Kisah sebelumnya : CUBICLE #13
* * *
Empat
Belas
Jarak Jakarta-Bandung memang
tak jauh. Tapi selama ini aku memang tidak terlalu sering pulang. Aku lebih
suka mengumpulkan cuti dan menghabiskannya sekaligus di Bandung. Terkadang Ayah
dan Bunda juga muncul begitu saja di apartemenku. Tapi sudah sekitar lima bulan
ini tidak. Ternyata Ayah sedang sibuk di perusahaan konsultan baru yang
didirikannya bersama beberapa rekannya sesama pensiunan. Bunda juga sibuk
dengan kegiatan sosialnya.
Mas Riksa muncul di rumah
menjelang pukul sepuluh pagi. Mata Driya langsung membulat begitu melihat Mas
Riksa. Mas Riksa pun tampak mengenali Driya, dengan sangat baik.
“Lho, Mo?” Driya menyalami Mas Riksa erat-erat.
“Kok bisa di sini, Dri?”
“Astagaaa...,” Driya menepuk
keningnya. “Jadi Romo Alex ini Mas Riksanya Sasi???”
“Sebentar... Sebentar... Kok
kamu bisa kenal Sasi? Satu kantor?” Mas Riksa mengerutkan kening.
“Mas Rik inget nggak, cowok
kecil cungkring yang tinggalnya dulu di belakang rumah lama kita?” aku tertawa.
“Yang tiap hari main sama aku.”
“Betmen?” Mas Riksa
menatapku.
Aku mengangguk sambil
menunjuk Driya.
“Astaga...,” Mas Riksa
beralih menatap Driya. “Ya mana aku tau kalo Betmen itu kamu, Dri! Hahaha...
Udah nggak bersisa cungkringnya.”
Ternyata Mas Riksa selama
ini bertugas sebagai salah seorang pastor di paroki (wilayah) tempat Driya
tinggal di Surabaya. Tentu saja kenal baik dengan Driya karena Driya termasuk
aktif di gereja. Hanya saja tidak saling mengenali karena Mas Riksa kenalnya
nama Betmen, sementara Driya kenal Mas Riksa sebagai Romo Alex. Apalagi waktu
kami kecil Mas Riksa sudah sekolah dan tinggal di seminari. Jarang pulang ke
rumah. Bahkan belakangan baru aku tahu, bahwa Mas Riksalah yang dulu memberkati
pernikahan Driya dengan almarhum istrinya.
Ah, what a wonderful day! Ketika masa-masa terkini berpadu dengan
cerita tentang kenangan masa lalu dalam situasi yang begitu hangat. Apalagi
formasi keluargaku lengkap selengkap-lengkapnya kali ini. Ditambah dengan
seorang ‘tamu tak diundang’ bernama Driya.
* *
*
Sorenya, aku tertawa-tawa
melihat Driya, Mas Giri, Olin, dan Josh bermain dan bercanda sambil bergulingan
di atas hamparan rumput di halaman belakang rumah. Saking serunya, Olin sampai
tercebur ke kolam ikan koi di sudut halaman. Bunda sampai berteriak-teriak
panik, sementara Mbak Nesti hanya tertawa-tawa saja. Olin sendiri kemudian
merangkak keluar dari kolam sambil nyengir jahil.
“Haduuuh,
kamu ini...,” gerutu Bunda pada Olin. “Bikin Eyang sport jantung saja...”
Mbak
Nesti segera menggiring Olin masuk ke rumah untuk berganti baju. Saat itu Mas Riksa
mencolek bahuku.
“Kamu
sama Driya mau lanjut ke hubungan yang lebih dekat?” tanyanya dengan suara
rendah.
Aku
menggeleng. “Belum tau, Mas. Masih sohiban biasa doang. Tapi dia sih pernah
bilang, mau tunggu dulu setaun kepergian istrinya sebelum mulai hubungan baru.
Entah sama siapa.”
“Oh...”
“Lagian
selama beberapa bulan ini hubunganku sama dia masih di level nyambung
persahabatan doang. Belum ada yang istimewa.”
“Hm...
Ya, jalani dululah apa yang bisa kamu jalani,” senyum Mas Riksa.
Aku
mengangguk. Tangan Ayah lembut membelai kepalaku yang sedari tadi rebah di
pangkuannya.
“Ndak
ada yang nyuruh kamu buru-buru nikah kok, Sas,” ucap Ayah kalem. “Yang penting mendapat
yang terbaik. Dan sekali buat selamanya.”
Entah
kenapa mataku merebak kali ini. Terasa hangat. Tenggorokanku juga mendadak
terasa sakit. Selalu begitu. Keluarga yang saling mendukung sepenuhnya tanpa
menuntut apa-apa.
Keluargaku
tercinta...
* * *
Rumah
jadi terasa lengang ketika Mas Riksa sudah terbang kembali ke Surabaya, Driya
sudah kembali ke Jakarta dengan mobil travel, dan Mas Giri sekeluarga langsung
meluncur pulang ke rumahnya setelah kami mengantar Mas Riksa dan Driya. Hanya
tersisa Ayah, Bunda, aku, dan Teh Omi.
Dan
Minggu sore itu, Bunda pun ‘menghilang’ dari rumah. Latihan koor untuk tugas di
gereja Minggu depan. Ayah seharusnya ikut juga. Tapi Ayah memilih untuk absen
dengan alasan capek. Padahal... Aku tahu alasan itu cuma akal bulus Ayah agar
bisa berduaan saja denganku di rumah (maaf, Teh Omi, Teteh kali ini tak
kuhitung...).
Sebagai
satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, jelas aku adalah kesayangan Ayah,
Bunda, dan kedua abangku. Apalagi aku baru ada ketika Mas Riksa sudah berumur
11 tahun dan Mas Giri 8 tahun. Dan ketika aku terlahir sebagai bayi perempuan
tepat pada tanggal 25 Desember, segera saja aku menyandang nama indah yang
berarti ‘doa yang dikabulkan Tuhan’. Dan di usiaku yang jalan 28 tahun sekarang
ini, sepertinya aku tetaplah menjadi daddy’s
little girl, walaupun Ayah pula yang mengajariku soal kemandirian.
Menghabiskan
waktu hanya berdua dengan Ayah adalah salah satu hal yang paling kutunggu bila
aku pulang ke Bandung. Aku bisa bercerita apa saja padanya. Hal-hal yang paling
norak sekalipun. Ayah akan diam mendengarkan hingga aku selesai mendongeng,
tanpa menyela sedikit pun. Baru kalau aku butuh nasihat atau masukan, maka Ayah
akan melakukannya dengan sehalus mungkin. Membuatku tak pernah merasa jadi
‘terdakwa’.
Dan
kali ini, aku sedang berusaha untuk menguraikan ruwetnya hubungan
persahabatanku dengan geng sarap. Seperti biasanya, Ayah mendengarkan aku
dengan serius sambil menyisiri rambutku, dan mengepangnya rapi dari puncak
kepala sampai ke ujung rambut, seperti yang sering dilakukannya sejak aku masih
kecil.
“Entahlah,
Yah. Aku cuma masih merasa sakit hati saja. Kupikir sudah ada yang nggak bener
dengan persahabatanku dengan mereka. Dan perasaanku bilang, sudah mulai ada
sentimen pribadi yang bikin pikiran jadi nggak obyektif lagi. Tapi aku nggak
tau tentang apa,” aku pun menutup pengaduanku.
Ayah
menyodorkan mug berisi teh hijau kesukaanku dengan senyumnya yang manis. Aku
pun meneguknya dengan penuh ucapan terima kasih.
“Kalau
boleh Ayah tau, sesering apa sih, Driya istirahat di tempatmu?”
“Dua
minggu sekali juga belum tentu, Yah. Selama beberapa bulan ketemu Betmen lagi, belum
ada sepuluh kali kok dia mampir istirahat di tempatku. Sampe nginep juga baru
sekali. Itu juga karena dia tidurnya kebablasan sampe pagi saking capeknya.”
“Hm...
Terus, kalau kalian ketemu, ngapain aja?”
“Ya
ngobrol biasalah. Makan. Kadang ngobrolin kerjaan. Kadang ngobrolin almarhum
istrinya. Kadang ngegosipin politik, ekonomi, apa aja. Asal rame aja. Dia tau
bates kok, Yah. Nggak pernah sekadar ambil kesempatan. Dia mampir istirahat
karena memang benar-benar butuh. Daripada celaka di jalan kan?”
“Iya...
Ayah percaya kok. Anak Ayah gitu loh...,” Ayah mengedipkan sebelah mata.
Kejengkelan
yang masih tersisa di hatiku perlahan mencair dan menguap.
“Ngomong-ngomong,
Bara itu gimana sekarang kabarnya?”
Aku
melongo sejenak. Kok jadi mengerucut ke Bara sih? Ada apa ini? Kutatap Ayah
dengan kening berkerut.
“Kok
tau-tau nanyain dia sih, Yah?”
“Pas
Wara-Wiri Award itu jelas-jelas keliatan dia memelukmu lho...,” Ayah kembali
mengedipkan sebelah mata. “Pakai encup-encup segala lagi.”
Kusenggolkan
lenganku ke lengan Ayah. “Apaan sih? Ya itu refleks aja. Saking senengnya
menang.”
“Hm...
gitu ya? Nggak ada tendensi lain?”
Aku
menatap Ayah dengan curiga.
“Kamu
memang nggak ‘suka’ padanya,” jemari Ayah mengisyaratkan tanda kutip, “atau
nggak paham kalau dia menyukaimu?”
“As a partner?” aku menyipitkan mata.
“As a man,” ucap Ayah tegas.
“Hm...,”
berat sekali untuk mengakui apa yang ada dalam perasaanku. “Ya... Aku ‘suka’
padanya,” jemariku pun mengisyaratkan tanda kutip, “tapi kalau dia nggak pernah
ngomong apa-apa, aku harus bilang apa?”
“Sampai
sekarang?”
“Dia
sudah beberapa waktu jalan bareng anak buahnya Betmen. Apalagi sejak Bara
pegang iklan pesenan perusahaannya Betmen. Mereka kelihatannya makin dekat. Ya
selama ini sih, temen-temen sering bercanda menjodoh-jodohkan aku dengan Bara.
Tapi dia adem-ayem aja, so...,” aku
mengangkat bahu.
“Menurut
analisa Ayah nih, ya... Analisa ngawur. Sepertinya memang sudah ada faktor suka
dan tidak suka secara pribadi dalam gengmu itu. Mungkin dasarnya kasih tak
sampai,” sampai di sini Ayah nyengir, tapi kemudian berubah jadi serius lagi.
“Tapi kalau masalah pekerjaan, Ayah rasa enggak.”
Kasih
tak sampai? Hm... Jelas Nina dan Gerdy tak ada sangkut-pautnya dengan keruwetan
ini.
Antara
Bara dan aku? Tapi aku tak pernah merasa memusuhi Bara sebelum aku ‘diadili’
itu walaupun dia sudah lebih dulu jalan dengan Mita.
Antara
Fajar dan Mita? Sepertinya Fajar juga bersikap santai-santai saja pada Bara
walaupun pada akhirnya Mita lebih memilih untuk jalan bareng Bara.
Jangan-jangan...
Antara
Yussi dengan Fajar? Akhir-akhir ini kan Fajar dan aku jadi sedikit lebih dekat
dari biasanya karena ‘persamaan nasib’.
Oh...
Pantas saja dia yang kelihatan paling panas ketika memergoki aku ‘memasukkan
laki-laki lain’ ke dalam apartemenku. Jadi dianggapnya aku ‘mengkhianati’
Fajar. Tapi...
Tunggu
sebentar!
Kenapa
waktu itu dia malah menyebut-nyebut Bara? Atau jangan-jangan...
Yussi
juga menyukai Bara?
Aku
terhenyak.
Kenapa
kemarahannya malah jadi tumpah padaku? Kan kenyataannya Bara sekarang tak
bersamaku, tapi bersama Mita?
Hadeeeh...
Memikirkan itu aku jadi pusing sendiri. Kutatap Ayah kemudian dengan putus asa.
“Kayaknya
emang masalahnya lebih ruwet daripada yang kusangka deh, Yah...,” gumamku.
Ayah
mengelus kepalaku. “Seruwet apapun jalinan masalahnya, Ayah percaya kamu masih
bisa bersikap profesional dalam pekerjaanmu.”
Aku
menggangguk. Itu yang selama ini kupegang teguh dan selalu kuusahakan untuk
kulakukan. Profesionalisme.
“That’s my girl!” Ayah menarik kepalaku
dan mencium keningku.
Kupeluk
Ayah. Tempat semua resahku berlabuh dan menemukan kolam penguapan.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #15
Wah... Konflik makin rame nih... Senin masih lama yaaaaa hahahahahaha. Yussi ... Yussi.
BalasHapusMruput sek
BalasHapusseru..............
BalasHapusKok tulisannya double Mba Lis?
aduuh Driya kok gak ikutan cuti dadakan seeh? hhhmm Sasi jgn ama Bara yaa.. aku dukung kamu Sas :-)
BalasHapusMakin menarik, Mbak Lizz emang maestro karya romantis.
BalasHapus