Minggu, 07 Desember 2014

[Cerpen] Gurat Pelangi di Langit Senja








“Pokoknya tidak!”

Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang. Kutatap Budhe Pris. Wajahnya tak menunjukkan perubahan emosi apa pun. Tetap tenang, bahkan cenderung datar. Dan, perempuan yang sangat kuhormati itu hanya menatap Mbak Mia dengan sorot mata yang aku sukar mengartikannya.

Budhe Priswati sudah seperti separuh nyawaku sendiri. Mungkin kalau Budhe Pris tidak ada, aku akan jadi anak yatim piatu tak terurus. Eyang Putri meninggal saat aku berumur enam tahun. Sejak aku berumur empat bulan, Eyang Putrilah yang merawatku. 

Aku sendiri kehilangan kedua orangtuaku dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dua puluh enam tahun yang lalu. Mobil yang dikendarai ayahku diseruduk sebuah truk tronton dan tak terkendali lagi hingga menghantam pembatas jalan. Aku adalah satu-satunya sisa-sisa kecelakaan itu yang masih hidup hingga saat ini. Tubuh mungilku terlempar keluar dari jendela yang pecah menganga, dan mendarat pada onggokan sampah dedaunan yang baru saja ditumpuk oleh para penyapu jalan. Utuh, bahkan satu goresan pun tak ditemukan dalam tubuhku.

Sejak saat itu aku berada dalam pelukan kasih sayang eyangku. Dan, ketika Eyang kena serangan jantung enam tahun kemudian, ganti Budhe Pris-lah yang merawatku. Budhe Pris adalah satu-satunya kakak dan saudara yang dimiliki almarhum ibuku. Dari hasil pernikahannya dengan Pakdhe Humardiono, Budhe Pris memiliki seorang putri, Mbak Mia, yang usianya tujuh tahun lebih tua daripada aku.

Budhe Pris dan Pakdhe Hum sayang padaku. Sama dengan sayangnya terhadap Mbak Mia. Mbak Mia juga sayang padaku. Hanya saja sesekali terasa bahwa aku tetap saja orang lain baginya. Tak mengapa. Dia tak pernah menyakitiku. Setidaknya, tak pernah kuanggap menyakitiku.

Namun, kali ini kuanggap dia sudah berhasil menyakitku, karena dia menyakiti Budhe Pris. Menyakiti hati Budhe Pris, lebih tepatnya. Aku sungguh-sungguh tak melihat ada alasan yang pantas diungkapkan Mbak Mia ketika menolak pernikahan Budhe Pris dengan Pak Indratmo.

Ya, Budhe Pris memang sudah menjanda hampir lima belas tahun lamanya. Kepergian Padhe Hum menghadap Tuhan adalah kehilangan yang kesekian kalinya dalam kehidupan Budhe Pris. Semuanya membuat Budhe Pris dengan tegarnya melanjutkan hidup bersama Mbak Mia dan aku. Menjadikan kami perempuan-perempuan tangguh yang tahan banting. Mengantarkan kami pada setiap jenjang sukses yang terasa indah setiap kali kami berhasil menapakinya.

Mbak Mia sukses menjalani kehidupannya sebagai penulis lagu. Ia juga sangat berbahagia dengan Mas Agastya, suaminya, yang seorang sutradara terkenal, dan tentu saja sepasang putra-putri tampan dan cantik mereka. Bahkan Mbak Mia dan Mas Agastya punya perusahaan manjemen artis yang menjadi tempat bernaung beberapa artis papan atas, yang kelihatan betul sangat loyal terhadap tempat bernaungnya itu. Mereka mengalami peristiwa from zero to hero di bawah asuhan Mbak Mia dan Mas Agastya.

Budhe Pris memang sempat merasa sedikit kecewa karena tampaknya Mbak Mia tidak tertarik untuk meneruskan usaha batik yang sudah puluhan tahun berkembang sejak pertama kali didirikan Eyang Kakung dan Eyang Putri. Tapi kekecewaan itu pupus karena masih ada aku yang cukup punya tangan dingin untuk meneruskan dan mengembangkan usaha itu.

Sekarang adalah waktunya bagi Budhe Pris untuk beristirahat sambil menikmati buah kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Sayangnya, tanpa Pakdhe Hum yang mendampingi. Aku tahu Budhe sudah mulai kesepian sejak Mas Agastya menikahi Mbak Mia dan memboyongnya ke Jakarta. Aku sendiri cukup sibuk dengan pekerjaanku. Bahkan aku hampir melupakan kehidupan pribadiku seandainya Budhe tidak dengan sabarnya mengingatkan.

Sungguh, aku memahami betul keinginan Budhe untuk memiliki lagi seorang pendamping hidup. Setidaknya memiliki teman mengobrol dan berbagi suka-duka. Bagiku, sudah cukup Budhe berdiri setegar batu karang selama belasan tahun. Mungkin sesungguhnya dia memiliki rasa lelah itu dan ingin sejenak bersandar pada seseorang yang juga memahami dirinya. Seseorang sebaik Pak Indratmo.

Sayangnya, penolakan keras Mbak Mia tampaknya akan memengaruhi jalannya cerita kehidupan Budhe Pris. Walau Budhe menyembunyikan dengan rapat segala bentuk rasa kecewa atas sikap Mbak Mia, tapi aku masih bisa melihat seberkas-seberkas perasaan terluka itu lolos dari kerjapan matanya.

Entah kenapa, aku merasa sedih sekali karenanya. Tanpa tahu harus berbuat apa.

* * *

“Aku nggak ingin Ibu mengalami kekecewaan di masa tuanya, Dan... ”

Kubayangkan betapa mendung pasti bergantung di wajah Mbak Mia saat kudengar desahan melalui sambungan telepon seluler itu. Aku tahu, sesungguhnya ia sayang sekali pada Budhe Pris, ibunya.

“Aku pernah cerita padamu tentang almarhum ibu Mas Agas, kan? Ia merana hingga saat wafatnya karena ulah suami barunya. Aku nggak ingin itu terjadi pada Ibu. Ibu itu sasaran empuk, Dan. Janda, kesepian, punya harta. Lengkap semuanya ada pada Ibu. Sama persis dengan almarhum ibu Mas Agas.”

Aku menghela napas panjang. Aku mengerti sekarang.

“Aku nggak bisa membebanimu untuk menjaga Ibu. Aku paham kamu punya kehidupan sendiri, Dan. Aku juga demikian jauhnya dari Ibu, nggak bisa sepanjang waktu menjaga Ibu. Kalau Ibu disakiti, ditelantarkan setelah diisap semua manisnya, nanti kamu sendiri yang kerepotan.”

Tertegun aku mendengar kalimat itu. Semua yang tak pernah kupikirkan kini diungkapkan Mbak Mia dengan gamblang. Membuka cakrawala baru dalam pemikiranku.

Aku cukup kenal dengan Pak Indratmo. Dia bukan laki-laki tanpa guna seperti yang dikhawatirkan Mbak Mia. Tapi bagaimana caranya meyakinkan Mbak Mia?

“Lantas, kamu sendiri bagaimana, Dan?”

Aku menelan ludah dan berdehem sebelum menjawab, “Ehm... Pada dasarnya aku nggak keberatan Budhe menikah lagi, Mbak. Tapi aku juga paham semua kekhawatiran Mbak Mia. Coba nanti aku pastikan lagi supaya laki-laki itu nggak akan macam-macam sama Budhe. Aku janji, Mbak.”

“Pokoknya aku tetap nggak setuju, Dan. Demi Ibu sendiri.”

Mendengar ketegasan suara itu, aku kembali kehilangan kata.

* * *

Laki-laki itu menerimaku dengan hangat dan ramah di kantornya yang luas. Mungkin sebaiknya aku tidak mengkhawatirkan kedekatannya dengan Budhe Pris. Tapi aku ingat janjiku pada Mbak Mia. Dan, aku terpaksa membuang jauh-jauh semua rasa rikuh yang kupunya karenanya.

“Danik mau minum apa?” senyumnya.

“Euh... Apa saja, Pak, asal tidak merepotkan.”

“Hmm... kelihatannya orange juice segar, ya, buat menghadang siang sepanas ini?”

Aku pun mengangguk menyetujuinya. Beberapa detik kemudian Pak Indratmo sudah selesai dengan urusannya memesan dua gelas jus jeruk pada sekretarisnya di luar sana. Ia menatapku, masih dengan wajah ramah dan senyum teduhnya.

“Kalau aku boleh menebak, ini ada urusannya dengan budhemu?”

Aku mengangguk. “Mbak Mia, tepatnya.”

Wajahnya langsung diliputi mendung. Ia berusaha menutupinya dengan tetap mempertahankan senyumnya, tapi aku masih bisa melihatnya dengan sangat jelas. Pun, ketika ia menghela napas panjang.

“Aku nggak pernah mengira masalahnya akan serumit ini,” desahnya. “Setelah kalian mandiri, Pris selalu mengira pernikahan kami akan jadi hal yang sangat mudah. Tapi nyatanya tidak. Atau belum.”

“Saya pribadi tak pernah keberatan Budhe menikah dengan Bapak. Tapi rupanya putri Budhe berpikiran lain,” aku berusaha mengucap sehalus mungkin. “Mbak Mia mengkhawatirkan Budhe, karena dia jadi seperti menyimpan trauma setelah almarhum ibu mertuanya merana hingga akhir hidupnya. Mbak Mia nggak mau Budhe mengalami hal seperti itu, Pak.”

“Ibu mertuanya kenapa?” Suara sabar itu memasuki telingaku tepat ketika seorang office girl datang bersama sekretaris Pak Indratmo dengan memegang nampan berisi dua gelas es jeruk dan sebuah piring berisi macam-macam pastry.

“Ibu mertua Mbak Mia seperti Budhe,” jawabku setelah urusan suguhan itu selesai. “Dia menikah lagi di usia senjanya. Hanya sayangnya pilihannya salah. Alih-alih menikmati masa tua dengan tenang, dia justru dirongrong suami barunya beserta keluarganya. Anak-anaknya tak ada yang bisa berbuat apa-apa karena ibu mertua Mbak Mia berusaha menutupi semuanya. Hingga akhirnya meninggal dalam kondisi menyedihkan.”

“Oh... Kamu tentu tahu aku nggak seperti itu, Dan.”

“Saya tahu, Pak." Aku mengangguk. “Makanya, saya berusaha meyakinkan Mbak Mia tentang ini. Tapi Mbak Mia tetap bertahan dengan penolakannya. Saya kasihan sama Budhe.”

“Ayo, minum dulu.”

Kesegaran jus jeruk dingin itu sedikit banyak mempengaruhi kesegaran otakku. Tapi kesegaran itu buyar begitu mendengar kalimat Pak Indratmo yang diucapkannya dengan sangat lembut, tapi seolah petir yang menyambar telingaku

“Aku sudah menunggunya nyaris separuh umur hidupku." Tatapan Pak Indratmo tampak menerawang jauh ke luar jendela besar kantornya yang terletak di lantai 16 gedung perkantoran itu. “Sudah tiga puluh dua tahun, Danik... Apakah itu belum cukup?”

“Maksud Bapak?” Aku terhenyak menatapnya.

Dia mengalihkan tatapannya padaku. Terlihat kelam dan tanpa daya. Membuatku seolah tersedot dalam bayangan duka yang sarat warna kelabu. Dia mengerjapkan mata.

“Tanyakan pada budhemu." Suaranya terdengar seolah menggantung di udara.

* * *

“Indra...,” Budhe Pris menggumam sambil mengaduk teh lemonnya. “Dia cinta pertamaku.”

Aku tertegun.

“Satu-satunya cinta yang kupunya.” Budhe Pris beberapa kali meneguk teh lemonnya. “Hingga detik ini. Mungkin seumur hidupku.”

Aku masih menatapnya. Tanpa berani bicara.

“Almarhum ibumu dan aku punya seorang kakak. Dia meninggal ketika melahirkan putri pertamanya. Suaminya kemudian memintaku untuk jadi istrinya ketika putrinya itu berumur hampir setahun. Aku seolah terbelah pada dua kepentingan yang sama-sama berat buatku. Di satu sisi aku sangat mencintainya, Indra. Di sisi lain aku pun mencintai kakakku, bayi mungilnya, dan juga menghormati keinginan seluruh keluarga besar. Setelah berpikir ribuan kali, aku pun memutuskan untuk menyetujui turun ranjang itu.”

Aku benar-benar ternganga sekarang.

“Otomatis aku harus berpisah dengan Indra. Aku juga mengajukan syarat pada suami almarhum kakakku. Aku mau jadi istrinya asal dia berjanji untuk tidak menyentuhku hingga Indra menikah. Tapi hingga pakdhemu meninggal, Indra tak pernah menikah. Aku tidak tahu apakah pakdhemu mencintaiku ataukah tidak, tapi dia suami yang baik. Aku pun berusaha untuk menjadi ibu yang baik buat Mia. Rasanya tak adil buat pakdhemu seandainya benar dia mencintaiku, tapi aku tak bisa balas mencintainya. Semua cintaku sudah dibawa Indra.”

Semua aliran kalimat yang diungkapkan Budhe Pris seolah mimpi buatku. Aku hanya bisa menatapnya, nyaris tanpa kedip.

“Dan, keluarga besar kita menyetujui untuk menutup sejarah ibu kandung Mia. Supaya Mia hanya mengenal aku sebagai ibunya. Supaya Mia hanya mengenal almarhum ibumu sebagai bibinya. Tidak ada saudara yang lain.”

Hening. Budhe Pris kembali mengaduk teh lemonnya yang tersisa hanya setengah gelas.

“Kalau saja Mbak Mia tahu sejarah ini, mungkin dia nggak akan menolak pernikahan Budhe dengan Pak Indra.” Suaraku terdengar ragu-ragu.

“Sudah terlambat, Danik,” desah Budhe Pris. “Aku nggak bisa menyakiti Mia dengan membuka sejarah ini sekarang. Kedengarannya aku egois karena muaranya cuma usaha agar pernikahanku dengan Indra berhasil.”

“Sampai kapan Budhe akan mengorbankan seluruh kebahagiaan yang sebenarnya bisa Budhe raih? Kasihan Pak Indra juga, Budhe.”

“Dia mengerti, Dan. Sangat mengerti. Kamu salah kalau menganggap semua ini pengorbanan. Ini pilihan, Dan. Pilihanku. Karena aku telanjur mencintai Mia. Sama seperti aku telanjur mencintaimu. Kalian anak-anakku juga. Hanya sejarahnya yang sedikit berbeda.”

Aku tercekat. Tak tahu harus menganggap apa Budhe Pris-ku ini. Manusia biasa ataukah jelmaan malaikat?

* * *

Pada kenyataannya, aku harus menghapus air mataku berkali-kali ketika menyaksikan betapa bahaginya wajah Budhe Pris dan Pak Indra di pelaminan itu. Aku tak pernah menganggap diriku berjasa karena berhasil membuat pernikahan itu tak lagi hanya mimpi belaka buat Budhe Pris dan Pak Indra. Aku justru mengkhianati kepercayaan Budhe Pris tentang sejarah hidup Mbak Mia.

Aku merekam semua pembicaraanku dengan Budhe. Dan, setelah ribuan kali berpikir hampir dua bulan lamanya, aku mengirimkan rekaman percakapan itu pada Mas Agastya, untuk diteruskannya pada Mbak Mia. Kupikir Mas Agastya harus tahu lebih dahulu, supaya dia bisa menopang Mbak Mia seandainya Mbak Mia shock atau apalah semacamnya.

Ya, Mbak Mia memang shock setelahnya. Dia menangis hingga berhari-hari. Budhe juga sempat marah padaku ketika Mbak Mia tiba-tiba datang beserta seluruh keluarga kecilnya, dan mengungkapkan semuanya. Tapi kemarahan itu tidaklah lama, karena rasa cinta terhadap Mbak Mia dan aku mengalahkan segalanya.

Air mataku pun runtuh ketika Pak Indra memeluk Mbak Mia untuk pertama kalinya. Juga ketika ia memelukku. “Sekarang aku punya dua orang putri,” ucapnya, membuat perempuan setegar Budhe Pris pun melelehkan airmata.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya begitu menurut pikiranku. Mungkin memang harta yang dimiliki Budhe Pris akan habis dinikmatinya berdua dengan Pak Indra, karena setelah pernikahan itu Pak Indra menyerahkan perusahaan yang dimilikinya pada satu-satunya keponakan yang dia miliki.

Tapi tenang saja! Bila mereka berdua jatuh miskin, aku yang akan mengambil alih pemeliharaan atas mereka. Setidaknya aku punya andil besar bila hal menyedihkan itu kelak terjadi, walaupun... amit-amit!

Atau bisa juga Thezar, keponakan Pak Indra itu, yang akan melakukannya. Atau lebih baik lagi bila kami berdua yang melakukannya, karena Thezar dan aku sudah lama merencanakan pernikahan, yang semoga terlaksana tahun depan.


* * * * *


Ilustrasi : daksanet.blogspot.com, dengan modifikasi.

6 komentar:

  1. Waduh waduh waduh, kasian sekali tokoh-tokoh yang ada di cerita ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kan akhirnya enggak kasian-kasian juga, Mas Ryan... *yang nulis perotesss*

      Hapus
    2. Perlu dibikinin poster buat demo ga? Atau bawain toa?
      Hihi....ganti judul rupanya?
      Terjebak diriku

      Hapus
    3. Hihihi... iya... Abisnya judul aslinya kok kurang 'menjual'

      Hapus
  2. KAyaknya aku pernah baca ini deh,... bener ngga sih? hehehehe...Mhhhm. happy ending.

    BalasHapus
  3. Bener, pindah sini ganti judul, di 'sana' udah tak'delete ;)

    BalasHapus