Selasa, 29 September 2015

[Cerpen] Perempuan Perias Jenazah







Baru saja Savitri menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi, ponselnya bernyanyi tanpa jeda. Ketika ia menatap ke layar, napas panjangnya segera terhela.

“Ya, Mbak Wien?” sapanya kemudian.

“Lagi di mana?” terdengar suara dari seberang sana.

“Baru saja pulang.”

“Dari?”

“Yayasan Darma.”

“Euh... Bisa ke sini sekarang?”

“Hah?” Savitri menegakkan punggungnya. “Memangnya nggak ada yang lain?”

“Mas Ton lagi mudik. Mbak Tika ada job. Heince lagi demam. Yangki ada job juga.”

“Hhh...”

Please...

Ada mendesak dalam suara Wien. Membuat Savitri memutuskan untuk bangkit dari duduknya.

“Oke, aku ke sana.”

“Makasih, Vit!” suara Wien berubah menjadi sedikit lebih ceria.

Beberapa menit kemudian Savitri sudah kembali meluncurkan mobilnya membelah aspal jalanan yang kelihatannya nyaris meleleh terbakar sinar matahari. Tujuannya hanya satu. Rumah Duka Purna Jiwa.

* * *

Sudah delapan tahun ia memilih untuk menekuni profesi sebagai seorang perias jenazah. Walaupun hingga sekarang profesi itu masih sebagai profesi sampingan, tapi ia tak sedikit pun berniat untuk meninggalkannya. Profesi utamanya adalah pemilik sebuah toko penjualan tanaman hias yang mengkhususkan diri menjual bonsai, kaktus, dan anggrek.

Ia menyenangi keduanya. Selain memberi penghasilan yang jauh melampaui kata layak, ia juga seolah hanya bermain-main saja dengan hobinya merias wajah, memelihara anggrek dan kaktus, dan membuat aneka bonsai.

Tak dipedulikannya ketika ada beberapa orang yang menatap profesinya dengan ngeri. Toh setiap jenazah berhak tampil cantik atau tampan sebelum berangkat menghadap Tuhan. Bahkan korban kecelakaan yang paling berantakan sekalipun.

Dan ketika ia memoles setiap wajah yang rata-rata sudah kaku dan dingin itu, selalu timbul rasa ingin memberikan kebahagiaan terakhir bagi si pemilik wajah. Maka ia pun bekerja dengan sebaik-baiknya. Memberi dari kedalaman hatinya. Membuat para keluarga almarhum atau almarhumah yang wajahnya sudah ia ‘rapikan’ mengucapkan terima kasih dengan roman muka sedikit terhibur.

Para jenazah itu sepertinya juga tahu membalas budi. Walau tak jarang ada yang ‘menemaninya’, tapi tak pernah sampai ke taraf mengganggu ataupun menakuti. Ia cukup hanya menyapa dan mengirimkan doa dari dalam hati, maka pemilik jiwa yang hendak ‘berangkat’ itu tak jarang malah berterima kasih padanya, dan ada pula yang menitipkan pesan khusus untuk keluarga yang ditinggalkan.

Tak setiap hari ia menerima panggilan merias jenazah. Tapi tak jarang juga ia harus menolak permintaan karena pada hari yang sama ia sudah bekerja keras mendadani hingga tiga jenazah. Hanya saja ketika ada keluarga yang berduka bersikeras memintanya untuk melakukan polesan terakhir atas rekomendasi para kerabat atau kenalan, ia tak pernah tega untuk menolak.

Seperti sekarang ini.

Ia memutuskan berangkat untuk merias wajah jenazah keempat untuk hari ini. Setelah ia bekerja keras sejak sebelum subuh untuk mendadani jenazah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang ABG perempuan yang meninggal bersamaan dalam kecelakaan lalu lintas. Bisa saja ia menolak permintaan Wien. Tapi mengingat rekan-rekan seprofesinya pun sedang tak bisa diandalkan, apakah ia tega mangkir dari panggilan?

* * *

Dengan halus, Savitri membelokkan city car-nya masuk ke area Rumah Duka Purna Jiwa. Ia tak berhenti di tempat parkir, melainkan terus menjalankan mobilnya hingga ke belakang gedung. Tempat parkir khusus untuk staf dan ‘orang dalam’ rumah duka.

Sorry, Vit, aku nggak punya pilihan lain,” ucap Wien sambil membantu Savitri mengambil sebuah beauty case besar dari dalam bagasi.

“Nggak apa-apa, Mbak,” senyum Savitri.

Sebelum melangkah, ia mengambil alih beauty case itu dari tangan Wien.

“Berapa jenazah di Darma?” tanya Wien.

“Tiga. Satu keluarga. Kecelakaan.”

“Astagaaa...,” Wien menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “Kamu pasti capek, Vit.”

“Yah... Mau gimana lagi, Mbak? Aku dari jam tiga pagi sudah di sana. Soalnya kebaktiannya harus mulai jam sepuluh ini tadi.”

Mereka melangkah terus ke salah satu ruang perawatan jenazah yang berada di sayap kanan kompleks rumah duka itu. Di tempat yang cukup luas itu, yang bisa menampung hingga lima peti jenazah, hanya ada satu peti jenazah. Wien menghampirinya, dengan Savitri mengikuti dari belakang.

“Meninggal secara wajar karena kanker cervix,” bisik Wien.

Savitri mengangguk.

“Jam berapa kebaktiannya?”

Wien menatap arlojinya. “Masih lama. Nanti jam empat sore. Sebenarnya...,” mata Wien terarah pada Savitri, “... keluarganya yang memintaku untuk menghubungimu.”

“Oh...”

Jalur rekomendasi, pikir Savitri.

“Ya sudah, aku tinggal dulu ya? Masih banyak yang harus aku kontrol.”

Savitri kembali menggangguk sambil menyiapkan segala sesuatu di dalam beauty case-nya.

* * *

Ditatapnya sejenak wajah itu. Walau sudah pucat, kaku, dan dingin, tapi Savitri dapat melihat gurat kedamaian di sana. Pejam matanya sudah sempurna. Savitri menaksir bahwa usia almarhumah tak begitu jauh dari dirinya.

Cantik...

Setelah cukup mengamati, maka Savitri mulai melapisi sekeliling leher depan jenazah itu dengan lembar-lembar tisu agar perangkat riasan tak mengotori gaun putih bersih yang sudah dipakaikan dengan rapi pada jenazah itu. Setelah selesai, ia membubuhkan foundation dengan warna setingkat lebih gelap daripada warna kulit wajah itu, supaya tidak terlihat terlalu pucat. Kemudian dipilihnya bedak dengan nuansa pink agar wajah jenazah itu terlihat segar.

Ketika ia hendak merapikan alis, sebuah suara menyapanya, “Selamat siang.”

Savitri menoleh. Seorang perempuan bergaun hitam mendekatinya. Raut wajahnya tampak dipenuhi kesedihan. Savitri menduga bahwa perempuan itu adalah kerabat dekat si jenazah. Wajah mereka terlihat mirip.

“Selamat siang,” Savitri menyahuti sapaan itu dengan ramah. “Silakan duduk, Mbak.”

Tangan Savitri mengarah ke sebuah kursi lipat yang ada di dekat mereka. Perempuan itu duduk di sana.

“Mbak saudaranya?”

Perempuan itu mengangguk. Ditatapnya sosok yang sudah terbaring dalam peti jenazah itu. Savitri kemudian meneruskan pekerjaannya. Dalam hati ia berdoa, semoga si saudari tak mengganggu pekerjaannya, karena sejujurnya ia sudah lelah sekali.

“Dia sebetulnya ingin sekali bertemu Mbak.”

Savitri menoleh sekilas mendengar gumaman itu. “Maaf?”

“Karen ingin sekali bertemu Mbak,” ucap perempuan itu lagi.

Kening Savitri berkerut, tapi ia tetap berusaha untuk konsentrasi dengan pekerjaannya.

Karen? Hm... Jadi namanya Karen...

“Bertemu saya?” Savitri terus mengaktifkan tangannya. “Maaf, saya sama sekali tidak mengenal almarhumah.”

Hening sesaat. Savitri memulaskan eye shadow.

“Tapi Mbak mengenal suaminya.”

“Saya...,” Savitri menghentikan gerakan tangannya.

“Mas Gio.”

Seketika Savitri menatap perempuan itu. Perempuan itu pun tengah menatapnya. Sayu.

“Mas Gio masih tetap mencintai Mbak.”

Gio? Giovanni?

Savitri terhenyak.

Dan yang sedang kurias ini adalah almarhum istrinya?

Savitri menatap wajah yang masih setengah terias itu dengan perasaan teraduk.
           
Yang bertahun-tahun lalu sudah merebut Gio dari tanganku? Dengan cara yang sangat menyakitkan?

Savitri menatap perempuan bergaun hitam itu. Berusaha untuk terlihat acuh tak acuh.

“Buat apa ingin ketemu saya?” Savitri kembali memulaskan eye shadow. “Saya sudah tak punya urusan apa-apa lagi.”

“Seluruh keluarga juga berpendapat begitu. Makanya tak pernah mau mempertemukan Mbak dengan Karen.”

“Hm...”

“Karen ingin Mas Gio kembali pada Mbak.”

“Untuk apa?” Savitri tetap merias kelopak mata yang tertutup itu.

“Sudah saya bilang, Mas Gio masih mencintai Mbak.”

“Semuanya sudah berlalu,” Savitri menolehkan kepalanya sekilas. “Yang sudah terjadi biarlah berlalu.”

“Tapi cinta itu masih ada. Seutuhnya buat Mbak. Mas Gio tak pernah bisa mencintai Karen. Mungkin rasa cinta itu ada juga buat Karen, tapi cuma sedikit. Sebagian besar sudah Mas Gio simpan untuk Mbak.”

“Mbak...,” Savitri kini sepenuhnya menghadap ke arah perempuan bergaun hitam itu. “Maaf, Mbak siapa namanya?”

“Nina.”

“Oke...,” Savitri menghela napas panjang. Berusaha untuk tetap mengulas senyum. “Begini, Mbak Nina. Saya mohon maaf. Saya tak mau kasar. Tapi semuanya di antara Gio dan saya sudah selesai. Saya sudah bertahun-tahun lalu merelakan Gio berkeluarga dengan orang yang dia pilih sendiri. Jadi, saya sudah tak ada urusan apa-apa dengan Gio.”

“Walaupun ini keinginan Karen sendiri?”

Savitri mengangkat bahu. “Maaf...”

Ia berbalik dan kembali pada wajah Karen. Dipilihnya blush on berwarna pink untuk memberi rona cerah pada pipi pucat Karen.

“Karen menjebak Mas Gio,” suara itu terdengar lirih mengambang di udara. “Mas Gio tak pernah menyentuh Karen sebelumnya. Karen membuat Mas Gio mabuk, kemudian merekayasa kejadian. Pura-pura hamil, dan menunjuk Mas Gio sebagai pelakunya.”

Savitri terhenyak lagi.

Jadi...

* * *

“Aku benar-benar nggak ingat kejadiannya, Vit,” Gio menatap Savitri. Terlihat begitu nelangsa.

“Kenyataannya gadis itu hamil. Dan pelakunya adalah kamu!” Savitri makin murka.

“Ya, Tuhan...,” Gio menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangan.

“Kamu nggak punya pilihan lain.”

Gio menurunkan tangannya. Ditatapnya Savitri dengan mata mengaca.

“Aku mencintaimu, Vit. Selamanya...”

Tapi Savitri sudah meninggalkan Gio. Berlari ke kamarnya, kemudian membanting daun pintu kuat-kuat.

* * *

Sudah hampir sepuluh tahun berlalu...

Savitri menyibukkan diri mencari warna lipstick yang paling cocok. Kembali ia menemukan bahwa nuansa pink adalah satu-satunya warna yang terlihat paling cocok untuk almarhumah Karen.

Kamu tahu, Karen..., Savitri dengan hati-hati memulaskan lipstick berwarna pink itu pada bibir Karen. Aku sama sekali tak mendendam padamu. Aku sudah berhasil menganggap bahwa setiap peristiwa dalam hidup ini punya jalurnya masing-masing.  Seperti juga kehidupanmu bersama Gio. Jadi, pergilah dengan tenang.

“Dia tak akan tenang sebelum tahu Mbak Savitri bersedia menerima Mas Gio kembali.”

Savitri tersentak mendengar ucapan Nina. Seketika dihentikannya gerakan tangannya. Ia berbalik dan menatap Nina.

“Lalu saya harus berbuat apa?” sorot mata Savitri terlihat putus asa. “Saya sudah sekian lama tak lagi punya bayangan apa-apa soal Gio. Lalu mendadak saya ketiban wasiat harus menerima Gio kembali? Seseorang yang mungkin sudah tak lagi saya kenal dan mengenal saya?”

“Lalu mengapa Mbak tidak juga menikah?” tatapan Nina terlihat menuntut jawaban.

“Karena dengan tidak menikah, saya bisa berbuat lebih banyak lagi untuk orang lain dan diri saya sendiri. Dan saya sudah lelah disakiti.”

“Mas Gio nggak akan menyakiti Mbak lagi. Saya janji...”

Savitri menghela napas panjang. Terdiam. Benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Bahkan berkata apa.

“... Karena dia sangat-sangat-sangat mencintai Mbak.”

Setelah sepuluh  tahun?

Ditatapnya Nina.

Apakah semuanya masih sama?

“Saya mohon, Mbak...”

Savitri tertunduk.

“Kalau Mbak nggak mau melakukan itu untuk Karen, tolong lakukan untuk diri Mbak sendiri dan Mas Gio. Tak akan ada beban lain, karena Karen dan Mas Gio tak memiliki anak.”

Savitri masih terdiam. Tapi tangannya sibuk menata rambut Karen dengan hati-hati.

“Saya permisi, Mbak.”

Savitri mengangguk. Ia kemudian kembali menghadapi wajah Karen. Sudah kembali cantik dengan pipi merona, kelopak mata sedikit berwarna dan terhias bulu mata palsu yang lentik, bibir meranum, dan rambut tertata rapi. Terlihat jauh lebih segar. Seolah hanya tidur saja.

“Oh ya, Karen suka warna pink. Mbak sudah memilih warna yang tepat. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama,” Savitri kembali mengangguk.

Tugasnya sudah selesai seiring dengan perginya Nina. Dengan tenang ia membereskan beauty case-nya. Berusaha tenang, lebih tepatnya. Karena sesungguhnya ia resah karena semua kalimat yang sudah diucapkan Nina. Ditatapnya wajah Karen sekali lagi.

Aku tak bisa berjanji apa-apa. Tapi aku sudah lama memaafkanmu. Kamu sudah kembali cantik dan segar. Siap untuk mengarungi dunia barumu. Jadi, pergilah dengan tenang...

Tepat ketika ia hendak beranjak, pintu ruangan terbuka. Wien melangkah masuk.

“Sudah selesai, Vit?” senyumnya.

“Sudah, Mbak,” Savitri mengangguk. “Walaupun kerjaku sedikit terganggu dengan kehadiran saudari almarhumah.”

“Oh...,” Wien manggut-manggut. “Oh ya, keluarga almarhumah ingin bertemu denganmu. Masih bisa? Atau kamu terlalu capek?”

“Boleh... Nggak apa-apa.”

“Biar Joni yang bawakan beauty case-mu. Tinggalkan saja di sini. Aku sudah pesan padanya.”

Maka Savitri pun segera mengikuti langkah Wien.

* * *

Savitri sudah selesai bicara dengan keluarga Karen. Menerima ucapan terima kasih karena ia sudah bersedia merias wajah Karen untuk yang terakhir kalinya.

Peti jenazah sudah didorong masuk ke ruang duka. Savitri menunggu sejenak untuk memberi penghormatan terakhir kepada almarhumah Karen. Gio sempat menatapnya, tapi tak mengatakan apa-apa. Terlihat sekali bahwa laki-laki itu begitu berduka.

Savitri tak hendak mengusiknya. Maka ia bermaksud untuk menyelinap pergi diam-diam. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, sekali lagi mata Savitri mengitari ruangan, tetap tak ditemukannya sosok Nina. Padahal ia hendak berpamitan secara pribadi pada Nina.

Tak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Maka ia pun melangkah ke arah belakang gedung, tempat mobilnya sudah menunggu.

* * *

Hari-harinya akan berlalu seperti biasa seandainya saja laki-laki itu tak muncul di depan pintu rumahnya. Pagi-pagi, pada hari ke-101 kepergian almarhumah istrinya.

Savitri hanya bisa terdiam sambil menatapnya. Sejujurnya, kerinduan itu masih ada. Rasa itu masih pekat. Dan hatinya sudah utuh dibawa Gio ketika Gio terpaksa pergi meninggalkannya, untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang tak pernah dilakukan.

“Aku belum berterima kasih padamu,” ucap Gio lirih.

“Untuk apa?” Savitri menghindari tatapan Gio.

“Karena sudah mempercantik Karen untuk terakhir kalinya.”

“Sudah tugasku.”

“Apa kabar, Vit?”

“Baik. Kamu?”

Gio menggelengkan kepala. “Entahlah.”

“Aku turut berduka untuk kepergian Karen,” suara Savitri terdengar begitu tulus.

“Penderitaannya sudah berakhir,” gumam Gio.

“Berapa lama dia sakit?”

“Hampir lima tahun.”

“Oh...,” Savitri tercekat mendengarnya. Membayangkan penderitaan Karen. “Tapi kamu selalu mendampinginya kan?”

“Ya,” suara Gio terdengar tegas. “Sepanjang usia pernikahan kami. ...”

Savitri mengangguk. Berusaha memahami.

“... Karena itu aku tak pernah mencoba untuk menemuimu. ...”

Savitri kembali mengangguk.

“... Juga karena aku tak pernah berpikir untuk mengkhianati pernikahanku. Apapun yang sudah terjadi. Apapun yang sudah dia lakukan padaku. Pada kita. ...”

Savitri tercenung.

“... Lagipula dia juga seorang istri yang baik.”

Kamu tak pernah berubah, Gi...

Savitri menatap Gio. “Nina mengatakan bahwa kamu masih tetap mencintaiku. Benarkah?”

Gio balas menatap Savitri. Tapi sorot mata itu seketika membuat Savitri ragu-ragu.

“Nina? Nina siapa?” Gio mengerutkan kening.

“Saudara Karen.”

“Kapan kalian bertemu?”

“Saat aku merias Karen.”

“Bagaimana bisa kamu menyimpulkan dia saudara Karen?”

“Karena wajahnya mirip.”

Gio masih menatap Savitri hingga bermenit-menit lamanya. Keduanya tenggelam dalam hening. Hingga suara lembut Gio menembus telinganya.

“Karen punya tiga saudara. Semuanya laki-laki. Dan tak ada saudara lain yang bernama Nina.”

Savitri terhenyak.

Lalu siapa...

Savitri makin terhenyak.

* * *

Dia mencintaimu...

Savitri meletakkan rangkaian mawar berwarna putih dan pink itu di atas makam Karen.

... Walaupun mungkin tak sebesar cintanya padaku. ...

Ditatapnya nisan makan Karen.

... Karena itu dia selalu menemanimu dan tak pernah mengkhianatimu. ...

Savitri mengerjapkan mata.

... Dan sekarang aku akan memenuhi permintaanmu. ...

Gio menggenggam tangannya.

... Jadi, pergilah dengan tenang, Karenina...

Savitri balas menggenggam tangan Gio.

Beberapa saat kemudian mereka melangkah bersama meninggalkan makam itu. Ketika baru saja mobil yang mereka berdua tumpangi meluncur pergi, ponsel Savitri berbunyi.

“Ya, halo...”

“Vit, maaf,” terdengar suara Wien dari seberang sana. “Ada job. Bisa ke sini?”

“Hm... Ya, aku ke sana.”

“Makasih ya...”

“Sama-sama, Mbak Wien,” Savitri menyudahi pembicaraan. Ditatapnya Gio. “Aku harus ke Purna Jiwa.”

“Ya, aku antar.”

Ia tetaplah seorang perempuan perias jenazah. Mencintai profesi itu dan menemukan kembali hidupnya di sana. Dan Gio tak pernah keberatan dengan semua yang ada dalam dirinya.

Cinta itu tetap sama. Gio-nya tetap sama. Dan ia kini tak lagi sendirian.

* * * * *


26 komentar:

  1. Haduh mba liz pagi2 dh dsuguhi yg rada2 horor ni...jd sedikit merinding disko...apik tenan mba,2 jempol buat mba liz

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Makasih mampirnya, Mbak Tri...
      *kabor ah!*

      Hapus
  2. Awalnya aku nebak yang dirias mantannya, eh malah istri mantannya. Tapi bayarannya melebihi apapun. CLBK...
    Good post Mbak*sambil celingukan nyari yang punya kalimat itu*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang punya kalimat masih di Ponorogo kayaknya, hihihi...
      Nuwus mampire, Mbak Boss...

      Hapus
  3. Waduh. Mbak... Ide kek gini nemu dimana sih? Apa yaaaa unik menggelitik menghibur top dah... 4 jempol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerpen yang tayang hari Kamis nanti kayaknya unik juga deh... *promosi*
      Makasih mampirnya, Mbak MM...

      Hapus
  4. Bagus banget buu..(y) wah dari judule ajah udah serem. tp td jd ketebak ceritanya krn di efbi ada komen klo nina itu karenina, jd kurang deg2an deh bacanya. :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
    2. Saya jarang baca cerpen... Tapi, rasanya ini pas banget buat naskah sinetron :) kerenina ;p

      Hapus
    3. Hahaha... Bisaaa aja! Makasih mampirnya, Mas...

      Hapus
  5. Ugh! Dari awal Nina masuk, ruang rias sudah diselumi aura mistis. Sempet ngira bakal horor, ternyata endingnya teteep manis. Apik!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Kan Mas Ryan tau sendiri aku nggak bisa bikin yang pure horror... *sediiih*
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. Eh iya, lama juga ndak mampir di mari. Blognya lebih kalem terlihat sekarang ketimbang gambar permen dulu :) keren ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... masih ingeeet aja yang meriah, childish, dan gambarnya permen. Hadeeeh... norak banget jaman itu! *jadi malu*

      Hapus
  7. Walo awalnya sempet ngeri-ngeri gemana getu, tapi akhirnya Savitri sekarang nggak sendiri, uhuuuiii :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uhuuuiii juga! *toss*
      Makasih mampirnya, Mbak Put...

      Hapus
  8. Wah....pertama sih...ngeri dan ngebayangin gimana ya klu aku jd savitri...berani ga ya...hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... kita udah lari duluan kayaknya. Nggak sanggup lari, kita malah ngesot.
      Makasih mampirnya, Mbak Tina...

      Hapus
  9. Bacanya sambil merinding2 gitu... Keren dah pokoknya

    BalasHapus
  10. Balasan
    1. Selalu ucapan banyaaak terima kasih buat Pak Subur... :)

      Hapus
  11. Sudah baca tiga kali, tapi kepotong-potong krn diganggu si kecil. Sekarang baru baca poll. Ceritanya apik dan menyentuh. Ternyata Nina kependekan dari Karenina ya Mbak. Pokoknya jempol deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cubit gemes buat si kecilnya... Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
  12. gak tamat ah bacanya, takut gak bisa ke wc ntar malem *usi

    BalasHapus