Selasa, 17 Maret 2015

[Cerpen] Riding, Right Time









“Jadi, kapan aku boleh belajar motor?”

Shania menatap perjaka kecilnya. Di matanya, wajah polos yang dua bulan lalu usianya genap 11 tahun itu masihlah wajah bayi lucu yang sama sekali belum pantas mengendarai motor.

“Papa selalu bilang apa?” Shania berucap sabar.

“Nanti kalau sudah SMP,” jawab Allen. "Itu pun belajar doang, belum boleh pakai sewaktu-waktu."

“Jadi?” senyum Shania.

Allen menghela napas panjang. Tak puas. Rasanya menunggu SMP itu lama sekali! Lulusannya saja masih 6 bulan lagi. Padahal di blok ini rasanya cuma dia sendiri yang katrok karena belum bisa mengendarai motor.

“Nggak bisa dipercepat?” Allen masih berusaha menawar.

Shania menggeleng serius. Ditatapnya Allen lagi.

“Tahu nggak alasannya, kenapa harus menunggu SMP dulu?”

Allen mengangguk. “Kata Papa, biar aku lebih tinggi, lebih kekar, dan lebih bisa mikir dulu.”

“Ada masalah dengan itu?”

Allen menatap mamanya, tak mengerti. Shania pun memahaminya.

“Maksud Mama, apakah kamu sekarang sudah merasa seperti itu?”

Allen menggeleng. Ragu-ragu.

“Nah!” Shania kembali tersenyum. “Kasus ditutup, ya? Kamu memang harus sabar menunggu.”

Allen terduduk lesu.

* * *

Nggak adil! Sungguh nggak adil!

Allen cemberut di dalam kamarnya. Seperti apa pun ia merayu papa-mamanya, hasilnya tetap sama. Belum boleh belajar mengendarai motor. Padahal kata eyang-eyangnya, dulu papa-mamanya masih kelas 6 SD sudah belajar motor. Papa-mamanya, sih, jujur mengakui hal itu. Plus membeberkan alasan kenapa dulu boleh dan sekarang belum boleh.

“Jaman dulu jalanan belum seramai sekarang, Al...,” ucap papanya sabar. “Lagipula motor bebek jaman dulu nggak setinggi sekarang sadelnya. Belum jaman motor matic juga. Jadi sekalian harus menguasai yang manual pakai gigi dulu sebelum pakai yang matic.”

Di rumah cuma ada motor gede 250 cc berkopling milik Papa dan motor matic kecil milik Mama. Tak ada motor bebek. Jadi kapan belajarnya?

Sang Mama seolah mengerti apa yang dipikirkan Allen.

“Nanti kalau kamu sudah SMP, semoga ada rejeki lebih buat beli motor lagi. Motor bebek yang bekas buat kamu belajar. Kalau sudah mahir, boleh pakai matic Mama. Kalau sudah lebih tinggi dan kekar lagi, pasti boleh pakai motor gede Papa.”

Allen terpaksa mengangguk samar. Walaupun dengan segunung perasaan tak puas masih memenuhi dada dan pikirannya. Hingga ia masuk ke dalam kamar.

* * *

“Masih setia pakai sepeda aja kamu, Al!”

Allen melihat Sandy mendahuluinya dengan motor matic-nya. Bukan ibunya yang memegang kemudi, tapi Sandy, dengan ibunya membonceng di belakang. Sebetulnya Allen juga jarang naik sepeda ke sekolah. Biasanya ia nebeng papanya sekalian berangkat kerja. Tapi hari ini papanya harus berangkat lebih pagi gara-gara ban belakang motor gedenya kempes. Mau tak mau harus pakai mobil dengan resiko lebih besar terhadang jalanan macet. Motor Mama tak bisa diganggu gugat karena tiap pukul 9 dipakai mengantar Alleda ke play group.

Allen hanya tersenyum menanggapi sapaan Sandy yang setengah mengejek. Bercanda, sih, tapi tetap saja terasa jleb di hati.

“Allen! Tunggu!”

Allen menoleh dan mendapati Detty sedang berusaha menyusulnya dengan sepeda mini berwarna pink-nya. Allen memutuskan untuk menunggu Detty. Ketika Detty sudah sampai didekatnya, bisa dilihatnya napas Detty agak memburu.

“Kok, tumben, sih, naik sepeda?” tanya Detty sambil mengayuh sepedanya lagi.

“He em. Ban motor Papa kempes. Jadi Papa pakai mobil. Berangkatnya pagi banget.” Allen mulai mengikuti kayuhan sepeda Detty.

“Oh... Eh, kan, bisa pakai motor mamamu?”

“Aku, kan, belum bisa bawa motor.” Allen menjawab dengan suara lirih.

“Maksudku...” Detty tersenyum, “Kok, mamamu nggak anterin kamu pakai motor?”

“Oh... Leda belum bangun. Kasihan, kan? Mendingan aku naik sepeda aja. Lagian dekat ini...”

“Iya, sih....” Detty tersenyum lagi. “Tapi enak juga, kan, naik sepeda?”

Allen tersenyum. Mengiyakan.

“Kamu nggak mau belajar motor juga, Ty?” Allen iseng bertanya.

“Pingin, sih... Tapi kayaknya belum berani. Masih gedean motornya. Hehehe....”

Allen turut tertawa karenanya. Tak lama kemudian mereka pun sampai di depan gerbang sekolah. Bel masuk masih lama. Allen pun kemudian duduk-duduk di bangku beton di depan kelasnya. Bercanda dengan beberapa temannya.

Sesekali matanya menangkap beberapa temannya datang dengan diantar motor ke sekolah. Ada juga yang seperti Sandy. Mengendarai motor dengan memboncengkan pengantar di sadel belakang. Entah itu ibunya, ayahnya, ataupun kakaknya.

Entah kenapa, Allen merasa tak nyaman melihatnya. Keinginannya untuk belajar mengendarai motor terasa menguat. Tapi, di sisi lain ada juga perasaan gamang.

* * *

Pulang sekolah, Allen kembali mengayuh sepedanya di sisi Detty dan beberapa teman lain yang searah. Sampai di ujung jalan bloknya, Allen mengerutkan kening.

Di depan rumah Pak Roy ada tenda yang didirikan dan ada bendera kuning yang menempel di tiang listrik dekat rumah Pak Roy. Tak hanya itu, Allen pun melihat mobil papanya parkir di antara banyak mobil dan motor di situ. Allen pun menghentikan kayuhannya.

“Kayaknya ada yang meninggal, ya?” gumam Detty, sambil menghentikan kayuhannya juga.

Allen tak menjawab. Matanya mengawasi segala keramaian itu dari seberang jalan. Keramaian yang hening. Entah bagaimana menjelaskannya.

“Memangnya ada yang sakit di keluarganya Pak Roy?” Usik Detty lagi.

Allen mengangkat bahu. Tepat saat itu, seseorang memanggilnya. Allen tersentak. Terlihat papanya melangkah mendekatinya.

“Ada apa, sih, di situ, Pa?”

“Pak Roy meninggal, Al,” jawab papanya, lirih.

“Hah?!” Allen betul-betul kaget. “Tadi pagi waktu aku berangkat, aku masih lihat Pak Roy ngelap motor mau berangkat kerja.”

“Iya.... Pak Roy kecelakaan motor waktu berangkat tadi.” Wajah papanya tampak sedih. “Ya, sudah, Al, kamu cepat pulang. Gantian sama Mama jagain Leda. Mama, kan, harus bantu-bantu di sini juga.”

“Iya, deh, Pa.” Allen menoleh ke arah Detty. “Sampai ketemu besok ya, Ty.”

Detty mengangguk sambil mengayuh kembali sepedanya.

* * *

Shania mengelap sekitar mulut Alleda yang belepotan saus asam manis. Sesekali ia menengok ke arah luar jendela. Ketika yang ditunggunya datang, ia menarik napas lega.

“Ma! Aku pulang!” Allen menyetandar sepedanya dengan rapi di sebelah motor Shania.

“Kok, agak siangan?” Shania mencium kening Allen.

“Iya, tadi bagi-bagi tugas dulu buat ngerjain tugas kelompok tiga hari lagi." Allen melepaskan tas ranselnya. “Mama mau ke tempat Pak Roy?”

Shania mengangguk. “Kok, kamu tahu?”

“Ketemu Papa tadi. Memangnya gimana kejadiannya, Ma?”

“Kecelakaan motor. Ceritanya nanti aja, ya? Sekarang kamu ganti baju, terus makan. Sekalian jagain Leda. Mama mau ke sana sekarang.”

Allen mengangguk kemudian melangkah ke kamar untuk berganti pakaian. Sayup-sayup ia mendengar suara mamanya.

“Leda di rumah sama Mas, ya? Habis Mas makan, Leda bobok sama Mas. Jadi anak manis, oke?”

Leda tengah duduk manis sambil menyedot susu kotaknya di atas sofa ketika Allen keluar dari kamarnya. Asyik menonton film Barbie dari VCD.

“Da, Mama udah pergi?” Allen menowel lembut pipi bulat Alleda.

“Dah.”

“Kamu udah maem?”

“Dah,” Alleda menjawab lagi.

“Mau maem lagi sama Mas?”

Alleda mengalihkan tatapannya dari layar televisi. Ditatapnya Allen, sambil seolah memikirkan sesuatu.

“Yuk!” jawabnya kemudian, membuat Allen tertawa sambil menggandengnya ke ruang makan.

Allen makan sambil menyuapi Alleda. Tapi, si adik cantik itu maunya makan sendiri. Allen akhirnya mengalah dengan mengambil piring lagi. Sambil makan, mau tak mau pikiran Allen melayang ke sebuah rumah di ujung bloknya.

Pak Roy kira-kira masih seusia Papa. Teman sekantor Papa pula. Anaknya juga dua orang. Yang sulung, Alifa, masih kelas 9 SMPIT di kompleks sebelah. Adiknya, Haikal, masih kelas 3 SDIT di tempat yang sama dengan sekolah kakaknya itu. Diam-diam Allen merasa merinding ketika membayangkan bagaimana bila hal itu terjadi pada papanya. Aduh... jangan deh!

“Mas! Abisin...”

Allen tersentak. Dilihatnya tinggal tersisa sekitar 3-4 suapan lagi makanan di piring Alleda.

“Ye... Dikit lagi nih, Da. Mas suapin, ya?”

Alleda menggeleng. Kelihatannya memang sudah kenyang betul. Allen pun membersihkan pipi dan sekitar mulut Alleda dengan tissue basah seperti yang selalu dilakukan mamanya. Ia kemudian menghabiskan sisa makanan Alleda dan makanan di piringnya sekaligus.

* * *

Selesai belajar, Allen keluar dari kamarnya. Di ruang tengah tampak Harland,  papanya, tengah memangku Alleda yang kelihatan sudah mengantuk sambil menonton berita di televisi.

“Mama mana, Pa?” Allen duduk di sebelah Harland.

“Bantu-bantu siapin hidangan buat yang tahlilan di rumah Pak Roy.”

“Memangnya gimana kejadiannya, sih, Pa, Pak Roy itu?”

Harland menghela napas panjang. Tapi, dijawabnya juga pertanyaan Allen.

“Motor Pak Roy tabrakan sama motor lain di depan gerbang kompleks sebelah, setelah tadi anterin Kak Alifa sama Haikal. Pas Pak Roy mau nyeberang, ada motor lain kenceng banget nggak ngerem. Kata saksinya, sih, padahal kendaraan lain udah pada berhenti semua ngasih jalan. Pak Roy kena tabrak. Mental ke seberang jalan, dihantam sama pick up yang baru keluar dari kompleks seberangnya.”

“Hih...." Allen bergidik.

“Dan, yang nabrak Pak Roy itu, anak masih kelas 5 SD. Lagi boncengin bapaknya mau ke shelter bus di depan kompleks kita. Pakai motor matic persis punya Mama. Kayaknya, sih, mau ngerem malah gugup jadi ngegas.”

Allen terdiam mendengar penuturan Harland. Terbayang betapa ngerinya mengalami kecelakaan seperti itu. Jangankan pakai motor, pakai sepeda saja ia masih sering lupa ngerem!

“Masih mau buru-buru belajar nyetir motor?”

Allen masih termangu mendengar pertanyaan Harland. Beberapa detik kemudian Harland berdiri sambil menggendong Alleda yang sudah tertidur.

“Papa kelonin Leda sebentar, ya, Al?”

Allen menatap televisi tanpa tahu apa yang tengah ditatapnya. Ia masih juga bergidik ngeri membayangkan peristiwa kecelakaan yang menimpa Pak Roy walaupun ia tak melihatnya sendiri. Sampai Shania pulang, Allen masih duduk diam di atas sofa di depan televisi.

“Lho, kamu, kok, belum tidur? Papa mana?”

“Lagi kelonin Leda,” jawab Allen lirih.

“Kamu kenapa?” Shania duduk di sebelah Allen.

Direngkuhnya bahu si pemuda kecil. Allen menggeleng.

“Tadi diceritain Papa soal Pak Roy. Ngeri!”

“Yang lebih menyedihkan itu, ya, Al, yang nabrak itu lukanya nggak parah. Sementara Pak Roy sampai meninggal begitu. Padahal Pak Roy itu udah hati-hati banget menyeberangnya. Ya, mungkin memang sudah takdir umur Pak Roy harus ditutup pagi tadi, tapi bukan nggak mungkin, kan, bisa jadi dia masih ada sampai saat ini kalau saja nggak ditabrak seperti itu?”

“Kata Papa, yang nabrak masih anak kelas 5 SD.”

“Nah, itulah.” Shania mengelus kepala Allen. “Belum cukup umur, sudah lalu lalang di jalan raya. Jalan raya ramai banget lagi! Kalau Mama sama Papa mengizinkan kamu belajar nyetir motor sekarang-sekarang ini, jelas Mama sama Papa salah, Al. Salah besar. Karena kamu pun baru kelas 6 SD, belum cukup umur. Mungkin dulu Eyang-Eyang juga salah karena Mama sama Papa sudah diijinkan belajar nyetir motor saat masih kelas 6 juga. Tapi sekali lagi, kondisinya sudah lain dari sekarang. Sekarang jauh lebih berbahaya. Mama aja ngeri lihat jalanan kompleks kita isinya anak segede kamu bawa motor boncengan bertiga, berempat. Mana ngebut lagi! Hadeeeh... Mending kalau jatuh, luka, dia sendiri yang merasakan. Kalau sampai mengorbankan orang lain?”

Allen masih terdiam. Pelan, ia kemudian mengangguk.

* * *

Dengan santai Allen mengayuh sepedanya menyusuri jalanan blok. Sampai di ujung jalan, di depan rumah Pak Roy, ia berhenti sebentar. Dilihatnya Alifa, anak almarhum Pak Roy, sedang menyapu halaman rumahnya. Allen memutuskan untuk mampir sejenak.

“Kak...,” panggilnya pelan.

Alifa menghentikan kegiatannya, kemudian menoleh. Ia tersenyum tipis melihat siapa yang memanggilnya.

“Eh, Allen. Mau berangkat sekolah?”

Allen mengangguk. Alifa membuka pintu pagar rumahnya ketika melihat Allen turun dari atas sepedanya dan berdiri di depan pagar.

“Kak, turut berduka cita, ya? Maaf, telat.”

“Oh....” Alifa menerima jabat tangan Allen. “Makasih, ya, Al. Papa sama mamamu udah banyak bantu kami. Kamu hati-hati di jalan, ya?”

Allen mengangguk dengan tenggorokan terasa agak sakit.

“Kamu kalau pakai motor juga hati-hati. Jangan sampai...”

“Aku belum belajar pakai motor, kok, Kak,” tukas Allen cepat. “Belum boleh.”

“Oh... Aku aja juga belum boleh kok, Al.”

“Allen!”

Keduanya menoleh ke arah suara yang memanggil Allen itu. Detty mengayuh sepedanya menuju ke arah mereka. Sebentar kemudian gadis kecil itu sudah menyalami Alifa sambil mengucapkan bela sungkawanya. Setelah mengobrol sejenak, Allen dan Detty pun kembali mengayuh sepeda menuju ke sekolah.

“Kamu, kok, pakai sepeda lagi, Al?”

“Iya, ban motor Papa masih kempes. Kemarin nggak sempat ke tukang tambal ban. Habisnya sibuk bantuin di rumah Kak Alifa.”

“Hm.... Kasihan, ya, Al? Aku diceritain Bunda soal Pak Roy. Ngeri banget!”

“He em. Biarpun tadi Kak Alifa bilang udah ikhlas, kan, tetap aja aku masih rada nyesek juga.”

“Iya, sih.... Ya, semoga nggak kejadian lagi, deh! Yang salah siapa, yang jadi korban siapa? Gitu Ayah semalem bilang.”

Belum sempat Detty menutup mulut, sebuah kejadian hanya sekian belas meter di depan mereka membuat Detty dan Allen sama-sama berteriak ngeri dan menghentikan laju sepeda mereka seketika. Dua buah motor bertabrakan cukup dahsyat. Entah bagaimana awalnya.

Sebuah benda melesat ke arah mereka. Secara refleks Allen segera meraih kepala Detty dan memaksanya menunduk. Benda itu lewat begitu saja di atas kepala mereka. Sebuah kaca spion beserta gagangnya. Terasa sedikit sisa anginnya. Ketika dirasanya kondisi sudah cukup aman, keduanya menegakkan badan.

“Kamu nggak apa-apa?” bisik Allen dengan suara bergetar.

Detty menggeleng dengan wajah pucat pasi. Tak kalah pucat dari wajah Allen. Dan, ketika mereka menoleh lagi ke arah kejadian kecelakaan itu, mereka mengenali dua orang di antara korban-korban yang terkapar bersimbah darah.

Sandy dan ibunya.


* * * * *


Ilustrasi : pixabay, dengan modifikasi.

14 komentar:

  1. Euh..... serem! Dua kejadian maut dalam waktu berdekatan.... gara bocah blom punya SIM ngebut2 dijalanan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, Mas! Aslinya di dunia nyata lebih serem lagi...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  2. ih..ngeri banget ya....Mbak Lis...aku juga ngeri klo liat anak2 ABG naik motor....bagus cerpennya mbak..buat pelajaran kita-kita..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh, Mbak... Ortunya itu lho, ngapain aja ya?
      Makasih dah mampir, Mbak Bekti...

      Hapus
  3. ah... miris bacanya...
    emang bener banget... sekarang banyak kejadian serupa...
    dan bodoh sekali bila kita orang tua malah ikut berperan serta menambah panjang daftar bencana dengan mengijinkan anak di bawah umur menyetir kendaraan sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak bodoh kok, cuma baaangeeettt... hehehe...
      Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  4. Iya... belum waktunya mengendarai motor kok sudah diijinkan, kecuali kalo anaknya mau sekedar keliling lapangan sih nggak apa2, tapi khan susah ngatur anak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, dari rumah mau keliling lapangan itu kondisi jalannya seperti apa dulu? Hehehe...
      Makasih singgahnya ya, Bu...

      Hapus
  5. Bagi kita yang punya anak2 sekolah di SD atau SMP dan bangga bisa memakai motor,, tulisan ini bisa menjadi peringatan agar jangan bangga anaknya bisa menggendarai motor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Pak... Udah eneg banget liat jalanan jaman sekarang.
      Makasih kunjungannya ya, Pak Subur...

      Hapus
  6. Wooh.. realita yg difiksikan & fiksi yg realistis! Whatever, it's so great, as usual

    BalasHapus
  7. Speechless, (sambil mbatin, untung gak ada murid-ku saat ini yang naik motor)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kejedot realita? Hehehe...
      Makasih mampirnya, Mbak MM...

      Hapus