Addo menggeleng, dan Alin langsung menatap
abang iparnya itu dengan putus asa. Addo kembali menekuni helai-helai kertas
yang terbundel rapi dalam sebuah map.
“Hasil lab bagus, Lin,” ucap Addo. “Semuanya.
Tanpa terkecuali.”
Alin menoleh ke arah Danet yang masih
terbaring lemas di atas tempat periksa. Danet pun balas menatap Alin dengan
sorot mata sayu.
“Terus Mas Danet kenapa dong, Mas?” airmata
Alin hampir runtuh karenanya.
Kekhawatiran bertumpuk di hatinya. Sudah
hampir dua minggu ini kesehatan Danet menurun drastis. Selalu pusing, mual, dan
kehilangan nafsu makan. Bahkan semua makanan yang berhasil masuk tak akan
bertahan lama berada dalam perut karena pasti keluar lagi. Yang bisa membuatnya
bertahan hanyalah susu khusus bergizi lengkap yang terpaksa dicekokkan Alin
pada Danet. Itu pun Danet setengah mati menahan diri agar tidak mengeluarkannya
lagi.
Awalnya Alin menduga gangguan lambung Danet
kambuh. Tapi ternyata berapapun obat maag
yang diminum Danet tak membuat kondisinya membaik. Dua kali konsultasi
dengan Addo, seorang dokter spesialis penyakit dalam, tak membawa hasil.
Addo tak menemukan hal aneh dalam tubuh
Danet. Kalaupun ada yang kurang bagus, itu adalah tekanan darahnya yang sedikit
di bawah normal dan kondisinya yang lemas. Itu jelas-jelas karena tubuhnya
kurang asupan makanan bergizi. Hasil lab pun menunjukkan bahwa Danet baik-baik
saja.
Seminggu pertama, Danet masih bisa berangkat
ke kantor untuk bekerja. Tapi pada awal minggu kedua, ia menyerah. Hingga hari
ini, sudah empat hari ia beristirahat di rumah. Dan sore ini, Alin kembali
membawanya ke rumah sakit tempat Addo praktek.
“Lin, Danet dirawat saja ya?” ucap Addo
halus. “Nanti aku observasi lagi. Kurang cairan, sudah pasti. Walaupun belum
parah.”
Alin menyerah. Ia kembali menatap Danet yang
sekarang memejamkan mata. Ia hanya bisa terdiam ketika Addo menyuruh asistennya mengambil kursi roda untuk Danet, agar Danet bisa segera dibawa ke IRD
untuk dipasang infus dan menunggu pengurusan kamar rawat.
* * *
“Papa...”
Pelan Danet membuka matanya. Sorot sayunya
sedikit tersibak ketika melihat Gysta, putri kecilnya, menepuk-nepuk hidungnya
dengan ujung telunjuknya yang mungil.
“Hai, sayang...,” senyum Danet.
“Papa atit?” tanya si putri mungil yang baru beberapa
bulan lalu genap berusia dua tahun itu.
“Iya, Nak, Papa sakit,” Danet meraih kepala Gysta
dan mencium keningnya.
“Gysta, biar Papa bobok dulu ya?” ucap Alin
lembut. “Biar Papa cepat sembuh. Kalau Gysta mau bobok di sini, temenin Papa,
boleh...”
Gysta segera merebahkan tubuhnya dengan patuh
di sebelah kanan tubuh Danet.
“Mimi tutu, Mama,” gumamnya kemudian.
“Mau yang putih atau coklat?” tanya Alin,
sabar.
“Tutat.”
“Mama bikinin dulu. Gysta diam dulu ya? Nanti
jatuh.”
Alin segera beranjak ke pantry kecil di sudut ruang perawatan VIP itu. Sambil membuatkan
susu untuk Gysta, didengarnya Danet dan Gysta bercakap dengan suara lirih. Tapi
telinga Alin jelas menangkap ada nada kerinduan yang sarat dari keduanya.
“Ayo puyang, Papa...”
“Iya... Nanti ya, Nak. Tunggu Papa sembuh
dulu. Gysta jadi anak manis nggak di rumah?”
“Ita nais. Tayi Papa.”
“Ooo... Gysta nangis terus cari Papa? Kangen
sama Papa ya?”
“E’eh... Ita nanen Papa.”
“Papa juga kangen sama Gysta.”
“Iyuk, Papa...”
“Ini sudah Papa peluk.”
Diam-diam Alin mengusap airmatanya.
Sejak Danet harus diopname tiga hari yang
lalu, baru siang ini ia membawa Gysta untuk bertemu Danet. Itu pun karena Gysta
luar biasa rewelnya di rumah. Setiap kali menanyakan papanya sampai menangis-nangis. Suatu hal yang jarang terjadi karena Gysta sama sekali bukanlah anak yang cengeng. Tapi sepertinya wajar karena selama ini Gysta adalah gadis kecil kesayangan papanya. Dan Danet pun kelihatan sudah tak dapat menahan
lagi rindunya pada Gysta.
Untungnya Addo bisa memberi dispensasi
sehingga Gysta bisa masuk ke ruang perawatan Danet walaupun usia Gysta masih
jauh dibawah umur. Selain ada kemungkinan bisa memberi semangat lebih bagi Danet
untuk sembuh, penyakit Danet - walaupun belum diketahui apa - diduga kuat bukan
penyakit menular.
“Yuk, Gysta mimik susu, terus bobok ya?” Alin
mengulurkan botol dot itu pada Gysta.
Seolah mengerti bahwa tak boleh ada huru-hara
dalam ruangan itu, Gysta pun menyusu dari botol dotnya sambil berbaring dengan
manis. Danet memeluknya sambil memejamkan mata lagi.
Alin menatap semuanya itu dengan mata terasa
hangat. Pelan-pelan pandangannya mengabur. Ia segera bangkit dari duduknya dan
pergi ke kamar mandi. Di dalam sana, ia mengusap lagi airmatanya.
Sakit
apa sebenarnya kamu, Pa?
* * *
Hingga hari kelima perawatan, kondisi Danet
tak juga menunjukkan kemajuan berarti. Addo sampai harus berkonsultasi dengan
seniornya yang sudah profesor untuk mengatasi kondisi Danet. Rupanya Profesor
Ananta pun sama pusingnya dengan Addo.
Sama sekali tak ada infeksi virus ataupun
bakteri dalam tubuh Danet. Hasil pembacaan kapsul endoskopi yang harus ditelan
Danet pun menunjukkan kondisi pencernaan yang bersih tanpa cela. Begitu juga
dengan hasil scan kepala dan dada. Pun hasil pemeriksaan darah lengkap.
Semuanya baik-baik saja.
Ketika hasil itu disampaikan pada Alin,
perasaannya langsung dikuasai dua kutub yang berlawanan. Lega luar biasa karena
itu berarti Danet baik-baik saja, sekaligus ketakutan yang demikian besar karena
pada kenyataannya Danet sama sekali terlihat tidak sehat.
“Jadi boleh dibawa pulang?” tanya Alin.
Addo dan Profesor Ananta saling menatap.
Mereka tak punya alasan untuk menahan Danet lebih lama. Tapi di sisi lain,
kondisi Danet masih juga sangat mengkhawatirkan. Danet masih saja tidak bisa
makan karena dilanda mual yang luar biasa, bahkan saat hidungnya membaui aroma
makanan. Obat anti mual masih saja sama sekali tak berpengaruh padanya.
Addo menghela napas panjang. “Menurutmu
bagaimana?”
“Aku bukan dokternya, Mas...,” Alin menatap
Addo dengan memelas.
“Bu Alin,” Profesor Ananta mengambil alih
keadaan dengan halus. “Secara medis Pak Danet baik-baik saja. Dalam artian,
dalam tubuhnya tak ada penyakit. Tapi mengingat kondisi Pak Danet masih
membutuhkan asupan makanan intra vena,
sebaiknya Pak Danet dirawat lebih lanjut.”
Alin tak punya pilihan lain.
* * *
“Ma...”
Alin mengalihkan tatapan matanya dari layar
laptop. “Ya?”
“Mama makan dulu. Sudah jam segini,” ujar
Danet.
Alin melihat arlojinya sejenak. Sudah hampir
jam setengah dua. Tatapannya kemudian berlabuh pada Gysta yang siang itu
kembali terlelap di sebelah Danet.
“Sana,” ada nada tak terbantah dalam suara
lemah Danet. “Gysta biar di sini, aku yang jaga.”
Alin ragu-ragu sejenak. Ia kemudian berdiri
dan menaikkan side-rail. Antisipasi
supaya Gysta tidak terjatuh. Dilangkahkannya kaki, memutar ke sisi lain ranjang
untuk mencium pipi Danet sebelum beranjak ke kantin.
* * *
Kantin rumah sakit cukup sepi. Sudah lewat
jam makan siang seperti ini. Hanya ada beberapa orang yang ada di sana, baik
yang berjas dokter maupun berpakaian biasa layaknya keluarga pasien seperti Alin.
Pelan-pelan Alin menyantap makanannya, dengan
pikiran mengembara ke mana-mana. Tapi hulunya tetap sama. Danet.
Buat Alin, Danet adalah segalanya. Bahkan
satu-satunya tempat bersandar ketika ia melewati masa-masa sulit (baca : Nogosari Lik Ngat – Lizz). Seseorang yang bisa menerima segala
kekurangan dan kelebihannya tanpa syarat. Yang mencintainya tanpa banyak
pernik. Danet yang pada akhirnya bisa membuatnya mencintai dengan sederhana dan
tak perlu alasan.
Lalu
apakah aku dan Gysta akan kehilanganmu, Pa? Karena penyakit yang sampai
sekarang tak juga kunjung terdeteksi?
Alin menghela napas panjang. Ia sebetulnya
sama sekali tak mau pikiran buruk itu menguasainya, tapi bagaimana tidak? Dalam
kondisi seperti ini?
“Bu Alin?”
Alin tersentak mendengar panggilan itu. Ia
menoleh ke kiri dan mendapati seseorang yang sangat dikenalnya memberinya
seulas senyum.
“Dokter Maya,” Alin membalas senyum itu.
Dokter Maya pun meletakkan baki yang
dibawanya pada meja tempat Alin menikmati makan siangnya. Mereka kemudian duduk
berhadapan.
Perempuan cantik berusia enam puluhan itu
bukan orang asing lagi buat Alin. Beberapa tahun lalu ia pernah menjalani
terapi kesuburan. Yang menanganinya dengan sabar adalah Dokter Maya. Dan orang
ketiga, setelah ia dan Danet, yang merasa bahagia ketika ia akhirnya mengandung
Gysta adalah Dokter Maya.
“Siapa yang sakit? Dirawat?” Dokter Maya
menatap Alin, penuh perhatian.
“Suami saya, Dok,” jawab Alin, setengah
mendesah. “Ini sudah hari keenam. Hasil pemeriksaan dan lab menunjukkan dia
baik-baik saja, tapi kondisinya benar-benar mengkhawatirkan.”
”Seperti apa?” Dokter Maya mengerutkan
kening.
“Sudah hampir tiga minggu ini mual, muntah,
lemas karena nggak nafsu makan,” Alin mengangkat bahu. ”Orang ngidam saja
kalah, Dok.”
Seketika Dokter Maya menghentikan makannya.
Ditatapnya Alin. Alin balas menatap. Tak mengerti arti sorot mata Dokter Maya.
“Kalau boleh tahu,” ujar Dokter Maya,
hati-hati. “Bu Alin sudah hamil berapa minggu?”
“Hah?” Alin ternganga. “Saya nggak lagi hamil
kok, Dok.”
Dokter Maya menatap Alin, setengah tak
percaya.
“Yakin?” wajah Dokter Maya terlihat sangat
serius.
Alin mengerutkan kening.
Yakin?
Ingatannya terpaksa berputar ke belakang
sambil menghitung-hitung. Kalau tidak salah, ia sudah hampir tiga bulan ini
telat datang bulan. Selama ini memang datang bulannya tak pernah datang
teratur. Tapi kalau sampai terlambat hingga hampir tiga bulan, baru kali ini ia
mengalaminya.
Hah?
Alin terjingkat seketika.
“Sudah pernah tes urine?” nada suara Dokter
Maya terdengar mendesak.
Alin menatap Dokter Maya. Sebuah pikiran
berkelebat dalam benaknya.
Mungkinkah?
“Bu Alin, kita segera habiskan makanan kita,
kemudian Ibu ikut saya ke ruang praktek. Jangan menolak. Saya nggak akan suruh
Ibu bayar. Ibu sudah bukan orang lain lagi buat saya. Oke?”
Alin tertegun mendengar nada tak terbantah
dalam suara Dokter Maya.
* * *
Dan di sana, di dalam ruang praktek Dokter
Maya, Alin tertawa dan menangis sekaligus. Jelas-jelas layar USG menunjukkan
gambaran seorang janin mungil yang tengah bertumbuh dalam rahimnya. Mulai
kelihatan bentuknya. Menurut perkiraan sudah berusia lima belas minggu.
Dokter Maya tersenyum menatap Alin. “Sudah
jelas kan penyebabnya?”
“Tapi bagaimana...,” Alin mengangkat kedua
tangannya dengan sikap nyaris tak percaya.
“Bu Alin,” Dokter Maya mulai menjelaskan
dengan sabar. “Hubungan batin antara sepasang suami-istri itu seringkali nyaris
tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi kalau mau ditelusuri, pasti ada dasar
logikanya. Sederhananya begini, chemistry
yang terbangun karena ikatan itu pasti melibatkan banyak sekali kerja hormon
dalam tubuh kita. Bisa memicu hal-hal yang sukar diduga dan terkadang kelihatan
tak masuk akal. Percayalah, Pak Danet baik-baik saja. Hanya sedang menggantikan Ibu mengalami sickness karena positif hamil.”
“Bagaimana Dokter bisa seyakin itu?” Maya
mulai membenahi lagi bajunya.
“Anak saya tiga, Bu Alin,” Dokter Maya
tertawa lebar. “Dan tiga kali juga suami saya mengalami hal yang sama dengan
Pak Danet. Bahkan saat kehamilan kedua, dia sampai sebulan opname karena sama
sekali nggak bisa masuk makanan.”
“Astaga...,” Alin meluruhkan segala resah
hatinya dengan tertawa.
“See?”
Dokter Maya mengedipkan sebelah matanya.
“Tapi waktu saya hamil Gysta, tak ada
kejadian seperti ini,” Alin mengerutkan kening.
Dokter Maya kembali tertawa. “Jangan lupa apa
yang terjadi saat kelahiran Gysta.”
Alin langsung menepuk keningnya.
Kelahiran Gysta adalah hal yang sangat
menghebohkan dalam keluarga besarnya dan Danet. Pada hari kelahiran Gysta, Alin
hanya menanggung rasa sakit yang sekadarnya. Justru Danetlah yang seharian
berulang kali diserang rasa mulas pada level hebat tanpa tahu penyebabnya.
Dan rasa mulas itu tak lagi dirasakan Danet
begitu Alin pecah ketuban, tanpa Alin menyadari bahwa mulas-mulas sedikit yang juga
dirasakannya bukanlah karena stress melihat Danet tiap kali terlihat kesakitan.
Ia langsung diangkut ke rumah sakit, sudah bukaan delapan ketika di-check, dan Gysta hadir dengan tangisnya
yang kencang tak sampai tiga jam kemudian, diterima oleh tangan Dokter Maya
sendiri.
Astaga...
“Siapa dokter yang merawat Pak Danet?”
Suara lembut Dokter Maya menyeret Alin keluar
dari lamunannya.
“Dokter Addo, Dok,” jawab Alin. “Kebetulan
Dokter Addo itu abang ipar saya. Suami kakaknya Mas Danet. Malah melibatkan
Profesor Ananta segala.”
“Astaga... Si Papa...,” gumam Dokter Maya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia lupa apa ya, pernah mengalami hal
yang sama?”
“Hah?” Alin terbelalak. “Profesor Ananta itu suami Dokter Maya?”
“Absolutely
correct!” Dokter Maya nyaris terbahak.
* * *
Ada rona ceria tergambar dalam wajah Danet.
Sudah tak lagi sepucat sebelumnya. Diakui atau tidak, ketakutan terhadap tak
terdeteksinya penyakit yang gejalanya sungguh terasa menyiksa itu tentu saja
mempengaruhi mentalnya. Dan kini, saat penyebabnya sudah mulai teraba, tentu
saja hatinya dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Apalagi ia pun tahu ada
anugerah besar yang lain sedang menunggu waktu untuk hadir secara nyata. Entah
bagaimana mekanismenya, ia merasa sejuta kali lebih baik sekarang.
Alin tak akan melupakan ekspresi wajah Addo
ketika bertemu Dokter Maya dan menerima penjelasan dari Dokter Maya. Mimik Addo
sungguh menunjukkan pernyataan ‘are you
kidding me?’. Tapi laki-laki itu tak berani bereaksi lebih jauh ketika
Dokter Maya menyeret nama Profesor Ananta dengan wajah seolah tanpa dosa.
“Puyang, Papa?” kedua telapak tangan mungil
Gysta menempel di kedua pipi Danet.
Danet memeluknya sambil tersenyum. “Iya,
sayang, Papa sudah boleh pulang. Kita pulang sebentar lagi ya?”
Alin memberesi semua barang bawaan dalam
kamar perawatan itu dibantu oleh Nunil. Ia hanya bisa tertawa ketika mendengar
Nunil menggerutui Danet.
“Mbok
yao sakit itu yang lebih elit sedikit gitu lho, Net. Sakit, sampai opname
sekian hari, lha kok malah diagnosanya ngidam. Malu-maluin...”
“Halah... padune
Mbak Nunil kepingin, kalau lagi hamil yang ngidam Mas Addo saja,” tukas
Danet, telak. “Wong yang sudah profesor
saja pernah mengalami hal yang sama kok!”
Nunil kehilangan kata. Ditatapnya Alin. Ada
sinar kegembiraan dalam matanya.
“Aku bersyukur kalian bisa seperti itu,”
bisiknya.
“Aku lebih bersyukur lagi, Mbak, karena Mas
Danet mencintaiku dengan cara tak terduga seperti ini,” Alin balas berbisik.
Nunil tertawa lebar karenanya.
* * * * *
You Are Me, I Am You* = nyolong judul
lagunya Dave Koz
Wah. Bisaaaa yaaaa? Keren bingits mbak.
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya ya, Mbak MM... Gimana kabar asapnya?
HapusMaaauuu bingiiitz seperti alin.....hehehehe
BalasHapusPembuka pagi yg manis mba Liz ...
Hihihi... Kayaknya asyiiik ya? Makasih mampirnya, Mbak Tri Wahyuni...
Hapusha ha ha...enak ya...bila semua perempuan yg ngidam sakitnya dibawa suaminya.....
BalasHapusWakakak... ho'oh, Mbaaak...
HapusMakasih mampirnya ya...
Hi hi , emang ada yg ngidam malah si misua? Ceritane apik tenan mbak, suerr pake bingits. Salim, n salam buat keluarga juga.......
BalasHapusHihihi... Adaaa... Makasih mampirnya ya...
HapusHoleee...papa puyang....
HapusPas aku lahiran anak ke dua malah kakak iparku yang mules2 sampe ga bisa kerja,begitu dedeknya lahir..eh sembuh gitu aja qiqiqi
Wakakak... kisahnya seru juga tuh, Mbak...
HapusMakasih mampirnya ya...
Kereeen...bahagianya Alin...
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak Tina...
Hapussaya punya 4 jagoan dan 1 bidadari , nggak seperti mas Danet,tetapi tambah berat badan karena menghabiskan makan istri yang nggak habis, karena eman he he , good post mbak
BalasHapusWah, berarti mirip sama ilustrasinya ya, Pak? Solidaritas melarrr, hahaha...
HapusMakasih mampirnya, Pak...
Inget tulisanku Kembang Keris.kasusnya sama cuma ini lebih cantik dan yang itu super koplak...
BalasHapusHahaha... aku ngeroll baca lagi. Kalau yang 'itu' hamilnya udah diketahui, yang 'ini' kan belakangan taunya. Jadi kunci 'kenapa'-nya ;)
HapusMakasih mampirnya, Mbak Boss...
Cerita temanku persiss spt ini. Istriny.a hamil, dia yg ngidam... ;)
BalasHapusWakakak... seru tuh, Bang!
HapusMakasih mampirnya ya...
Hihihihihiii..lucu, asik kali yah kalo begitu *sementara ngayal dulu tan* :D
BalasHapusWakakak... Kalo bisa buruan dijabanin... HIhihi...
Hapusmakkkk,,, kerennn....
BalasHapusHahaha... Makasiiih...
HapusHahhaha keren2... Gak kepikir loh aku mah bikin yg kayak ginian...
BalasHapusWohoho... Masak siiih?
HapusMakasih mampirnya, Mbak...
hehehe keren ini cerpennya buu..
BalasHapusaku jg hamil 3x gak ada ngidam, tp yg gila belanja malah suami.
pas mo lahiran jg 3x hamil gak rasa mules2 tanda mo lahiran, tau2 pecah ketuban & segera caesar krn aku takut lahiran normal. tp emang iya siih waktu mo SC yg mukanya grogi senewen malah papanya anak2. hahaha makanya aku suka hamil, terlihat gemuk & gak alami sakitnya ibu hamil :-)
Waduuuh... kisahnya Mbak Indah juga keren, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...