Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #2
* * *
Tiga
Bukan!
Swandito menggeleng samar.
Bukan
cemburu...
Swandito menarik napas dalam, kemudian
menghembuskannya pelan-pelan.
...
tapi rasa takut kehilangan.
Mata Swandito lurus menatap langit-langit
dalam temaram cahaya lampu kamar.
Bagaimana
hidupku selanjutnya tanpa dia? Dari mana aku harus menyesap semangat untuk
menjadi lebih baik daripada hari kemarin kalau dia meninggalkanku?
Pelan-pelan Swandito memperbaiki posisi
tidurnya. Menghadap Dahlia yang juga menghadap ke arahnya. Dengan wajahnya yang
bulat telur sempurna, terlihat sedikit letih, tapi tetap menampakkan kedamaian
dalam tidur lelapnya.
Tanpa disadari, tangan kirinya sudah terulur.
Membersihkan kening Dahlia dari beberapa helai rambut yang terkulai.
Cepat-cepat ia menarik tangannya ketika napas panjang Dahlia terhela. Tapi perempuan
itu terlihat tetap lelap. Tak terganggu sedikit pun.
Swandito mengerjapkan matanya. Masih
ditatapnya Dahlia.
Aku
tak ingin kau pergi... Setelah tiga tahun bersama yang penuh kedamaian. Aku tak
hendak melupakan mengapa kau mau menikah denganku yang hanya seperti ini. Aku
sudah terlanjur tenggelam di dalamnya. Pernikahan kita. Pengabdian kita satu
sama lain. Ketika kita bisa saling menerima apa adanya. Haruskah aku kehilangan
semuanya? Tapi kau juga berhak atas cinta dan kebahagiaan itu...
Swandito mengatupkan kelopak matanya.
Berusaha menenangkan hati yang bergejolak tak keruan. Berusaha menemukan rasa
kantuk dalam gelap pikirannya.
* * *
Setelah bertahun-tahun kabut itu hilang, kini
Seruni menemukannya lagi dalam mata Swandito. Tipis, tapi tetap terlihat nyata.
Dan ia memberanikan diri untuk bertanya. Ketika mobil yang dikemudikan Swandito
sudah meluncur meninggalkan rumah joglo besar itu.
“Mas, are
you fine this morning?”
“Why?”
“Seharusnya aku yang tanya, ada apa? Kenapa?
Mas Swan ndak seperti biasanya.”
“Kelihatan memangnya, Dik?”
“Banget...”
Swandito mencoba untuk tersenyum.
“Ndak keberatan
mampir sebentar ke Timlo Sastro?”
“Memangnya tadi ndak dikasih sarapan sama Mbak Lia?”
Swandito terkekeh mendengar nada canda yang
kental dalam suara Seruni.
“Ayolah!” Seruni pun menyetujui tanpa
berpikir lebih panjang lagi.
* * *
Swandito tertawa melihat Seruni akhirnya
memesan juga seporsi timlo tanpa nasi. Rupanya gadis itu ngiler juga melihat
apa yang baru saja terhidang di depan Swandito.
“Ndak takut
gemuk?” goda Swandito. “Sudah kurang dari dua minggu lagi lho...”
“Haish... Ekstra seporsi timlo ya ndak ada pengaruhnya,” Seruni tersenyum
lebar. “Monggo, duluan saja makannya,
Mas.”
“Iya... gampang. Tunggu sliramu dulu...”
“Hm... Jadi... bagaimana?” Seruni menatap Swandito,
serius.
Pelan Swandito meletakkan gelas teh manis
hangat yang baru saja diteguknya. Ditatapnya Seruni.
“Rengga itu... seperti apa orangnya?”
Seketika Seruni ternganga. Sama sekali tak
pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi sumber informasi soal Rengga. Lebih
tepatnya, diinterogasi secara ‘paksa’ oleh abang iparnya seperti ini.
“Kenapa tiba-tiba panjenengan bertanya soal Mas Rengga padaku?”
Swandito menggeleng. “Entahlah. Hanya saja...
aku ingin tahu.”
“Kenapa ndak
bertanya saja pada Mbak Lia, Mas?”
“Aku ndak
bisa, Dik. Dia hanya bercerita kalau kemarin bertemu Rengga. Dia kemudian
menangis ketika kutanyakan apakah dia masih mencintai Rengga. Dan aku ndak mampu meneruskan pertanyaan lain
soal Rengga itu padanya.”
Seporsi timlo tanpa nasi itu kini terhidang
di depan Seruni. Melihat itu, Swandito pun mulai menikmati sarapan keduanya yang
sudah terhidang sejak beberapa menit yang lalu. Dan dengan penuh perasaan,
Seruni menyesap sesendok kuah timlo itu. Enak. Selalu enak. Sambil menikmatinya
lebih lanjut, Seruni menatap Swandito.
“Aku pernah bertemu beberapa kali dengan Mas
Rengga di Jakarta,” ucapnya dengan suara rendah. “Dia bekerja di sana. Suwargi istrinya dulu pelanggan butikku.
Tapi setelah Mbak Rana ini meninggal, aku ndak
pernah bertemu lagi dengannya. Semalam, aku dengar dari Eyang, Mbak Lia
bertemu Mas Rengga dan putrinya kemarin pagi di salon.”
“Seperti apa orangnya?” ulang Swandito ketika
menyadari bahwa ia tak menemukan informasi mengenai Rengga seperti yang
diinginkannya dalam kalimat-kalimat Seruni.
Tatapan Seruni pada Swandito berubah menjadi
agak ragu. Tapi begitu melihat bahwa kabut itu belum juga pudar dari mata
Swandito, Seruni pun berusaha menjawab sesuai dengan yang diketahuinya.
“Mas Rengga dari kalangan biasa saja. Kalau ndak salah, keluarganya punya usaha
tenunan lurik di Klaten plus juragan batik di Pasar Klewer. Dia orangnya baik,
sabar, sopan. Sama seperti panjenengan.
Perawakannya mirip Romo. Tinggi
besar.”
“Hm...,” Swandito manggut-manggut.
Sampai di sini Seruni tersenyum.
“Aku jadi ingat dulu Mas Haryo sering meledek
Mbak Lia. Katanya, Mas Rengga dan Mbak Lia itu seperti Hulk dan Liliput.
Terkadang juga dibilang Mbak Lia itu ranselnya Mas Rengga karena lucu sekali
kalau melihat Mbak Lia nemplok di
boncengan skuter Mas Rengga. Kalau dilihat dari belakang seperti Mas Rengga
sedang menyandang ransel. Sayangnya...,” Seruni kemudian mendesah panjang. “Panjenengan tahu apa yang terjadi
berikutnya.”
Swandito tercenung. Tapi desahan berikutnya dari Seruni
menyadarkannya. Membuatnya seketika mengikuti arah pandang Seruni.
“Duh, Gusti...,”
suara Seruni hampir menyerupai gumaman. “Orang ini kok panjang umur benar? Baru
juga dirasani1) kok ya muncul...”
Seorang laki-laki tampan berperawakan tinggi
besar berpenampilan rapi tampak masuk ke dalam rumah makan itu, dengan
menggandeng seorang gadis kecil berpipi chubby
yang sangat cantik. Dan tatapan yang beredar sejenak itu berhenti pada
seraut wajah Seruni.
“Dik Runi?” gumamnya.
Bersama gadis kecil yang digandengnya,
laki-laki itu melangkah mendatangi Seruni. Wajahnya tampak cerah.
“Mas Rengga...,” bisik Seruni, tanpa suara.
Dan Swandito tercekat tiba-tiba.
* * *
Mau tak mau Seruni menawari Rengga untuk
duduk bersama di meja mereka. Tawaran yang diterima Rengga dengan senang hati.
“Apa kabar, Dik Runi?” Rengga mengguncang
ringan tangan Seruni yang dijabatnya.
“Baik... Panjenengan?”
Seruni tersenyum.
“Baik... baik...”
“Oh ya, ini Mas Swandito,” tangan Seruni
mengarah pada Swandito. Begitu juga tatapannya. “Mas Swan, ini Mas Rengga.”
Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan.
Tersenyum. Sambil menyebutkan nama masing-masing.
Seruni ganti menjabat tangan Dahlia kecil
yang tersenyum malu-malu. “Lili... kamu sudah gede sekarang ya? Tambah
cantik...”
“Lili lupa sama Tante Seruni?” Rengga menatap
putri kecilnya dengan lembut. “Teman Ibu?”
“Yang punya toko baju?” mata Dahlia kecil
mendadak berbinar.
“Ah! Kamu ingat, sayang...,” Seruni mengelus
kepala Dahlia kecil. Sejenak kemudian tatapannya beralih pada Rengga. “Mas, ndherek belasungkawa2) tentang Mbakyu Rana.”
“Terima kasih, Dik,” Rengga mengangguk,
tersenyum tipis.
Sisa-sisa kesedihan masih tampak melekat.
Seruni dengan jelas dapat menangkapnya.
“Lagi liburan, Mas? Atau bagaimana?” dengan
antusias, Seruni menatap Rengga.
“Ndak,
Dik,” Rengga menggeleng. “Aku kembali ke sini. Meneruskan usaha Bapak dan Ibu.
Sekaligus memberi Lili suasana lain,” tangan Rengga merengkuh bahu Dahlia
kecil. “Dan sliramu sendiri? Mudik
liburan apa malah sekalian bisnis?”
“Mm...,” Seruni tampak sedikit tersipu.
“Sebetulnya aku... akan menikah dua minggu lagi. Sekarang lagi pingitan.”
Rengga terbengong sesaat. “Pingitan? Lho kok?” Tatapannya menyapu
Seruni dan Swandito bergantian.
“Keluyuran?” Seruni tergelak.
Swandito segera memahami keheranan Rengga. “Saya
cuma sopirnya kok, Mas. Tukang antar jemput dari rumah ke salon,” Swandito
berusaha untuk santai.
“Oh...,” Rengga tersenyum lebar.
“Nikahnya masih tetap sama yang itu,” ujar
Seruni kemudian. ”Kan Mas Rengga sudah kenal.”
“Pak Dosen itu?”
Seruni mengangguk. “Dan Kangmas Swandito ini garwane3)
Mbak Dahlia.”
Tiba-tiba saja ada hening yang begitu
panjang.
* * *
“Jadi sliramu
ndak pernah cerita apapun soal Jeng
Dahlia pada Rengga, begitu pula sebaliknya, Dik?” tanya Swandito sambil kembali
melajukan mobilnya.
Seruni menggeleng. “Mas Rengga ndak pernah tanya. Aku ya diam saja.
Tapi istrinya tahu soal Mbak Lia dan suwargi
Mas Dipta. Sepertinya Mas Rengga tahu juga. Hanya saja, dia ndak pernah bertanya apa-apa. Dan aku
sendiri memang sengaja ndak pernah
cerita pada Mbak Lia soal pertemuan-pertemuanku dengan Mas Rengga dan Mbakyu
Rana. Aku ndak tega, Mas...”
Swandito mengangguk-angguk. Sepenuhnya
memahami penjelasan Seruni. Tak lama kemudian mereka sudah masuk ke jalan
tempat salon Dahlia berdiri.
“Kalau Mbak Lia tanya kenapa kita lama
datangnya, jawabnya apa?”
“Jujur saja bilang mampir dulu ke Timlo
Sastro,” senyum Swandito. “Tapi sliramu
yang ingin, bukan aku.”
“Hahaha...,” Seruni tergelak. “Oke... oke...”
Dan omelan Dahlia menyambut keduanya begitu
sampai di salon.
“Dari mana saja jam segini baru datang?”
tanya Dahlia, galak.
“Mampir ke Timlo Sastro dulu, Jeng,” jawab
Swandito sabar.
“Aku yang ingin, bukan Mas Swan,” sahut
Seruni, tersenyum simpul.
“Kamu ini lho, wong lagi pingitan kok
malah keluyuran ke mana-mana,” Dahlia menyemprot Seruni. “Panjenengan juga,” tatapannya beralih pada Swandito. “Mbok ndak usah semua-semua keinginan
Seruni dituruti. Kalau sampai ada apa-apa, apa ya ndak aku to, yang didukani4)
Romo dan Ibu?”
Seruni dan Swandito sama-sama terdiam sambil
mengulum senyum. Sejenak kemudian, ketika Dahlia berbalik dan berjalan dengan
cepat ke arah ruang dalam salon, Seruni segera mendorong bahu Swandito dengan
lembut.
“Sudah sana, Mas. Terima kasih aku sudah
dijemput dan diantar dengan selamat sampai ke sini. Terima kasih juga
traktirannya. Ndak usah dengarkan
omelan Mbak Lia. Nanti aku yang menghadapi.”
“Ya sudah,” Swandito mengangguk. “Aku jalan
dulu ya, Dik. Minta maaf nanti ndak
bisa jemput. Aku ada kerjaan banyak hari ini.”
Seruni mengacungkan jempolnya.
“Runiii! Ayo, cepat sini!”
Seruni pun tak membuang waktu lagi dan segera
melesat ke ruang dalam salon. Dahlia sudah menunggunya untuk melakukan
perawatan berupa luluran.
* * *
Seruni meraih ponselnya begitu ada nada PING!
lirih yang berasal dari akun BBM-nya. Matanya membulat seketika, mengetahui
siapa yang mengiriminya BBM malam-malam begini.
Rengga : ‘Dik
Seruni, selamat malam... Maaf mengganggu. Sampun sare punapa dereng?5)’
PING!
Seruni buru-buru membalasnya : ‘Dereng6),
Mas. Sugeng dalu7)...
Bagaimana? Ada kabar apa?’
Rengga : ‘Ndak
ada apa-apa, Dik. Cuma ingin mengobrol sebentar. Tapi seandainya mengganggu,
ndak apa-apa, kapan-kapan saja.’
Seruni : ‘Ndak
mengganggu kok, Mas. Monggo, dilanjut saja.’
Rengga : ‘Aku
bertemu Jeng Dahlia kemarin pagi. Di salon. Ndak sempat ngobrol banyak.’
Seruni : ‘Mm...
ya, Mas Swan sudah cerita padaku. Mas Swan tahu karena Mbak Lia bercerita
sendiri padanya.’
Rengga : ‘Kok
Dik Runi ndak pernah cerita kalau Jeng Dahlia sudah menikah lagi?’
Seruni : ‘Apa
yang harus aku ceritakan, Mas? Panjenengan kan juga ndak pernah bertanya.
Lagipula, saya ndak enak sama suwargi Mbakyu Rana.’
Rengga : ‘Sudah
lama menikahnya?’
Seruni : ‘Sekitar
tiga tahun yang lalu.’
Rengga : ‘Dia
bahagia?’
Seruni tercenung sejenak. Tampaknya ia harus
lebih berhati-hati dalam menerjemahkan kehidupan Dahlia sekarang.
Seruni : ‘Yang
jelas, perlakuan Mas Swandito terhadap Mbak Dahlia bagai langit dan bumi kalau
dibandingkan dengan perlakuan suwargi Mas Dipta.’
Rengga : ‘Apa
betul dia yang sebenarnya hendak dijodohkan dengan sliramu?’
Seruni meringis dalam hati. Entah kenapa,
hingga detik ini, masalah itu masih juga menimbulkan sensasi nyeri di hatinya
ketika disingkap kembali. Dan ia tak punya pilihan lain kecuali mengetikkan
kata : ‘Ya.’
Pembicaraan dalam diam itu berhenti sesaat.
Sesuatu kemudian berkelebat dalam benak Seruni. Tapi ia belum bisa
menerjemahkannya sekarang. Bagaimanapun, ia harus memperoleh persetujuan
seseorang terlebih dahulu sebelum melakukan ‘hal nakal’ itu.
Rengga : ‘Ya
sudah, Dik. Malam sudah agak larut. Selamat istirahat. Besok-besok kalau ada
kesempatan, kita ngobrol lagi. Pareng8)...’
Seruni : ‘Monggo,
Mas. Selamat istirahat. Sun sayang buat Lili.’
* * *
“Bagaimana menurut panjenengan, Mas?”
Swandito merasakan kepalanya bertambah
pening. Beberapa tahun mengenal Seruni membuatnya secara utuh memahami bahwa
adik iparnya yang hanya satu ini memang benar-benar ajaib. Selanjutnya ia
berusaha keras untuk tetap berkonsentrasi pada setir mobilnya.
“Ya terserah sliramu to, Dik,” ucapnya kemudian.
“Masalahnya, aku ndak enak kalau ndak
mengundangnya,” gumam Seruni, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Wong kami kenal baik. Dia juga kenal
dengan Mas Hazel.”
“Ya makanya...,” ucap Swandito sabar, “kalau
memang dipandang perlu ya diundang saja. Mumpung harinya masih agak jauh.”
“Tadi pagi aku sudah konsultasi sama Eyang, Romo, dan Ibu. Semuanya setuju. Tapi panjenengan ndak apa-apa, Mas?”
“Kok lantas dihubungkan dengan aku?” Swandito
balik bertanya.
Seruni termangu sejenak.
“Ya jelas berhubungan,” jawabnya kemudian.
“Mas Rengga itu mantannya Mbak Lia. Sementara Mbak Lia kan garwane panjenengan to, Mas...”
“Sudahlah, ndak apa-apa,” senyum Swandito. “Kalau perlu nanti aku sendiri yang
mengantarkan undangan padanya.”
“Hah?” Seruni ternganga.
“Dan seandainya memang mbakyumu menghendaki,
biarlah dia kembali pada Rengga.”
Makin Seruni berpikir, usul Swandito itu
terdengar makin ‘mengerikan’ di telinganya.
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Ruang Ketiga #4
Catatan
:
1. Dirasani = dibicarakan.
2. Ndherek belasungkawa (baca : belosungkowo) = turut berduka
cita.
3. Garwane = suaminya / istrinya (dari kata garwa – dibaca : garwo – yang artinya
suami atau istri, tanpa memandang gender).
4. Didukani = dimarahi.
5. Sampun sare punapa (baca : menopo) dereng? = Sudah tidur atau
belum? (versi kromo inggil, bahasa Jawa dengan tingkatan paling halus).
6. Dereng = belum.
7. Sugeng dalu = selamat malam.
8. Pareng (dalam konteks pembicaraan ini) = permisi (hendak pergi / meninggalkan)
; arti lain = boleh.
Diundang aja... ;)
BalasHapusHehehe... iya, Bang...
HapusMakasih singgahnya ya...
Nyiapin sapu tangan atau tisu ah..
BalasHapusWhoa... Makasih mampirnya ya, Mbak...
HapusLah kok saya malah ngiler liatin ilustrasi gambarnya tan, eh *salah pokus* :D
BalasHapusWaduuuh... itu bener-bener meleset jauh fokusnya, hahaha...
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak...
Part ransel kambek skuter iku ko' rasane familiar yo mba. Aq tau dicritani sopo ngono wakwakwakwak
BalasHapus*desiuuuuung ngilang
Jiaaah... Ngilaaang... Muncul-muncul baby-ne wes lair! Selamat ya, Nit...
HapusIh lucu bangeeettt! *gemeeesss*
Penisiriiiiiin......sama lanjutannya
BalasHapusKomen oot ya mbak...aku belum pernah makan timlo...kesian banget ya hihihi...
Hihihi... aku malah nggak suka, Mbak, kan berdaging ;)
HapusMakasih mampirnya ya...
Good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
Hapusnada terakhirnya..itu sudah kelihatan klo Swanditomulai jengkel ya...
BalasHapusHehehe... Makasih dah mampir, Mbak...
HapusLah kok Dahlia disuruh balik ke Rengga?
BalasHapusHayooo gimana nih? Hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
Suasana Jawa-nya berasa banget :)
BalasHapusHehehe... semoga nggak membosankan. Makasih mampirnya, Mas...
Hapus