* * *
Little Lantern
Bastian menatap kedua kakaknya, satu-satu. Bergantian. Tonny duduk dengan sikap santai, meluruskan tungkainya. Dan Sabrina duduk tenang dengan sikap sama. Meluruskan kaki. Ekspresi keduanya nyaris sama. Datar. Tanpa emosi. Seolah tak ada setitik pun kesedihan atas kepergian mendadak sang ayah tujuh hari yang lalu. Bastian mengerjapkan mata.
“Aku tak bisa mengurus semua ini sendirian,” ucap Bastian kemudian. Patah.
“Bas, aku bukannya tak mau peduli,” ucap Tonny tanpa emosi. “Hanya saja ini semua sudah jauh di luar kehidupanku. Kehidupan yang kubangun dengan susah payah. Dari gelandangan hingga jadi aku yang sekarang. Dan semua itu karena bantuan Mas Tama,” sekilas Tonny menatap Sabrina, “bukan Papa.”
“Tapi setidaknya kamu sudah pernah ikut menikmati uangnya kan, Ton?” ucap Bastian parau.
Tonny tersenyum sinis. “Kamu pikir berapa penghasilanku yang kumakan sendiri sekarang? Cuma secukupnya. Selebihnya selalu kuberikan pada anak yatim piatu. Sedikit saja aku ingin mengurangi dosaku karena pernah memamah sampah busuk yang dijejalkan Papa dalam kehidupanku dulu.”
Kalimat itu telak memukul Bastian. Tapi harapannya masih ada satu. Sabrina. Lalu semuanya luluh lantak ketika dengan suara dingin Sabrina melontarkan tanya, “Lalu kamu pikir kenapa aku menikah dengan Mas Tama?”
“Kamu ingin kabur dari rumah,” jawab Bastian tanpa perlu berpikir lagi.
Dan tawa Sabrina langsung terdengar membahana. Penuh dengan nada mengejek dan kepedihan yang sangat. Berbaur jadi satu.
“Kamu memang polos, Bas...,” gumam Sabrina setelah tawanya surut. “Jadi itu yang dikatakan laki-laki yang harus kita panggil Papa itu padamu? Dengar baik-baik, Bas, aku adalah bayaran Papa pada Mas Tama karena Papa kalah dari Mas Tama di meja judi!”
Bastian menatap Sabrina tanpa berkedip. Sekuat tenaga ia mencari sinar dusta dalam mata Sabrina, tapi ia tak juga menemukannya. Hanya ada sorot kepedihan. Yang sangat. Mengambang dalam telaga bening milik Sabrina.
“Dijual oleh ayah sendiri, Bas...,” ucap Sabrina penuh luka. “Aku sudah pernah merasakannya.”
Hening. Bastian sungguh tercekat. Kehilangan semua perbendaharaan kata yang dimilikinya.
“Menyakitkan, Bas,” lanjut Sabrina, “walau kemudian kusadari Mas Tama lebih dari sekedar penyelamatku dari keburukan Papa. Dia seperti malaikat, Bas, yang sengaja ingin menyelamatkan hidupku dari lingkaran hitam Papa. Dan dia berhasil. Kurasa ada Tuhan di belakang Mas Tama. Kalau kamu masih percaya Tuhan...”
Habis sudah!
Bastian menyandarkan punggungnya dengan letih. Misteri pembunuhan ayahnya masih gelap. Bahkan germo langganan ayahnya pun tak bisa menunjukkan di mana persembunyian pelacur yang terakhir disewa ayahnya. Pelacur itu lenyap bagai ditelan bumi. Begitu saja. Tanpa jejak.
Yang ada hanyalah hantaman-hantaman kenyataan yang selama ini tersembunyi begitu rapi dari kehidupannya. Tentang Tonny dan Sabrina. Dua lembar kehidupan yang tak pernah dia berusaha untuk pahami. Karena memang tak ada yang menjelaskan padanya.
“Sudahlah, Bas,” suara Tonny memecah keheningan sesaat itu. “Jual semua yang bisa kamu jual. Pakai uang itu untuk membangun hidupmu sendiri. Mulailah lembar yang bersih. Atau kehidupanmu bisa berakhir seperti Papa.”
“Tonny...,” Sabrina menggelengkan kepalanya. “Ucapanmu terlalu kejam.”
Tonny tertawa sinis. “Lalu bagaimana menyadarkan anak kecil ini?”
Wajah Bastian memerah seketika. Sialan! Aku dianggapnya anak kecil, rutuk Bastian dalam hati. Ditatapnya Tonny dengan mata menyala. Tawa Tonny malah makin lebar melihatnya.
“Bas,” usapan lembut Sabrina pada bahunya menyurutkan sedikit amarah Bastian. “Tonny dan aku sudah sepakat, kami tak mau menerima warisan Papa. Pakailah sesukamu. Tonny dan aku sudah punya kehidupan sendiri. Kehidupan Tonny tak pernah lagi semewah ini, tapi dia senang menjalaninya. Kehidupanku pun masih baik. Mas Tama sayang kepadaku. Apalagi akan hadir ini,” Sabrina mengelus perutnya yang membuncit. “Setelah lima tahun penantian yang tidak sia-sia. Mungkin sudah kemauan Tuhan agar dia hadir pada saat yang tepat, sehingga dia tak perlu mengenal kakeknya,” Sabrina mengelus perutnya lagi.
Bastian membeku. Sendirian.
Ia benar-benar merasa sendirian.
* * *
Seluruh kesimpulan rapat direksi yang baru saja diikutinya tak ada sedikit pun yang tersisa di dalam benaknya. Bastian duduk termangu, bertopang dagu. Tenggelam di kursi empuk yang ditingalkan ayahnya.
Sebetulnya tanpa dia ikut campur pun perusahaan akan tetap berjalan. Tapi dewan direksi masih berbaik hati berbasa-basi mengundangnya ikut rapat. Karena semua yang berputar di sini adalah uangnya. Miliknya sendiri. Karena kedua kakaknya sudah menolak pembagian hak itu.
Ketika ponselnya berbunyi, ia hanya meraihnya dengan malas. Tapi seketika wajahnya menjadi lebih cerah ketika mendengar suara halus mengalun dari seberang sana, “Tian, kamu baik-baik saja?”
Tian... Mendengar namanya diucapkan dengan begitu khusus oleh Felitsa, perasaan Bastian seketika terasa ringan.
“Ya, Fel, aku baik-baik saja.”
“Kamu sudah makan?” ucap Felitsa lagi.
“Belum,” jawab Bastian sambil menggelengkan kepalanya tanpa sadar.
“Jemput aku di kampus dan kita makan siang bersama. Bagaimana?”
Tanpa berpikir panjang Bastian pun menyetujuinya. Beberapa menit kemudian ia sudah meluncurkan mobilnya menuju ke kampus Felitsa. Bekas kampusnya juga. Dan gadis itu sudah menunggunya di dekat gerbang ketika ia sampai. Menghadiahinya seulas senyum yang terlihat begitu teduh.
Seketika Bastian merasa ada seberkas cahaya datang menyinari hidupnya yang terasa suram belakangan ini. Dan untuk pertama kalinya ia merasa ia tidak sendirian. Ada Felitsa di sampingnya.
“Mau makan di mana?” tanya Bastian setelah dilihatnya Felitsa duduk dengan nyaman di jok sebelahnya.
“Kedai bakmi,” jawab Felitsa manis.
Felitsa. Gadis sederhana yang serupa cahaya lentera. Lentera kecil yang seakan hadir untuk menerangi setiap sudut kehidupan gelapnya saat ini. Seandainya ia harus menyerahkan hidupnya untuk kebahagiaan Felitsa, maka ia tak ingin berpikir panjang lagi untuk mengatakan ‘ya’.
“Kok bengong?”
Bastian tersadar. Ia kemudian segera meluncurkan mobilnya ke sebuah sudut kota. Menuju ke tempat makan sederhana yang sangat disukai Felitsa, lentera kecilnya.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #3 : Gold Medallions
Uwoooo lagune cen pas soro kambek jenenge tokohe !
BalasHapusAq suka aq suka aq suka !!!!!
Mama Quin... Bacanya habis nonton upin ipin ya? Kok ketularan mei mei... Aku suka aku suka....hihi... Pa kabar Mbak Nit...
HapusBaik bu Dyah ..... Gi sibuk ngurus the krucils plus kepala gengnya wakwakwakwak
HapusHehehe... golek lagune ae nggarai ngelu dhewe kok, Nit...
HapusSuwun mampire yo...
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya ya, Pak Subur...
Hapusselalu keren mbak Lis..
BalasHapusHaduuuh... Masih berantakan, Mbak Bekti...
HapusMakasih mampinya ya...
kasian bastian...
BalasHapuskadang2, bertahan itu lebih sulit daripada pergi.
Yup! Tapi bertahan juga taruhannya gede banget. Nyawa.
HapusMakasih mampirnya ya, Jeng...
Huwik! Judule kok cik sereme seh?
BalasHapusMinggat ah timbangane protes ae selak dibalang getuk wkkkkkkkkkk
Wooo... kok enak men protes ae balangane gethuk? Pantese bakiak jebol iku...
HapusDirimu nek mampir muesti kurang sak'ons opo'o seh, Nyut? Hihihi...
Tapi suwun juga mampire yo...
Waduh kok lumayan serem nih bu cerbungnya
BalasHapusHihihi... Iya, Mbak Indah... Cerbung lama yang belum tamat.
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
Woooo, ikuuttt ke kedai bakminyaaaaa, hhooho..
BalasHapusmesti salah fokus kalo soal makanan =D