www.youtube.com |
Mendengar pintu depan terbuka, Painah segera berlari kencang. Dilihatnya sebelah kaki Antares sudah menjejak lantai teras.
“Maaas!” teriaknya kencang. “Di luar anginnya kencang. Nanti Mas Ares sakit!”
Antares memutar badannya sejenak. Ditatapnya Painah dengan tajam, membuat Painah mundur dua langkah.
“Aku tahu,” jawab Antares dingin. “Makanya aku pakai jaket.”
“Tapi...”
Painah buru-buru mengatupkan mulut begitu Antares tak menggubrisnya. Laki-laki itu berbalik dan melangkahkan kakinya dengan mantap keluar dari rumah.
Beberapa menit kemudian Antares langsung menyesali keputusannya untuk berkeras keluar rumah di tengah hembusan angin kencang seperti ini. Jaket tebalnya tak kuasa menahan hembusan arus udara yang kian kuat berputar dan meliuk di sekelilingnya.
Semuanya jadi terasa begitu menyakitkan di tubuhnya. Ia bersandar pada sebuah pohon. Tak sanggup untuk melangkah lebih jauh. Nyeri itu memeluknya ketat hingga ia jatuh terduduk tanpa bisa melawan.
“Kamu sakit?”
Antares menoleh perlahan. Seorang gadis manis menatapnya dengan khawatir. Antares mengangguk dan menggeleng tak pasti, membuat gadis itu mengulurkan tangannya.
“Ayo, rumahku dekat sini. Kamu bisa istirahat di rumahku.”
Tak ada yang bisa dilakukan Antares kecuali menerima uluran tangan itu. Membiarkan gadis itu menopang tubuhnya dan membimbingnya berjalan perlahan ke arah sebuah rumah beratap merah.
“Aku Auriga. Namamu siapa?”
“Antares,” jawab Antares susah payah. Sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Menyusup dari luar kulit menuju ke dalam setiap inci daging dan ototnya.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Auriga membuka pintu rumah dan segera disambut sebuah teriakan khawatir.
“Nooon! Bibik khawatir ini sudah mau hujan, si Non ke manaaa...?”
“Iya ini aku sudah sampai rumah lagi. Sekarang tolong Bibik buatkan teh hangat ya?” ucap Auriga sabar.
Antares berusaha duduk sampil mengatur napasnya. Hembusan angin hanya ada di luar sana. Dan di dalam rumah itu hanya ada udara diam yang terasa hangat. Pelan ia melepaskan jaket. Perlahan nyeri itu berkurang dan akhirnya lenyap. Auriga duduk di dekatnya.
“Sekarang katakan, kamu kenapa?” Auriga menatap Antares.
Laki-laki itu tertunduk kelu tanpa mampu menjawab. Semuanya serba absurd dan sulit untuk dijelaskan. Sejenak kemudian ia hanya bisa mendongak dan berucap lirih, “Aku tidak apa-apa.”
* * *
Kadang-kadang aku ingin bunuh diri, Riga.
Auriga tersentak membaca kalimat pertama dari BBM Antares.
Semuanya kutukan buatku. Aku bisa mati terbelit nyeri kalau terkena hembusan angin di luar. Padahal aku ingin sekali bersahabat dengan angin dan udara. Tapi sungguh aku bisa hancur karenanya.
Auriga mengetikkan balasan : Awalnya kenapa, Ares?
Pesugihan.
Auriga hampir pingsan ketika membaca balasan dari Antares.
Aku dijual pada setan. Hingga tubuhku memerangkap jiwaku begitu saja. Tubuh yang akan hancur bila terlalu lama terkena hembusan angin. Itu sudah perjanjian antara orangtuaku dengan setan.
Auriga tergugu. Ia menoleh keluar jendela dan menatap hujan yang menderas di luar sana. Antares... Bagaimana mungkin ia menemukan orang yang bernasib sama dengannya?
Airmata mengalir deras membasahi pipi Auriga. Ia terisak hebat sebelum mengetikkan pesan balasan. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya. Tapi bisakah?
* * *
Antares terduduk lemas. Ia hampir tak bisa mempercayai penglihatannya. Sekali lagi dibacanya pesan balasan dari Auriga. Sekali lagi ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang.
Kalau kamu terperangkap oleh angin, maka aku terperangkap oleh hujan, Ares. Titik-titik hujan bisa membuatku lebur jadi sesuatu yang kemudian menghilang larut di dalamnya. Mungkin setan yang menaruh kutukan atas kita itu bersaudara.
Emoticon senyum di akhir BBM Auriga hanya membuat hati Antares didera nyeri. Ia menatap pada guyuran hujan yang menggila di luar sana. Juga pada dedaunan yang bergoyang dihempas angin.
Ia mengetikkan balasan : Lalu bagaimana kamu bisa bertahan?
Aku hanya ingin merasakan cinta, Ares. Sedikit saja sebelum aku meleburkan diri dalam hujan.
Antares tergugu. Sesederhana itukah? Ia bagai membuka hatinya lebar-lebar menghadap ke cermin. Lalu apa artinya getar hati yang muncul saat ia menatap wajah teduh Auriga?
Ia mengetikkan lagi balasannya : Bila besok hari cerah dan angin mati, bisakah kita bertemu di bukit?
Segera ia mendapatkan jawabannya : Ya, Ares. Besok kita BBM-an lagi ya?
* * *
Auriga menatap keluar jendela dengan wajah penuh senyum. Matahari kelihatan berpendar indah menaungi bumi. Langit biru tampak begitu solid dan bersih tanpa awan. Segera ia meraih BB-nya.
“Ah!” ia berseru tertahan ketika membaca pesan yang baru saja masuk.
Aku sedang berjalan ke bukit. Mau bergabung denganku?
Dan seketika Auriga ingin menggoda Antares dengan tidak membalas pesan itu. Ia langsung berlari kecil menuju ke bukit yang tak jauh dari rumahnya. Seisi alam seolah mengheningkan cipta ketika mendengar senandungnya yang menggema lirih. Merdu.
Antares sudah duduk menunggu sambil bersandar pada sebuah batu besar. Wajahnya terlihat begitu cerah ketika Auriga muncul.
“Kamu tidak membalas pesanku,” protesnya halus.
Auriga tertawa. “Yang penting aku sudah berada di sini kan?” Ia mengedipkan sebelah mata. Antares tersenyum lebar menanggapinya.
Auriga membaringkan tubuhnya di atas rerumputan yang membentang bagai permadani. Antares pun ikut berbaring diam di sebelahnya. Menikmati keheningan yang terasa begitu menenangkan jiwa.
“Apa yang kamu rasakan sekarang, Ares?” celetuk Auriga tiba-tiba, lirih.
Antares sempat terdiam sekian detik sebelum menjawab, “Entahlah. Aku hanya merasakan ketenangan karena bertemu denganmu.”
Auriga menggulingkan badannya. Ia tengkurap dan menyangga kepalanya dengan kedua tangan menopang dagu. Ditatapnya Antares yang berbaring tertelentang.
“Apa kamu percaya aku merasakan hal yang sama?” ucap Auriga.
“Kamu percaya takdirkah, Riga?” balas Antares.
Auriga menggulingkan badannya lagi. Kembali ke posisi semula. Berbaring di sebelah Antares.
“Entahlah,” jawabnya kemudian.
“Kamu Auriga dan aku Antares,” gumam Antares. “Kurasa bukan kebetulan kita sama-sama bernama bintang di langit.”
“Maksudmu, kita memang sudah seharusnya bertemu?” tanya Auriga, ragu-ragu.
Antares mengangguk. “Sudah seharusnya bertemu dan mengakhiri semua ini bersama.”
Auriga tersentak. Ia kembali berguling dan bertopang dagu.
“Dan tidak membiarkan setan memerangkap kita lagi dalam angin dan hujan, Ares?” bisiknya.
Antares mengangguk. Auriga bangkit dan duduk bersandar pada batu. Pelan diulurkannya tangan, membelai rambut di atas kening Antares. Laki-laki itu pun bangun dan mengambil tempat di sebelah Auriga.
Mendadak angin berhembus cukup kencang. Antares merintih seketika. Sekujur tubuhnya diserang nyeri yang sangat. Apalagi ia tak memakai jaket tebalnya.
Auriga memeluk erat Antares. “Kita pulang, Ares.”
“Tidak!” teriak Antares. “Kamu lihat di sana awan hitam makin mendekat. Sebentar lagi hujan, Riga. Kita akan musnah bersama.”
Auriga menoleh ke arah selatan dan mendapati awan hitam bergulung cepat menuju ke arah mereka karena dihembus angin kencang.
“Peluk aku, Ares,” Auriga berbisik ketakutan.
Antares pun memeluk Auriga lembut dengan sisa kekuatannya.
“Riga, aku mencintaimu,” bisik Antares.
Auriga menjawabnya dengan memeluk erat tubuh Antares. Merasakan kehangatan itu dan membiarkan Antares memperoleh jawaban yang dikirimkannya dari hati.
Pelan titik-titik hujan mulai turun. Butiran-butiran kecil itu terasa sangat menusuk dan menyakitkan bagi Auriga. Angin pun berhembus makin kencang. Membuat Antares makin disiksa nyeri yang tak lagi tertahankan. Hujan juga makin deras.
Keduanya terus berpelukan dan saling membisikkan “aku mencintaimu” berulang-ulang. Hingga semua rasa nyeri perlahan menghilang dan berakhir.
Auriga lebur dalam derai hujan, dan Antares perlahan menghilang jadi hembusan angin. Keduanya tetap berpelukan dalam bayangan yang makin memudar dan melayang jauh ke angkasa luas. Menuju ke arah tebaran jutaan bintang.
* * * * *
Lagu latar : Sometimes When It Rains – Secret Garden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar