhenti. Sebagai gantinya, wajahnya langsung terlihat tersipu begitu kutembak langsung, “Mbak Menik yayangnya Mas Hasto, ya?”

Dia tak menjawab. Hanya wajahnya terlihat sedikit bersemu merah. Cukup terlihat dalam cahaya pagi yang mulai merekah. Mas Hasto tertawa melihat interaksi kami.

“Mudah-mudahan,” gumam Mas Hasto.

“Lho, kok, mudah-mudahan?” tatapanku segera beralih pada Mas Hasto. “Dipastikan, dong...”

Mas Hasto meringis. Dialihkannya tatapan pada Menik. Dan aku cukup sadar diri. Tepat saat itu telingaku menangkap suara-suara strings yang tampaknya sedang melakukan pemanasan.

“Aku ke sana dulu, ya?” ucapku sambil menunjuk ke arah taman cemara.

Mas Hasto dan Mbak Menik mengangguk serempak.

* * *

“Arinda!”

Aku menoleh ke arah panggilan itu sambil tetap berjalan. Kulihat Alessandro sudah duduk manis di atas sebuah bangku beton, menghadap ke arah kelompok orkestra kecil itu. Dia memberiku kode dengan menepuk tempat kosong di sebelahnya. Ke sanalah aku kemudian menuju.

“Apa kabar?” senyumnya menyambutku.

“Baik,” anggukku, membalas senyumnya.

Di sekitar area konser baru ada Alessandro, aku, dan tiga orang lainya yang sama-sama bersiap untuk menonton. Bahkan pemain konsernya pun belumlah sebanyak hari Minggu lalu saat aku pertama kali menontonnya.

Seorang laki-laki tinggi besar mendekati tiga orang lain yang mengelompok sekitar enam meter dari kami. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi sejenak kemudian dia menghampiri kami, dan langsung menjabat tangan Alesandro dengan hangat.

“Ale!” serunya. “Penonton paling setia. Any request?

Dia kemudian beralih menjabat tanganku.

Summer – Presto,” jawab Alessandro, tersenyum lebar. “Aku sudah memintanya sejak beberapa minggu lalu.”

I’m so sorry, Ale,” ujar laki-laki itu dengan wajah terlihat menyesal. “Itu nomor yang cukup sulit bagi pemula. Membutuhkan gerakan tangan yang cepat.”

“Hm...,” mendadak Alessandro menatapku. “Storm, please. Aku tahu kamu bisa. Kamu bukan pemula.”

Apa???

Kutatap Alessandro dengan mata bulat. Alessandro menatap laki-laki itu.

She’s professional,” dengan lugas Alessandro berucap. Kedua tangannya membuka ke arahku.

Aku ternganga. Ini pemaksaan namanya!

“Iya, aku tahu,” gumam laki-laki tinggi besar itu, mengalihkan tatapannya dari Alessandro ke arahku. “Tapi apakah Mbak-nya mau?”

Bola mataku nyaris keluar ketika menatap Alessandro. Dia hanya mengulas senyum polos dengan wajah tanpa dosa. Seandainya dia tahu ada dua kutub yang berlawanan sedang berperang dahsyat dalam hatiku... Antara ingin dan menghindari. Antara rindu dan benci. Antara mendamba dan ingin lari.

Tapi kutub di mana keinginan, kerinduan, dan damba bersekutu jadi satu kali ini memenangkan pertarungan itu. Tanpa sadar aku mengangkat bahu. Mulai luluh. Entah kenapa aku seolah bisa melihat ada sedikit sosok Otto dalam tatapan mata Alessandro.

“Baik. Tapi sekali ini saja!” tegasku.

Alessandro bertepuk tangan dengan wajah menang.

“Mari, Mbak,” gesture laki-laki tinggi besar itu menyilakan aku untuk segera berdiri dan mengikutinya.

Aku tak punya pilihan lain kecuali mengikutinya. Sambil melangkah ia mengulurkan tangannya padaku.

“Irvan,” ucapnya singkat, tanpa mengurangi keramahannya.

“Riri,” aku menyambut jabat tangannya.

Dia kemudian memperkenalkan aku pada anggota yang lain dari komunitas itu. Semua menyambutku dengan ramah. Setelah berdiskusi sejenak, akhirnya Irvan mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Alessandro untuk nomor pertama. Tidak semua akan ikut bermain karena Summer – Presto, atau Storm, dari The Four Seasons-nya Vivaldi adalah komposisi yang cukup sulit.

Irvan kemudian mengulurkan violin yang diambilnya dari sudut lain. Bukan dari tumpukan kotak violin di dekat kami.

“Inventaris kelompok kami baru violin murahan, Mbak,” ucapnya dengan senyuman. “Tapi Mbak bisa pakai punya saya.”

Aku pun menerimanya. Hm... HΓΆfner asli buatan Jerman. Dengan type yang sama dengan milikku. Sama sekali bukan jenis yang dipakai oleh seorang pemula. Terlihat sangat terawat. Ketika aku mencoba menggeseknya, aku pun langsung jatuh cinta. Violin yang sempurna!

“Bagaimana, Mbak?” Irvan menatapku. “Cocok?”

Aku mengangguk.

“Bisa kita mulai?”

Aku kembali mengangguk. Mengikuti aba-aba Irvan, aku menggesek nada pertamaku, yang diikuti alunan nada-nada berikutnya. Storm. Membuat memoriku seketika terlempar lagi ke masa lalu.


Aku dan Mama baru saja masuk ke apartemen ketika ponsel di dalam tasku berbunyi. Kubiarkan saja tasku tergeletak di lantai. Aku baru saja menjemput Mama di bandara.

“Tidak kamu jawab dulu?” tanya Mama.

“Nanti,” jawabku singkat.

Aku sudah kebelet ke kamar mandi. Jadi kubiarkan saja ponselku menjerit-jerit sampai lelah sendiri. Dari dalam kamar mandi, aku bisa mendengar bahwa ponselku sedang tarik suara untuk seri kedua. Dan seri ketiga menggema ketika aku keluar dari kamar mandi. Aku sempat mengerutkan kening saat mendapati sederet nomor yang tak kukenal terpampang di layar ponsel. Tapi kujawab juga panggilan itu.

“Hello, good afternoon.”

“Good afternoon. Miss Arinda Wirahadi?”

“Ya?”

“Saya Franz Schneider dari Kedutaan Besar Jerman di Canberra.”

“Ya?”

Hatiku mulai diliputi perasaan tidak enak. Mama yang datang dari arah pantry duduk di seberangku. Menatapku dengan sorot bertanya. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Saya... teman Otto.”

“Ya?” mendadak saja suara dan tanganku gemetar.

“Mohon maaf, Miss Wirahadi, saya harus menyampaikan hal ini secara pribadi. Kami baru saja menerima kabar duka. Pesawat yang ditumpangi Otto mengalami kecelakaan. Dihantam badai hanya beberapa puluh kilometer dari bandara Frankfurt. Tidak ada yang selamat. Our deep condolence, Miss Wirahadi.”

Suara yang melirih itu bagaikan bom yang meledak di telingaku. Dalam sekejap pikiranku kosong.

“Pluk, ada apa?” Mama menggoyangkan bahuku.

Aku hanya bisa menggeleng.

Otto? Sudah pergi selamanya? Otto-ku?

Rasanya baru sedetik lalu aku mendengar kalimat cintanya. Tapi pada detik berikutnya aku harus patah hati.

Rasanya baru sedetik lalu aku melambung ketika dia memanggilku ‘Cempluk’ dengan begitu sempurna. Tapi pada detik berikutnya aku seperti terhempas dari tempat yang begitu tinggi.

Rasanya baru sedetik lalu aku menikmati tawanya. Tapi pada detik berikutnya sudah tak tersisa lagi suaranya untukku.

Rasanya baru sedetik lalu aku tenggelam dalam mata indahnya. Tapi pada detik berikutnya diriku seutuhnya tercabut dari dalamnya.

Ponselku terlepas dari tangan dan terjatuh. Bersamaan dengan gelap yang tiba-tiba saja melingkupiku. Masih kudengar Mama meneriakkan namaku. Setelah itu semuanya menghilang begitu saja dari kepalaku.


Aku baru tersadar ketika suara tepuk tangan pecah di sekelilingku. Dalam sekejap aku terlempar kembali ke masa kini. Ketika aku menoleh, tertangkap olehku Irvan tengah menatapku dengan ekspresi wajah yang sukar dilukiskan. Aku mengerjapkan mata.

Bravo!

Aku menoleh ke arah lain. Alessandro bertepuk tangan keras dan panjang sambil beberapa kali menyerukan kata itu. Tepuk tangan masih terdengar sambung-menyambung. Aku membungkukkan badan sedikit untuk menyambutnya.

We want more! We want more! We want more!

Entah siapa yang memulai, kalimat itu terdengar bersahutan di sekitar kami. Diiringi tepuk tangan berirama yang terdengar sangat padu dan kompak.

Would you? Please...

Aku menoleh mendengar gumaman Irvan. Aku tak bisa menjawabnya. Tapi tatapan para anggota lain komunitas  itu membuatku mengangguk.

“Yang lebih ringan saja,” aku meringis sedikit.

Irvan mengangguk. Menatap ke dalam matanya, aku merasa bahwa dia mengerti aku tadi terseret dalam kondisi trance sepanjang alunan Storm. Dia tak menatapku dengan ngeri, hanya... mengerti. Entah kenapa, aku merasa lega karenanya.

* * *

Matahari sudah meninggi. Tapi aku memutuskan untuk tinggal lebih lama di taman. Komunitas ini sudah membuatku tertarik. Kami duduk bersama dan berbincang tentang banyak hal yang tak jauh dari wilayah musik.

Mereka terbentuk sekitar satu setengah tahun yang lalu. Awalnya hanya terdiri dari lima orang berminat sama yang sudah saling mengenal sebelumnya. Salah satunya adalah Irvan. Saat ini statusnya adalah seorang pengajar kelas biola di sekolah musik milik Pak Satmoko yang juga pendiri komunitas itu. Selain Irvan dan Pak Satmoko, tiga orang lainnya adalah Mas Budi, Mbak Fella, dan Arum, putri sulung Pak Satmoko yang saat ini masih duduk di bangku SMA.

Berniat memasyarakatkan musik klasik, mereka kemudian mulai mengadakan konser mini di taman ini. Awalnya hanya dua minggu sekali. Tapi seiring dengan waktu, ada lebih banyak lagi orang yang menonton dan ingin bergabung dengan mereka. Jadilah mereka berkumpul seminggu sekali tiap hari Minggu pagi untuk berkonser, dan selanjutnya berlatih sebentar sebelum hari menjadi kian panas.

Ada yang sudah punya dasar bisa bermain musik. Tapi ada juga yang sama sekali belum bisa. Tapi dengan bimbingan kelima orang itu, komunitas itu makin berkembang dan kemampuan para anggotanya makin terasah. Apalagi beberapa bulan belakangan ini mereka mulai rutin berlatih juga di salah satu ruangan di sekolah musik Pak Satmoko setiap hari Sabtu sore. Untuk mempersiapkan penampilan mereka keesokan paginya.

Bahkan dari hasil urunan Pak Satmoko, Irvan, Mbak Fella, dan Mas Budi, mereka bisa membeli beberapa buah violin dan viola yang cukup lumayan mutunya untuk pemula. Beberapa anggota komunitas boleh membawa pulang alat-alat itu dengan status pinjam-pakai. Yang merasa sudah cocok betul dengan minatnya, biasanya mereka membeli sendiri sehingga bisa berlatih dengan lebih intensif dan nyaman.

“Saya senang sekali kalau Mbak Riri bersedia bergabung bersama kami,” ucap Pak Satmoko di tengah-tengah obrolan kami.

Aku sempat terdiam sejenak.

Sejujurnya, aku seolah menemukan kembali duniaku yang sempat hilang. Ada gelitikan rasa yang tak bisa kuterjemahkan, bermain dengan begitu liarnya dalam hatiku.

“Kalau saya lihat, Mbak Riri sudah bukan lagi sekadar bisa,” celetuk Pak Satmoko lagi.

Hm... Mau tak mau terbayang lagi hari-hariku bersama OPQ di Brisbane. Setelah berpikir lagi, aku memutuskan untuk tidak memberi kepastian lebih dulu.

“Saya tertarik? Ya,” jawabku kemudian. “Sangat. Tapi soal bergabung, saya minta diberi waktu dulu untuk berpikir.”

“Pasti, Mbak Riri,” angguk Pak Satmoko. Tersenyum. “Komunitas ini terbentuk berdasarkan minat dan kesenangan, bukan paksaan.”

Aku merasa diberi keleluasaan karenanya. Tidak dikejar-kejar. Memberiku perasaan nyaman.

Sinar matahari terasa makin menggigit. Aku pun memutuskan untuk berpamitan. Aku melangkah pergi diiringi lambaian tangan dari mereka. Ketika aku hendak berbelok masuk ke jalan setapak, kutemukan Alessandro sedang duduk di atas sebuah bangku beton, di bawah rindangnya sebuah pohon kenari. Dia melambaikan tangan ketika melihatku. Aku pun berbelok menuju ke arahnya.

“Belum pulang?” tanyaku.

Alessandro menggeleng. “Aku sudah berjanji pada Bapak untuk menemanimu pulang,” senyumnya.

Astaga... Aku menutup mulut dengan sebelah tangan. Pelan, kugeleng-gelengkan kepalaku.

“Ya, sudah,” sahutku kemudian. “Kita pulang sekarang, Ale. Panas sekali ini.”

Tanpa banyak kata, dia pun menuruti ajakanku.

* * *

Aroma sedap nasi goreng menyergap hidung begitu kakiku menjejak lantai garasi. Rasa lapar semakin menyerang perut. Hampir berlari aku masuk dan menuju ke dapur. Benar! Uti sedang sibuk menghadapi penggorengan, membuat nasi goreng.

“Aku lapar sekali, Uti,” erangku.

Uti tertawa lebar melihat lagakku.

“Makanya Uti bikinkan nasi goreng,” timpal Uti. “Kamu belum sarapan. Kami semua sudah makan ketoprak di taman.”

“Sudah pada pulang?” tanyaku sambil mencomot sepotong mentimun.

Uti mengangguk. Sejenak kemudian Uti mematikan kompor dan memindahkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar yang sudah disiapkan Bik Desi.

“Ale mana?” Uti menoleh sekilas ke arahku.

“Lagi ngobrol sama Kakung.”

“Ajaklah sarapan, Pluk. Dia pasti kelaparan juga.”

Eh?!

“Sana!” sinar mata Uti menyorotkan perintah yang tak bisa kubantah.

Aku pun berbalik ke depan. Menemukan Alessandro masih bercakap dengan Kakung di teras.

“Ale, ayo, sarapan dulu,” ajakku. “Uti sudah menyiapkan nasi goreng buat kita.”

Mata bening Alessandro langsung melebar ketika aku mengucapkan ‘nasi goreng’. Sepertinya, dia sudah pernah merasakan kelezatan nasi goreng buatan Uti, sehingga dia sama sekali tak menolak ajakanku untuk menikmati sarapan bersama.

Tapi meja makan terlihat kosong melompong ketika kami masuk. Aku mengerutkan kening. Tepat saat itu, Uti muncul dari belakang.

“Sana, ke teras belakang,” ujar Uti. “Sudah ditata sama Desi di sana.”

“Oh...,” aku membundarkan bibirku tanpa suara.

* * *


14 komentar:

  1. Weeeh.. miris.. mesakne Cempluk buuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya ya, Mbak Indah... 😘

      Hapus
  2. Apa Ale akan menggantikan tempat Otto di hati miss cempluk? ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita nantikan saja episode selanjutnya! 😎
      Makasih mampirnya, Mas Pical... 😊

      Hapus
    2. Episode selanjutnya jadi calon istrinya Irvan, ya? He he he

      Hapus
  3. Jangan-jangan Ale sahabatnya Otto nih mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya bukan, hehehe...
      Makasih mampirnya, Mbak Fid 😘

      Hapus
  4. Aq komen pirang dino gaisok" mba.
    Pokoke lanjut ae wis kah !
    Kenek pelet bloge pean wisan aq wakwakwakwak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iku ngunu tergantung iman dan perbuatane, Nit. Hihihi... 😝

      Hapus