Episode sebelumnya : Vendetta #8 : Mea Culpa
* * *
Sacrifice
“Nona Angel?”
“Ya?”
“Kami dari kepolisian sektor utara mengharap kehadiran Anda di kantor kami.”
“Ada apa?” mendadak detak jantungnya meliar.
“Ada apa?” mendadak detak jantungnya meliar.
“Ibu Anda ada di sini. Menyerahkan diri untuk kasus pembunuhan Ferry Frianto.”
Suara berat di telepon itu membuat Angel terhenyak. Seketika seluruh perbendaharaan ingatannya menguap tanpa bekas. Dan ketika pada akhirnya isi benaknya mengumpul kembali, luapan perasaan berupa airmata membanjiri pipinya. Ia hanya sanggup terisak hebat tak terkendali.
Mami... Kenapa melakukan itu?
* * *
Tanya itu terus berkejaran tanpa ada satu pun jawaban lari menyusul. Membuatnya lelah bertanya dan pada akhirnya tersadar bahwa ia harus melakukan sesuatu. Seperti kata laki-laki itu tadi. Bahwa ia harus segera ke kantor polisi. Karena Luita ada di sana.
Dan ketika ia sampai dan bertemu Luita, mata wanita setengah baya itu tetap memancarkan ketegasan yang utuh dan sempurna. Mengingatkan Angel akan janjinya untuk tetap membisu tentang pembunuhan Ferry Frianto. Angel tertunduk lunglai. Pun ketika polisi tampan itu menatapnya tajam seraya berucap, “Apakah ada sesuatu yang Anda ketahui, Nona?”
Angel hanya mampu menggeleng tanpa kata. Tatapannya kosong, membuat polisi itu terpaksa harus bersabar menghadapi Angel. Dan ketika tatapan putus asa dan shock itu sekilas menyapu wajahnya, polisi itu melembutkan suaranya.
“Nona, tolong jawab pertanyaan saya ya?”
Angel mengangguk pasrah.
“Anda tahu siapa Ferry Frianto?”
“Ya,” jawab Angel nyaris tak terdengar. “Dia pembunuh keluarga saya.”
Polisi itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan tanyanya, “Dari mana Anda tahu Ferry Frianto membunuh keluarga Anda?”
“Mami.”
“Nyonya Luita?”
Angel mengangguk.
“Apa buktinya?’’
Angel menggeleng. “Saya tidak tahu.”
“Apa hubungan Ferry Frianto dengan Nyonya Luita? Anda tahu?”
Angel mengangguk. “Mami istri Ferry Frianto.”
Lalu semuanya mengalir bening. Persis seperti jalinan hidup Luita yang pernah dikisahkannya pada Angel. Tanpa kurang, tanpa lebih. Dan ketika kisah panjang itu selesai, Angel hanya mampu terpekur diam dengan airmata yang tak bisa berhenti mengalir.
“Jadi Anda Vania Hanandito?”
Angel mengangguk lemah. Lukas, polisi muda itu, pun mengangguk. Sementara ini ia mengerti.
* * *
Luita menentang tatapan tajam Tama dengan tegar. Ia sudah melangkah maju dan pantang untuk bergerak mundur.
“Aku tak percaya kamu pembunuh Ferry,” ucap Tama lugas berbalut pahit.
Luita tersenyum, setengah mencibir. “Kalau Ferry bisa menjadi pembunuh, kenapa aku tidak?”
Tama terhenyak. Bertahun sempat mengenal Luita sebagai kakak tirinya, tak setitik pun ada keyakinan Luita berjiwa pembunuh. Tapi kini? Tama menggelengkan kepala.
“Lalu kenapa baru kemarin kamu menyerahkan diri pada polisi?”
Luita kembali tersenyum. “Kamu bodoh atau apa? Alasanku cuma Angel. Angel, Tama! Vania Hanandito. Kalau kutahu Angel sebatang kara sampai mati pun aku tak akan mengaku. Tapi dia sudah menemukan kembali adiknya. Adiknya masih hidup. Dia tak lagi sendirian sekarang. Tugasku sudah selesai.”
“Anak-anakmu, Lui!” suara Tama meninggi. “Tidakkah kamu ingin bertemu mereka?”
“Kalau pertemuan itu hanya membuka selubung luka, sebaiknya tidak,” ucap Luita tegas. “Mereka bisa hidup tanpa aku. Mereka sudah membuktikannya. Tugasku sudah selesai.”
Tama hanya mampu terdiam. Hingga ia meninggalkan kantor polisi ia tetap terdiam. Ada yang berontak di sudut hatinya. Tapi ia tak tahu itu pemberontakan untuk apa.
* * *
Lukas membaca dan membaca kembali tulisan tangan Luita. Asli, menurut pemeriksaan yang sudah dilakukan. Tidak menjelaskan banyak hal. Di sisi lain cukup menjawab banyak pertanyaan. Dengan letih ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Angel... Vania Hanandito...
Lukas mengerjapkan mata.
Bagaimana rasanya dua puluh tahun tenggelam dalam perasaan kehilangan seluruh keluarga? Dibunuh secara keji pula!
Ia menggeleng pelan. Tak mampu menjabarkan jawabannya.
Diingatnya ada perasaan putus asa dalam sorot mata yang dinaungi kelentikan sempurna itu. Letih, sedih, kaget, kosong, dingin. Dibungkus hampa yang pekat. Menciptakan ilusi kelam tak tergapai.
Dan semua itu membuat sesuatu berdenting liar dalam kepala Lukas. Memaksa nalurinya terbangun dari tidur panjang dan mimpi tentang seraut wajah Vania Hanandito yang melenakan. Dan satu pertanyaan menghimpun semua getar naluri itu. Membuat punggungnya tertegak seketika seolah mendadak disergap sesuatu.
Ada apa sebenarnya?
* * *
“Tian, aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan denganmu.”
Kalimat itu sontak menerjunkan harapan dan semangat Bastian ke titik tertinggi ke titik minus kehidupannya. Ditatapnya Felitsa dengan gamang. Benarkah Felitsa yang mengatakan itu?
Dan ia cuma mampu bertanya lirih, “Karena orangtuaku keduanya pembunuh?”
Felitsa menggeleng. Dingin, kemudian berucap lugas, “Karena papamu pembunuh keluargaku.” Dan bara kemudian memenuhi matanya. “Juga dua orang anak gelandangan tak berdosa yang baru saja dipungut mamaku dari jalanan sore itu.”
Bastian terhenyak. Pasrah. Sama sekali tak punya amunisi untuk membantah. Ia makin kelu.
“Dan mamamu,” lanjut Felitsa dengan suara makin beku, “dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan ketika tentakel hukum tak mampu menjangkau pembunuh berdarah dingin seperti papamu. Di mataku mamamu pahlawan. Dan seandainya papamu tahu aku masih hidup, dia akan membunuhku, dan kamu juga akan tetap kehilangan aku. Jadi hubungan kita sampai di sini saja, Tian. Aku tak mampu hidup tanpa memandangmu sebagai bagian dari kegelapan papamu.”
Dan seluruh sendi kehidupan Bastian serasa buyar seketika begitu gema suara luga Felitsa menghilang. Ia sudah tak mampu lagi memaksa otaknya menggerakkan mulutnya walau hanya untuk menggemakan sepotong kata ‘maaf’. Jiwanya seakan terkulai dan jatuh ke dalam palung samudera terdalam.
Ditatapnya punggung Felitsa yang terus bergerak menjauh. Menyalahkan Felitsa? Tidak. Tak akan pernah. Membayangkan mengalami hal seperti Felitsa saja sudah membuat dadanya seketika didera rasa ngilu yang luar biasa. Dia paham sedalam dan sepekat apa luka itu menenggelamkan Felitsa. Tanpa ia mampu menghela dan menarik Felitsa keluar dari selubung gelapnya.
* * *
Aduuuh tak kusangka bu Luita malah nyerahin diri ke polisi?
BalasHapusSip buu.. kami mnunggu lanjutannya.
Mo ngupi bareng gak buu..? 😀😁
Udah tayang episode berikutnya, Mbak Indah...
HapusMau kupinya dunkz! Makasih mampirnya ya...
Lha kok nhunu se ???
BalasHapusBastian jangan putus dong... #hiks
Hihihi... Baper... :P
HapusNuwus mampire yo, Jeng...
Haduh makin seru nih
BalasHapusMakasih mampirnya ya, Buuu...
HapusOooh...ternyata menyerahkan diri..
BalasHapusOooh... Ternyata Mbak Retno masih ngikuti... Hehehe...
HapusMakasih singgahnya, Mbak...
Aduwh....kasihan semuanya :-(
BalasHapusHloh ! Bu Tiwi ????????
HapusHahaha... Mbak Tiwi udah punya ID sendiri sekarang. Kereeennnn...
HapusKoq perasaan q gaenak soal Lukas ini yo mb?
BalasHapusMugo" ga ketemon ( uwaaaa iki jelmaan angel or devil ???? )
Hihihi... Onok sing baper juga ik!
HapusKetemon nggak yooo? *ngitung benik*
Suwun mampire yo, Nit...