Begitu aku turun dari mobil, Tyas segera
menyeretku masuk ke kamar, kemudian menguncinya baik-baik. Aku menatapnya,
bertanya, tapi yang kutemui hanya wajah yang pias dan mata seolah bendungan
airmata yang siap runtuh.
“Ada apa, Ma?” tanyaku, akhirnya.
Tyas tak menjawab, hanya menghambur begitu
saja padaku. Ia memelukku erat dan menumpahkan tangisnya di dadaku. Aku
hanya bisa balas memeluknya sembari menumpuk tanya dalam hati. Kubiarkan ia
menuntaskan tangisnya sampai puas. Ketika saat itu tiba, ia pun mengucap di
sela-sela sisa isaknya. Terbata-bata.
“Diaz... menghamili Rara... Aku... mendengar
mereka... bicara... Tadi Rara ke... sini... Bilang... dia hamil... Aku... blank, Pa... Makanya... makanya...
kutunggu Papa... pulang...”
Dan aku pun terhenyaklah.
Diaz? Sulungku? Yang jadi tumpuan harapanku
akan segala kebaikan? Menghamili sahabatnya sejak kecil itu? Sahabat terbaik
yang tinggal di rumah sebelah? Setan apa yang merasuki pikirannya?
Aku terduduk di atas tempat tidur. Pikiran
dan pandanganku kosong. Kurasakan Tyas memelukku lagi.
“Sabar, Pa... Sabar...”
Sabar? Lebih tepatnya aku tak tahu apa yang
harus kulakukan. Apa yang bisa kupikirkan. Ketika Tyas merangkum pipiku ke
dalam tangan halusnya, aku hanya bisa memejamkan mata.
“Papa mandi dulu,” bisik Tyas. “Nanti coba
kita pikirkan lagi.”
* * *
Setelah penantian panjang yang nyaris tanpa
ujung, enam tahun sejak tanggal pernikahanku dan Tyas, barulah Diaz hadir dalam
rahim Tyas. Wajar bila semua harapanku tertumpah padanya. Rasanya semua lelah
perjuangan kami terhapus ketika dokter menyatakan Tyas positif mengandung janin
yang diperkirakan sudah berusia sepuluh minggu. Lalu kami menjaganya baik-baik
hingga ia terlahir di dunia ini dengan sempurna disertai tangis nyaringnya.
Ketika Winda hadir tiga tahun kemudian, tepat
saat kami merayakan ulang tahun kesepuluh pernikahan, kebahagiaan kami
lengkaplah sudah. Mungkin euphoria
menyambut Winda sudah tak lagi segegap-gempita dulu menjelang Diaz lahir. Tapi
sensasinya tetap sama. Kebahagiaan yang nyaris tak bisa terungkapkan dengan
kata-kata.
Selanjutnya Diaz dan Winda tumbuh jadi
anak-anak manis yang saling menjaga. Kebahagiaanku dan Tyas terasa sempurna.
Walau bukan yang terbaik di sekolah mereka, prestasi keduanya tergolong bagus.
Meskipun bukan anak yang terlalu manis karena mereka hanyalah anak-anak normal
yang terkadang bisa menjengkelkan, tapi semuanya bisa dibilang berjalan sesuai
jalurnya di rel yang benar.
Tapi berita yang baru saja disampaikan Tyas
sungguh-sungguh mengguncangku. Membalikkan semua mimpi yang kususun atas Diaz
dan Winda. Akankah Winda kelak mengalami hal yang sama? Aku sama sekali tak
berani meneruskan pikiranku.
Guyuran air segar dan wangi sabun mandi
mengendorkan sedikit segala penat di tubuh dan pikiranku. Hanya sejenak. Ketika
keluar dari kamar mandi, seolah belitan masalah kembali menyergapku. Bagaimana
aku harus bicara pada Diaz, aku sama sekali tidak tahu. Entahlah, tapi benakku
serasa buntu. Tak lagi bisa dipakai untuk berpikir.
* * *
Acara makan malam ini relatif lebih sepi dari
biasanya. Winda berceloteh seperti biasa, tapi ada mendung yang menggantung
begitu tebal di wajah Diaz dalam diamnya. Aku ingin bertanya, tapi tatapan Tyas
mengunciku. Kulihat ia menggeleng pelan, dan aku memutuskan untuk menuruti
keinginannya yang entah apa. Kucoba untuk melayani kecerewetan Winda.
“Pa, seminggu lagi ada acara camping ke Poncokusumo, boleh aku ikut?”
Mendadak suara Winda seperti letusan bom di
telingaku. Aku berhenti menyuapkan makanan ke mulutku, lalu kutatap ia.
“Acaranya siapa?”
“Mudika,” ia balik menatapku.
“Berapa hari?”
“Dua hari satu malam. Berangkat Sabtu siang,
pulang Minggu siang.”
“Hm...”
“Boleh ya, Pa?”
Kutatap senyum manisnya. Entah kenapa kali
ini aku merasa tak ingin terpengaruh. Lalu kualihkan tatapanku pada Diaz.
“Kamu ikut acara ini?”
Diaz menatapku sejenak sebelum mengangkat
bahu.
“Lho! Mas Diaz beberapa hari lalu sudah
bilang mau ikut, kok sekarang malah angkat bahu?” Winda memprotes sikap Diaz.
Diaz menghela napas panjang. Terlihat begitu
berat.
“Nanti coba Papa bicara dulu sama Mas. Belum
ada keputusan boleh atau tidak ya, Win?” aku menatap Winda.
Winda mengangguk. Terlihat setengah hati. Tak
puas.
* * *
Kurasakan tangan Tyas meremas bahu kananku
pelan sebelum aku melangkah masuk ke ruang kerjaku. Di dalam, Diaz sudah
menunggu. Duduk di atas sofa dengan wajah muram. Ia mengangkat wajah sejenak melihat
kehadiranku dan Tyas, sebelum pandangannya kembali menekuri lantai. Tyas
kemudian duduk di sebelahnya, dan aku di depannya, berseberangan meja pendek.
“Kenapa tidak ikut ke Poncokusumo?” tanyaku
dengan suara serendah mungkin.
Diaz menggeleng. “Sebenarnya aku ingin ikut,
tapi... kurasa sudah waktunya Winda menjalani kegiatan tanpa aku.”
Hening sejenak sebelum suaraku memecahkan
kebekuan itu.
“Awalnya Papa memang ingin mengijinkan Winda
ikut kegiatan tanpamu. Winda sudah besar. Bisa menjaga diri. Tapi rasa-rasanya...
Papa harus menganulir keputusan itu.”
Seketika Diaz mengangkat wajahnya. Ekspresi
tak percaya menghiasi wajahnya ketika menatapku.
“Diaz, terus teranglah pada Papa. Ada apa
sebenarnya?”
Diaz masih menatapku sambil mengerutkan
keningnya. Tapi tatapanku membuat kerut di keningnya itu terurai. Dan kini, aku
melihat sorot matanya berubah. Seolah dipenuhi rasa putus asa yang memuai
begitu saja.
“Aku... tak bisa meninggalkan Rara...,” ia
tertunduk dengan suara lirihnya masih menggema. “Aku takut Rara bunuh diri.
Dia...”
Sebutir airmata menetes, membasahi celana
pendek abu-abu mudanya. Aku tercekat. Tyas memeluk Diaz dengan sebelah tangannya.
“Mama tadi mendengar sekilas apa yang kalian
bicarakan,” ucap Tyas dengan suara bergetar. “Kenapa bisa terjadi, Diaz?”
Diaz menggeleng. Aku menelan ludah.
“Aku tidak tahu, Ma,” bisiknya kemudian,
patah.
Aku terhenyak.
Akan menyuruhnya bertanggung jawab?
Seharusnya begitu! Tapi apa yang bisa dilakukan seorang pemuda berusia 20 tahun
seperti Diaz? Yang kuliah saja belum selesai? Yang masa depannya masih jauh
terbentang? Sudah harus berkeluarga? Dan menimang anak?
Aku sungguh-sungguh tak tahu bagaimana
caranya marah yang ‘baik dan benar’ ketika menghadapi masalah seperti ini.
Kalau terjadi pada anak orang lain, mungkin juga aku hanya akan jadi penonton saja.
Tapi kali ini? Pada anakku sendiri?
“Sudah berapa bulan?”
Aku benar-benar tak yakin aku hanya mampu mengeluarkan
kalimat itu dari mulutku.
“Hampir tiga bulanan,” Diaz menatapku
sekilas.
“Menurutmu, apa yang harus kamu lakukan?”
Diaz mengangkat wajahnya lagi. Mengerutkan
kening. Menatapku tak mengerti. Tapi dijawabnya juga pertanyaanku.
“Aku hanya bisa menjaganya supaya dia tidak
bunuh diri. Dia ingin bunuh diri.”
“Kamu mencintainya?”
Ia mengangguk ragu-ragu.
“Sejak dulu,” bisiknya kemudian.
“Nikahi dia,” ucap Tyas lembut.
Aku seolah tersengat mendengar suara Tyas,
tapi aku tak tahu harus menanggapi bagaimana. Aku selalu ingin mengajari Diaz
dan Winda bertanggung jawab atas semua perbuatannya, tapi untuk persoalan ini?
Apakah dengan menikahi Rara semua masalah akan selesai? Bukannya malah menumpuk
masalah baru? Dan tiba-tiba saja aku mendapati Diaz seolah disengat sesuatu
yang sama seperti yang menjangkitiku.
“Kenapa harus aku yang menikahinya?”
Aku hampir saja menaikkan suaraku sekian
desibel, menyamai suara Diaz. Tapi Tyas sudah mendahuluiku.
“Berani berbuat harus berani bertanggung
jawab, Diaz!”
Seketika Diaz menegakkan kepalanya.
Menyipitkan mata sambil menatapku dan Tyas. Bergantian. Beberapa saat kemudian
wajahnya tampak mencair. Ia tersenyum. Terlihat agak terpaksa.
“Jadi... aku disidang seperti ini, karena aku
dicurigai menghamili Rara?”
Ganti aku dan Tyas hanya bisa menatapnya.
Setengah terbengong. Diaz tersenyum tipis.
“Seharusnya aku marah karena sudah dituduh
seperti ini. Tapi aku tahu Mama dan Papa melakukannya karena sayang padaku. Pa,
Ma, Rara dihamili pacarnya. Bukan aku. Iya, aku sayang sama Rara. Dia sahabatku
sejak kecil. Aku sudah berusaha menjaganya sama seperti aku menjaga Winda. Tapi
Rara juga punya pilihan sendiri. Ya, dia salah besar. Melakukan itu karena mau
sama mau. Masalahnya sekarang, pacarnya itu tidak mau tanggung jawab. Dia juga
tidak berani bilang sama orangtuanya. Makanya dia tadi ke sini, mengadu padaku.
Aku bilang, yang penting orangtuanya tahu dulu. Tapi dia ketakutan, malah
terpikir mau bunuh diri segala. Aku bingung, Ma, Pa...”
Hampir saja aku meneteskan airmata haruku,
sementara wajah Tyas sudah basah oleh airmatanya. Aku menatap keduanya. Tyas
memeluk Diaz erat-erat. Dan aku tak bisa lagi berkata lain. Sebuah kelegaan menggulung
masuk ke dalam hatiku.
“Maafkan Papa, Diaz,” desahku.
“Mama yang salah,” ucap Tyas terbata. “Tadi
Papa tahu dari Mama. Mama akui cuma dengar sepotong-sepotong.”
Diaz memeluk Tyas.
“Tidak apa-apa, Ma, Pa,” bisiknya halus. “Toh
tidak terjadi apa-apa padaku dan Rara. Kalau Winda yang mengalami itu,
sepertinya aku pun akan sama marahnya seperti Mama dan Papa.”
Aku masih menatapnya. Diaz. Sulungku. Darah
dagingku.
Pada satu titik beberapa saat yang lalu, aku
merasa gagal menjadi ayah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sikap positif
Diaz. Tapi pada titik lain yang tiba beberapa detik berikutnya, sebuah kebanggaan
merasukiku hatiku nyaris tanpa aral.
Tak sia-sia Tyas dan aku mendidiknya selama
ini menjadi manusia yang selalu harus belajar bertanggung jawab. Lahir dari
seorang perempuan. Memiliki seorang adik perempuan. Memiliki seorang sahabat
perempuan yang sudah seperti anakku dan Tyas sendiri. Kelak ia pun akan
beristrikan seorang perempuan pula. Dan laki-laki sejati adalah laki-laki yang
tahu bagaimana memperlakukan dan menghargai perempuan secara dewasa. Dan laki-laki
itu adalah Diaz. Diaz-ku.
Dan ketika aku hendak melepaskan tawa legaku,
mendadak saja pintu terbuka dengan kasar dari luar. Winda menerobos masuk
begitu saja dengan wajah pias.
“Kak Rara minum racun serangga,” ucapnya
setengah terengah. “Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit.”
Pada detik ini, aku tak tahu haruskah
menangis atau meneruskan tawaku yang sempat tertunda...
* * * * *
Bagaimana cerita ini berlanjut?
Silakan ikuti kisah "Potpourri Di Sudut Hati".
Terima kasih...
Cerita ini pas sekali dengan apa yang saya pikirkan kemarin siang, maka sya sms anak mbarep, mas jangan mendekati atau melakukan zina ya, dan jawabannya membuat mata ini sedikit mendung seperti ketika membaca tulisan ini, good post
BalasHapusMakasih banyak atensinya, Pak Subur...
HapusPunya anak cew/cow jmn sekarang sama" repotnya ya mba?
BalasHapusYup! But I always think that you're a great Mom & he's a great Dad.
HapusMakasih mampirnya ya, Nit...
Mbak Lizz, aku komen ini masuk nggak ya...soalnya nulis komen nggak masuk-masuk... Cinta Buku Baca Buku
BalasHapusMasuk, Mas Wahyu...
HapusMakasih mampirnya ya...
wooohhh bukan Diaz ternyata..ehhh tapi kok ...ahhh entahlah..
BalasHapussalam rumpies tant...keren idenya..tiwas awal2 aku wis gemedheg
Hehehe... Eh, blogmu kok nggak bisa dibuka kenapa, Mbak?
HapusMakasih mampirnya ya...
Nggak tahu ya.....baru baca awalnya aku dah sok tau duluan dan nebak2 kalau bukan Diaz yang nakal. Eh bener....tapi endingnya sadissss!!
BalasHapusBener juga tuh kata mama Quin, anak laki atau perempuan musti ekstra jaganya.
Hehehe... Makasiiih, Mbak Boss...
Hapusmalih eling..
BalasHapuspas anak wedok mbarep..njaluk nikah
hahahha...
VOTED apik mbak
Hehehe... iyo, njenengan nate crito...
HapusNuwus mampire yo, Mak...
dengan didikan yang baik tak mungkinlah Diaz..yg menghamili Rara.....tapi orang tua mana yg tak kaget mendengarnya.....ahh..bahkan ada yg sampai tega mengusirnya segala...
BalasHapusIya, Mbak... semoga begitu...
HapusMakasih mampirnya ya...
terima kasih sudah mengingatkanku bahwa anakku dah gede...
BalasHapussudah harus bisa berpikir panjang DAN berani bertanggung jawab apapun yg dilakukannya.
Sami-sami, Jeng, peluuuk...
HapusBaca cerita ini bikin saya berdebar-debar. Soalnya ceritanya mirip kisah saya, hamil si sulung setelah enam tahun nikah. Terus anak kedua saya juga perempuan. Halah kok mirip ya. Saya jadi ikut merasakaan kegalauan sang tokoh dan ikut tertawa ketika tahu bukan anak si tokoh yang menghamili gadis tetangga. Oh Tuhan, mudah2an anak2 kita dijauhi dari zina. Aamiin.
BalasHapusSemoga ya, Bu...
HapusMakasih atensinya...
Anak2 sekarang lebih cepat dewasa soalnya. Tantangan orang tua semakin berat..
BalasHapusNice story bu Liz
Makasiiih, Mas Pical...
Hapus...sebagai bahan pengingat buat orangtua yang anak-anaknya sudah mulai masuk fase remaja. Thx, Mbak...
BalasHapusTerutama aku sendiri, hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Mas...
Semoga anak kita selalu dalam lindunganNya ya mbak....
BalasHapusSemoga...
HapusMakasih kunjungannya, Mbak Retno...
Hahaha... sialan ini. Bikin aku happy jadinya ��������@usi
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak Usi...
Hapuswiih mantap ceritanya.
BalasHapusMakasih singgahnya, salam kenal ya... 😊
Hapusga ada lanjutannya ini?
BalasHapusSilakan ikuti lanjutannya di cerbung berjudul Potpourri Di Sudut Hati, Mbak... Terima kasih... 😊😊
Hapus